Hikmat Berseru Di Persimpangan Kehidupan

Amsal 1:20-23: Seruan Hikmat di Tengah Keramaian

Kitab Amsal, sebuah permata hikmat dari peradaban kuno, menawarkan panduan praktis untuk menjalani kehidupan yang bermakna. Di awal pasal pertama, kita diperkenalkan dengan hikmat itu sendiri, digambarkan bukan sebagai konsep abstrak, melainkan sebagai pribadi yang aktif berseru dan berbicara. Bagian ini, khususnya Amsal 1:20-23, melukiskan gambaran yang kuat tentang bagaimana hikmat berusaha menjangkau kita di tengah hiruk-pikuk kehidupan sehari-hari. Ayat-ayat ini bukan sekadar syair indah, melainkan sebuah panggilan mendesak bagi setiap jiwa yang mencari arah dan kebenaran.

Amsal 1:20 menyatakan, "Di jalan-jalan, di tempat terbuka hikmat berseru, di pintu-pintu gerbang yang ramai ia bersuara." Pernyataan ini menempatkan hikmat bukan di tempat yang terpencil atau eksklusif, melainkan di tempat-tempat yang paling sering kita lewati: jalan-jalan yang ramai, persimpangan yang padat, tempat pertemuan orang banyak. Ini adalah metafora yang sangat relevan, seolah-olah hikmat berteriak agar diperhatikan di tengah kebisingan dunia modern. Pintu-pintu gerbang kota pada masa itu adalah pusat aktivitas sosial dan ekonomi, tempat keputusan penting dibuat dan informasi disebarkan. Hikmat hadir di sana, berseru untuk didengarkan.

Lebih lanjut, Amsal 1:21 menambahkan, "Ia berseru: 'Berapa lama lagi, hai orang-orang yang naif, kamu menyukai ken naif-anmu? Berapa lama lagi, hai orang-orang yang mengejek, kamu menganggap mengejek itu kesenanganmu? Berapa lama lagi, hai orang-orang bodoh, kamu membenci pengetahuan?'" Di sini, hikmat berbicara langsung kepada berbagai tipe individu yang menolak kehadirannya. Ia menyebut mereka "naif" (orang yang tidak memiliki pemahaman), "pengejek" (orang yang meremehkan dan mengolok-olok), dan "bodoh" (orang yang memelihara kebodohan). Hikmat mengajukan pertanyaan retoris yang menggugah: "Berapa lama lagi?" Pertanyaan ini menyiratkan urgensi dan kesabaran yang mulai menipis dari hikmat itu sendiri. Ia melihat pola perilaku destruktif yang berulang dan mencoba membangunkan mereka dari tidur kesombongan dan ketidakpedulian mereka.

Mengapa orang memilih untuk tetap dalam ken naif-an, kesenangan mengejek, atau kebencian terhadap pengetahuan? Seringkali, godaan untuk tetap nyaman dalam zona ketidakpedulian atau keangkuhan terasa lebih mudah daripada usaha untuk belajar dan berubah. Mengejek bisa memberikan rasa superioritas sesaat, sementara pengetahuan menuntut kerendahan hati dan komitmen. Hikmat, dalam seruannya, mengungkap kebohongan di balik kesenangan sesaat ini dan menyoroti konsekuensi jangka panjang dari penolakan terhadap kebenaran.

Puncak dari seruan hikmat ini terdapat pada Amsal 1:22-23: "Berbaliklah kamu karena teguranku! Sesungguhnya, aku akan mencurahkan rohku kepadamu, dan memberitahukan perkataan-perkataanku kepadamu." Ini adalah tawaran yang luar biasa. Hikmat tidak hanya mengkritik, tetapi juga menawarkan solusi dan transformasi. Ajakan untuk "berbalik" adalah inti dari pertobatan, sebuah perubahan arah dari jalan yang salah menuju jalan yang benar. Dan imbalannya sungguh tak ternilai: hikmat berjanji untuk "mencurahkan rohnya" dan "memberitahukan perkataan-perkataannya." Ini bukan sekadar transfer informasi, tetapi sebuah pencurahan berkat, sebuah pembukaan pemahaman yang mendalam, dan pengungkapan kebenaran ilahi yang akan membimbing dan menguatkan.

Pencurahan roh dan pemberitahuan perkataan menandakan sebuah relasi yang intim antara hikmat dan mereka yang mau mendengarkan. Ini adalah undangan untuk mengalami kebenaran secara personal, bukan hanya secara intelektual. Hikmat yang berseru di jalanan bukan hanya mencari pendengar, tetapi juga murid yang bersedia berubah. Ia menawarkan bukan hanya nasihat, tetapi juga kekuatan dan pencerahan untuk menjalani kehidupan yang lebih baik dan lebih benar.

Seruan hikmat dalam Amsal 1:20-23 mengingatkan kita bahwa kebenaran seringkali berada di tengah kebisingan kehidupan. Ia tidak hanya menunggu ditemukan, tetapi aktif mencari kita. Pertanyaannya bagi kita adalah: apakah kita akan terus mengabaikan seruannya, ataukah kita akan berbalik, menerima tegurannya, dan membuka diri pada janji pencurahan hikmat yang akan mengubah hidup kita?

🏠 Homepage