Ali bin Abi Thalib dan Kebijaksanaan Melepaskan Harapan pada Makhluk

Simbol Tawakal dan Kebijaksanaan Ilustrasi tangan menunjuk ke atas, melambangkan penyerahan dan harapan ilahi, menjauh dari rantai duniawi yang rapuh. Dunia Fana Rantai Kekecewaan Harapan Abadi

Pendahuluan: Fondasi Harapan yang Kokoh

Dalam khazanah hikmah Islam, ajaran Ali bin Abi Thalib, Khalifah keempat dan pintu gerbang ilmu, senantiasa menawarkan cahaya di tengah kegelapan keraguan manusia. Salah satu poros utama kebijaksanaannya yang paling menyentuh adalah pemahaman mendalam tentang konsep Raja' (harapan) dan Tawakkul (penyerahan diri). Ali mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati, ketenangan jiwa, dan kestabilan emosional hanya dapat diraih ketika manusia berhasil memindahkan pusat harapan mereka dari makhluk yang fana dan lemah, menuju Sang Pencipta yang Maha Kekal dan Maha Kuasa.

Menjelajahi nasihat-nasihat Ali tentang harapan kepada manusia bukanlah sekadar menelusuri untaian kata mutiara, melainkan menyelami psikologi kekecewaan, analisis realitas duniawi, dan peta jalan menuju kemerdekaan spiritual. Ali menyaksikan sendiri bagaimana harapan politik yang diamanatkan kepadanya, loyalitas yang dijanjikan oleh sahabat, dan dukungan yang diharapkan dari pengikut, bisa berubah dalam sekejap mata. Pengalaman hidupnya yang penuh gejolak, baik di medan perang maupun di kursi kekhalifahan, menjadikannya saksi utama akan kerapuhan janji dan ketidakpastian dukungan insani.

Artikel ini akan mengupas tuntas pandangan Ali bin Abi Thalib mengenai bahaya meletakkan harapan secara berlebihan kepada manusia. Ini adalah studi tentang bagaimana ketergantungan pada sesama makhluk bukan hanya menggagalkan tujuan praktis, tetapi juga merusak iman, menciptakan kegelisahan tak berkesudahan, dan menghalangi individu untuk mencapai puncak kemandirian spiritual yang diimpikan oleh setiap pencari kebenaran.

Kontras Mendasar: Kestabilan Ilahi Melawan Kerapuhan Insani

Pilar utama dari ajaran Ali bin Abi Thalib mengenai harapan adalah perbandingan yang tegas dan tidak dapat dielakkan antara sifat Tuhan dan sifat manusia. Tuhan adalah Al-Qayyum (Yang Berdiri Sendiri, Yang Menopang semua), sedangkan manusia adalah Dha'if (lemah) dan Fana (fana, sementara).

Anatomi Kekecewaan

Harapan kepada manusia, menurut Ali, selalu membawa benih kekecewaan. Mengapa demikian? Karena harapan adalah proyeksi kebutuhan yang tidak dapat dipenuhi oleh sumber yang terbatas. Manusia memiliki keterbatasan inheren: mereka bisa lupa, mereka bisa berubah pikiran, mereka bisa sakit, mereka bisa mati, dan yang paling penting, mereka tidak memiliki kontrol penuh atas takdir mereka sendiri, bahkan atas takdir mereka sendiri, apalagi takdir orang lain. Keterbatasan ini adalah dinding penghalang yang akan selalu memukul balik harapan yang terlalu tinggi.

Ali mengajarkan bahwa ketika kita menggantungkan kebutuhan finansial, emosional, atau politik kita pada individu lain, kita secara fundamental menempatkan beban Ilahi pada bahu makhluk. Beban ini terlalu berat. Ketika manusia gagal memenuhi harapan tersebut – entah karena mereka tidak mampu, atau karena mereka tidak mau – kita tidak hanya kecewa pada mereka, tetapi sering kali, kekecewaan itu beralih menjadi kebencian, kemarahan, atau bahkan keraguan terhadap keadilan semesta. Ini adalah jebakan psikologis dan spiritual yang paling berbahaya.

Sebaliknya, harapan yang diletakkan pada Tuhan tidak pernah mengecewakan dalam esensinya. Meskipun hasil yang diberikan mungkin berbeda dari apa yang kita bayangkan, janji Tuhan untuk memberikan yang terbaik dan untuk selalu mendengar doa adalah janji yang mutlak. Inilah yang Ali maksudkan ketika ia menyarankan pengikutnya untuk "berharap hanya pada Dia yang tidak akan pernah kehabisan harta karun-Nya."

