Keberkahan dalam Menuntut Ilmu Arab: Telaah Mendalam atas Filosofi “Barakallah Fii Ilmi”
Ungkapan "Barakallah fii Ilmi" bukan sekadar ucapan selamat atau doa biasa. Ia adalah manifestasi dari pemahaman mendalam bahwa ilmu sejati—terutama ilmu yang berakar pada peradaban dan bahasa Arab—hanya akan menghasilkan manfaat abadi jika ia diselimuti oleh keberkahan (barakah). Artikel ini akan menelusuri bagaimana konsep spiritual ini melebur dalam ranah intelektual, membentuk metodologi, etika, dan tujuan akhir dari pencarian ilmu.
Gambar: Simbol Keberkahan Ilmu dan Cahaya Hikmah.
I. Landasan Filosofis: Meraih Barakah dalam Ilmu
Konsep Barakah dalam bahasa Arab mengandung makna pertambahan, pertumbuhan, dan kebaikan yang menetap (tsubut al-khayr al-ilahi). Ini bukan sekadar kuantitas. Seseorang mungkin menghafal ribuan hadis atau menguasai sepuluh qiraat, namun jika ilmunya tidak berkah, ia mungkin menjadi sumber kesombongan, perpecahan, atau bahkan kegelisahan batin. Sebaliknya, ilmu yang sedikit namun diberkahi mampu mengubah jiwa, memperbaiki masyarakat, dan mengalirkan manfaat yang tak terputus hingga ke generasi berikutnya.
Ketika kita menyematkan doa Barakallah fii Ilmi pada studi bahasa Arab dan ilmu-ilmu Islam, kita sedang menarik perhatian pada dua dimensi utama:
1. Barakah dalam Pemahaman (Fahm)
Keberkahan dalam pemahaman berarti bahwa meskipun teks atau materi yang dipelajari mungkin rumit atau kuno, Allah SWT memberikan kecepatan dan ketepatan pemahaman yang melampaui usaha rasional semata. Ini adalah anugerah yang menjadikan ilmu itu kokoh (mutqin) dan tidak mudah hilang atau salah tafsir. Seorang penuntut ilmu yang diberkahi pemahamannya akan mampu melihat keterkaitan antar disiplin ilmu, memahami tujuan syariat (maqasid syariah), dan mengambil intisari (zubdah) dari lautan informasi.
Dalam studi bahasa Arab, keberkahan pemahaman terlihat dalam kemudahan menguasai nahwu (tata bahasa), sharaf (morfologi), dan balaghah (retorika). Tanpa barakah, subjek-subjek ini bisa terasa kering dan membebani. Dengan barakah, kaidah-kaidah tersebut menjadi kunci emas yang membuka gerbang pemahaman Al-Qur'an dan Sunnah, menjadikannya sebuah perjalanan spiritual, bukan sekadar latihan linguistik.
2. Barakah dalam Pengamalan (Amal) dan Penyebaran (Nashr)
Tujuan akhir dari ilmu adalah amal. Ilmu yang berkah akan mendorong pemiliknya untuk mengamalkannya dengan ikhlas, serta menyebarkannya kepada orang lain. Keberkahan dalam penyebaran (Nashr al-Ilm) memastikan bahwa ajaran yang disampaikan tidak hanya diterima secara kognitif, tetapi juga mengakar di hati pendengar, membuahkan perubahan positif di masyarakat. Ilmu yang tidak diamalkan atau disebarkan secara benar cenderung mati dalam diri pemiliknya, menjadi beban (hujjah) di akhirat.
Para ulama klasik sangat menekankan bahwa keberkahan ilmu erat kaitannya dengan kemurnian niat (ikhlas). Ilmu yang dicari demi jabatan, pujian, atau materi duniawi akan dicabut keberkahannya. Sebagaimana Imam Sufyan Ats-Tsauri pernah berkata, "Aku tidak menghadapi sesuatu yang lebih sulit daripada niatku, karena ia terus berbolak-balik." Mempertahankan niat yang murni adalah upaya seumur hidup yang menjamin ilmu tetap diberkahi.
II. Bahasa Arab sebagai Gerbang Keberkahan Ilmu
Bahasa Arab menempati posisi unik dalam tradisi Islam, bukan hanya sebagai alat komunikasi, tetapi sebagai wadah sakral (lisanun muqaddas) tempat wahyu ilahi diturunkan. Oleh karena itu, menuntut ilmu bahasa Arab adalah menuntut ilmu yang memiliki potensi keberkahan tertinggi, asalkan dilakukan dengan etika yang benar.
