Ilmu yang diselubungi: Representasi kebijaksanaan yang dijaga (Al-Sirr)
Di antara seluruh tokoh agung dalam sejarah Islam, Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah menempati posisi yang unik. Ia bukan hanya seorang khalifah yang adil, seorang panglima yang gagah berani, atau seorang ulama yang mendalam ilmunya. Ali adalah gerbang menuju kota ilmu Nabi Muhammad ﷺ, sumber mata air kearifan, dan sosok yang paling memahami hakikat di balik lapisan-lapisan syariat.
Namun, dalam kekayaan warisan ucapannya, terdapat satu tema yang muncul berulang kali, sebuah peringatan halus yang sering diabaikan: pentingnya keheningan dan kerahasiaan. Ajaran yang diringkas dalam frasa "Jangan ceritakan" ini bukan sekadar anjuran untuk menjaga privasi pribadi, melainkan sebuah instruksi spiritual dan sosiopolitik yang sarat makna, berkaitan erat dengan ilmu yang terlalu besar untuk ditanggung oleh wadah yang lemah.
Konsep "Jangan Ceritakan" yang dinisbatkan kepada Ali bin Abi Thalib adalah inti dari ajaran Al-Hikmah Al-Batinah (kebijaksanaan esoteris). Dalam konteks tasawuf dan irfan, ilmu yang dipegang oleh Ali sering disebut sebagai Sirr (Rahasia). Ilmu ini adalah amanah yang wajib dijaga, karena jika diungkapkan tanpa pertimbangan konteks dan audiens yang tepat, ia dapat menimbulkan kekacauan teologis, sosial, dan bahkan fitnah.
Ali mengajarkan bahwa kebenaran memiliki tingkatan. Ada kebenaran yang dapat dicerna oleh akal umum (Al-Aql Al-Mu’asy), dan ada kebenaran mendalam (Al-Haqiqah) yang hanya dapat dipahami oleh jiwa yang telah disucikan melalui latihan spiritual yang keras. Menyampaikan kebenaran tingkat tinggi kepada orang yang belum siap adalah tindakan yang tidak bijaksana, bahkan berbahaya.
"Sesungguhnya, hati memiliki panci yang mendidih. Jika ia mendidih, lidah akan menguapkannya. Oleh karena itu, waspadalah terhadap apa yang engkau katakan, dan pastikan ia sesuai dengan wadah pendengarmu." — Diambil dari ajaran Ali bin Abi Thalib
Jika ilmu batin diungkapkan, reaksi yang timbul sering kali terbagi dua: pemujaan berlebihan yang menjerumuskan pada kesyirikan, atau penolakan keras yang berujung pada tuduhan bid’ah atau kekafiran. Ali, sebagai pewaris ilmu kenabian, memahami betul bahwa tanggung jawab seorang guru adalah melindungi murid, bahkan dari pengetahuan yang terlalu terang benderang. Melindungi akidah awam adalah prioritas yang jauh lebih besar daripada sekadar memamerkan kedalaman ilmu.
Periode kepemimpinan Ali adalah periode yang penuh gejolak, dikenal sebagai masa Fitnah. Dalam kondisi politik yang memanas dan pertentangan teologis yang mulai muncul (seperti perdebatan tentang takdir, keadilan ilahi, dan hak suksesi), setiap kata yang diucapkan dapat diinterpretasikan dan diputarbalikkan menjadi senjata politik.
Dalam situasi ini, ajakan untuk diam dan "jangan ceritakan" adalah strategi pertahanan:
Apa sebenarnya yang dimaksud dengan "ilmu yang tidak boleh diceritakan"? Ini merujuk pada beberapa kategori pengetahuan yang berada di luar jangkauan verifikasi empiris atau logika Aristotelian biasa.
Sebagai keponakan, menantu, dan sahabat terdekat Nabi Muhammad ﷺ, Ali adalah salah satu penerima utama Ilmu Laduni (ilmu yang diterima langsung dari Ilahi tanpa perantara buku atau guru biasa, sering disebut sebagai "ilmu kasyaf"). Ilmu ini terkait dengan tafsir mendalam (ta’wil) Al-Qur'an, pemahaman hakikat takdir, dan pengetahuan tentang masa depan yang bersifat peringatan (seperti prediksi mengenai pertempuran dan nasib kelompok tertentu).
