Dalam riuhnya kehidupan modern, di antara notifikasi yang tak henti berdering dan informasi yang membanjiri layar gawai kita, ada sebuah suara yang terus bergema, sebuah panggilan yang tak pernah lelah. Suara ini berasal dari kitab kuno yang sarat akan hikmat, sebuah panduan abadi bagi manusia: Kitab Amsal. Secara spesifik, Amsal 1:20 menyajikan gambaran yang kuat tentang bagaimana kebijaksanaan memanifestasikan dirinya di tengah hiruk pikuk dunia.
Amsal 1:20 berbunyi, "Di jalan-jalan yang ramai ia berseru, di pintu-pintu gerbang kota ia memperdengarkan perkataannya." Ayat ini menggambarkan kebijaksanaan, yang dipersonifikasikan sebagai seorang wanita, yang secara aktif mencari manusia. Ia tidak bersembunyi di tempat yang sunyi atau menunggu untuk ditemukan. Sebaliknya, ia menempatkan dirinya di tempat-tempat yang paling ramai, di mana aktivitas manusia paling intens terjadi. Ia berseru di "jalan-jalan yang ramai" dan berbicara di "pintu-pintu gerbang kota."
Pilihan lokasi ini sangat penting. Jalan-jalan yang ramai adalah tempat di mana orang-orang berkumpul, berbisnis, berinteraksi, dan sering kali, tersesat dalam kesibukan sehari-hari. Pintu-pintu gerbang kota adalah pusat kehidupan sosial dan ekonomi pada zaman kuno, tempat keputusan dibuat, berita disebarkan, dan pertemuan terjadi. Dalam konteks masa kini, kita bisa membayangkannya hadir di pusat-pusat perbelanjaan yang ramai, alun-alun kota, bahkan di platform digital tempat percakapan publik berlangsung.
"Di jalan-jalan yang ramai ia berseru, di pintu-pintu gerbang kota ia memperdengarkan perkataannya." - Amsal 1:20
Fakta bahwa kebijaksanaan "berseru" dan "memperdengarkan perkataannya" menunjukkan sifatnya yang proaktif dan mendesak. Ia tidak hanya menawarkan diri, tetapi ia secara aktif mengundang, mencoba menarik perhatian orang-orang yang mungkin sibuk, teralihkan, atau bahkan acuh tak acuh. Seruan ini bisa diartikan sebagai ajakan untuk berhenti sejenak dari kesibukan, untuk merenungkan, dan untuk mendengarkan sesuatu yang lebih dalam dan bermakna.
Ada beberapa alasan mengapa kebijaksanaan memilih tempat yang paling mungkin menarik perhatian dan menjangkau banyak orang. Pertama, keberadaannya di tempat umum menegaskan bahwa kebijaksanaan bukanlah sesuatu yang eksklusif atau sulit diakses. Ia tersedia untuk semua orang, terlepas dari status sosial, latar belakang, atau kesibukan mereka. Panggilan kebijaksanaan bersifat universal.
Kedua, tempat yang ramai sering kali merupakan titik di mana orang menghadapi berbagai macam pilihan, tantangan, dan godaan. Di tengah keramaian, godaan untuk mengambil jalan pintas, membuat keputusan impulsif, atau mengikuti arus tanpa berpikir panjang sangatlah kuat. Di sinilah suara kebijaksanaan menjadi sangat krusial. Ia menawarkan perspektif yang berbeda, sebuah panduan moral, dan pemahaman yang lebih dalam tentang konsekuensi dari setiap tindakan.
Ketiga, panggilan yang lantang di tempat ramai menyiratkan bahwa manusia sering kali perlu ditarik dari ketidakpedulian mereka. Kehidupan bisa menjadi begitu sibuk sehingga kita lupa untuk bertanya mengapa kita melakukan apa yang kita lakukan, atau apakah jalan yang kita tempuh adalah jalan yang benar. Kebijaksanaan yang berseru di tengah keramaian adalah pengingat bahwa selalu ada pilihan untuk hidup dengan lebih baik, lebih bermakna, dan lebih sesuai dengan kehendak yang lebih tinggi.
Di era digital saat ini, konsep "jalan-jalan yang ramai" dan "pintu-pintu gerbang kota" telah mengambil dimensi baru. Internet, media sosial, dan platform online lainnya adalah "jalan-jalan" dan "gerbang" baru di mana miliaran orang berinteraksi setiap hari. Di ruang-ruang inilah berbagai gagasan, argumen, dan pandangan bersaing untuk mendapatkan perhatian. Kebijaksanaan ilahi, sebagaimana digambarkan dalam Amsal 1:20, terus berseru di tengah lautan informasi ini.
Seringkali, di linimasa media sosial atau dalam diskusi online, kita terpapar pada suara-suara yang menawarkan solusi instan, pandangan yang ekstrem, atau sekadar hiburan kosong. Di sinilah pentingnya mengenali dan memilih untuk mendengarkan suara kebijaksanaan. Ia mungkin tidak selalu yang paling keras atau paling menarik secara visual, tetapi ia menawarkan kebenaran yang mendalam dan kebaikan yang langgeng.
Untuk benar-benar mendengar kebijaksanaan di tengah kebisingan digital, kita perlu secara sadar mencari sumber-sumber yang mengajarkannya. Ini mungkin berarti membaca literatur rohani, mendengarkan khotbah yang mendalam, mengikuti nasihat dari orang-orang yang bijaksana, dan yang terpenting, meluangkan waktu untuk refleksi pribadi dan doa. Dengan demikian, kita dapat membedakan suara kebijaksanaan dari suara-suara lain yang mungkin menyesatkan.
Amsal 1:20 mengingatkan kita bahwa kebijaksanaan bukanlah entitas pasif. Ia adalah kekuatan yang aktif, mencari interaksi, dan mengundang kita untuk bergabung dengannya. Panggilannya bersifat berkelanjutan. Setiap hari, di setiap persimpangan jalan kehidupan, di setiap momen penting, kebijaksanaan siap untuk berbicara kepada kita. Tugas kita adalah membuka telinga rohani kita, menghentikan sementara hiruk pikuk internal dan eksternal, dan benar-benar mendengarkan.
Dengan merangkul panggilan kebijaksanaan, kita tidak hanya menghindari kesalahan dan penyesalan, tetapi kita juga menemukan arah yang benar, kedamaian batin, dan kehidupan yang lebih kaya serta bermakna. Mari kita selalu siap untuk mendengar seruan kebijaksanaan yang tak pernah lelah di tengah keramaian kehidupan.