1. Sentralitas Bahasa dalam Wahyu
Ilmu bahasa Arab (Lughah al-'Arabiyyah) adalah kunci universal untuk seluruh disiplin ilmu Islam: Tafsir, Hadits, Fiqih, dan Aqidah. Tanpa penguasaan yang mendalam terhadap lughah, upaya menafsirkan teks suci hanyalah spekulasi. Keberkahan muncul ketika penuntut ilmu memahami bahwa setiap kaidah nahwu, setiap wazan sharaf, adalah langkah mendekat kepada makna yang dikehendaki oleh Allah SWT.
Keberkahan ilmu bahasa Arab juga terlihat pada bagaimana ia melestarikan pemikiran peradaban Islam. Dari Baghdad hingga Kordoba, bahasa Arab menjadi lingua franca ilmu pengetahuan selama berabad-abad. Mempelajari karya-karya klasik dalam bahasa aslinya—seperti karya Al-Ghazali, Ibn Sina, atau Al-Farabi—membuka jendela ke dunia intelektual yang telah diberkahi oleh ratusan generasi ulama. Ilmu yang diperoleh secara langsung dari sumber otentik cenderung lebih kokoh dan berkah dibandingkan terjemahan yang rentan terhadap interpretasi yang bias.
2. Keberkahan dalam Penghormatan Guru dan Ilmu
Tradisi menuntut ilmu Arab-Islam sangat mementingkan adab (etika). Adab kepada guru (ustadz) dan adab kepada ilmu (al-ilm) adalah jalur utama menuju keberkahan. Imam Nawawi dan banyak ulama lainnya menekankan bahwa salah satu penghalang terbesar keberkahan ilmu adalah kesombongan dan meremehkan sumber ilmu, baik itu guru maupun kitab yang dipelajari.
Adab adalah pangkal keberkahan. Tanpa adab, ilmu yang didapatkan akan menjadi kabur dan cepat hilang. Para salafus shalih telah mengajarkan bahwa keberkahan ilmu ada dalam kerendahan hati dan kesabaran dalam menghadapi proses pembelajaran yang panjang dan berliku.
Proses ini memerlukan kesabaran (sabr) yang luar biasa. Ilmu bahasa Arab tidak dapat dikuasai secara instan. Keberkahan terlihat ketika seorang pelajar gigih melalui fase-fase sulit—dari menghafal mutun (teks dasar) hingga memahami syarah (komentar)—tanpa merasa putus asa. Setiap tetes keringat dan upaya yang dilandasi niat mencari keridhaan Allah akan membuahkan barakah dalam bentuk ketenangan batin dan kemudahan dalam penguasaan materi yang lebih lanjut.
III. Mekanisme Memperoleh Barakah dalam Hifzhul Ilm (Menjaga Ilmu)
Ilmu yang berkah adalah ilmu yang menetap dan tidak mudah sirna. Upaya untuk "menjaga" ilmu (hifzhul ilm) adalah sebuah proses spiritual-intelektual yang melibatkan berbagai aspek kehidupan:
1. Taqwa dan Menjauhi Maksiat
Imam Syafi'i pernah mengeluhkan kesulitan menghafal kepada gurunya, Waki' bin Al-Jarrah. Waki' menasihatinya untuk meninggalkan maksiat. Kisah ini menegaskan bahwa keberkahan ilmu berbanding lurus dengan ketakwaan (taqwa). Dosa adalah polutan spiritual yang mengeruhkan hati, tempat ilmu seharusnya menetap. Semakin bersih hati seseorang dari dosa, semakin mudah ia menerima, memahami, dan mempertahankan ilmu.
Dalam konteks modern, maksiat juga bisa berupa maksiat mata, telinga, atau hati yang dilakukan melalui teknologi. Ilmu yang dicari sambil melanggar batasan syariat akan kehilangan sinarnya. Menghafal Al-Qur'an dan memahami kaidah-kaidah ilmu sambil menjaga diri dari hal-hal yang diharamkan adalah prasyarat utama untuk menjamin keberkahan menetap dalam memori dan pemahaman.
2. Mengulang dan Mengajar (Mudarasah dan Tadris)
Keberkahan ilmu juga datang melalui pengulangan yang konsisten (mudarasah) dan pengajaran kepada orang lain (tadris). Ilmu adalah harta yang jika tidak digunakan akan lenyap. Ketika seseorang mengulang pelajaran, ia mengokohkan fondasi kognitifnya. Ketika ia mengajarkannya, ia menguji pemahamannya dan secara simultan menyebarkan kebaikan, yang merupakan salah satu bentuk amal saleh yang diberkahi.