Ilmu jenis ini bersifat subjektif dan intuitif. Jika diceritakan, ia akan dianggap sebagai klaim metafisik yang tidak memiliki bukti bagi pendengar biasa, sehingga merusak fondasi syariat yang bersifat lahiriah. Ali memilih untuk menyimpannya, menyalurkannya hanya kepada murid-murid terpilih (seperti Kumail bin Ziyad) yang memiliki kapasitas spiritual untuk memanggulnya, dan melalui bahasa kiasan serta isyarat (isyarat wa rumuz).
Intensitas pengalaman spiritual, tingkatan makrifat (pengenalan), dan hakikat hubungan pribadi seorang hamba dengan Tuhannya adalah rahasia yang tidak boleh dipublikasikan. Ketika Ali mengajarkan tentang kedekatan dan keikhlasan, ia menegaskan bahwa amal saleh yang disembunyikan memiliki nilai yang jauh lebih tinggi.
Penyebab mengapa pengalaman spiritual harus dirahasiakan adalah dua:
Inilah yang membuat Ali sangat berhati-hati dalam merumuskan pemikirannya tentang Qada’ (ketetapan) dan Qadar (ukuran), sering kali hanya memberikan jawaban yang membimbing tanpa memberikan formula final yang dapat dibaca secara harfiah, sebab hakikat Qadar adalah salah satu rahasia Ilahi yang tidak terjangkau akal manusiawi sepenuhnya.
Ali bin Abi Thalib sering menggunakan perumpamaan tentang wadah dan isinya. Keheningan (diam) bukanlah kekosongan, melainkan sebuah wadah yang kokoh. Jika air (ilmu) dituangkan ke dalam wadah yang retak (lidah yang ceroboh), maka air itu akan tumpah dan hilang manfaatnya, bahkan dapat merusak lingkungan di sekitarnya.
Salah satu metafora yang sangat kuat dalam tradisi Sufi yang merujuk pada ajaran Ali adalah perumpamaan tentang permata dan babi hutan. Kebijaksanaan mendalam (permata) tidak boleh dilemparkan di hadapan makhluk yang tidak dapat menghargainya (babi hutan). Bukan karena permata itu tidak berharga, tetapi karena babi hutan akan menginjak-injaknya tanpa tahu nilainya, dan bahkan mungkin menyerang si pemberi karena menganggapnya makanan yang tidak enak.
Ini adalah pelajaran tentang Adab Al-Mukhathabah (etika berbicara). Sebelum berbicara, Ali mengajarkan kita untuk menilai tiga hal:
Dalam ajaran etika Ali, diam adalah bagian integral dari pengendalian diri (mujahadah). Lidah, menurutnya, adalah binatang buas. Jika dibiarkan lepas, ia akan menerkam tuannya sendiri. Oleh karena itu, membiasakan diri dalam keheningan adalah latihan pertama bagi pencari makrifat.
Keheningan menghasilkan:
Pengaruh ajaran Ali tentang kerahasiaan paling kentara dalam perkembangan Tarekat Sufi dan aliran Irfan. Hampir semua jalur sanad sufi (termasuk Naqsybandi, Qadiriyah, dan lainnya) melacak mata rantai spiritual mereka kembali kepada Ali, terutama dalam transmisi Al-Dzikr Al-Khafi (zikir yang tersembunyi/diam).
Ali bin Abi Thalib sering menekankan bahwa ilmu yang paling bernilai adalah yang diturunkan dari hati ke hati, bukan dari buku ke mata. Konsep "Jangan Ceritakan" memastikan bahwa ilmu tertentu tetap menjadi rahasia yang diwariskan secara eksklusif kepada mereka yang teruji kejujuran dan ketabahannya. Ini menciptakan sebuah tradisi elit spiritual (bukan elitisme sosial) yang bertanggung jawab untuk menjaga kemurnian ajaran.
Ilmu ini mencakup pemahaman tentang:
Jika ilmu-ilmu ini ditulis atau diceritakan secara umum, ia akan kehilangan kekuatan spiritualnya dan rentan terhadap komersialisasi atau mistifikasi yang dangkal. Ali mengajarkan bahwa kekuatan ilmu terletak pada kemampuannya untuk mengubah batin, dan perubahan batin hanya terjadi melalui bimbingan personal, bukan melalui publikasi massal.