Realitas Keterbatasan Kekuatan Manusia

Manusia, dalam semua upaya mereka, terikat oleh ruang dan waktu. Kekuatan mereka bersifat sementara dan kondisional. Raja yang berkuasa hari ini mungkin jatuh besok. Sahabat setia hari ini mungkin berkhianat besok. Kekayaan yang dimiliki seseorang hari ini mungkin lenyap dalam sekejap. Ali, yang menyaksikan dinamika kekuasaan di Madinah dan Kufah, memahami betapa fluktuatifnya loyalitas dan dukungan. Beliau menyadari bahwa bahkan cinta dan kasih sayang manusia pun memiliki batasnya, sering kali terikat pada kepentingan pribadi, atau setidaknya, terbatasi oleh kemampuan fisik dan mental mereka untuk terus mendukung.

Pernyataan-pernyataan Ali seringkali menyoroti bahwa meminta pertolongan kepada manusia adalah seperti meminta air kepada fatamorgana di padang pasir. Kita melihat wujud bantuan, kita merasakannya seolah nyata, namun ketika kita mendekat, yang kita temukan hanyalah kehampaan dan panasnya kekecewaan. Ketergantungan ini menghasilkan kemiskinan batin, bahkan jika kita secara lahiriah tampak kaya atau didukung banyak orang. Kemiskinan batin adalah hasil dari menyerahkan kontrol emosional dan spiritual kita kepada pihak ketiga yang tidak stabil.

Ali mengajarkan bahwa jika kita harus bergantung, kita harus bergantung pada Sumber Kekuatan yang Tidak Pernah Berubah. Kualitas ketidakberubahan ini, keabadian ini, adalah ciri khas dari Sifat Ilahi, yang secara tegas membedakan-Nya dari segala sesuatu yang diciptakan. Mengalihkan harapan dari makhluk fana ke Sang Khalik adalah tindakan pengakuan akan realitas metafisik, sebuah realitas di mana hanya Yang Maha Kuasa yang layak menerima penyerahan diri kita sepenuhnya.

Kerapuhan manusia juga terletak pada sifat lupa dan perubahan hati. Hari ini seseorang mungkin mengingat kebaikan kita dan berjanji membantu; besok, prioritasnya telah berubah, atau ia lupa akan janji itu. Harapan yang kita tanamkan pada ingatan dan hati yang labil ini pasti akan layu. Kebijaksanaan Ali terletak pada ajakan untuk menanam harapan di tanah yang subur, tanah yang terjamin oleh sifat-sifat kesempurnaan Tuhan, yang meliputi pengetahuan yang tanpa batas, kekuasaan yang tak terhalang, dan rahmat yang abadi.

Ali dan Konsep Al-Istighna’ Spiritual: Kekayaan di Atas Ketergantungan

Salah satu aspek terpenting dari ajaran Ali bin Abi Thalib yang berkaitan dengan harapan adalah konsep al-Istighna', yaitu kekayaan batin atau rasa cukup diri, yang dicapai melalui kepasrahan total kepada Tuhan (Tawakkul). Ali menekankan bahwa orang yang terlalu bergantung pada manusia adalah orang yang miskin, meskipun ia mungkin memiliki harta berlimpah.

Kemiskinan Mental dan Spiritual

Ketergantungan pada manusia menciptakan semacam perbudakan mental. Kita terpaksa menjaga penampilan, menyenangkan pihak yang kita harapkan bantuannya, dan sering kali mengorbankan prinsip demi mendapatkan dukungan. Ini adalah bentuk kemiskinan yang jauh lebih buruk daripada kemiskinan harta benda. Ali mengingatkan bahwa kemuliaan (al-izzah) tidak dapat bersanding dengan pengemis harapan (mas'alat ar-raja').

“Janganlah kamu merasa aman dari orang yang kamu harapkan darinya kebaikan, karena kekecewaan akan lebih menyakitkan daripada penghinaan.”

Kutipan ini bukan hanya nasihat tentang kehati-hatian sosial, melainkan peringatan spiritual. Ketika kita terlalu berharap, kita menempatkan diri kita pada posisi yang rentan terhadap penghinaan. Jika harapan itu dikabulkan, kita berutang budi dan terikat. Jika harapan itu ditolak, kita mengalami rasa malu dan kecewa yang mendalam. Kedua hasil tersebut merenggut kemerdekaan dan kehormatan batin.