Aktivitas tadris, bahkan dalam skala kecil seperti mengajarkan satu bab nahwu kepada teman, adalah investasi keberkahan. Keberkahan ini bersifat timbal balik; proses mengajar seringkali memperkuat pemahaman pengajar melebihi pemahaman pelajar. Ulama terdahulu sering mengatakan, "Barang siapa mengajarkan ilmunya, maka ilmunya akan kekal." Ini adalah manifestasi nyata dari Barakallah fii Ilmi.
IV. Barakah dalam Sistem Pendidikan Tradisional Arab-Islam
Sistem pendidikan Islam yang berakar kuat pada tradisi Arab telah dirancang untuk memaksimalkan keberkahan, bukan hanya efisiensi. Madrasah, pondok pesantren, dan universitas klasik seperti Al-Azhar di Kairo atau Zaituna di Tunisia, mengoperasikan mekanisme keberkahan yang khas:
1. Sanad dan Kontinuitas Ilmu
Sanad adalah rantai transmisi ilmu dari guru ke guru, yang puncaknya terhubung kembali kepada Nabi Muhammad SAW. Sanad bukan sekadar sejarah akademik; ia adalah saluran spiritual yang membawa barakah dari sumber aslinya. Mempelajari ilmu bahasa Arab dan syariah melalui sanad yang sahih berarti mendapatkan ilmu yang telah disaring, diuji, dan diberkahi oleh ratusan generasi ulama yang saleh.
Keberkahan sanad memastikan bahwa ilmu tersebut tidak tercampur dengan hawa nafsu atau ideologi yang menyimpang. Ia memberikan legitimasi spiritual dan intelektual. Proses mendapatkan sanad—seringkali melalui ijâzah (izin mengajar atau meriwayatkan)—adalah ritual yang menekankan bahwa ilmu adalah amanah suci yang harus dijaga kemurniannya.
2. Prioritas Ilmu Dasar (Mutun)
Kurikulum tradisional menuntut pelajar menguasai teks-teks dasar (mutun) secara hafalan sebelum beralih ke komentar (syarah). Teks-teks ini, seperti Al-Ajurrumiyyah dalam nahwu atau Matan Abi Syuja' dalam fiqih, disusun dengan ringkas dan padat. Keberkahan dalam mutun terletak pada kompresi informasi esensial yang, ketika dihafal dan dipahami, menyediakan kerangka berpikir yang kuat.
Meskipun proses menghafal terasa melelahkan, ia membersihkan akal dari distraksi dan melatih disiplin mental. Ilmu yang dibangun di atas fondasi mutun yang kokoh cenderung lebih berkah dan bertahan lama dibandingkan dengan ilmu yang didapatkan secara fragmentaris atau instan melalui ringkasan modern.
V. Studi Kasus Historis: Manifestasi Barakah Fii Ilmi
Sejarah peradaban Islam dipenuhi dengan contoh nyata dari ilmu yang diberkahi. Keberkahan ini seringkali menghasilkan dampak sosial, intelektual, dan spiritual yang jauh melampaui usia hidup sang ilmuwan.
1. Keberkahan Karya Imam Nawawi
Imam Nawawi (Muhyiddin Abu Zakariyya Yahya bin Syaraf an-Nawawi) adalah contoh paripurna ilmu yang diberkahi. Beliau hidup singkat (hanya 45 tahun), namun warisan intelektualnya, seperti Riyadhus Shalihin, Al-Arba'in an-Nawawiyyah, dan Al-Minhaj (syarah Shahih Muslim), telah menjadi rujukan utama bagi miliaran Muslim selama berabad-abad.
Keberkahan karyanya terletak pada penerimaan universal (qabul) yang diberikan oleh umat. Karya-karya beliau dikenal karena keikhlasan penulisnya, kejelasan bahasanya, dan relevansi spiritualnya. Meskipun banyak ulama lain yang hidup lebih lama dan menulis lebih banyak, karya Imam Nawawi memiliki keunikan berupa keberkahan waktu dan pengaruh yang tiada banding. Ini membuktikan bahwa produktivitas intelektual tidak hanya diukur dari kuantitas, tetapi dari tingkat keberkahan yang menyertainya.
2. Kontribusi Penerjemahan di Era Abbasiyah
Pada masa keemasan Abbasiyah, gerakan penerjemahan besar-besaran, terutama di Baitul Hikmah (House of Wisdom) di Baghdad, menunjukkan keberkahan dalam transfer ilmu. Penerjemah ulung, yang sebagian besar menguasai bahasa Arab, Persia, Yunani, dan Suryani, mampu mengasimilasi dan mengembangkan warisan filsafat, kedokteran, dan matematika dunia kuno.
