Kisah hidup Ali bin Abi Thalib, sepupu dan menantu Rasulullah SAW, serta Khalifah keempat dalam sejarah Islam, bukanlah sekadar narasi kepahlawanan atau kepemimpinan politik. Lebih dari itu, kehidupannya menyajikan sebuah drama teologis dan eksistensial mengenai batas-batas kekuatan manusia dan bahaya fatal yang timbul ketika seorang pemimpin—seorang yang saleh—terpaksa menggantungkan nasib misinya pada kesetiaan, kejujuran, dan keteguhan hati manusia biasa.
Sayyidina Ali adalah inkarnasi kebijaksanaan, keberanian, dan kesalehan yang murni. Ia adalah gerbang kota ilmu, sebagaimana sabda Nabi. Namun, ironisnya, pemerintahannya yang singkat diwarnai oleh konflik internal yang pahit, perpecahan, dan pengkhianatan yang tak terhitung. Sejarah ini bukan hanya mencatat kegagalan administrasi, melainkan kegagalan fundamental dalam menempatkan harapan; kegagalan yang menunjukkan bahwa fondasi yang dibangun di atas kesetiaan manusia, bahkan kesetiaan para sahabat sekalipun, selalu rentan terhadap goncangan, keraguan, dan kepentingan diri.
Dalam artikel ini, kita akan menelusuri bagaimana pengalaman Ali, terutama selama masa fitnah besar (perang saudara), menjadi pelajaran abadi tentang perlunya Tawakkul (penyerahan diri penuh kepada Tuhan) dan bahaya fatal dari *‘ittimaad ‘ala al-naas* (mengandalkan harapan pada manusia). Kehidupan Ali mengajarkan bahwa meskipun kita harus berinteraksi dan memimpin manusia, menaruh keyakinan mutlak pada komitmen, janji, atau dukungan mereka adalah sumber kekecewaan yang tak terhindarkan dan, dalam kasus Ali, kehancuran politik yang memilukan.
Ali bin Abi Thalib dibesarkan dalam cahaya kenabian. Sejak masa mudanya, ia dikenal sebagai pahlawan, seorang ulama yang mendalam dalam pemahaman syariat, dan pribadi yang dikenal dengan keadilan yang tajam. Sifat-sifat ini—keadilan yang keras, kejujuran absolut, dan keengganan untuk berkompromi demi keuntungan politik—adalah pedang bermata dua yang membentuk panggung dramanya. Dalam pandangan Ali, kepemimpinan adalah amanah ilahi, dan tidak ada ruang untuk kelonggaran dalam menegakkan kebenaran, bahkan jika itu harus dibayar dengan nyawa dan stabilitas kekuasaannya.
Ali mewakili idealisme Islam yang paling murni pasca-Nabi. Dia tidak memiliki ambisi duniawi yang berlebihan; dia menerima Khilafah hanya karena desakan umat dan untuk mencegah kekosongan kekuasaan yang lebih besar setelah syahidnya Utsman bin Affan. Begitu menjabat, ia segera menerapkan reformasi yang menuntut kejujuran finansial dan administratif yang tak tertandingi. Inilah titik awal gesekan yang mendalam.
Manusia, pada umumnya, mendambakan kepastian, keuntungan, dan toleransi terhadap kesalahan kecil. Ali, di sisi lain, menuntut standar kesempurnaan etika. Ketika ia menuntut para pejabatnya untuk mengembalikan harta yang diambil secara tidak sah dan menolak memberikan perlakuan istimewa kepada kelompok tertentu—bahkan dari mereka yang mendukungnya—ia secara fundamental menantang harapan pragmatis yang diletakkan para pengikutnya padanya.
Ali berharap pada manusia, khususnya pada umat Islam, agar mereka menjunjung tinggi standar ilahi yang sama yang ia junjung. Harapan inilah yang berulang kali gagal. Manusia cenderung melihat kebenaran melalui lensa kepentingan pribadi, dan ketika kebenaran yang dibawa Ali mulai mengancam status atau kekayaan mereka, janji kesetiaan yang tadinya diucapkan dengan lantang mulai bergetar dan runtuh.