Salah satu alasan terpenting Ali menyembunyikan ilmunya adalah untuk menghindari Ghaluw (pemujaan berlebihan atau ekstremisme) yang menimpanya. Beberapa kelompok mulai memandang Ali bukan hanya sebagai Khalifah yang bijaksana, tetapi sebagai manifestasi Ilahi atau sosok yang memiliki derajat kenabian (yang jelas bertentangan dengan ajaran Islam). Jika Ali menceritakan secara terbuka semua karomah atau ilmu batinnya, ia akan memicu penyimpangan akidah yang lebih parah.
Oleh karena itu, Ali memilih jalan yang sederhana dalam penampilan, dan sangat berhati-hati dalam perkataan, meskipun ia adalah lautan ilmu. Keheningannya adalah batas yang ia tarik untuk melindungi Tauhid murni umat dari bahaya pemujaan individu yang sesat.
Kebijaksanaan Ali mengenai lidah dan ucapan tercatat secara luas dalam Nahj al-Balaghah (Jalan Kefasihan). Ajaran "Jangan Ceritakan" adalah praktik nyata dari etika berbicara yang sempurna. Lidah memiliki dua fungsi utama: memuji Allah dan membimbing manusia. Selain dua fungsi ini, potensi bahayanya lebih besar daripada manfaatnya.
Ali mengajarkan bahwa setiap kata yang keluar dari mulut adalah utusan dari pikiran dan hati. Sebelum kata itu diucapkan, manusia memilikinya; setelah diucapkan, kata itu yang memiliki manusia (karena kata-kata itu akan dicatat dan menjadi saksi di Hari Perhitungan).
Panduan Ali dalam berbicara:
Bagi Ali, lidah adalah cermin hati. Jika lidah senantiasa mengeluarkan kata-kata yang kasar, kotor, atau rahasia yang tidak penting, itu menunjukkan bahwa hati berada dalam kondisi yang tidak sehat. Ilmu yang benar harusnya membersihkan lidah, bukan membuatnya menjadi alat kesombongan atau fitnah.
Dalam konteks modern, ajaran ini sangat relevan. Ruang publik digital telah menjadi wadah tumpahan rahasia dan ucapan yang tidak dipertimbangkan. Ali mengajarkan disiplin diri yang ekstrim; jika seseorang tidak dapat mengontrol ucapan lisan yang bersifat sementara, bagaimana ia bisa mengendalikan informasi yang diabadikan oleh tulisan (atau unggahan digital)? Ajakan untuk "Jangan Ceritakan" adalah seruan untuk memutus siklus komunikasi impulsif yang merusak kemurnian hati dan komunitas.
"Ucapan yang tidak perlu adalah jembatan menuju dosa yang paling buruk. Diam adalah pagar bagi kebijaksanaan, dan perisai bagi kebodohan."
Peringatan Ali untuk "Jangan Ceritakan" seringkali muncul dalam kaitannya dengan kesenjangan antara Syariat (hukum lahiriah) dan Hakikat (kebenaran terdalam). Syariat adalah wadah yang wajib dihormati dan dipatuhi oleh semua orang; ia bersifat umum, eksplisit, dan mengikat.
Jika Hakikat (ilmu batin) diungkapkan tanpa selubung Syariat, ia berisiko merusak pondasi agama bagi kaum awam. Sebagai contoh, hakikat bahwa segala sesuatu adalah manifestasi Kehendak Ilahi (Tauhid Af'al) jika disampaikan kepada seseorang yang baru mengenal Islam, dapat disalahartikan menjadi fatalisme yang meniadakan tanggung jawab moral.
Ali, yang adalah penegak Syariat sekaligus penjaga Hakikat, selalu memastikan bahwa ajaran esoterisnya disajikan dalam kerangka yang tidak merusak ketaatan pada hukum-hukum Islam. Inilah tugas utama kaum 'Arif (yang mengenal): menyajikan kebenaran mendalam melalui bahasa yang bersifat simbolik, sehingga hanya mereka yang siap secara spiritual yang dapat membongkar lapisannya.
Tentu saja, Ali tidak diam sepenuhnya. Ia menorehkan ribuan kata kearifan. Peringatan "Jangan Ceritakan" hanya berlaku untuk Rahasia Ilahi tertentu (Al-Sirr) dan gosip politik yang memecah belah. Sebaliknya, ia sangat vokal dalam mengajarkan keadilan, keberanian, dan kebajikan moral.