Keberkahan di sini terletak pada kemampuan mereka bukan hanya menerjemahkan secara harfiah, tetapi memadukan konsep-konsep asing dengan kerangka berpikir Islam. Ilmu yang mereka dapatkan—meskipun berasal dari sumber non-Islam—menjadi berkah karena digunakan untuk memajukan peradaban Islam dan kemanusiaan. Ilmu tidak menjadi sekadar tiruan, melainkan fondasi bagi inovasi baru seperti Aljabar (Al-Khawarizmi) dan kedokteran modern (Ibn Sina). Bahasa Arab menjadi medium utama dari keberkahan intelektual ini.
VI. Mendalami Tujuh Pilar Keberkahan dalam Ilmu Lughah
Untuk mencapai level Barakallah fii Ilmi dalam konteks ilmu Arab, seorang pelajar harus menginternalisasi tujuh pilar inti:
1. Barakah dalam Ikhlas (Ketulusan Niat)
Ikhlas adalah pondasi spiritual. Ilmu bahasa Arab harus dipelajari murni untuk memahami firman Allah dan Sunnah Rasul-Nya. Setiap jam yang dihabiskan untuk menghafal mutun atau menganalisis puisi pra-Islam harus dipertimbangkan sebagai ibadah (taqarrub ila Allah). Ketika niat murni, Allah akan memudahkan jalan dan menanamkan barakah dalam hasil belajar, menjadikannya bermanfaat di dunia dan bekal di akhirat.
2. Barakah dalam Sabar (Ketekunan)
Ilmu adalah lautan yang dalam. Bahasa Arab memiliki kedalaman tata bahasa, morfologi, dan semantik yang menuntut kesabaran bertahun-tahun. Keberkahan diberikan kepada mereka yang tidak menyerah pada kesulitan awal, yang menerima bahwa penguasaan ilmu adalah proses bertahap. Kesabaran ini diukur dari konsistensi belajar, meskipun hasilnya belum terlihat nyata.
3. Barakah dalam Tadabbur (Kontemplasi)
Ilmu bahasa Arab yang berkah adalah ilmu yang membawa pelajarnya pada kontemplasi. Ketika membaca Al-Qur'an, pelajar yang diberkahi akan merenungkan keindahan i'jaz (kemukjizatan) bahasa, bukan sekadar makna literal. Tadabbur mengubah ilmu dari informasi kognitif menjadi nutrisi spiritual.
4. Barakah dalam Tazkiyah (Penyucian Diri)
Penyucian diri mencakup etika perilaku dan menjaga hati dari penyakit spiritual (iri, dengki, ujub). Ilmu yang disiram dengan kotoran hati akan layu. Tazkiyah an-nafs adalah pupuk yang memungkinkan ilmu Arab tumbuh subur dan mengeluarkan buah keberkahan.
5. Barakah dalam Waqt (Manajemen Waktu)
Waktu adalah wadah ilmu. Keberkahan waktu (Barakatul Waqt) berarti mampu menyelesaikan pekerjaan yang banyak dalam waktu yang relatif singkat, atau yang paling penting, mampu menggunakan waktu luang untuk hal-hal yang paling bermanfaat. Penuntut ilmu yang diberkahi mampu menyeimbangkan hak Allah, hak keluarga, dan hak ilmu tanpa ada yang terabaikan.
6. Barakah dalam Hifzh (Daya Ingat)
Meskipun daya ingat adalah karunia bawaan, keberkahan dapat meningkatkan kualitasnya. Daya ingat yang berkah bukan hanya sekadar menghafal cepat, tetapi mampu mengingat hal-hal yang benar-benar penting dan bermanfaat, serta mampu mengaitkannya dengan konteks yang relevan. Salah satu cara mendapatkannya adalah dengan menghormati ilmu dan menghindari penggunaannya untuk tujuan yang sia-sia.
7. Barakah dalam Nafaqah (Pengeluaran untuk Ilmu)
Pengeluaran untuk ilmu, baik berupa pembelian buku, biaya pendidikan, atau sumbangan untuk lembaga ilmu, harus dilihat sebagai investasi spiritual. Keberkahan akan mengalir kembali kepada penuntut ilmu yang tidak pelit dalam membiayai pendidikannya, karena ia mengakui nilai luhur dari apa yang sedang ia kejar. Kekayaan yang diinvestasikan dalam ilmu yang berkah akan menjadi sedekah jariyah.
Gambar: Kaligrafi Arab Melambangkan Sumber Pengetahuan.
