Ali bin Abi Thalib RA, dikenal sebagai "Gerbang Kota Ilmu" Rasulullah SAW.
Ali bin Abi Thalib, sepupu sekaligus menantu Nabi Muhammad SAW, merupakan salah satu figur paling sentral dan kompleks dalam sejarah Islam awal. Kedudukannya bukan sekadar sebagai Khalifah keempat (dari Khulafaur Rasyidin), melainkan sebagai pilar keilmuan, keberanian, dan keadilan yang tak tertandingi pada masanya. Ia adalah anak dari Abu Thalib, paman Nabi yang sangat melindungi dakwah Islam di masa-masa sulit Makkah, serta suami dari Fatimah az-Zahra, putri kesayangan Rasulullah SAW.
Kisah hidup Sayyidina Ali adalah cerminan dari seluruh tahapan perjuangan Islam: dari masa rahasia di Makkah, hijrah yang penuh risiko, peperangan untuk mempertahankan akidah, hingga puncak kepemimpinan politik yang sarat konflik dan ujian. Ia masuk Islam pada usia yang sangat muda, menjadikannya salah satu dari As-Sabiqun al-Awwalun (golongan yang pertama kali memeluk Islam). Kehadirannya dalam setiap peristiwa penting menetapkannya sebagai saksi utama sekaligus pelaku sejarah yang membentuk pondasi peradaban Islam.
Analisis terhadap karir politik dan intelektual Ali bin Abi Thalib seringkali terbagi, namun tidak diragukan lagi bahwa ia mewarisi kekayaan spiritual dan kognitif yang luar biasa dari Rasulullah SAW. Warisannya tidak hanya terbatas pada praktik pemerintahan, tetapi juga pada khazanah keilmuan Islam, khususnya dalam bidang fikih, tafsir, dan filsafat retorika, yang kemudian dikumpulkan dalam karya agung Nahjul Balaghah.
Nama lengkapnya adalah Abul Hasan Ali bin Abi Thalib bin Abdul Muthalib bin Hasyim. Ia termasuk dalam Bani Hasyim, klan yang sama dengan Nabi Muhammad SAW. Ayahnya, Abu Thalib, adalah pemimpin Bani Hasyim setelah kematian Abdul Muthalib, dan memainkan peran krusial dalam melindungi Nabi dari intimidasi Quraisy.
Kondisi ekonomi Abu Thalib sempat mengalami kesulitan. Demi meringankan beban pamannya, Nabi Muhammad SAW mengambil Ali untuk dibesarkan di rumah beliau, saat Ali berusia sekitar enam tahun. Pembinaan langsung ini memberikan Ali keunggulan spiritual dan moral yang tak dimiliki oleh sahabat lain. Ia tumbuh dalam naungan akhlak Rasulullah SAW, menyaksikan langsung perilaku, ibadah, dan penerimaan wahyu, sebuah pendidikan intensif yang membentuk kepribadiannya yang unik.
Interaksi harian dengan Nabi dan Khadijah RA membuat Ali memiliki kedekatan emosional dan spiritual yang sangat mendalam. Ia adalah anak didikan langsung, murid, dan pengikut setia. Lingkungan rumah tangga ini menjadi madrasah pertama yang menyiapkan Ali untuk peran besar di masa depan, baik sebagai pemimpin militer maupun intelektual.
Ali bin Abi Thalib adalah anak laki-laki pertama yang memeluk Islam. Saat itu, ia masih sangat muda, sebagian riwayat menyebutkan usianya sekitar sepuluh tahun. Ketika ia melihat Nabi Muhammad SAW dan Khadijah RA sedang shalat, ia bertanya tentang ritual tersebut. Setelah dijelaskan, Ali menerima kebenaran Islam tanpa keraguan, meskipun ia harus merahasiakannya dari ayahnya untuk sementara waktu.
Pengakuan cepat ini menunjukkan kematangan spiritual dan kebersihan fitrah Ali. Meskipun baru anak-anak, ia memiliki pemahaman yang tajam tentang tauhid. Dalam masa-masa awal dakwah yang sangat rahasia, Ali menjadi salah satu benteng moral Nabi, menyaksikan setiap kesulitan, dan menanggung risiko bersama-sama dengan Nabi, bahkan ketika Quraisy mulai meningkatkan tekanan dan penyiksaan terhadap umat Islam.