Tragedi Ali terletak pada kenyataan bahwa ia memimpin pada periode pertama fragmentasi ideologis dalam sejarah Islam. Pada saat itulah kekuatan iman kolektif mulai digantikan oleh politik suku, ambisi pribadi, dan interpretasi agama yang dangkal. Ali dihadapkan pada tiga kategori besar manusia yang padanya ia terpaksa menggantungkan harapannya untuk persatuan, dan ketiganya mengecewakan secara mendasar:
Kelompok ini terdiri dari individu yang melihat Khilafah sebagai sumber kekuasaan dan pengaruh. Mereka mendukung Ali selama hal itu menguntungkan posisi mereka. Ketika Ali menolak menggunakan kekuasaan untuk membeli loyalitas mereka—sebuah praktik yang ia anggap bertentangan dengan prinsip Islam—mereka meninggalkannya. Ali menolak kompromi, bahkan ketika nasihat pragmatis memintanya untuk menunda pemecatan gubernur atau penegakan keadilan restitusi. Ia menolak menempatkan harapan pada trik politik yang bertujuan mendapatkan loyalitas sementara. Dalam Nahjul Balaghah, ia sering meratapi sifat duniawi manusia yang melupakan akhirat demi sedikit kekuasaan yang fana.
"Aku tidak akan menggunakan imanku untuk mencari keuntungan dalam dunia ini; bahkan jika aku tidak memiliki apa-apa selain kebenaran yang kumiliki, itu lebih berharga daripada semua yang mereka tawarkan."
Kekecewaan terhadap kelompok ini mengajarkan pelajaran pertama: harapan pada dukungan manusia yang didasarkan pada keuntungan bersama adalah fondasi yang dibangun di atas pasir. Begitu air pasang kepentingan surut, dukungan itu pun hilang.
Kelompok kedua adalah massa yang setia secara spiritual namun lemah dalam tekad. Mereka berjanji setia, tetapi ketika menghadapi ujian berat—seperti Perang Jamal atau Perang Shiffin—mereka mudah terpengaruh oleh propaganda musuh, lelah dengan perang yang berkepanjangan, atau takut kehilangan kenyamanan hidup. Ali sangat mengandalkan kekuatan moral kelompok ini untuk menstabilkan Khilafah, tetapi mereka sering kali menarik diri pada saat-saat paling krusial.
Ali sering mengeluh tentang sifat pengikutnya yang lambat bergerak ketika diperintahkan untuk berperang, namun cepat dalam menimbulkan keributan ketika tidak ada masalah. Mereka adalah cerminan dari mayoritas masyarakat: baik secara niat, namun rapuh dalam implementasi. Harapan Ali pada keteguhan hati mereka selalu berakhir dengan frustrasi, memaksa Ali untuk bertindak sendirian atau dengan sisa pasukan yang kecil dan termotivasi.
Ini adalah kelompok yang paling tragis dan paling mengecewakan. Khawarij adalah orang-orang yang paling taat beribadah, paling rajin membaca Al-Qur'an, dan paling gigih dalam menuntut keadilan. Ali berharap bahwa kesalehan yang murni ini akan menjadi fondasi bagi persatuan sejati. Namun, ironisnya, harapan ini menghasilkan pengkhianatan paling brutal.
Mereka mengkhianati Ali bukan karena ambisi duniawi, melainkan karena kesombongan intelektual dan ketaatan yang buta. Setelah memaksakan arbitrase (Tahkim) di Shiffin—sebuah kompromi yang bertentangan dengan keinginan Ali—mereka tiba-tiba berbalik dan mengkafirkan Ali karena menyetujui arbitrase tersebut, dengan slogan terkenal, "Hukum hanyalah milik Allah!"