VII. Barakah dalam Disiplin Ilmu Turunan Arab
Keberkahan fii ilmi arab tidak berhenti pada penguasaan tata bahasa dan sastra, tetapi meluas ke disiplin ilmu yang menjadikannya sebagai fondasi. Setiap disiplin ilmu ini memiliki cara unik untuk menarik keberkahan:
1. Fiqih (Yurisprudensi Islam)
Keberkahan dalam fiqih adalah kemampuan untuk menerapkan hukum syariat dengan bijaksana (hikmah) dan memberikan kemudahan (taysir) tanpa melanggar batas. Fiqih yang berkah menghasilkan mujtahid yang mampu menyelesaikan masalah kontemporer dengan solusi yang membawa kedamaian dan keadilan, bukan perselisihan yang kaku. Hal ini sangat bergantung pada penguasaan mendalam atas teks-teks fiqih Arab kuno dan kemampuan memilah antara yang bersifat tetap (tsawabit) dan yang dapat berubah (mutaghayyirat).
Studi yang diberkahi dalam fiqih adalah studi yang menuntun kepada kesatuan umat, bukan perpecahan madzhab. Ilmuwan yang diberkahi oleh Allah mampu menengahi perbedaan pendapat (khilafiyyah) dengan sikap yang inklusif, mengakui bahwa keragaman interpretasi seringkali merupakan kekayaan, bukan kekurangan.
2. Ilmu Hadits (Riwayat Kenabian)
Keberkahan dalam ilmu hadits adalah kemampuan untuk memverifikasi keotentikan (shahih), memahami konteks, dan mengaitkan hadits dengan Al-Qur'an secara harmonis. Studi hadits sangat bergantung pada bahasa Arab yang ketat—mulai dari analisis struktur sanad hingga pemahaman makna tersembunyi (dhabth) dari setiap kata yang diucapkan Nabi. Ilmu hadits yang diberkahi memastikan bahwa ajaran Nabi disampaikan tanpa distorsi, menjamin kemurnian ajaran Islam.
Proses panjang menghafal hadits dan mempelajari biografi perawi (rijal al-hadits) akan terasa ringan jika disertai barakah. Keberkahan inilah yang membantu para ahli hadits seperti Imam Bukhari mengumpulkan ribuan hadits dengan tingkat ketelitian yang hampir mustahil untuk dicapai oleh manusia biasa.
3. Tafsir dan Ulumul Qur'an (Ilmu Al-Qur'an)
Inilah puncak dari keberkahan ilmu bahasa Arab. Ilmu tafsir yang diberkahi memungkinkan seseorang untuk menarik petunjuk ilahi yang relevan untuk setiap zaman. Keberkahan dalam tafsir terletak pada pemahaman lapisan makna—dari makna literal (zahir) hingga makna mendalam (batin), tanpa jatuh pada penafsiran yang menyimpang (ta'wil fasid).
Seorang mufasir yang ilmunya diberkahi akan selalu kembali kepada teks Arabnya dengan kerendahan hati. Ia tidak akan memaksakan ideologinya ke dalam teks, melainkan membiarkan teks suci itu menuntun pemahamannya. Keberkahan di sini adalah jaminan bahwa pemahaman Al-Qur'an akan membawa ketenangan dan hidayah yang permanen.
VIII. Tantangan Modern dan Upaya Memelihara Keberkahan
Di era modern, menuntut ilmu Arab menghadapi tantangan yang berbeda. Kecepatan informasi, kemudahan akses terjemahan instan, dan godaan gelar akademis seringkali mengancam keberkahan ilmu.
1. Ancaman Digitalisasi dan Fragmentasi Ilmu
Akses mudah ke PDF, kuliah online, atau ringkasan digital seringkali menghasilkan ilmu yang instan namun fragmentaris. Penuntut ilmu mungkin mendapatkan informasi yang luas, tetapi tanpa kedalaman dan koneksi spiritual yang diberikan oleh proses belajar tradisional (duduk di hadapan guru, membaca kitab secara fisik).
Untuk memelihara barakah, penuntut ilmu kontemporer harus menggabungkan kemudahan modern dengan etika tradisional. Menggunakan teknologi untuk mencari data, tetapi tetap menghormati sanad, meluangkan waktu untuk mengkaji kitab fisik, dan membangun hubungan yang kuat dengan guru adalah cara untuk memastikan ilmu tetap memiliki akar dan keberkahan.
2. Pengujian Keikhlasan di Ruang Publik
Media sosial seringkali menjadi panggung bagi pameran intelektual (riya'). Ilmu yang dipelajari dengan niat ikhlas, dapat dicabut keberkahannya ketika digunakan untuk mencari ketenaran atau membela diri secara agresif di ruang publik. Keberkahan menuntut kerahasiaan amal dan kerendahan hati dalam penyampaian. Ilmu yang berkah akan menghasilkan ulama yang dicintai karena kesantunannya, bukan karena ketajaman argumennya yang merendahkan orang lain.