Jalan Menuju Kekuatan Batin

Istighna' yang diajarkan Ali adalah tentang meraih kekuatan yang bersumber dari dalam, yang pada dasarnya adalah pengakuan bahwa semua rezeki dan pertolongan datang dari satu Sumber. Ketika seorang mukmin mencapai tingkat Istighna' ini, ia menjadi bebas dari tekanan sosial dan harapan manusia. Ia bisa bertindak berdasarkan prinsip, bukan berdasarkan kebutuhan untuk menyenangkan orang lain. Inilah kemerdekaan sejati yang dijanjikan oleh Ali kepada mereka yang menempuh jalan Tawakkul yang murni.

Dalam konteks kepemimpinan, Ali menghadapi tantangan besar karena banyak pengikutnya yang menempatkan harapan pada keuntungan duniawi yang bersifat segera. Ketika keuntungan itu tidak datang, atau ketika kebijakan Ali menuntut pengorbanan, mereka menarik dukungan. Ali melihat ini sebagai kegagalan dalam memahami Tawakkul. Harapan sejati adalah pada keberhasilan menjalankan perintah Tuhan, bukan pada hasil duniawi yang dijanjikan oleh manusia.

Pola pikir yang Ali anjurkan adalah membangun benteng Istighna' yang kebal terhadap penolakan manusia. Ketika kita tidak mengharapkan apa-apa dari manusia, penolakan mereka tidak dapat merusak jiwa kita, dan kebaikan mereka menjadi bonus semata, bukan syarat mutlak untuk kelangsungan hidup kita. Ini adalah transformasi yang mengubah hubungan kita dengan sesama manusia: dari hubungan ketergantungan (yang rentan) menjadi hubungan persaudaraan (yang kuat dan bebas).

Proses ini memerlukan pelatihan jiwa yang intens. Ali sering menekankan pentingnya kesabaran (sabr) dan zuhud (asketisme batin) sebagai alat untuk mencapai Istighna'. Kesabaran membantu kita menghadapi penundaan bantuan yang datang dari Tuhan, sementara zuhud membantu kita mengurangi kebutuhan kita terhadap hal-hal yang dapat disediakan oleh manusia, sehingga mengurangi daya tarik untuk meminta-minta harapan dan bantuan. Melalui kombinasi ini, jiwa menjadi tegar dan tidak lagi terombang-ambing oleh pasang surutnya hati manusia.

Ali mengajarkan bahwa keinginan terbesar manusia adalah kedamaian batin. Kedamaian ini mustahil diraih selama hati masih terikat pada ekspektasi dari pihak yang tidak memiliki kendali penuh atas takdir. Kedamaian hanya datang ketika harapan telah sepenuhnya didelegasikan kepada Yang Maha Memelihara. Jika seorang mukmin merasa kecewa karena manusia, itu adalah sinyal bahwa ia telah salah menempatkan modal spiritualnya. Istighna' adalah jalan koreksi terhadap kesalahan penempatan modal tersebut.

Implikasi Sosial dari Ketergantungan

Ketergantungan yang berlebihan pada individu lain tidak hanya merugikan diri sendiri, tetapi juga merusak tatanan sosial yang sehat. Ali melihat bahwa masyarakat yang anggotanya saling mengemis harapan akan menjadi masyarakat yang penuh persaingan negatif, rasa iri, dan penjilatan. Sebaliknya, ketika setiap individu kuat secara spiritual karena Istighna' mereka, mereka dapat menawarkan bantuan tanpa mengharapkan balasan, dan menerima bantuan sebagai anugerah, bukan sebagai hak yang wajib dipenuhi oleh pihak lain.

Maka, bagi Ali, melepaskan harapan pada manusia adalah langkah awal menuju pembangunan komunitas yang bermartabat, di mana hubungan didasarkan pada cinta dan kewajiban moral kepada Tuhan, bukan pada rantai timbal balik yang rentan terhadap kerusakan. Ketergantungan hanya pada Allah adalah fondasi untuk kemandirian individu yang kemudian memungkinkan kolaborasi sosial yang sejati dan tulus.

Analisis Filosofis: Batasan Kebaikan dan Bantuan dari Manusia

Ali bin Abi Thalib tidak pernah menyangkal pentingnya bantuan timbal balik dan kasih sayang antar sesama manusia. Namun, beliau membuat garis pemisah yang sangat jelas antara mengharapkan (sebagai sumber akhir) dan menerima (sebagai perantara). Bantuan dari manusia harus dipandang sebagai manifestasi Rahmat Ilahi yang disalurkan melalui perantara fana, bukan sebagai sumber utama yang dapat diandalkan.

