Mu'awiyah bin Abu Sufyan

Arsitek Damaskus dan Pendiri Dinasti Umayyah: Transformasi Khilafah menjadi Mulk

Pendahuluan: Transisi Sejarah dan Sosok Kontroversial

Sejarah Islam awal tidak dapat dipisahkan dari narasi kompleks mengenai kekuasaan, legitimasi, dan suksesi. Di tengah pusaran ini, Mu'awiyah bin Abu Sufyan muncul sebagai tokoh yang tidak hanya bertahan dalam gelombang kekacauan politik pasca-Khulafaur Rasyidin, tetapi juga sebagai arsitek utama yang merancang ulang peta politik Timur Tengah. Kelahirannya dari suku Quraisy Bani Umayyah, dan statusnya sebagai putra Abu Sufyan, musuh gigih Nabi Muhammad sebelum penaklukan Mekah, telah menempatkannya dalam sorotan kritik dan pujian abadi.

Mu'awiyah mewakili pergeseran paradigmatik. Ia adalah jembatan yang menghubungkan idealisme pemerintahan Khulafaur Rasyidin yang berpusat di Madinah dengan realisme politik dan struktur kerajaan yang berpusat di Damaskus. Di bawah pemerintahannya, bentuk pemerintahan Islam berubah secara fundamental dari sistem yang didasarkan pada musyawarah (syura) dan konsensus terbatas menjadi sistem monarki turun-temurun (mulk), sebuah perubahan yang secara teologis dan politis terus diperdebatkan hingga kini. Memahami Mu'awiyah adalah memahami bagaimana kerajaan Islam Raya pertama terbentuk.

Peran Mu'awiyah tidak dimulai dari kekuasaan tertinggi. Ia mengukir jalannya melalui birokrasi dan administrasi militer di wilayah Syam (Suriah dan sekitarnya), sebuah wilayah yang ia kelola dengan kecerdasan diplomatik dan ketahanan strategis selama hampir dua dekade sebelum merebut tampuk kekhalifahan. Strategi regional yang ia terapkan di Syam menjadi fondasi utama bagi kemampuannya menantang otoritas pusat di Madinah dan Kufah selama masa Fitnah Besar.

Penting untuk dicatat bahwa dalam catatan sejarah, Mu'awiyah sering digambarkan dengan sifat *hilm* (kelemahlembutan atau kesabaran politik), kualitas yang memungkinkan dia untuk mencapai tujuan politiknya melalui negosiasi, insentif finansial, dan psikologi massa, daripada selalu mengandalkan kekuatan militer murni. Meskipun demikian, tindakannya setelah Perang Siffin dan negosiasi yang berujung pada penyerahan kekuasaan oleh Hasan bin Ali tetap menjadi titik fokus perdebatan mengenai moralitas politiknya.

Latar Belakang Keluarga dan Masa Jahiliah

Mu'awiyah adalah putra Abu Sufyan bin Harb dan Hindun binti Utbah, dua tokoh yang sangat menentang Islam di Mekah. Abu Sufyan, seorang pemimpin senior Bani Abd Syams dari suku Quraisy, memimpin perlawanan Mekah melawan Nabi Muhammad di Uhud dan Khandaq. Hindun, ibunya, terkenal karena insiden di Uhud di mana ia mengunyah hati paman Nabi, Hamzah bin Abdul Muthalib, sebagai bentuk balas dendam. Latar belakang ini memberikan Mu'awiyah stigma awal yang harus ia atasi sepanjang karirnya. Ia lahir kira-kira 15 hingga 20 tahun sebelum Hijrah.

Meskipun dibesarkan di lingkungan yang memusuhi Islam, Mu'awiyah, bersama ayahnya, masuk Islam pada saat *Fath Mekah* (Penaklukan Mekah). Meskipun keislamannya datang terlambat, Mu'awiyah segera beradaptasi dengan tatanan baru. Nabi Muhammad SAW dikenal memiliki kebijaksanaan untuk merangkul para pemimpin baru dan memanfaatkan bakat administratif mereka. Mu'awiyah adalah salah satu dari mereka yang segera diberi peran.