Dalam konteks ini, harapan Ali pada Khawarij—bahwa kesalehan mereka akan disertai dengan kebijaksanaan dan kerendahan hati—hancur berkeping-keping. Ali menyadari bahwa bersandar pada manusia, bahkan yang paling taat sekalipun, berarti bergantung pada interpretasi mereka yang terbatas, emosi mereka yang labil, dan kesiapan mereka untuk menafsirkan kebenaran hanya berdasarkan pemahaman mereka sendiri yang sempit. Pengkhawarijan menjadi pelajaran bahwa keimanan yang tidak dibimbing oleh hikmah akan menjadi racun, bukan penopang.
Perang Shiffin melawan Muawiyah adalah titik balik paling penting yang menunjukkan bahaya mutlak menaruh harapan pada pengambilan keputusan manusia. Ali dan pasukannya berada di ambang kemenangan. Pasukan Ali, yang dipimpin oleh tekadnya yang tak tergoyahkan, hampir mengakhiri perlawanan Muawiyah.
Ketika kekalahan sudah di depan mata, Muawiyah menggunakan taktik cerdik yang didorong oleh Amr bin Al-Ash: mengangkat mushaf (Al-Qur’an) di ujung tombak, menyerukan arbitrase berdasarkan Kitabullah. Ini adalah jebakan politik yang brilian, namun disajikan dalam kemasan religius. Ali memahami bahwa ini hanyalah tipu daya untuk menghindari kekalahan, dan ia mendesak pasukannya untuk terus maju.
Namun, harapan Ali pada ketajaman spiritual dan kedisiplinan pasukannya hancur. Mayoritas pasukannya yang bimbang, terutama kelompok yang kemudian menjadi Khawarij, segera jatuh ke dalam perangkap emosional ini. Mereka menuntut penghentian perang, berseru bahwa mereka tidak boleh memerangi Kitabullah. Ketika Ali menjelaskan bahwa itu hanyalah tipuan, mereka mengancam akan membunuhnya atau menyerahkannya kepada musuh jika ia tidak menerima arbitrase.
Inilah puncak keputusasaan seorang pemimpin. Ali terpaksa menerima sebuah keputusan yang ia yakini akan merugikannya, bukan karena musuhnya lebih kuat, tetapi karena ia terancam oleh pasukannya sendiri. Harapan Ali pada kedewasaan, kecerdasan, dan loyalitas tempur pasukannya telah hancur total. Ia dipaksa untuk menukar kemenangan mutlak dengan ketidakpastian negosiasi yang dirancang oleh musuh.
Setelah dipaksa menerima arbitrase, Ali lagi-lagi harus menelan kepahitan. Pasukannya menolak pilihan utusan (wakil) yang diajukannya (Ibnu Abbas), sebaliknya memaksakan Abu Musa Al-Asy’ari, seorang yang dikenal netral namun lemah dan kurang cerdik dalam politik. Pilihan ini adalah demonstrasi lain dari kegagalan manusia: mereka memilih berdasarkan sentimen emosional, bukan kompetensi atau loyalitas ideologis.
Hasil arbitrase, yang secara efektif menanggalkan Ali dari Khilafah, adalah penghinaan publik yang mendalam. Kekecewaan yang dialami Ali di Shiffin bukanlah kekalahan militer, melainkan kekalahan moral yang disebabkan oleh kelemahan kolektif, keraguan, dan penempatan harapan yang salah pada orang-orang yang mudah dimanipulasi.
Pengalaman hidup Ali bin Abi Thalib, yang tercermin dalam kumpulan khotbah dan ucapannya dalam Nahjul Balaghah (Jalan Kefasihan), merupakan salah satu sumber kebijaksanaan terpenting mengenai hubungan manusia dan bahaya bergantung pada mereka. Setelah menghadapi pengkhianatan berturut-turut, filosofi Ali semakin bergeser ke arah Tawakkul yang murni dan pemahaman mendalam tentang sifat manusia yang cacat (al-naqs al-insani).