Kebaikan yang Bersyarat

Kebaikan manusia, bahkan yang paling tulus sekalipun, sering kali dibatasi oleh faktor-faktor yang berada di luar kendali pemberi. Seseorang mungkin berniat baik dan berjanji membantu, tetapi ia bisa saja tiba-tiba jatuh sakit, mengalami kerugian finansial, atau dihadapkan pada dilema moral yang memaksanya untuk mengingkari janji. Ali mengajarkan bahwa sifat bersyarat ini membuat harapan yang diletakkan padanya menjadi rapuh.

Lebih jauh lagi, sebagian besar kebaikan manusia, meskipun disajikan sebagai altruisme, mengandung kadar kepentingan pribadi, entah itu kepentingan untuk mendapatkan pujian, untuk membalas budi, atau untuk memperkuat status sosial. Ali, sebagai pemimpin yang selalu dikelilingi oleh para pencari keuntungan, sangat peka terhadap motif tersembunyi ini. Mengharapkan sesuatu dari motif yang tidak murni berarti menempatkan takdir kita pada pondasi yang berpasir.

“Kebergantungan kepada manusia adalah kehinaan, dan kemerdekaan dari mereka adalah kehormatan.”

Kemerdekaan yang dimaksud di sini adalah kemerdekaan dari keharusan untuk menoleransi kelemahan dan egoisme manusia demi mendapatkan sepotong bantuan. Ketika kita memahami bahwa bantuan sejati hanya datang dari Allah, kita menerima bantuan manusia dengan rasa syukur, tanpa terbebani oleh rasa takut akan penarikan kembali bantuan tersebut di masa depan.

Tiga Titik Kegagalan Harapan Insani

Ali mengidentifikasi setidaknya tiga alasan mengapa harapan yang ditujukan kepada manusia rentan terhadap kegagalan, yang harus menjadi pelajaran bagi setiap mukmin:

  1. Keterbatasan Pengetahuan (Al-Qadr): Manusia tidak tahu apa yang terbaik bagi kita, dan tidak tahu apakah mereka mampu menunaikan janji yang mereka berikan. Janji mereka dibatasi oleh takdir yang mereka sendiri tidak ketahui.
  2. Perubahan Hati dan Niat (Al-Qalb): Hati manusia seringkali berbolak-balik. Niat baik hari ini bisa menjadi keengganan besok. Ali menasihati untuk tidak membangun fondasi spiritual di atas sesuatu yang sangat mudah berubah seperti emosi dan niat manusia.
  3. Kelemahan Fisik dan Fana (Adh-Dha'f wal Fana'): Seseorang yang kita harapkan bantuannya mungkin meninggal dunia, jatuh sakit, atau kehilangan kekuasaan. Keberadaan mereka sendiri terikat oleh batas waktu yang pasti. Bagaimana mungkin kita menempatkan harapan abadi pada sumber yang pasti akan berakhir?

Melalui refleksi ini, Ali mengajak kita untuk menyadari bahwa setiap kebaikan yang datang melalui manusia adalah pinjaman sementara, sebuah manifestasi kecil dari kekayaan Rahmat Ilahi. Sumber sejati, yang tidak pernah kering, harus selalu menjadi fokus utama dari harapan kita (raja').

Ali mengajarkan bahwa pembebasan sejati dari kekecewaan terjadi ketika kita menerima bahwa tidak ada satu pun makhluk yang dapat memenuhi kehampaan batin kita. Kehampaan itu adalah ruang yang hanya dapat diisi oleh hubungan langsung dan murni dengan Sang Pencipta. Ketika kita mencoba mengisi kekosongan itu dengan janji-janji manusia, kita hanya menumpuk ilusi di atas kehampaan, yang pasti akan runtuh dan menimbulkan luka baru. Ini adalah pelajaran paling mahal dari kebijaksanaan Ali tentang tawakal.

Ketergantungan pada manusia, dalam pandangan Ali, adalah bentuk syirik khafi (syirik tersembunyi), yaitu menyandarkan sebagian dari keyakinan mutlak yang seharusnya hanya dimiliki oleh Tuhan kepada makhluk. Meskipun tidak sampai pada penyembahan, ia merusak kemurnian tauhid dalam hati, karena menempatkan sumber kekuasaan dan pemenuhan kebutuhan di dua tempat yang berbeda, padahal seharusnya hanya ada satu sumber tunggal. Menghilangkan ketergantungan ini adalah jihad spiritual (perjuangan jiwa) terbesar.