Fakta bahwa Mu'awiyah berasal dari Bani Umayyah, cabang utama dari Quraisy, memberinya keunggulan klan. Bani Hasyim (klan Nabi) dan Bani Umayyah telah lama bersaing dalam perebutan pengaruh di Mekah. Setelah wafatnya Nabi, persaingan ini, meskipun terselubung oleh kesatuan Islam, tetap menjadi arus bawah yang membentuk dinamika suksesi, terutama setelah masa kekhalifahan Utsman bin Affan, yang juga berasal dari Bani Umayyah.

Masa Awal Karir: Administrasi dan Penaklukan Syam

Menjadi Juru Tulis Wahyu dan Awal Militer

Setelah memeluk Islam, Mu'awiyah dikenal karena kecerdasannya. Ia menjabat sebagai salah satu juru tulis (katib) Nabi Muhammad, sebuah peran yang menunjukkan kepercayaannya dan memberinya pengalaman mendalam dalam tata kelola dan surat-menyurat kenegaraan. Ini memberinya pemahaman langsung tentang prinsip-prinsip syariat dan praktik administrasi Negara Islam yang baru lahir.

Di masa Khulafaur Rasyidin, Mu'awiyah tidak langsung menonjol di Madinah. Peran besarnya dimulai di bawah Kekhalifahan Abu Bakar dan Umar bin Khattab. Selama penaklukan Syam, ia bertempur bersama saudaranya, Yazid bin Abi Sufyan, yang memimpin salah satu dari empat kontingen Muslim utama. Mu'awiyah menunjukkan keberanian dan kemampuan taktis yang signifikan dalam pertempuran seperti Yarmuk.

Di Bawah Kekhalifahan Umar: Konsolidasi Kekuatan di Syam

Setelah Yazid bin Abi Sufyan meninggal karena wabah di Syam, Khalifah Umar bin Khattab membuat keputusan penting yang membentuk sejarah kekhalifahan. Umar menunjuk Mu'awiyah untuk menggantikan saudaranya sebagai Gubernur Yordania, dan kemudian, sebagai Gubernur seluruh wilayah Syam (termasuk Damaskus, Yordania, dan Palestina) pada sekitar 639 M. Pengangkatan ini bukanlah kebetulan; Umar dikenal sangat teliti dalam memilih pejabat berdasarkan kompetensi, bukan hanya garis keturunan atau masa keislaman.

Keputusan Umar memberikan Mu'awiyah landasan kekuasaan yang tak tertandingi. Selama masa pemerintahan Umar dan Utsman, Mu'awiyah memimpin Syam selama kurang lebih dua puluh tahun. Ia membangun loyalitas yang teguh dari suku-suku Arab lokal dan veteran perang yang menetap di sana. Syam, berbeda dengan Irak (Kufah dan Basrah) yang penuh intrik politik dan perpecahan klan, menjadi basis yang stabil, loyal, dan terorganisir di bawah kepemimpinan Mu'awiyah.

Inovasi Angkatan Laut: Menantang Bizantium

Salah satu pencapaian terbesar Mu'awiyah yang sering diabaikan dalam konteks politiknya adalah pembangunan Angkatan Laut Islam. Sebelum Mu'awiyah, Muslim menghindari perang laut. Namun, Mu'awiyah menyadari bahwa selama Kekaisaran Bizantium masih menguasai Mediterania, pesisir Syam akan selalu terancam. Ia berulang kali meminta izin Khalifah Umar untuk membangun armada, tetapi Umar menolak karena khawatir akan risiko pelayaran.

Kapal Perang Islam Awal Armada Syam

Simbolisasi Angkatan Laut yang dibangun Mu'awiyah di Syam, memungkinkan perluasan ke Siprus dan pertempuran laut melawan Bizantium.