Salah satu momen paling heroik dalam kehidupan Ali bin Abi Thalib terjadi pada malam Hijrah (Lailatul Mabit). Ketika Quraisy berencana membunuh Nabi Muhammad SAW dengan mengepung rumahnya, Nabi diperintahkan oleh Allah SWT untuk berhijrah ke Madinah.
Nabi Muhammad SAW meminta Ali untuk melakukan pengorbanan yang ekstrem: tidur di ranjang beliau, berselimut jubah hijau milik Nabi, untuk mengelabui para pengepung agar mengira Nabi masih berada di dalam rumah. Ali menerima tugas berbahaya ini tanpa rasa takut. Ia tahu bahwa jika rencana itu gagal, nyawanya akan terancam oleh pedang-pedang Quraisy yang haus darah.
Pengorbanan Ali pada malam itu menjadi demonstrasi tertinggi dari fida' (pengorbanan diri) dan tsabat (keteguhan). Para pengepung baru menyadari bahwa yang ada di ranjang bukanlah Nabi setelah fajar menyingsing. Aksi ini berhasil memberi waktu yang cukup bagi Nabi untuk meninggalkan Makkah dengan selamat. Setelah Nabi berhasil tiba di Madinah, Ali menunaikan amanat Nabi untuk mengembalikan harta-harta titipan milik penduduk Makkah yang ada pada Nabi, barulah kemudian ia menyusul ke Madinah.
Setelah tiba di Madinah, Nabi Muhammad SAW mengadakan perjanjian persaudaraan (Muakhah) antara kaum Muhajirin dan Anshar. Dalam tradisi ini, Nabi memilih Ali bin Abi Thalib sebagai saudaranya sendiri di dunia dan akhirat, sebuah kehormatan yang menempatkannya dalam kedudukan istimewa.
Peran Ali semakin penting ketika ia menikahi Fatimah az-Zahra, putri Nabi Muhammad SAW, setelah Perang Badar. Pernikahan ini menyatukan dua garis keturunan mulia dalam Islam. Dari pernikahan ini lahir Hasan dan Husain, serta Zainab dan Ummu Kultsum, yang merupakan cucu kesayangan Nabi Muhammad SAW. Melalui Hasan dan Husain, keturunan Nabi berlanjut, memberikan Ali kedudukan sebagai bapak dari Ahlul Bait (Keluarga Nabi).
Ali bin Abi Thalib dikenal dengan keberaniannya yang legendaris, yang membuatnya jarang absen dari pertempuran besar. Rasulullah SAW sering mempercayakan panji (bendera komando) kepadanya. Penampilan Ali di medan perang seringkali menjadi penentu kemenangan.
Dalam Perang Badar, pertempuran pertama dan paling menentukan, Ali menunjukkan kemampuan tempur yang luar biasa. Ia berpartisipasi dalam duel tiga lawan tiga sebelum perang dimulai, di mana ia berhasil mengalahkan Al-Walid bin Utbah. Kecepatan dan ketangkasannya dalam pertempuran ini memberikan dorongan moral yang signifikan bagi pasukan Muslim yang jauh lebih kecil.
Meskipun Muslim sempat terdesak dalam Perang Uhud, Ali adalah salah satu dari sedikit sahabat yang tetap teguh di samping Nabi Muhammad SAW ketika yang lain terpencar. Ia berperan penting dalam melindungi Nabi dari serangan Quraisy yang bertubi-tubi, dan keberaniannya diakui secara universal.
Dalam Perang Khandaq (Parit), tantangan terbesar datang dari Amru bin Abdu Wudd, seorang ksatria Quraisy yang terkenal sebagai pahlawan tak terkalahkan. Amru melompati parit dan menantang duel. Tidak ada yang berani menghadapinya kecuali Ali. Dengan izin Nabi, Ali menghadapi Amru dan berhasil membunuhnya dalam pertarungan sengit. Kemenangan ini bukan hanya kemenangan militer, tetapi juga psikologis, mematahkan semangat para pengepung Quraisy.