Nasihat Ali dalam Konteks Ketegangan Politik dan Sosial

Kehidupan Ali bin Abi Thalib penuh dengan ujian yang sangat intens, terutama setelah wafatnya Rasulullah SAW. Sebagai pemimpin, beliau harus menghadapi pengkhianatan, fitnah, dan perpecahan internal. Pengalaman ini membentuk pandangannya bahwa harapan pada loyalitas politik atau dukungan massa adalah hal yang paling tidak stabil di dunia ini.

Pelajaran dari Perang dan Perundingan

Dalam peristiwa-peristiwa penting seperti Perang Jamal dan Perang Shiffin, Ali menyaksikan bagaimana janji kesetiaan dari suku-suku dan individu-individu bisa buyar hanya karena hasutan, ketamakan, atau kesalahpahaman. Beliau sering mengeluhkan kondisi hati para pengikutnya yang mudah goyah, yang menuntut hasil instan dan menolak kesulitan. Keadaan ini memperkuat keyakinan Ali bahwa hati manusia adalah medan pertempuran yang paling tidak stabil untuk menempatkan harapan jangka panjang.

Pelajaran yang paling keras adalah ketika beliau didesak oleh sekelompok pengikutnya (khawarij) untuk menerima arbitrase, dan kemudian kelompok yang sama berbalik melawannya karena hasil arbitrase tidak sesuai harapan mereka. Harapan mereka diletakkan pada kemenangan politik yang cepat, dan ketika harapan itu pupus, mereka mengkhianati pemimpin mereka sendiri.

Ali, melalui pengalamannya, mengajarkan bahwa kepemimpinan yang benar harus berpegang teguh pada prinsip Ilahi, bahkan jika itu berarti kehilangan dukungan manusia. Harapan seorang pemimpin harus diarahkan pada persetujuan Ilahi, bukan pada popularitas massa. Karena popularitas massa adalah gelombang yang datang dan pergi, tetapi persetujuan Tuhan adalah pelabuhan yang kekal.

Seorang pemimpin yang berharap pada manusia akan menjadi budak dari opini publik dan tuntutan kepentingan sesaat. Ia akan kehilangan integritasnya demi mempertahankan kekuasaan. Ali menolak jalan ini. Beliau memilih integritas yang dilandasi tawakal penuh, yang menjadikannya figur yang kuat, meskipun terkadang terisolasi dari dukungan yang ia butuhkan secara duniawi.

Mengelola Kekecewaan Sosial

Ali memberikan pedoman praktis bagi individu dalam menghadapi kekecewaan sosial:

Inti dari ajaran ini adalah metode pemindahan beban. Pindahkan beban harapan dan kebutuhan Anda dari pundak manusia yang lemah ke pundak Tuhan yang Maha Kuat. Ketika Anda berhasil melakukan transfer ini, Anda mendapatkan kekuatan untuk berinteraksi dengan manusia dari posisi kehormatan, bukan dari posisi kebutuhan.

Dalam surat-suratnya kepada putranya, Hasan dan Husain, Ali sering menekankan pentingnya menjaga kehormatan diri. Kehormatan ini, menurutnya, terkait langsung dengan kemampuan seseorang untuk tidak mengemis, baik secara lisan maupun batiniah. Ali mengajarkan bahwa meminta-minta kepada manusia, meskipun hanya berupa harapan batin, adalah penurunan martabat jiwa. Hal ini secara bertahap mengikis rasa harga diri yang seharusnya didasarkan pada hubungan yang kuat dengan Tuhan.

Kedalaman Hikmah Ali: Keterikatan dan Kekuatan Doa

Ali bin Abi Thalib melihat harapan yang tidak tepat tempatnya sebagai bentuk keterikatan yang sangat kuat, setara dengan belenggu. Belenggu ini menghalangi jiwa untuk terbang menuju kebebasan spiritual yang diidamkan.

Harapan sebagai Belenggu

Mengapa harapan kepada manusia adalah belenggu? Karena ia mengikat nasib dan kebahagiaan kita pada kehendak orang lain. Jika orang tersebut menepati janji, kita bahagia (tetapi kebahagiaan itu sementara). Jika ia gagal, kita menderita. Dalam kedua kasus, kontrol atas emosi kita berada di tangan orang lain. Ali mengajarkan bahwa mukmin yang kuat adalah mukmin yang memegang kendali penuh atas reaksi dan kebahagiaannya, yang hanya mungkin terjadi jika ia bebas dari belenggu ekspektasi manusia.