Ali memahami bahwa janji manusia adalah sesuatu yang fana dan terikat pada kondisi dan waktu. Seorang pendukung hari ini bisa menjadi musuh esok hari, bukan karena perubahan prinsip Ali, tetapi karena perubahan keadaan ekonomi, politik, atau emosi mereka. Ia menyadari bahwa kekuatan janji seorang mukmin pun dapat dilemahkan oleh godaan duniawi, kelelahan, atau ketakutan.
Ini bukan pesimisme, melainkan realisme spiritual yang keras. Harapan harus dialamatkan kepada Yang Maha Kekal dan Maha Kuasa, Dzat yang janji-Nya tidak pernah berubah dan tidak pernah dibatalkan oleh kepentingan pribadi atau kelemahan karakter.
"Hati manusia adalah seperti binatang liar. Barangsiapa yang mengikatnya, ia akan kembali kepadanya. Dan betapa cepatnya hati yang telah kau ikat itu berpaling ketika kau palingkan wajahmu darinya."
Pernyataan ini menyoroti volatilitas dukungan manusia. Bahkan setelah upaya terbaik untuk mendidik dan memimpin mereka, hati mereka tetap tidak stabil, bergerak antara komitmen dan penarikan diri berdasarkan dorongan internal yang paling dangkal.
Salah satu pelajaran terbesar dari kepemimpinan Ali adalah bahaya membangun harapan pada pujian dan pengagungan publik. Di awal Khilafah, ia disambut dengan dukungan yang luar biasa. Namun, Ali tahu bahwa pujian hari ini bisa menjadi kecaman esok hari. Ia selalu waspada terhadap sanjungan karena ia tahu bahwa di balik pujian yang berlebihan sering kali tersembunyi kepentingan yang tidak murni.
Dalam nasihatnya kepada putranya, Hasan, Ali menekankan pentingnya independensi moral dari opini manusia. Jika seorang pemimpin terlalu bergantung pada validasi atau harapan pasukannya, dia akan dipaksa untuk berkompromi pada prinsip-prinsipnya demi mempertahankan dukungan tersebut. Ali menolak menjual prinsip-prinsipnya, dan harga yang ia bayar adalah kehilangan dukungan rakyatnya. Namun, dari sudut pandang spiritual, ia memenangkan sesuatu yang jauh lebih berharga: integritas penuh di hadapan Tuhannya.
Seiring berjalannya waktu, Ali semakin merasa terasing. Ia sering menyebut betapa sedikitnya orang yang benar-benar memahami visi dan prinsipnya. Keterasingan ini, yang merupakan konsekuensi langsung dari kegagalan harapannya pada manusia, justru menguatkan ketaatan spiritualnya. Ali mengajarkan bahwa ketika manusia mengecewakan, itu adalah kesempatan untuk memperkuat ikatan dengan Pencipta.
Dalam situasi ini, ketergantungan pada Tuhan menjadi satu-satunya sumber kekuatan yang tersisa. Kekuatan yang didasarkan pada Tawakkul tidak dapat dikalahkan oleh pengkhianatan, fitnah, atau kekalahan politik. Ali, meskipun secara politik dikalahkan oleh Muawiyah dan ditinggalkan oleh Khawarij, tetap teguh secara spiritual dan moral—sebuah bukti bahwa harapan yang diletakkan di tempat yang benar tidak pernah menghasilkan kekecewaan abadi.
Untuk memahami kedalaman luka yang disebabkan oleh bersandar pada manusia, tidak ada studi kasus yang lebih jelas daripada Khawarij. Kelompok ini adalah manifestasi paling ekstrem dari apa yang terjadi ketika harapan ditempatkan pada manusia yang saleh namun kurang bijaksana.