Ketika Utsman bin Affan menjadi Khalifah, ia memberikan izin kepada Mu'awiyah. Dengan cepat, Mu'awiyah membangun armada dan melancarkan serangan terhadap target Bizantium, yang paling terkenal adalah penaklukan Siprus (649 M). Kemenangan angkatan laut Muslim pertama, Pertempuran Tiang Kapal (*Dhat as-Sawari*) pada tahun 655 M, menghancurkan dominasi maritim Bizantium di Mediterania dan menandai Syam sebagai kekuatan militer laut yang tidak bisa diremehkan. Keberhasilan ini mengikat loyalitas tentara dan penduduk Syam secara pribadi kepada Mu'awiyah.

Di Damaskus, Mu'awiyah menciptakan sebuah mesin administrasi yang terpisah dan efisien. Dia tidak hanya memungut pajak dan mengatur militer, tetapi juga berinteraksi langsung dengan kaisar Bizantium dalam gencatan senjata dan negosiasi perbatasan. Ini memberinya pengalaman sebagai kepala negara yang sejajar dengan penguasa besar, jauh sebelum ia menjadi Khalifah sendiri.

Masa Fitnah Besar: Konflik dengan Ali bin Abi Thalib

Pembunuhan Utsman dan Tuntutan Balas Dendam

Kekhalifahan Utsman bin Affan berakhir tragis dengan pemberontakan dan pembunuhannya pada tahun 656 M. Peristiwa ini mengguncang fondasi negara Islam. Ketika Ali bin Abi Thalib diangkat menjadi Khalifah, Mu'awiyah menolak untuk mengakui otoritas Ali. Penolakan ini tidak didasarkan pada penentangan terhadap legitimasi Ali sebagai sepupu Nabi, melainkan pada tuntutan politik yang mendesak: menuntut balas atas darah Khalifah Utsman, kerabatnya dari Bani Umayyah.

Mu'awiyah memanfaatkan sentimen publik, terutama di Syam, yang melihat Utsman sebagai korban ketidakadilan. Dia memajang baju Utsman yang berlumuran darah dan jari-jari istrinya yang terpotong di masjid Damaskus, sebuah strategi psikologis yang efektif untuk membangkitkan semangat balas dendam dan loyalitas Syam. Bagi Mu'awiyah, masalah utamanya adalah bahwa Ali gagal menangkap dan menghukum para pembunuh Utsman sebelum menerima bai’at (janji setia).

Konflik ini dengan cepat membagi *Ummah* menjadi dua kubu utama. Sementara Ali berargumen bahwa persatuan harus dipulihkan terlebih dahulu sebelum penegakan hukum dapat dilakukan, Mu'awiyah bersikeras bahwa penegakan keadilan adalah syarat mutlak untuk persatuan.

Perang Siffin dan Tragedi Tahkim (Arbitrase)

Ketegangan memuncak menjadi perang terbuka di Siffin, dekat Sungai Eufrat, pada tahun 657 M. Pasukan Mu'awiyah yang terdiri dari prajurit Syam yang disiplin berhadapan dengan pasukan Ali yang terdiri dari warga Kufah dan Basrah. Pertempuran Siffin berlangsung sengit, tanpa pihak mana pun yang mencapai kemenangan mutlak.

Ketika pasukan Ali hampir memenangkan pertempuran, Mu'awiyah dan penasihat utamanya, Amr bin al-Ash, melancarkan taktik terkenal: mengangkat mushaf (Al-Qur'an) di ujung tombak. Taktik ini dimaksudkan untuk menyerukan penghentian pertumpahan darah dan menyelesaikan konflik melalui arbitrase (tahkim) berdasarkan hukum Allah.

Meskipun Ali awalnya enggan, tekanan dari sebagian besar pasukannya memaksa Ali menerima arbitrase. Keputusan untuk menerima arbitrase ini melahirkan kelompok Khawarij, yang menolak resolusi tersebut, mengklaim bahwa "Keputusan hanyalah milik Allah" (*La hukma illa lillah*), dan kemudian menjadi musuh Ali maupun Mu'awiyah.