Ali mendorong umatnya untuk menjadikan doa sebagai satu-satunya saluran utama untuk mengungkapkan kebutuhan dan harapan. Dalam doa, kita berinteraksi langsung dengan Sumber Kekuatan tanpa perantara yang rapuh. Doa adalah pengakuan akan Tauhid yang sempurna: bahwa hanya Tuhan yang dapat memberi dan menahan.

“Ketika harapanmu hanya tertuju kepada Tuhan, ia akan memberimu lebih dari yang kamu harapkan; tetapi ketika harapanmu tertuju kepada makhluk, ia hanya akan memberimu kekecewaan, meskipun ia berusaha keras untuk memenuhinya.”

Pernyataan ini bukan sekadar retorika, melainkan analisis tajam tentang hukum sebab-akibat spiritual. Ketika harapan diletakkan pada Tuhan, harapan itu terhubung dengan potensi tak terbatas. Ketika diletakkan pada manusia, ia terhubung dengan keterbatasan waktu, energi, dan sumber daya makhluk. Bahkan jika manusia memberi, pemberian itu selalu diiringi oleh rasa kurang dan ketidaksempurnaan, karena pada dasarnya, manusia tidak dapat mengisi kekosongan yang diciptakan oleh kebutuhan spiritual. Kebutuhan spiritual hanya dapat dipenuhi oleh sumber spiritual yang tak terbatas.

Melatih Jiwa untuk Istirahat dari Harapan Duniawi

Ali bin Abi Thalib mengarahkan bahwa langkah praktis untuk melepaskan diri dari harapan pada manusia adalah dengan secara sadar melatih jiwa untuk bersandar pada janji-janji Ilahi, bahkan dalam kesulitan. Ini membutuhkan disiplin mental untuk segera mengalihkan pikiran yang cenderung mencari jalan pintas melalui bantuan manusia, kembali ke kesadaran bahwa Allah adalah sebaik-baiknya tempat bersandar (Wali).

Melalui proses introspeksi ini, seorang mukmin akan menemukan bahwa sumber kekecewaan bukanlah kegagalan orang lain, melainkan kegagalan diri sendiri dalam memilih tempat bersandar yang benar. Begitu tempat bersandar diperbaiki, pandangan terhadap kegagalan manusia pun berubah. Kegagalan manusia tidak lagi dilihat sebagai pengkhianatan, tetapi sebagai pengingat lembut dari Tuhan: "Kembalilah, wahai hamba-Ku, tempatmu bersandar ada di sini, bukan di sana."

Kekuatan yang didapat dari pelepasan ini adalah ketahanan emosional yang luar biasa. Jiwa yang tidak bergantung pada pujian atau dukungan manusia menjadi tak tergoyahkan oleh kritik atau penolakan. Inilah yang Ali tunjukkan dalam kehidupan politiknya; meskipun dikritik dan dihina, pendiriannya tetap kokoh karena ia mencari pengesahan di tempat yang kekal, bukan di tempat yang fana.

Ali juga menyinggung tentang fenomena thumuh al-nafs, yaitu ambisi jiwa yang tidak terkendali. Ambisi ini, ketika diarahkan pada pencapaian duniawi yang memerlukan bantuan manusia (kekuasaan, kekayaan instan), akan selalu berujung pada kehancuran. Beliau menyarankan agar ambisi diarahkan pada amal shaleh dan peningkatan diri, yang hasilnya berada di bawah kendali Tuhan sepenuhnya dan tidak memerlukan izin atau bantuan dari makhluk lain.

Penghilangan keterikatan ini menciptakan apa yang disebut Ali sebagai ‘Uluw al-Himmah (Ketinggian Aspirasi). Ketika seseorang berhenti mengharapkan hal-hal kecil dari orang-orang kecil (makhluk), aspirasinya secara otomatis meluas menuju hal-hal besar yang hanya dapat diberikan oleh Yang Maha Besar (Tuhan). Ini adalah transisi dari mentalitas pengemis menjadi mentalitas pewaris yang hanya meminta warisan dari Raja Diraja Semesta.

Mengapa Kita Tetap Berharap?

Ali menyadari bahwa meskipun manusia tahu kebenaran ini, secara naluriah mereka tetap mencari dukungan manusia. Ali menjelaskan bahwa ini disebabkan oleh kelemahan iman dan dorongan nafsu yang ingin segala sesuatu terjadi secara instan dan terlihat. Bantuan dari manusia terasa lebih segera dan lebih konkret daripada bantuan dari Tuhan yang memerlukan kesabaran dan keyakinan pada hal yang ghaib.

