Kitab Amsal merupakan gudang hikmat yang tak ternilai, menawarkan prinsip-prinsip praktis untuk menjalani kehidupan yang bijaksana dan berkenan di hadapan Tuhan. Di antara ribuan mutiara nasihatnya, satu ayat seringkali terabaikan namun sarat makna mendalam: Amsal 23 ayat 1. Ayat ini tidak hanya berbicara tentang etiket makan, tetapi jauh lebih dalam menyentuh tema pentingnya kendali diri, kebijaksanaan dalam bersosialisasi, dan kesadaran akan prioritas hidup.
Penggalan ayat ini langsung membawa kita pada sebuah skenario sosial yang spesifik: sebuah perjamuan atau makan bersama dengan seorang figur otoritas, "penguasa". Siapakah "penguasa" ini? Dalam konteks Amsal, istilah ini bisa merujuk pada raja, pejabat, orang yang memiliki kedudukan tinggi, atau bahkan seseorang yang kita hormati dan kagumi. Yang terpenting adalah adanya dinamika kekuasaan atau pengaruh dalam interaksi tersebut. Nasihat yang diberikan bukanlah sekadar tata krama makan, melainkan sebuah peringatan strategis.
Mengapa harus "memperhatikanlah baik-baik siapa yang ada di hadapanmu"? Ada beberapa lapisan makna yang bisa digali dari nasihat ini. Pertama, ini adalah soal kehati-hatian dan observasi. Ketika kita berada dalam lingkungan yang memiliki struktur kekuasaan, sangat penting untuk memahami siapa saja yang hadir, apa peran mereka, dan bagaimana dinamika hubungan antar mereka. Mengamati ini membantu kita untuk bertindak dengan bijak, menghindari kesalahpahaman, atau bahkan potensi bahaya. Misalnya, jika kita menyadari ada persaingan atau ketegangan di antara para hadirin, kita akan lebih berhati-hati dalam memilih topik pembicaraan atau dalam menunjukkan keberpihakan.
Kedua, ayat ini menekankan pentingnya pengendalian diri. Mengapa pengendalian diri terkait dengan makan dengan seorang penguasa? Makan, terutama dalam perjamuan resmi, seringkali menjadi ajang untuk menunjukkan status, selera, dan bahkan watak seseorang. Orang yang tidak memiliki kendali diri cenderung berlebihan dalam makan atau minum, berbicara sembarangan, atau menunjukkan sikap yang tidak pantas. Dalam konteks berhadapan dengan penguasa, tindakan semacam itu bisa berakibat fatal. Penguasa bisa melihat ketidakmampuan kita mengendalikan diri sebagai cerminan ketidakmampuan kita dalam tugas-tugas lain, atau bahkan sebagai tanda ketidakdewasaan dan ketidaklayakan.
Amsal, sebagai kitab hikmat, selalu mengajarkan tentang moderasi. Makan berlebihan bisa membawa berbagai masalah kesehatan, namun dalam konteks sosial yang lebih luas, ia juga bisa melambangkan ketamakan dan ketidakmampuan mengelola keinginan. Seorang bijak akan makan secukupnya, menikmati makanan dengan sopan, dan menjaga perilakunya agar tetap terhormat, terlepas dari seberapa mewah hidangannya.
Ketiga, ayat ini juga bisa ditafsirkan sebagai nasihat untuk memanfaatkan kesempatan dengan bijak. Berada di meja makan bersama seorang penguasa adalah sebuah kesempatan. Kesempatan ini bisa digunakan untuk membangun hubungan baik, menyampaikan ide atau permohonan dengan tepat waktu, atau sekadar untuk belajar dari orang-orang yang berpengaruh. Namun, untuk memanfaatkan kesempatan ini dengan baik, seseorang harus memiliki kesadaran diri dan kemampuan untuk "membaca situasi". Mengetahui siapa yang ada di hadapanmu berarti memahami siapa saja yang bisa menjadi sekutu, siapa yang perlu dihindari, dan siapa yang mungkin bisa diajak berdiskusi secara konstruktif.
Lebih jauh lagi, hikmat yang tersirat dalam Amsal 23:1 mengingatkan kita bahwa fokus kita seharusnya tidak hanya pada makanan itu sendiri, tetapi pada orang-orang dan konteks di mana makanan itu disajikan. Ini mengajarkan kita untuk tidak terjebak dalam kesenangan sesaat atau godaan duniawi (seperti makanan mewah), melainkan untuk senantiasa memelihara kewaspadaan dan kebijaksanaan dalam setiap interaksi, terutama dengan mereka yang memiliki pengaruh.
Dalam kehidupan modern, "penguasa" mungkin bukan hanya raja atau pejabat, tetapi bisa jadi atasan di tempat kerja, mentor yang kita hormati, atau bahkan kolega dengan pengaruh besar dalam sebuah proyek. Prinsip "memperhatikan baik-baik siapa yang ada di hadapanmu" tetap relevan. Ini adalah panggilan untuk meningkatkan kecerdasan emosional, kemampuan observasi sosial, dan yang terpenting, kemampuan untuk memelihara kendali diri.
Mengendalikan keinginan, ucapan, dan tindakan, terutama dalam situasi yang berpotensi menantang, adalah ciri orang yang bijaksana. Amsal 23:1 mengajarkan bahwa kebijaksanaan sejati tidak hanya terlihat dari pengetahuan, tetapi dari cara kita menerapkan pengetahuan itu dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam momen-momen yang tampak sederhana seperti makan bersama. Dengan memperhatikan siapa yang ada di hadapan kita, kita belajar untuk menghargai orang lain, bertindak dengan hormat, dan menjaga reputasi kita, sehingga kita dapat menjalani kehidupan yang lebih terhormat dan diberkati.