Khawarij secara harfiah berarti "mereka yang keluar." Mereka keluar dari barisan Ali karena, bagi mereka, keputusan Ali untuk menerima arbitrase adalah dosa besar yang membuat Ali keluar dari Islam. Ironi terbesar adalah bahwa Khawarij adalah orang-orang yang, beberapa saat sebelumnya, mengancam nyawa Ali untuk memaksakan arbitrase tersebut.
Ali menyaksikan bagaimana manusia dapat melakukan putar balik moral dan ideologis yang sangat cepat. Ini menunjukkan bahwa harapan yang didasarkan pada kesetiaan ideologis pun rapuh. Ketika manusia merasa bahwa mereka lebih benar (self-righteous) daripada pemimpin mereka, mereka akan membenarkan pengkhianatan sebagai tindakan kesalehan. Ali harus menghadapi mereka dalam Perang Nahrawan, suatu konflik yang ia lakukan dengan berat hati, karena ia harus melawan orang-orang yang hatinya pernah berjanji setia kepadanya.
Kekalahan Khawarij di Nahrawan tidak menyelesaikan masalah; justru menyisakan benih kebencian yang akhirnya mengarah pada syahidnya Ali. Pengalaman ini mengukuhkan keyakinan Ali bahwa manusia, meskipun memiliki niat baik, memiliki batas kemampuan dalam mempertahankan objektivitas dan kejujuran di bawah tekanan emosional dan ideologis.
Melalui Khawarij, Ali belajar bahwa:
Harapan Ali bahwa kelompok religius ini akan menjadi tulang punggung pemerintahan yang adil terbukti keliru karena ia bersandar pada kesempurnaan karakter mereka, yang mana kesempurnaan itu hanya dimiliki oleh Allah.
Kematian Ali bin Abi Thalib, yang dibunuh oleh Abdurrahman bin Muljam, seorang Khawarij, adalah klimaks pahit dari rantai pengkhianatan yang dimulai sejak ia menerima Khilafah. Pembunuhannya bukan sekadar akhir tragis bagi seorang pemimpin, tetapi penutup dari sebuah babak sejarah yang sarat pelajaran tentang keterbatasan manusia.
Warisan Ali mengajarkan kita bahwa bersandar pada manusia berarti membuka diri terhadap kerentanan: fluktuasi emosi, kelemahan janji, dan potensi pengkhianatan. Sebaliknya, Tawakkul yang sejati—penyerahan penuh kepada Tuhan—adalah satu-satunya sumber kepastian dan ketenangan.
Pelajaran Ali bukanlah ajakan untuk isolasi atau kepasrahan fatalistik. Ali adalah pemimpin yang paling aktif, paling berani, dan paling berusaha. Ia memimpin pasukan, berkhotbah, dan menegakkan hukum. Ali tidak pernah berhenti berusaha, namun ia membedakan dengan jelas antara *usaha (asbab)* dan *tempat menaruh harapan (ittika’)*.
Kita diwajibkan berusaha, berinteraksi, dan mengelola urusan manusia dengan sebaik-baiknya. Kita harus menuntut loyalitas dan keadilan. Namun, kita tidak boleh menaruh harapan pada keberhasilan atau keteguhan janji manusia sebagai sumber kedamaian atau jaminan akhir. Keberhasilan atau kegagalan harus diukur bukan dari respons manusia, tetapi dari kesempurnaan implementasi perintah ilahi.
"Janganlah kamu berharap kecuali kepada Tuhanmu, dan janganlah kamu takut kecuali pada dosamu sendiri."
Nasihat ini, yang sering dikaitkan dengan Ali, adalah inti dari pemahaman yang ia peroleh dari penderitaannya. Harapan manusia selalu datang dengan harga kekecewaan, karena manusia tidak memiliki kontrol penuh atas hati, niat, atau masa depan. Hanya Allah SWT yang layak menjadi sandaran harapan.
Meskipun kita hidup di era modern, pelajaran yang dipetik dari konflik-konflik di zaman Ali tetap relevan, terutama dalam hubungan sosial, politik, dan bahkan personal. Dalam setiap komitmen manusia, ada elemen ketidakpastian yang melekat, yang Ali sebut sebagai 'kelemahan manusiawi'.