Pengecualian untuk menceritakan rahasia ini adalah kepada Ahlu Al-Sufwah (orang-orang terpilih) atau Ikhwan Al-Shidq (saudara-saudara kebenaran). Orang-orang ini telah melalui proses pemurnian yang membuat hati mereka menjadi wadah yang layak. Salah satu contoh paling terkenal adalah dialognya dengan Kumail bin Ziyad, di mana Ali mengungkapkan tentang tingkatan manusia dan peran hati sebagai wadah, sebuah wejangan yang hingga kini menjadi fondasi tasawuf praktis.
Meskipun Ali hidup pada abad ketujuh, ajaran tentang kerahasiaan dan kebijaksanaan berdiam memiliki resonansi yang luar biasa di zaman informasi yang berlimpah ini. Di mana privasi adalah mata uang yang semakin langka, dan setiap orang didorong untuk mempublikasikan setiap detail hidup, ajaran Ali berfungsi sebagai penawar.
Ali mengajarkan kita untuk mengendalikan narasi tentang diri kita sendiri. Kehidupan spiritual yang sejati tidak memerlukan sorotan publik. Ibadah yang dilakukan di tempat tersembunyi jauh lebih bernilai karena membebaskannya dari harapan pujian manusia. Dalam konteks modern, ini berarti:
Jika Ali bin Abi Thalib memilih untuk tidak menceritakan sebagian dari ilmu kenabian demi menjaga keutuhan umat, maka kita, sebagai individu biasa, harus lebih berhati-hati dalam menjaga kata-kata kita, yang sering kali hanya berisi omong kosong atau gosip yang memicu pertikaian kecil.
Kecenderungan untuk menceritakan segala sesuatu adalah gejala dari kebutuhan untuk divalidasi oleh pihak luar. Ali mengajarkan bahwa validasi yang sejati datang dari kualitas amal dan kejernihan hati (batin).
Keheningan bukan tanda kelemahan, melainkan tanda kekuatan batin yang telah mencapai titik puas diri (qana'ah) tanpa memerlukan tepuk tangan dunia. Orang yang bijaksana adalah orang yang berbicara sedikit, namun tindakannya berbicara banyak tentang dirinya. Dengan kata lain, biarkan karomah tersembunyi, dan biarkan etika yang terlihat.
Filosofi "Jangan Ceritakan" pada akhirnya adalah sebuah seruan moral dan spiritual yang universal, yang menempatkan tanggung jawab dan kearifan di atas kebebasan berbicara yang tanpa batas. Ia adalah pagar pembatas yang melindungi permata kearifan batiniah dari lumpur duniawi. Ali bin Abi Thalib, melalui diam dan selektivitasnya dalam berucap, meninggalkan warisan yang jauh lebih berharga daripada seribu jilid buku yang diisi dengan kata-kata yang tidak dipertimbangkan.
Kekuatan seorang pemimpin, seorang bijak, dan seorang sufi sejati tidak hanya terletak pada apa yang ia katakan, tetapi pada apa yang ia pilih untuk simpan di dalam hatinya, menunggunya waktu yang tepat, atau menangguhkannya hingga ia bertemu Sang Pencipta.
Kisah tentang Ali bin Abi Thalib dan keharusan untuk menjaga rahasia merupakan pelajaran abadi mengenai kapasitas spiritual dan tanggung jawab keilmuan. Bagi Ali, ilmu adalah api yang harus diolah dengan hati-hati. Jika disajikan mentah-mentah, ia membakar. Jika diolah dengan bijaksana (melalui simbol, isyarat, dan keheningan), ia memberi cahaya.
Warisan Ali mengajarkan bahwa jalan menuju kebijaksanaan sejati adalah jalan yang sunyi. Ia menuntut disiplin batin yang luar biasa, kemampuan untuk menahan diri dari godaan pujian dan validasi, serta kesediaan untuk memanggul beban kebenaran tanpa perlu memamerkannya. Dalam lautan kefasihan yang dikuasai Ali, ia mengajarkan bahwa terkadang, kalimat yang paling fasih adalah kalimat yang tidak pernah terucapkan.
Ajaran "Jangan Ceritakan" adalah fondasi bagi Tasawuf yang autentik; sebuah perintah untuk beramal dengan ikhlas, berilmu dengan rendah hati, dan berinteraksi dengan dunia dengan penuh pertimbangan. Dalam keheningan itulah, suara Tuhan terdengar lebih jelas, dan kebenaran sejati menemukan tempatnya yang aman, jauh dari kebisingan dan kekacauan dunia fana.