Hasil Arbitrase dan Penegasan Kekuasaan

Arbitrase yang dilaksanakan di Dumatul Jandal adalah bencana politik bagi Ali. Perwakilan Ali, Abu Musa al-Asy'ari, dan perwakilan Mu'awiyah, Amr bin al-Ash, seharusnya memutuskan siapa yang berhak memimpin *Ummah*. Secara singkat, arbitrase tersebut menghasilkan pencopotan Ali dari jabatannya (walaupun Ali dan para pendukungnya tidak pernah mengakui keputusan ini) dan secara implisit melegitimasi klaim Mu'awiyah.

Setelah kegagalan tahkim, Mu'awiyah, yang kini memiliki klaim yang didukung oleh putusan arbitrase (walaupun kontroversial), memperkuat posisinya. Ia mulai menerima bai’at sebagai Khalifah di Syam, menciptakan dua pusat kekhalifahan yang bersaing. Mu'awiyah tidak lagi hanya gubernur pemberontak; ia adalah rival yang sah di mata penduduk Syam dan suku-suku Arab tertentu yang haus akan kestabilan.

Kematian Ali bin Abi Thalib pada tahun 661 M oleh serangan Khawarij di Kufah membuka jalan terakhir bagi Mu'awiyah. Hasan bin Ali, putra tertua Ali, mengambil alih kepemimpinan di Kufah, tetapi posisinya lemah. Pasukan dan loyalitas yang terpecah, ditambah janji Mu'awiyah untuk menghentikan perang saudara, mendorong Hasan untuk membuat perjanjian damai.

Tahun Persatuan (*Am al-Jama'ah*)

Pada tahun 661 M, Hasan bin Ali menyerahkan kekuasaan kepada Mu'awiyah, dengan syarat utama bahwa Mu'awiyah akan memerintah sesuai dengan Kitab Allah dan Sunnah Nabi, dan yang terpenting, tidak menunjuk putranya sendiri sebagai penerus setelah kematiannya, melainkan mengembalikan masalah suksesi kepada *syura* (musyawarah). Penyerahan ini mengakhiri masa Fitnah Besar dan memungkinkan Mu'awiyah menjadi penguasa tunggal atas seluruh wilayah Islam. Tahun ini dikenal sebagai *Am al-Jama'ah* (Tahun Persatuan).

Meskipun perjanjian ini membawa perdamaian, ia juga menandai akhir dari Khilafah Rasyidah dan dimulainya Dinasti Umayyah. Transisi ini adalah momen paling kritis dalam sejarah Islam, di mana sistem teokrasi idealis digantikan oleh pragmatisme politik dinasti.

Pendirian Dinasti Umayyah dan Pusat Kekuasaan Damaskus

Transformasi dari Khilafah menjadi Mulk (Kerajaan)

Mu'awiyah adalah Khalifah pertama yang secara terbuka mempraktikkan bentuk pemerintahan yang dikenal dalam tradisi Islam sebagai *mulk*—kekuasaan kerajaan yang diturunkan, bukan lagi khilafah yang dipilih berdasarkan konsensus atau senioritas. Perubahan ini ditandai dengan gaya hidup dan upacara yang lebih mewah, dipinjam dari tradisi Bizantium dan Persia, yang Mu'awiyah amati selama di Syam. Ia memperkenalkan pengawal pribadi (haras) dan kursi kerajaan (sarir) untuk melindungi dirinya dari ancaman pembunuhan, sebuah praktik yang sangat berbeda dari kesederhanaan para Khalifah Rasyidin.

Damaskus, yang telah menjadi pusat administrasinya selama dua puluh tahun, kini menjadi ibu kota kekhalifahan Islam, menggeser Madinah. Pergeseran geografis ini memiliki dampak ideologis yang besar, menjauhkan pusat kekuasaan dari otoritas keagamaan di Hijaz dan membawanya lebih dekat ke perbatasan dan pusat-pusat Bizantium.