Puncak keberanian Ali tercapai saat Penaklukan Khaibar. Kaum Muslimin kesulitan merebut benteng Yahudi tersebut. Nabi Muhammad SAW bersabda, "Besok, aku akan menyerahkan panji kepada seseorang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya, dan dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya. Dia adalah orang yang menyerang dan tidak melarikan diri, dan Allah akan memberikan kemenangan melalui tangannya."
Keesokan harinya, Nabi memanggil Ali (yang saat itu sedang sakit mata) dan meludahi matanya, seketika ia sembuh. Ali kemudian memimpin serangan ke benteng. Ketika perisainya terlepas, ia mencabut salah satu pintu benteng yang sangat besar dan menjadikannya perisai sementara. Kemenangan Khaibar dicapai berkat kepahlawanannya, memberinya gelar Asadullah (Singa Allah).
Selain Asadullah, Ali memiliki beberapa julukan yang mencerminkan kedalaman karakternya:
Yang paling monumental adalah gelarnya sebagai Gerbang Kota Ilmu. Nabi Muhammad SAW bersabda: "Aku adalah kota ilmu, dan Ali adalah pintunya. Barang siapa yang ingin memasuki kota, hendaknya melalui pintunya." Hadis ini menegaskan kedudukan unik Ali sebagai pewaris dan penafsir utama ajaran dan pemikiran Nabi setelah beliau wafat.
Ali bin Abi Thalib dikenal sebagai salah satu ulama terbesar di kalangan Sahabat. Pemahamannya tentang Al-Qur'an, Hadis, dan hukum Islam sangat mendalam. Ia memiliki daya analisis yang tajam dan sering dijadikan rujukan oleh Khulafaur Rasyidin sebelumnya (Abu Bakar, Umar, dan Utsman) dalam menghadapi masalah-masalah hukum yang rumit.
Kapasitas Ali dalam fikih (jurisprudensi) tidak hanya didasarkan pada hafalan, tetapi pada pemahaman komprehensif terhadap maksud (maqasid) syariat. Gaya bahasanya seringkali puitis namun bernas, menggabungkan logika hukum dengan hikmah spiritual. Dalam kepemimpinannya sebagai Khalifah, ia sangat menekankan pentingnya akal dan interpretasi yang bertanggung jawab.
Kontribusinya yang paling signifikan terhadap ilmu bahasa Arab adalah peletakan dasar-dasar ilmu nahwu (tata bahasa Arab) untuk melindungi bahasa Al-Qur'an dari kesalahan saat Islam menyebar ke wilayah non-Arab. Ia menugaskan Abu Aswad Ad-Du’ali untuk merumuskan kaidah-kaidah tersebut, menjadikannya pelopor tata bahasa Arab.
Meskipun Ali bin Abi Thalib adalah seorang ahli pedang, ia juga seorang ahli pena dan lidah. Koleksi khutbah, surat-surat, dan kata-kata hikmahnya dikumpulkan berabad-abad kemudian oleh cendekiawan Syarif Ar-Radhi dalam kitab Nahjul Balaghah (Jalan Kefasihan). Kitab ini dianggap sebagai salah satu mahakarya sastra Arab setelah Al-Qur'an dan Hadis.
Isi Nahjul Balaghah mencakup berbagai tema, mulai dari teologi (tauhid), etika pemerintahan, keadilan sosial, hingga kritik terhadap materialisme dunia. Retorika Ali sangat kuat, mampu menggerakkan hati dan merangsang pemikiran. Kualitas sastra yang terkandung di dalamnya tidak hanya menjadikannya teks keagamaan, tetapi juga teks filosofis dan politik yang berpengaruh, mendefinisikan standar ideal kepemimpinan Islam.
Dalam khutbahnya, Ali seringkali menggunakan metafora yang mendalam mengenai kefanaan dunia, menyerukan umatnya untuk fokus pada persiapan akhirat. Pemikiran-pemikiran filosofis ini menjadi fondasi bagi banyak aliran sufisme dan filsafat Islam di kemudian hari, menegaskan perannya sebagai guru spiritual dan intelektual umat.