Ali sering memperingatkan tentang *ghurur al-amal* (tipuan atau ilusi harapan). Dalam konteks ini, kita bisa menafsirkan *ghurur al-amal* sebagai ilusi bahwa struktur, sistem, atau bahkan dukungan massa akan menyelamatkan kita dari tantangan. Ketika seorang pemimpin berharap bahwa lembaga yang ia bangun atau pengikut setia yang ia miliki akan melindungi misinya dari kehancuran, ia telah jatuh ke dalam ilusi.
Ali melihat bahwa semua benteng manusia pada akhirnya akan runtuh. Benteng yang kokoh adalah kesadaran akan Tawakkul. Ini berarti seorang pemimpin harus selalu bertindak dengan prinsip, terlepas dari apakah tindakan itu populer atau mengamankan kekuasaannya. Jika kekuasaan hilang, itu adalah karena ketetapan ilahi, bukan karena kegagalan moral.
Kehidupan Ali mengajarkan kehati-hatian yang mendalam dalam menilai kualitas dukungan. Ia menasihati agar kita menilai seseorang bukan dari banyaknya janji, melainkan dari konsistensi tindakan mereka di bawah tekanan. Orang-orang yang mendukungnya pada hari-hari damai lari saat perang meletus, atau berbalik melawan dia karena ketakutan. Oleh karena itu, harapan pada kesetiaan harus selalu disertai dengan kesadaran akan batas-batas sifat manusia.
Seorang Muslim diwajibkan untuk berbuat baik kepada sesama manusia dan membangun komunitas yang kuat. Namun, ia harus ingat bahwa komitmen pada persahabatan, aliansi, atau koalisi, meskipun penting, tidak boleh menggantikan komitmen tunggal kepada Tuhan. Ketika manusia mengecewakan—dan Ali menunjukkan bahwa mereka pasti akan mengecewakan—kekuatan internal tidak boleh ikut runtuh bersamanya.
Pemerintahan Sayyidina Ali berakhir dengan kepahitan politik dan syahid. Namun, kegagalan politiknya adalah kemenangan spiritualnya. Pengalaman Ali adalah cermin bagi seluruh umat manusia, menunjukkan bahwa bahkan manusia yang paling saleh, paling berani, dan paling bijaksana sekalipun akan hancur jika ia membiarkan harapannya terikat erat pada fluktuasi kesetiaan dan niat manusia yang rapuh.
Jika seorang Ali bin Abi Thalib, yang memiliki kualitas dan kedekatan dengan Rasulullah SAW sedemikian rupa, tidak mampu menjamin loyalitas pengikutnya, maka ini adalah bukti mutlak bahwa fondasi kekuasaan atau misi di dunia ini tidak boleh dibangun di atas keyakinan pada manusia.
Pelajaran Ali adalah pemurnian Tawakkul: *Lā rajā’a illā Allāh* (Tidak ada harapan selain kepada Allah). Manusia adalah alat, bukan tujuan. Mereka adalah subjek yang harus dilayani dan dipimpin, tetapi bukan fondasi untuk menggantungkan keyakinan mutlak. Kekecewaan yang dialami Ali adalah anugerah tersembunyi yang memastikan bahwa umat Islam selanjutnya akan mengerti di mana batas kedaulatan dan kemampuan manusia berhenti, dan di mana kedaulatan Tuhan dimulai.
Dengan demikian, kisah Ali bin Abi Thalib tetap menjadi seruan abadi: laksanakan tugasmu dengan sempurna, berjuanglah demi kebenaran tanpa lelah, tetapi bersandarlah sepenuhnya pada Kekuatan Ilahi, karena setiap harapan yang diletakkan pada manusia akan segera berubah menjadi debu dan kekecewaan yang mendalam.
(Akhir Kajian)