Keberkahan fii ilmi arab modern juga berarti kemampuan menggunakan kecanggihan bahasa Arab untuk berdialog dengan peradaban lain, menjelaskan prinsip-prinsip Islam secara universal, dan membedakan antara tradisi abadi dan konteks budaya temporal.
IX. Kesinambungan Keberkahan: Pewarisan Ilmu
Keberkahan sejati dari ilmu—terutama ilmu Arab—adalah ketika ia tidak berhenti pada diri sendiri, melainkan mengalir kepada orang lain (faidah muta'addiyah). Ilmu yang berkah akan melahirkan generasi baru yang lebih baik dan lebih berilmu.
1. Ilmu Sebagai Sedekah Jariyah
Ilmu yang berkah adalah salah satu dari tiga amalan yang pahalanya terus mengalir setelah kematian seseorang. Ketika seseorang menyebarkan ilmu bahasa Arab, ia sesungguhnya sedang menanam benih yang pahalanya akan terus tumbuh. Setiap huruf Al-Qur'an yang dibaca oleh muridnya, setiap hukum fiqih yang diamalkan, akan menjadi bagian dari catatan amal guru tersebut.
Dorongan untuk menjadi seorang muslih (pembaharu) dan mudarris (pengajar) adalah puncak dari pemahaman Barakallah fii Ilmi. Ilmu harus menjadi jembatan menuju perbaikan umat, bukan sekadar hobi intelektual. Ilmu bahasa Arab, sebagai kunci peradaban, harus disebarkan dengan rasa tanggung jawab yang tinggi.
2. Keberkahan dalam Penggunaan Harta untuk Ilmu
Dalam konteks modern, kita harus memahami bahwa keberkahan ilmu juga berhubungan dengan keberlanjutan lembaga pendidikan. Mendukung keuangan institusi yang mengajarkan bahasa Arab dan ilmu-ilmu Islam, mewakafkan kitab, atau menyantuni penuntut ilmu yang berdedikasi adalah cara praktis untuk memastikan barakah terus mengalir dalam siklus pembelajaran.
Ketika masyarakat menghargai dan mendukung para penuntut dan penyebar ilmu, maka ilmu itu akan dihormati dan diberkahi secara kolektif. Keberkahan ini bersifat menyeluruh, mencakup pelajar, guru, dan komunitas yang menopangnya.
X. Refleksi Mendalam: Barakah dan Ketenangan Jiwa
Pada akhirnya, indikator keberkahan yang paling nyata bukanlah pengakuan publik atau banyaknya gelar, melainkan ketenangan jiwa (sakinah) dan kedekatan dengan Tuhan yang dihasilkan oleh ilmu tersebut. Ilmu yang berkah membawa pelakunya semakin tunduk, semakin khusyuk dalam ibadah, dan semakin rendah hati dalam berinteraksi sosial.
Seorang ahli bahasa Arab yang ilmunya berkah akan merasa damai ketika membaca teks-teks suci. Ia tidak menggunakan pengetahuannya yang luas untuk mencari-cari kesalahan orang lain, melainkan untuk menemukan solusi dan membangun jembatan pemahaman. Ilmu bahasa Arab yang dipelajari dengan niat mencari barakah akan menjadi obat bagi hati yang gundah.
Proses panjang menguasai seluk-beluk ilmu lughah—yang mencakup aspek semantik, sejarah, dan sosiolinguistik—membutuhkan penyerahan total. Ketika penyerahan ini disertai dengan keikhlasan, maka barakah akan mempermudah jalan yang sulit, mengubah kelelahan menjadi kenikmatan ibadah, dan menjadikan ilmu yang diperoleh sebagai lentera yang tidak pernah padam.
Pencarian ilmu bahasa Arab adalah sebuah perjalanan tanpa akhir menuju pemahaman yang lebih dalam tentang ciptaan dan wahyu. Doa Barakallah fii Ilmi adalah permohonan agar Allah tidak hanya menambah pengetahuan kita (kuantitas), tetapi juga meningkatkan kualitas, manfaat, dan daya tahannya (kualitas spiritual), sehingga ilmu tersebut menjadi mata air kebaikan yang abadi, membersihkan jiwa dan mencerahkan akal.
Setiap penuntut ilmu yang gigih, yang menjaga adabnya kepada guru, yang menjauhi maksiat, dan yang terus menerus memurnikan niatnya, sesungguhnya sedang berada di jalur yang diberkahi. Mereka akan menemukan bahwa kesulitan belajar akan sirna digantikan oleh manisnya pemahaman (halawatul ilm). Ilmu yang mereka dapatkan akan melampaui batasan waktu, menjadi warisan yang terus memberikan manfaat bagi dunia, sejalan dengan makna hakiki dari keberkahan.