Setelah terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan RA, kekacauan politik melanda Madinah. Masyarakat dari berbagai faksi, khususnya Muhajirin dan Anshar yang berada di Madinah, menunjuk Ali bin Abi Thalib untuk mengambil alih tampuk kekhalifahan. Ali awalnya menolak, sadar akan betapa beratnya tugas ini di tengah perpecahan umat.
Namun, desakan dari para Sahabat senior meyakinkannya. Ali menerima baiat di Masjid Nabawi. Kekhalifahannya segera dihadapkan pada dua tugas mendesak: menenangkan situasi internal dan mencari keadilan bagi pembunuh Utsman. Keputusan pertamanya adalah memindahkan pusat pemerintahan dari Madinah ke Kufah (Iraq), sebuah langkah yang menunjukkan niatnya untuk berurusan langsung dengan pusat-pusat kekuatan militer dan politik baru yang muncul di luar Hijaz.
Ali segera mengumumkan prinsip-prinsip pemerintahannya, yang sangat berfokus pada keadilan ekonomi dan sosial, sejalan dengan visi Nabi Muhammad SAW. Ia menolak nepotisme yang mungkin sempat terjadi di masa lalu. Ia menegaskan bahwa semua Muslim memiliki hak yang sama atas kas negara (Baitul Mal), tidak peduli apakah mereka termasuk yang pertama masuk Islam atau baru masuk, atau apakah mereka bangsawan Quraisy atau budak yang dibebaskan.
Ia bahkan mencabut hak istimewa yang diberikan kepada beberapa pejabat sebelumnya, bersikeras bahwa kekayaan negara harus didistribusikan secara adil dan merata. Kebijakan redistribusi yang radikal ini, meskipun dipuji oleh kaum miskin, justru memunculkan resistensi kuat dari faksi-faksi elit yang terbiasa dengan keistimewaan ekonomi.
Isu utama yang memecahbelah umat adalah tuntutan terhadap pembunuh Utsman. Ali berargumen bahwa menegakkan keadilan harus dilakukan melalui jalur hukum yang sah dan damai, setelah ketertiban dipulihkan. Ia khawatir bahwa pembalasan segera di tengah gejolak akan memicu perang saudara yang lebih besar. Namun, faksi oposisi, yang dipimpin oleh tokoh-tokoh kuat, menafsirkan penundaan ini sebagai keengganan atau ketidakmampuan untuk bertindak, dan mereka mulai bergerak secara militer.
Masa kekhalifahan Ali (35 H – 40 H) didominasi oleh konflik internal yang dikenal sebagai Fitnah Kubra (Kekacauan Besar), yang secara tragis mengakhiri era Khulafaur Rasyidin yang bersatu.
Perang pertama melibatkan faksi yang menuntut pembalasan segera atas kematian Utsman, dipimpin oleh Aisyah RA (istri Nabi), Thalhah bin Ubaidillah, dan Zubair bin Awwam. Pasukan oposisi berkumpul di Basrah.
Ali bergerak cepat untuk menghadapi mereka, bukan dengan niat untuk berperang, melainkan untuk negosiasi. Ia berhasil berdialog dengan Thalhah dan Zubair, mengingatkan mereka akan sabda-sabda Nabi, yang menyebabkan keduanya menarik diri dari pertempuran. Namun, provokator dari kedua belah pihak (yang diyakini sebagai sisa-sisa pembunuh Utsman) sengaja memicu pertumpahan darah di malam hari, memaksa pasukan Ali dan Aisyah untuk bertempur.
Perang ini dinamakan Perang Unta karena Aisyah menyaksikan pertempuran dari atas untanya. Pasukan Ali meraih kemenangan. Ali memperlakukan Aisyah dengan hormat, mengirimnya kembali ke Madinah dengan pengawalan yang layak, dan memerintahkan pengampunan bagi tawanan yang tidak aktif terlibat dalam provokasi.