Namun, kepuasan instan ini datang dengan harga yang sangat mahal: hilangnya kemuliaan diri dan keterikatan emosional yang menyakitkan. Ali mengajarkan bahwa nilai dari kesabaran dan tawakkul jauh melebihi nilai dari bantuan segera yang diberikan oleh tangan manusia. Ketergantungan ini adalah ujian sejati bagi keimanan seseorang, sebuah pertarungan abadi antara yang terlihat (kekuatan manusia) dan yang tak terlihat (Kekuasaan Ilahi).

Dalam konteks ini, Ali sering menggunakan analogi pedagang yang menanam modal. Jangan pernah menanam modal terbesar Anda (yaitu harapan dan kebahagiaan abadi Anda) di pasar yang paling tidak stabil (hubungan antar manusia). Sebaliknya, investasikan harapan itu dalam janji Tuhan, yang merupakan pasar dengan jaminan keuntungan yang pasti, meskipun waktu pengembaliannya mungkin memerlukan penantian yang panjang dan sabar.

Kejujuran batin dalam mengakui keterbatasan manusia adalah fondasi dari Tawakkul sejati. Ketika seseorang benar-benar mengakui bahwa sahabat terbaiknya, pemimpinnya yang paling adil, dan pendukungnya yang paling setia, semuanya pada akhirnya lemah dan fana, barulah ia dapat melepaskan diri secara total dari kebutuhan untuk menggantungkan nasibnya pada mereka. Hanya setelah pelepasan inilah, Ali meyakini, jiwa menjadi tenang, karena ia telah menemukan tempat berlindung yang tak tergoyahkan.

Kesimpulan: Gerbang Kebebasan Abadi Melalui Tawakkul Sejati

Kebijaksanaan Ali bin Abi Thalib mengenai harapan kepada manusia adalah peta jalan menuju kemerdekaan spiritual yang radikal. Ini bukan ajakan untuk hidup mengisolasi diri atau menolak berinteraksi sosial, melainkan seruan untuk memperbaiki niat dan tempat bersandar dalam setiap interaksi tersebut. Ali mengajarkan bahwa kita harus mencintai manusia, berbuat baik kepada mereka, dan membantu mereka, tetapi kita harus memastikan bahwa kita tidak pernah membutuhkan mereka untuk menentukan nilai atau kebahagiaan diri kita.

Inti dari ajaran ini adalah Tauhid Harapan. Sebagaimana tauhid menuntut keesaan Tuhan dalam ibadah, tauhid harapan menuntut keesaan Tuhan sebagai satu-satunya sumber yang layak kita harapkan. Ketika harapan kita murni dan tunggal, kita akan mencapai Istighna'—kekayaan batin yang membuat kita tidak gentar terhadap pengkhianatan atau penolakan manusia, dan membuat kita mampu menghadapi dunia dengan ketenangan yang berasal dari jaminan Ilahi.

Pada akhirnya, melepaskan harapan yang memberatkan kepada manusia adalah tindakan kasih terbesar yang dapat kita berikan kepada diri kita sendiri. Itu adalah pembebasan dari rantai kekecewaan yang berulang. Ali bin Abi Thalib, melalui semua pengalaman pahit dan manisnya, meninggalkan warisan yang jelas: Jangan berharap pada yang fana, karena hanya yang Kekal yang dapat memberikan kepuasan abadi. Inilah puncak dari kebijaksanaan yang membawa mukmin pada kebebasan sejati di dunia maupun di akhirat.

Praktik Tawakkul yang diajarkan oleh Ali adalah sebuah proses berkelanjutan; ia adalah pengujian harian terhadap apakah kita masih diam-diam mencari pengakuan, dukungan, atau jaminan dari sesama makhluk, ataukah kita telah sepenuhnya mengalihkan energi spiritual itu ke dalam hubungan yang tak terputus dengan Sang Pencipta. Keberhasilan dalam pertarungan batin ini adalah penentu utama kedamaian jiwa dan kehormatan diri. Hanya ketika harapan telah tertanam kokoh pada sumber yang tak pernah ingkar, barulah kita dapat berdiri tegak, mandiri, dan bebas dari gejolak hati manusia.