Keberkahan ini adalah janji bagi mereka yang menjadikan ilmu, terutama ilmu yang terhubung langsung dengan sumber wahyu dalam bahasa Arab, sebagai jembatan menuju keridhaan Ilahi. Ilmu yang didapatkan dengan keringat, air mata, dan keikhlasan yang tulus akan selalu memiliki bobot dan sinar yang berbeda dari ilmu yang hanya bersifat akademis semata. Ini adalah ilmu yang dijiwai oleh barakah.
Dengan demikian, Barakallah fii Ilmi adalah sebuah etos, sebuah metodologi, dan sebuah harapan bahwa investasi waktu dan upaya dalam mempelajari bahasa peradaban ini akan menghasilkan buah yang manis, tidak hanya di kehidupan ini, tetapi juga di hari akhirat. Proses ini memerlukan konsistensi spiritual yang tiada henti, menjaga api niat tetap menyala di tengah badai godaan dan tantangan modernisasi. Ilmu adalah cahaya, dan keberkahan adalah oli yang menjaga cahaya itu tetap terang benderang.
Studi yang terfokus pada tata bahasa (nahwu) dan morfologi (sharaf) dalam bahasa Arab, misalnya, harus dilihat sebagai proses penyucian pemikiran. Setiap kaidah yang dipelajari adalah alat untuk menjaga keutuhan makna wahyu. Ilmu yang tidak berkah seringkali menjadi pedang yang tajam, digunakan untuk menyerang dan menghakimi. Sementara ilmu yang berkah, meskipun tajam dalam analisisnya, digunakan dengan kelembutan (rifq) dan rahmat, mencerminkan sifat dasar ajaran Islam yang Rahmatan lil 'Alamin.
Keutamaan barakah dalam ilmu juga terlihat pada kapasitas ilmuwan untuk berinteraksi dengan berbagai disiplin ilmu lainnya. Ilmuwan yang diberkahi tidak akan terkotak-kotak dalam spesialisasi sempit. Ia akan mampu menghubungkan filologi Arab dengan sosiologi, sejarah, atau bahkan sains modern, menunjukkan bahwa bahasa Arab adalah mata rantai yang menghubungkan seluruh pengetahuan yang relevan dengan kemanusiaan. Kemampuan interdisipliner ini adalah tanda yang jelas dari keluasan dan keberkahan pemahaman yang dianugerahkan oleh Allah.
Mengakhiri refleksi ini, kita kembali pada inti ajaran: ilmu adalah perjalanan spiritual yang dibingkai oleh adab dan niat. Ketika adab dan niat ini terpelihara, maka kita dapat dengan yakin mengharapkan anugerah Barakallah fii Ilmi, sebuah anugerah yang jauh lebih berharga daripada semua sertifikat dan gelar yang pernah didapatkan. Ilmu yang berkah adalah warisan Nabi, yang menjanjikan kehidupan yang bermakna dan akhir yang baik.
Penting untuk diingat bahwa keberkahan ilmu bukanlah sebuah formula rahasia yang hanya dapat diakses oleh segelintir orang. Ia adalah hasil dari rutinitas dan disiplin yang konsisten. Keberkahan ada dalam bangun pagi untuk mengulang hafalan, dalam kesabaran ketika menghadapi teks yang sulit, dan dalam kerelaan hati untuk mengakui ketidaktahuan. Setiap detail kecil dalam proses belajar bahasa Arab, mulai dari menghafal wazan hingga memahami i'rab, adalah peluang untuk menarik barakah.
Dalam konteks penguasaan teks-teks kuno bahasa Arab, misalnya, keberkahan terlihat ketika seorang pelajar mampu memahami diksi yang digunakan oleh penulis abad ke-9 Masehi tanpa kehilangan konteks spiritualnya. Teks-teks tersebut, yang ditulis dalam bahasa Arab yang kaya dan nuansanya, membutuhkan lebih dari sekadar kamus; ia membutuhkan cahaya pemahaman yang datang dari kebersihan jiwa.
Proses pencarian barakah juga menuntut pelajar untuk mencari keaslian. Ini berarti memprioritaskan sumber primer (kitab-kitab asli dalam bahasa Arab) dibandingkan ringkasan modern yang mungkin menghilangkan esensi spiritualnya. Keberkahan seringkali bersemayam pada otentisitas dan kedalaman, bukan pada kemudahan dan kecepatan.