Ancaman terbesar bagi Ali datang dari Syam (Suriah), di bawah kepemimpinan Muawiyah bin Abi Sufyan, gubernur yang kuat dan sepupu Utsman. Muawiyah menolak mengakui kekhalifahan Ali sampai Ali menghukum pembunuh Utsman.
Konfrontasi militer terjadi di Shiffin. Perang berlangsung selama beberapa bulan dan sangat berdarah, melibatkan Sahabat senior di kedua belah pihak. Ketika pasukan Ali hampir mencapai kemenangan, Muawiyah menggunakan taktik yang cerdik: mengangkat mushaf (Al-Qur'an) di ujung tombak, menyerukan agar perselisihan diselesaikan berdasarkan hukum Allah.
Pasukan Ali, terutama dari kelompok yang sangat religius, memaksa Ali untuk menerima arbitrase (Tahkim), meskipun Ali yakin ini adalah tipuan politik. Arbitrase dilakukan oleh dua wakil: Abu Musa al-Asy'ari (mewakili Ali) dan Amru bin Ash (mewakili Muawiyah). Hasil arbitrase sangat merugikan Ali, karena Amru bin Ash berhasil mengelabui Abu Musa. Arbitrase berakhir dengan penolakan terhadap Ali dan Muawiyah sebagai Khalifah, meskipun Muawiyah kemudian mengklaim haknya.
Menerima arbitrase menjadi bumerang bagi Ali. Kelompok yang awalnya paling keras menuntut arbitrase kini berbalik memprotes, menyatakan bahwa menerima keputusan manusia dalam masalah Ilahi adalah syirik. Mereka adalah Khawarij (yang keluar), dan semboyan mereka adalah "Tidak ada hukum kecuali hukum Allah (La Hukma Illa Lillah)."
Kelompok ini awalnya adalah pendukung setia Ali, namun kini mereka menganggap Ali, Muawiyah, dan semua yang menerima arbitrase sebagai kafir. Mereka mundur ke Nahrawan dan mulai melakukan aksi teror terhadap Muslim yang tidak sependapat dengan mereka. Keberadaan Khawarij yang ekstremis ini menjadi ancaman yang harus ditangani demi keamanan umat.
Ali terpaksa memerangi Khawarij di Nahrawan setelah mereka menolak bernegosiasi dan membunuh orang-orang yang tidak bersalah. Perang Nahrawan adalah perang yang paling menyakitkan bagi Ali, karena ia berperang melawan orang-orang yang taat beribadah, meskipun pemahaman mereka menyimpang. Ia berhasil menumpas sebagian besar kekuatan Khawarij, namun benih ekstremisme mereka tetap ada, menunggu kesempatan untuk balas dendam.
Meskipun masa kekhalifahan Ali diwarnai perang sipil, ia tetap fokus pada penegakan keadilan administrasi dan moralitas publik. Catatan historis menunjukkan bahwa Ali adalah pelopor dalam beberapa aspek pemerintahan:
Salah satu warisan terbesar Ali sebagai negarawan adalah surat instruksinya kepada Malik Al-Asytar, gubernurnya di Mesir. Surat ini adalah dokumen klasik dalam etika politik Islam, yang sering dianggap sebagai konstitusi pemerintahan ideal.
Dalam surat tersebut, Ali menekankan tanggung jawab pemimpin untuk:
Surat ini menjadi panduan abadi bagi kepemimpinan yang adil dan berbelas kasih, mendefinisikan seorang pemimpin sebagai pelayan rakyat, bukan tiran.
Ali memiliki reputasi sebagai hakim yang ulung. Umar bin Khattab pernah berkata, "Ali adalah qadhi (hakim) terbaik di antara kita." Ali memperkenalkan beberapa prinsip pengadilan yang ketat, termasuk pentingnya bukti yang kuat, penolakan kesaksian dari orang yang memiliki kepentingan, dan kecepatan dalam menyelesaikan sengketa.
Pendekatan Ali terhadap hukum bersifat holistik, menggabungkan pemahaman tekstual (Nass) dengan pertimbangan logika (Aql) dan kepentingan publik (Maslahah), yang sangat mempengaruhi perkembangan mazhab fikih di kemudian hari.