Simbol Kekhalifahan Damaskus Damaskus - Pusat Kekuatan

Damaskus sebagai ibu kota baru yang menggantikan Madinah sebagai pusat politik Islam.

Sistem Administrasi dan Diwan Baru

Mu'awiyah adalah seorang administrator ulung. Ia menyempurnakan struktur birokrasi yang diwarisi dari Umar dan Utsman, menyesuaikannya dengan kebutuhan kekaisaran yang semakin besar. Untuk menjalankan pemerintahan yang efisien, ia mempertahankan sistem *Diwan* (departemen) yang mencakup:

Ia juga dikenal karena menunjuk orang-orang yang paling kompeten untuk posisi kunci, sering kali mengabaikan asal-usul klan mereka, asalkan mereka loyal. Salah satu contohnya adalah Ziyad bin Abih, seorang administrator jenius yang ditunjuk sebagai gubernur Basrah dan kemudian seluruh Irak. Ziyad berhasil menstabilkan Irak, yang selama ini menjadi sarang pemberontakan pasca-Ali, melalui campuran ketegasan brutal dan pembangunan infrastruktur yang cerdas.

Kebijakan Luar Negeri dan Ekspansi

Selama masa pemerintahannya, Mu'awiyah tidak menghentikan jihad (*ghazwa*) melawan Bizantium. Ia terus menggunakan konflik eksternal sebagai cara untuk menjaga pasukan tetap sibuk dan memersatukan rakyat. Ekspansi di bawah Mu'awiyah berfokus pada dua front utama:

  1. Front Barat (Afrika Utara): Penaklukan berlanjut ke Ifriqiyah (Tunisia modern), dan pendirian Qayrawan sebagai basis militer permanen.
  2. Front Timur (Khorasan dan Transoxiana): Pasukan Muslim melintasi Sungai Oxus, membuka jalan bagi penaklukan wilayah-wilayah Asia Tengah yang kaya.

Yang paling ambisius adalah pengepungan Konstantinopel, ibu kota Bizantium. Mu'awiyah melancarkan beberapa serangan maritim dan darat (termasuk pengepungan besar-besaran yang berlangsung selama tujuh tahun). Meskipun pengepungan tersebut gagal total, ambisi untuk menaklukkan pusat Kristen ini menunjukkan skala kekaisaran yang ia pimpin. Ia menggunakan perang ini, tidak hanya untuk ekspansi, tetapi juga untuk mendapatkan legitimasi religius sebagai pemimpin jihad di mata kaum Muslim.

Karakteristik Kepemimpinan: Hilm dan Diplomasi

Jika Umar bin Khattab dikenal karena ketegasan dan keadilan yang keras (*syiddah*), Mu'awiyah bin Abu Sufyan dikenal karena *hilm* (kelemahlembutan, kesabaran, atau kelonggaran politik). Konsep *hilm* adalah kunci untuk memahami cara Mu'awiyah memerintah. Ia menghindari konfrontasi kecuali benar-benar diperlukan dan lebih memilih untuk membeli loyalitas, meredam kritik dengan hadiah, atau menunggu musuh-musuhnya hancur sendiri karena kesalahan mereka.

Penerapan Hilm dalam Politik

Mu'awiyah pernah berkata: "Saya tidak pernah menggunakan pedang ketika cambuk sudah cukup, dan tidak pernah menggunakan cambuk ketika lidah sudah cukup." Filosofi ini membedakannya dari para pendahulunya. Ketika seseorang mencela atau menentangnya di depan umum, Mu'awiyah seringkali menanggapinya dengan hadiah atau jabatan, mengubah kritik menjadi loyalitas.