Untuk memahami sepenuhnya mengapa Ali bin Abi Thalib menekankan kerahasiaan, penting untuk mengaitkannya dengan konsep Taqiyyah—perlindungan diri atau penyembunyian keyakinan dalam situasi bahaya. Meskipun sering disalahpahami sebagai kemunafikan, dalam konteks Ali, ini adalah strategi kebijaksanaan untuk melindungi Al-Haq (Kebenaran) dan jiwa orang-orang beriman.
Pada masa Fitnah, terdapat berbagai kelompok yang muncul dengan ideologi yang dangkal atau ekstremis (seperti Khawarij). Kelompok-kelompok ini sering menggunakan ayat-ayat Al-Qur'an secara harfiah, tanpa mempertimbangkan konteks historis atau tafsir batiniah (ta'wil). Jika Ali mengungkapkan tafsir mendalam yang ia dapatkan dari Rasulullah ﷺ, kelompok-kelompok ekstremis ini akan menggunakan ilmu tersebut untuk membenarkan tindakan kekerasan dan perpecahan mereka.
Oleh karena itu, kerahasiaan menjadi benteng. Ilmu yang disembunyikan Ali bukanlah karena ia egois, melainkan karena ia bertanggung jawab penuh atas dampak sosial dari setiap ucapannya. Ia tahu bahwa ilmu, di tangan orang yang salah, menjadi senjata penghancur, bukan penerang.
Sebagai contoh, Ali sangat berhati-hati dalam membahas sifat-sifat Tuhan yang bersifat Tanzih (transenden) dan Tasybih (imanen). Jika dibahas di luar lingkungan spiritual yang terkontrol, konsep-konsep ini berisiko memicu panteisme (penyatuan Tuhan dan alam) atau anthropomorfisme (penyerupaan Tuhan dengan makhluk), yang keduanya bertentangan dengan Tauhid yang murni.
Bagi Ali, ilmu dapat dibagi menjadi dua sungai: sungai yang terlihat (fiqih, hadis, hukum) yang mengalir di permukaan dan sungai yang tersembunyi (hakikat, irfan, makrifat) yang mengalir di bawah. Sungai yang terlihat ditujukan untuk semua orang dan harus disebarkan. Sungai yang tersembunyi ditujukan bagi para perenang dan penyelam mutiara.
Konsep ‘Jangan Ceritakan’ berfungsi sebagai filter dan pintu masuk ke sungai yang tersembunyi. Untuk masuk, seseorang harus membuktikan bahwa mereka memiliki:
Jika ilmu itu mudah didapatkan dan disebarkan, ia kehilangan nilainya dan kemurniannya. Oleh karena itu, kesulitan dalam mengakses ilmu batin adalah bagian dari proses pemurnian yang ditetapkan oleh Ali.
Meskipun Ali mungkin tidak secara langsung menceritakan rahasia, ia menyampaikannya melalui bahasa isyarat (simbolisme) yang kaya. Ini adalah cara cerdas untuk memenuhi amanah menyampaikan ilmu tanpa melanggar prinsip ‘Jangan Ceritakan’ kepada khalayak yang tidak siap.
Dalam khutbah-khutbahnya (yang terkumpul dalam Nahj al-Balaghah), Ali sering menggunakan gambaran kosmik dan alam semesta yang mendalam. Ketika ia berbicara tentang gunung, air, atau bintang, ia tidak hanya berbicara tentang fenomena fisik, tetapi juga menggunakan benda-benda itu sebagai cermin sifat-sifat Ilahi atau tingkatan spiritual manusia.
Contohnya, saat ia mendeskripsikan waktu sebagai ‘pedang yang memotong’, ini adalah isyarat tentang hakikat kefanaan yang mendalam. Orang awam akan memahaminya sebagai nasihat moral umum, sementara ahli irfan akan memahaminya sebagai petunjuk menuju keharusan Hudur (kehadiran penuh kesadaran di setiap saat), karena masa lalu dan masa depan adalah ilusi yang dipotong oleh saat ini.
Banyak ucapan Ali yang tampak sederhana sebenarnya menyimpan lapisan makna yang dalam. Frasa seperti, "Nilai seseorang adalah sebaik yang ia kuasai," bukan hanya tentang keterampilan profesional, melainkan tentang kualitas ilmu batin dan amal yang ia sembunyikan.