Lebih jauh lagi, keberkahan ilmu Arab tercermin dalam ketahanan mental. Menjadi seorang thalib al-ilm (penuntut ilmu) sejati adalah peran yang menuntut pengorbanan sosial dan finansial yang signifikan. Ilmu yang diberkahi akan memberikan kekuatan batin untuk menahan godaan duniawi dan fokus pada tujuan akhir. Ini adalah ketahanan yang memungkinkan seseorang untuk terus belajar hingga akhir hayat, sebagaimana yang dicontohkan oleh para ulama yang bahkan di usia senja pun masih mengajarkan kitab-kitab dasar.
Jika kita meninjau kembali sejarah intelektual Muslim, kita akan melihat bahwa masa-masa paling gemilang adalah masa-masa ketika fokus pada barakah dalam ilmu sangat ditekankan. Ketika institusi pendidikan mengutamakan tazkiyah sebelum pengajaran materi, ketika guru dihormati bukan hanya karena kepintarannya tetapi karena ketakwaannya, maka ilmu yang dihasilkan akan menjadi lentera bagi dunia. Degradasi ilmu seringkali dimulai ketika fokus bergeser dari keberkahan spiritual ke kuantitas material atau pengakuan semu.
Oleh karena itu, bagi setiap individu yang sedang berjuang menaklukkan kompleksitas Nahwu dan Sharaf, yang berupaya menghafal Alfiyyah Ibn Malik, atau yang sedang berusaha menyelami samudra Lisan al-Arab karya Ibn Manzur, ingatlah bahwa usaha Anda tidak hanya diukur dari penguasaan teknis, tetapi dari seberapa besar barakah yang Anda tarik ke dalam proses tersebut. Raihlah barakah melalui etika, keikhlasan, dan konsistensi, maka ilmu bahasa Arab akan menjadi teman terbaik Anda di dunia dan syafaat di akhirat.
Setiap huruf yang dipelajari, setiap kata yang dianalisis, dan setiap ayat yang direnungkan dengan dasar niat yang murni dan adab yang tinggi akan menjadi sumber keberkahan yang tak terhingga. Ilmu yang berkah akan menjadi pengikat yang kuat antara hamba dan Penciptanya, menuntun setiap langkah kehidupan menuju kesempurnaan spiritual dan intelektual. Ini adalah warisan teragung yang bisa ditinggalkan seorang penuntut ilmu.
Dalam ilmu Balaghah (Retorika Arab), keberkahan memberikan pemahaman yang tajam tentang mengapa suatu kata dipilih oleh Al-Qur'an, dan bagaimana susunan kalimat (uslub) tertentu memiliki dampak psikologis dan spiritual yang mendalam. Tanpa barakah, Balaghah hanya akan menjadi latihan akademis yang kering; dengan barakah, ia menjadi alat untuk membuka keindahan sastra Ilahi yang tak tertandingi.
Proses ini menuntut penuntut ilmu untuk mengosongkan diri dari prasangka (tajarrud). Ketika mempelajari ilmu bahasa Arab, seseorang harus bersedia untuk dibimbing sepenuhnya oleh kaidah-kaidah yang telah ditetapkan dan interpretasi ulama yang saleh. Ilmu yang berkah tidak menerima pemikiran yang arogan, yang menganggap dirinya lebih pintar dari generasi sebelumnya.
Keberkahan juga berhubungan dengan interaksi sosial. Bagaimana seorang penuntut ilmu menggunakan pengetahuan bahasa Arabnya untuk memecahkan konflik, mempererat ukhuwah, dan memberi manfaat kepada masyarakat luas? Ilmu yang berkah akan selalu mengarah pada konstruksi dan persatuan, tidak pernah pada penghancuran atau perpecahan. Jika ilmu yang dipelajari justru menciptakan kesombongan dan merenggangkan hubungan, maka patut dipertanyakan, di mana letak barakah di dalamnya?
Akhirnya, doa Barakallah fii Ilmi adalah pengakuan bahwa ilmu adalah rezeki dari Allah. Seperti rezeki lainnya, ia perlu disyukuri dan dijaga. Rasa syukur terhadap ilmu diwujudkan melalui pengamalan, penyebaran, dan pengakuan terhadap sumbernya. Inilah spiral keberkahan: semakin kita bersyukur, semakin ilmu kita bertambah keberkahannya, dan semakin besar manfaat yang bisa kita tebar kepada alam semesta.
Pencapaian tertinggi dalam menuntut ilmu Arab bukanlah seberapa banyak kitab yang dibaca, melainkan seberapa dalam ilmu tersebut telah mengubah diri menjadi pribadi yang lebih baik, lebih bertakwa, dan lebih bermanfaat. Keberkahan menjamin kualitas transformatif ini, menjadikannya investasi yang nilainya kekal abadi, melampaui segala batas waktu dan ruang. Inilah hakikat sejati dari "Barakallah fii Ilmi."