Contoh nyata dari *hilm* adalah caranya berurusan dengan Kufah. Meskipun ia tahu bahwa penduduk Kufah membenci kekuasaannya, alih-alih melakukan pembersihan massal, ia menempatkan Ziyad bin Abih yang menjalankan otoritas tanpa kompromi, sehingga Mu'awiyah sendiri tetap terlihat sebagai pemimpin yang pemaaf dan toleran, sementara tangan besi dijalankan oleh deputinya.

Strategi *hilm* Mu'awiyah adalah alat utama untuk mempertahankan stabilitas. Dia harus menyatukan kerajaan yang terdiri dari suku-suku Arab yang saling bersaing (Qays dan Yaman) serta populasi non-Arab yang baru ditaklukkan (Mawali). Dengan menghindari kebijakan yang terlalu agresif terhadap lawan politiknya, dia berhasil mengurangi intensitas friksi internal. Pendekatan ini adalah manifestasi dari pragmatisme politik yang dingin.

Hubungan dengan Ulama dan Keluarga Nabi

Mu'awiyah sangat berhati-hati dalam berurusan dengan tokoh-tokoh yang memiliki otoritas keagamaan yang tak terbantahkan, seperti para sahabat besar yang tersisa atau keluarga Nabi. Ia menyadari pentingnya persepsi. Ia menghormati beberapa sahabat terkemuka dan sering berkonsultasi dengan mereka, meskipun kekuasaannya bersifat monarki.

Meskipun ia telah mencapai kesepakatan damai dengan Hasan bin Ali, ada kontroversi mengenai bagaimana Mu'awiyah memastikan perjanjian itu tidak akan pernah terancam. Setelah kematian Hasan, Mu'awiyah semakin bebas untuk memikirkan suksesi dinasti. Hubungannya dengan Husain bin Ali, adik Hasan, tetap tegang, tetapi selama Mu'awiyah hidup, Husain tidak mengangkat senjata.

Isu Suksesi: Penunjukan Yazid dan Monarki Turun-Temurun

Peninggalan Mu'awiyah yang paling kontroversial dan berdampak jangka panjang adalah keputusannya untuk menunjuk putranya, Yazid bin Mu'awiyah, sebagai penerusnya. Keputusan ini secara definitif melanggar prinsip *syura* dan mengubah sistem pemerintahan Islam menjadi monarki turun-temurun (*wilayat al-ahd*).

Alasan Penunjukan

Mu'awiyah berpendapat bahwa penunjukan dinasti diperlukan untuk mencegah terulangnya perang saudara dan anarki yang melanda *Ummah* selama masa Fitnah Besar. Ia melihat sistem pemilihan Khulafaur Rasyidin yang terbuka justru menjadi sumber konflik dan pembunuhan. Dengan menunjuk ahli waris yang jelas, ia berharap stabilitas akan terjamin. Yazid, yang telah dididik dan berpartisipasi dalam ekspedisi militer (termasuk pengepungan Konstantinopel), dianggap sebagai sosok yang cakap.

Mekanisme Bai’at Paksa

Untuk memastikan Yazid diterima, Mu'awiyah menggunakan kombinasi persuasi, tekanan politik, dan hadiah besar. Ia mengirimkan utusan ke seluruh provinsi untuk mengambil bai’at untuk Yazid, dimulai dari Syam, pusat kekuatannya. Ketika ada penolakan dari tokoh-tokoh terkemuka di Hijaz, seperti Husain bin Ali, Abdullah bin Umar, dan Abdullah bin Zubair, Mu'awiyah melakukan perjalanan ke Hijaz sendiri untuk memastikan kepatuhan.

Mu'awiyah berhasil memaksa mayoritas provinsi untuk menerima Yazid sebagai penerus. Ini adalah pertama kalinya dalam sejarah Islam seorang penguasa berhasil memastikan suksesi dinasti. Meskipun ia mencapai tujuannya untuk mengamankan Dinasti Umayyah, ia sekaligus menanam benih perpecahan yang akan meletus menjadi tragedi Karbala segera setelah kematiannya.