Oleh karena itu, bagi Ali, 'Jangan Ceritakan' bukan berarti ilmu itu harus mati bersamanya, melainkan ilmu itu harus dikodefikasi. Ia disembunyikan dalam kemasan yang tidak menarik bagi pencari duniawi, tetapi bersinar bagi pencari kebenaran sejati.
"Ketahuilah, bahwa rahasia adalah tawananmu, jika ia keluar dari mulutmu, maka engkau adalah tawanannya."
Dalam latihan spiritual, Samt (keheningan) yang ditekankan oleh Ali adalah pintu gerbang menuju Mushahadah (penyaksian Ilahi) dan Muraqabah (pengawasan diri). Keheningan total memiliki disiplin yang sangat berat.
Ali mengajarkan bahwa ada tingkatan dalam keheningan yang harus dipraktikkan:
Seseorang yang mencapai Keheningan Hati tidak perlu lagi khawatir tentang apa yang ia ceritakan, karena segala yang keluar dari dirinya adalah kebenaran murni dan berfungsi sebagai obat, bukan racun. Namun, proses untuk mencapai tingkat ini menuntut kerahasiaan total atas perjuangan spiritualnya.
Ali bin Abi Thalib mengajarkan bahwa kesabaran adalah inti keimanan. Keheningan adalah manifestasi paling jelas dari kesabaran. Sabar untuk tidak membalas cercaan, sabar untuk tidak memamerkan kekayaan ilmu, dan sabar untuk menunggu waktu yang tepat untuk bertindak atau berbicara.
Di masa perang saudara dan konflik yang ia hadapi, keputusan Ali untuk diam dalam menghadapi provokasi tertentu, atau memilih bahasa yang ambigu dalam menanggapi tuduhan, adalah bentuk kesabaran politik yang luar biasa. Ia menjaga energi politiknya dan menghindari tumpahan darah yang lebih besar, meniru keheningan Rasulullah ﷺ dalam menghadapi gangguan kaum Quraisy.
Seiring waktu, ajaran Ali tentang ilmu tersembunyi telah dikelilingi oleh banyak mitos. Penting untuk membedakan antara hikmah Ali yang autentik dan penafsiran berlebihan yang muncul di kemudian hari.
Beberapa kelompok ekstremis mengklaim bahwa Ali menyimpan kunci pengetahuan supernatural yang memungkinkan kontrol atas alam semesta. Ali sendiri dengan tegas menolak atribusi sifat ketuhanan apa pun kepada dirinya. Ilmu batin yang ia ajarkan adalah ilmu tentang bagaimana manusia dapat mencapai potensi ketakwaannya yang tertinggi, bukan ilmu sihir atau ilmu alam yang radikal.
Kerahasiaan yang ditekankan Ali bertujuan untuk mengarahkan perhatian kepada Allah, bukan kepada pembawa ilmu itu sendiri (yaitu Ali). Jika ilmu itu diceritakan tanpa batas, maka fokus umat akan beralih dari Tauhid kepada kekaguman terhadap kekuatan manusiawi Ali, sebuah penyimpangan yang ingin ia hindari dengan segala cara.
Selain menjaga rahasia Ilahi, ajaran 'Jangan Ceritakan' juga mencakup etika menjaga aib (kekurangan) diri sendiri dan orang lain. Ali adalah simbol Sattar (Penutup) yang sempurna. Ia mendidik umatnya untuk tidak mencari-cari kesalahan orang lain, dan lebih jauh, untuk tidak mengumbar kesalahan mereka sendiri.
Mengumbar dosa atau aib pribadi bukanlah kejujuran, melainkan bentuk kesombongan terbalik yang mencari pengakuan atau simpati. Ali mengajarkan bahwa pertobatan (Tawbah) adalah urusan pribadi antara hamba dan Tuhan, sebuah rahasia yang harus dijaga untuk memastikan keaslian penyesalan.
Dalam keseluruhan warisan kearifannya, Ali bin Abi Thalib mendirikan fondasi bahwa ilmu tanpa etika adalah bahaya. Dan etika tertinggi dalam ilmu adalah mengetahui kapan harus bicara, dan kapan harus menahan lidah, menjadikan ‘Jangan Ceritakan’ sebagai salah satu instruksi paling berharga bagi setiap pencari kebenikan sejati.