Melangkah lebih jauh, konsep Ali tentang Istighna’ adalah tentang merumuskan kembali definisi kekuatan. Kekuatan sejati bukanlah kemampuan untuk mengendalikan orang lain agar memenuhi keinginan kita, melainkan kemampuan untuk tidak membutuhkan kendali itu sama sekali. Kekuatan terletak pada kemampuan untuk berinteraksi dengan dunia tanpa menjadi korban dari ekspektasi duniawi. Individu yang kuat adalah individu yang kebutuhannya sepenuhnya dipenuhi oleh Dzat Yang Maha Mencukupi, menjadikan semua yang datang dari manusia sebagai kelebihan yang indah, bukan sebagai kekurangan yang wajib dipenuhi. Transformasi ini adalah warisan abadi dari Ali bin Abi Thalib kepada setiap pencari ketenangan.

Ali bin Abi Thalib mengajarkan bahwa jiwa manusia adalah kapal yang berlayar di lautan kehidupan. Jika kapal ini ditambatkan pada dermaga yang rapuh (yaitu harapan pada manusia), ia akan tenggelam saat badai datang. Namun, jika kapal itu dibiarkan berlayar bebas, digerakkan oleh angin Tawakkul yang murni, dengan kompas yang menunjuk pada Rahmat Ilahi, ia akan mencapai pantai keselamatan. Harapan kepada manusia adalah jangkar yang menahan dan menghambat perjalanan spiritual, sementara harapan kepada Tuhan adalah layar yang mendorong kapal menuju tujuan tertinggi.

Oleh karena itu, setiap kali kekecewaan mengetuk pintu hati, biarlah itu menjadi lonceng peringatan yang mengingatkan pada ajaran Ali: periksalah di mana Anda meletakkan harapan Anda. Jika ia diletakkan pada fondasi yang fana, angkatlah ia segera dan tempatkan di hadapan Yang Maha Kekal. Ini adalah jalan menuju kebahagiaan yang tak terlukiskan, kekayaan yang tak terhingga, dan kemerdekaan yang tidak dapat diambil oleh siapa pun.

Ketergantungan yang berlebihan pada manusia juga menghasilkan siklus penghambatan spiritual. Ketika seseorang selalu melihat ke samping dan ke bawah, mencari bantuan dari makhluk, ia gagal mengangkat pandangannya ke atas, ke Sumber segala bantuan. Ali melihat ini sebagai pemborosan energi spiritual yang seharusnya digunakan untuk mendalami hubungan dengan Tuhan. Setiap tetes energi yang dihabiskan untuk mencoba memanipulasi atau menyenangkan manusia agar mereka memberi, adalah energi yang tidak diinvestasikan dalam doa, dzikir, dan introspeksi. Energi yang hilang ini memperlambat pertumbuhan spiritual dan menunda pembebasan batin. Ali mengajak kita untuk menghentikan pemborosan ini. Fokuskan seluruh daya harap kita pada Allah, dan kita akan menemukan bahwa semua kebutuhan kita, termasuk yang disalurkan melalui manusia, akan terpenuhi dengan cara yang paling mulia dan tanpa kehinaan.

Pola pikir ini juga melindungi dari penyakit hati seperti iri hati dan dengki. Ketika seseorang berharap pada manusia, ia akan selalu membandingkan nasibnya dengan orang lain yang mendapat bantuan lebih cepat atau lebih besar. Iri hati adalah racun yang merusak iman. Ali mengajarkan bahwa ketika harapan kita hanya tertuju pada Tuhan, kita memahami bahwa rezeki setiap orang telah diukur secara adil. Rasa iri menghilang karena kita tahu bahwa apa yang diberikan kepada orang lain tidak mengurangi sedikit pun dari apa yang telah ditakdirkan untuk kita. Ketenangan ini, yang terlahir dari Tauhid Harapan, adalah hadiah terbesar yang ditawarkan oleh ajaran Ali bin Abi Thalib.

Maka, mari kita jadikan nasihat Ali sebagai cahaya yang menuntun: carilah kekayaan dalam jiwa, bukan dalam dompet atau tangan orang lain. Carilah pertolongan dalam shalat, bukan dalam jaringan kekuasaan manusia. Carilah kepastian dalam janji Tuhan, bukan dalam kata-kata makhluk yang berubah-ubah. Dengan demikian, kita akan mencapai tingkat kemuliaan dan Istighna' yang memungkinkan kita hidup bebas di dunia yang fana ini, menantikan pertemuan abadi dengan Yang Maha Kekal, tanpa membawa beban kekecewaan dari manusia.

🏠 Homepage