Langkah Mu'awiyah mengukuhkan bahwa kekuasaan, dalam Islam, telah diwariskan melalui garis keturunan dan bukan lagi melalui pemilihan para pemimpin senior. Ini menjadi preseden bagi semua dinasti Muslim berikutnya, dari Abbasiyah hingga Ottoman.

Wafat dan Dampak Instan

Mu'awiyah bin Abu Sufyan wafat di Damaskus setelah memerintah selama sekitar dua puluh tahun (661–680 M). Kematiannya, meskipun damai, segera membuka pintu bagi konflik baru. Loyalitas yang ia dapatkan melalui *hilm* dan hadiah tidak langsung diwariskan kepada Yazid. Abdullah bin Zubair di Mekah dan Husain bin Ali di Madinah segera menolak bai’at kepada Yazid, yang memicu Fitnah Kedua. Tragedi Karbala pada 680 M, di mana Husain dibunuh, adalah konsekuensi langsung dari suksesi dinasti yang dipaksakan oleh Mu'awiyah.

Legacy dan Perbedaan Pandangan Historiografi

Mu'awiyah adalah salah satu tokoh yang paling banyak dibahas dan paling terpolarisasi dalam historiografi Islam. Warisannya dinilai secara berbeda tergantung pada sudut pandang teologis dan politik.

Pandangan Sunni Tradisional

Dalam pandangan Sunni arus utama, Mu'awiyah diakui sebagai seorang sahabat Nabi (*sahabi*), meskipun termasuk dalam kelompok *tulaqa'* (orang-orang yang dibebaskan saat penaklukan Mekah). Ia dipuji sebagai seorang raja yang cakap (*Malik*) dan seorang administrator yang brilian. Para sejarawan Sunni memuji perannya dalam:

Meskipun para ulama Sunni mengakui bahwa penunjukan Yazid adalah kesalahan politik yang besar, mereka cenderung bersikap netral atau pemaaf terhadap Mu'awiyah karena statusnya sebagai sahabat dan kontribusinya pada penyebaran Islam.

Pandangan Syiah dan Kritis

Dalam pandangan Syiah dan beberapa sekolah pemikiran lain, Mu'awiyah dipandang secara negatif. Ia adalah tokoh sentral dalam perpecahan *Ummah* dan dianggap sebagai perampas kekuasaan yang sah (Ali bin Abi Thalib). Kritik utama meliputi:

Bagi pandangan Syiah, Mu'awiyah adalah simbol kejahatan politik yang mengorbankan prinsip-prinsip Islam demi kekuasaan dinasti.

Perbedaan pandangan ini menunjukkan bahwa Mu'awiyah adalah cerminan dari tantangan abadi dalam politik Islam: perimbangan antara idealisme keagamaan (Khilafah Rasyidah) dan kebutuhan pragmatis untuk mempertahankan negara besar dan stabil (Dinasti Umayyah).

Warisan Budaya dan Infrastruktur

Terlepas dari kontroversi politik, warisan Mu'awiyah dalam hal infrastruktur dan organisasi sangat besar. Dia mendirikan fondasi Damaskus sebagai ibu kota kekaisaran, sebuah kota yang kemudian akan menjadi salah satu pusat peradaban dan budaya terbesar di dunia. Struktur militer dan birokrasi yang ia ciptakan bertahan dan disempurnakan oleh dinasti-dinasti berikutnya.

Ia juga dikenal karena mendorong perkembangan militer, menciptakan dasar bagi tentara profesional dan angkatan laut yang mampu bersaing dengan negara adidaya saat itu. Kepemimpinannya adalah sebuah studi kasus tentang bagaimana seorang pemimpin dapat menggunakan kecerdasan administrasi, psikologi, dan kekuatan militer untuk menciptakan imperium dari kekacauan perang saudara.

Stabilitas yang dibawanya, meskipun dicapai melalui kompromi prinsip, memungkinkan *Ummah* untuk mengalihkan energinya dari konflik internal ke ekspansi eksternal. Mu'awiyah adalah sosok yang bertanggung jawab atas penemuan kembali Islam sebagai entitas politik yang bersifat imperial dan global.

Penciptaan Identitas Kekuasaan Baru

Penting untuk menggarisbawahi bagaimana Mu'awiyah berhasil menciptakan identitas kekuasaan yang berpusat pada dirinya. Dia adalah Khalifah pertama yang benar-benar memproyeksikan citra kemewahan dan keagungan kerajaan, menjauh dari citra Khalifah Rasyidin yang hidup sederhana. Hal ini memungkinkannya berinteraksi dengan penguasa Bizantium dan Persia dengan otoritas yang setara.

Bagi pendukungnya, ini adalah sebuah kebutuhan mutlak untuk memimpin sebuah imperium. Bagi para pengkritiknya, ini adalah bukti penyimpangan dari Sunnah Nabi dan para Khulafaur Rasyidin. Namun, tidak dapat disangkal bahwa Mu'awiyah adalah seorang visioner politik yang memahami kekuatan simbol dan organisasi.

Melalui Mu'awiyah, Bani Umayyah tidak hanya mengambil alih kekuasaan, tetapi juga mengukir ulang makna kepemimpinan dalam Islam, menetapkan pola monarki yang dominan selama berabad-abad, sebuah pola yang baru akan tertantang secara serius oleh revolusi Abbasiyah, yang ironisnya, menggunakan retorika untuk kembali ke idealisme Khilafah Rasyidah sambil mempertahankan sebagian besar struktur birokrasi yang dirancang oleh Mu'awiyah.

Sejarawan modern sering melihat Mu'awiyah sebagai Machiavelli Islam yang mendahului masanya. Ia adalah master negosiasi, yang tidak membiarkan emosi pribadi menguasai keputusan strategisnya. Kebijaksanaan politiknya, yang diwujudkan dalam *hilm*, memungkinkan dia untuk mengatasi lawan-lawan yang secara teologis mungkin lebih unggul, seperti Ali bin Abi Thalib, yang sering dikalahkan oleh idealisme dan ketidakmampuan untuk mengendalikan pendukungnya sendiri.

Mu'awiyah adalah pendiri kerajaan yang tahu betul bagaimana cara mengendalikan sentimen suku, bagaimana memanfaatkan kelemahan lawan, dan bagaimana membangun loyalitas yang berbasis pada kepentingan material dan stabilitas, bukan hanya pada ketaatan spiritual. Penggunaan dana publik untuk menjamin kesetiaan adalah salah satu tekniknya yang paling efektif, yang menjadikannya penguasa paling kaya di masanya.

Kontrolnya terhadap informasi dan narasi sejarah juga merupakan ciri khas pemerintahannya. Dia memastikan bahwa sejarah ditulis dari sudut pandang Damaskus, meskipun narasi tandingan dari Madinah dan Kufah berhasil bertahan dan membentuk persepsi alternatif tentang dirinya. Perang narasi ini, yang dimulai sejak Mu'awiyah, adalah alasan mengapa tokoh ini tetap menjadi subjek studi yang tak kunjung usai, melintasi batas-batas sejarah, politik, dan teologi.

Perluasan kekuasaan dan penataan batas-batas negara Islam yang terjadi di bawah Mu'awiyah adalah prestasi yang sulit ditandingi. Ia berhasil memadamkan pemberontakan minor, mengamankan perbatasan dengan Bizantium, dan mempersiapkan panggung untuk gelombang penaklukan Umayyah yang akan datang, yang akan membentang dari Spanyol hingga India. Kekuatan militer yang ia wariskan kepada Yazid, meskipun Yazid gagal mengelola krisis politik dengan bijak, tetap menjadi tulang punggu kekaisaran selama hampir satu abad. Mu'awiyah adalah seorang perintis yang mengubah wajah kekuasaan Islam selamanya.

🏠 Homepage