Dalam pengelolaan Baitul Mal, Ali menerapkan kebijakan fiskal yang keras. Ia menghapuskan praktik penimbunan kekayaan dan memastikan distribusi zakat dan ghanimah (harta rampasan perang) dilakukan secara segera dan adil. Tindakan ini bertujuan untuk mencegah konsentrasi kekayaan dan mempertahankan kesetaraan sosial yang merupakan inti dari ajaran Islam.
Meskipun sebagian besar Khawarij hancur di Nahrawan, sisa-sisa mereka menyimpan kebencian yang mendalam. Tiga orang Khawarij bertemu dan merencanakan untuk membunuh tiga pemimpin yang mereka anggap bertanggung jawab atas perpecahan umat: Ali bin Abi Thalib, Muawiyah bin Abi Sufyan, dan Amru bin Ash.
Mereka berencana untuk melakukan serangan serentak di pagi hari yang sama.
Pada tanggal 19 Ramadhan, tahun 40 H (sekitar Januari 661 M), saat Ali bin Abi Thalib sedang dalam perjalanan menuju masjid di Kufah untuk memimpin shalat Subuh, ia diserang oleh Abdurrahman bin Muljam, salah satu konspirator Khawarij.
Ibnu Muljam menyerang kepala Ali dengan pedang beracun. Ali segera dibawa pulang, dan ia sempat bertahan selama dua hari. Ia memberikan wasiat terakhirnya, yang menekankan pentingnya tauhid, keadilan bagi rakyat, dan pengampunan. Ia bahkan memerintahkan agar Ibnu Muljam diperlakukan dengan baik selama ia hidup, dan jika Ali meninggal, pembalasan (qisas) harus dilakukan secara adil, tanpa penyiksaan atau kekejaman yang berlebihan.
Ali bin Abi Thalib wafat pada 21 Ramadhan 40 H. Kematiannya menandai akhir dari masa Khulafaur Rasyidin (Khalifah yang Dibimbing dengan Benar) dan membuka jalan bagi berdirinya dinasti Umayyah di bawah Muawiyah.
Putra sulungnya, Hasan bin Ali, dibaiat sebagai Khalifah di Kufah. Namun, Hasan, yang mengutamakan persatuan umat di atas kekuasaan, kemudian membuat perjanjian damai dengan Muawiyah, menyerahkan kekhalifahan kepadanya, dan dengan demikian mengakhiri konflik politik yang berkepanjangan, meskipun tindakan ini menimbulkan konsekuensi historis yang besar.
Ali RA: Sosok yang menggabungkan keberanian militer (Zulfiqar) dan penegakan keadilan (Timbangan).
Ali bin Abi Thalib bukan hanya tokoh sejarah; ia adalah arketipe yang memengaruhi teologi, yurisprudensi, dan budaya Islam hingga hari ini. Dampaknya terbagi dalam dimensi keagamaan dan intelektual.
Peran Ali menjadi poros utama dalam pembentukan dua cabang utama Islam: Sunni dan Syi'ah. Meskipun kedua kelompok menghormati Ali, perbedaan interpretasi mengenai hak suksesi dan otoritas keagamaan setelah Nabi Muhammad SAW menjadi pemisah historis.
Bagi Muslim Sunni, Ali adalah Khalifah keempat yang sempurna, seorang panutan dalam keberanian, pengetahuan, dan kesalehan. Para fuqaha (ahli fikih) Sunni sangat menghargai fatwa dan keputusan hukumnya. Seluruh rantai transmisi Hadis, tasawuf, dan keilmuan seringkali merujuk kembali kepadanya.
Bagi Muslim Syi'ah, Ali adalah Imam pertama dan pemimpin spiritual yang ditunjuk secara Ilahi (Wasiyy) oleh Nabi Muhammad SAW. Mereka memandang bahwa kekhalifahan seharusnya menjadi haknya sejak awal, dan sumber utama ajaran Syi'ah berasal dari penafsiran dan ajaran Ali, yang diwariskan kepada sebelas Imam keturunannya.
Ali bin Abi Thalib adalah figur sentral dalam tradisi tasawuf. Hampir semua silsilah (rantai spiritual) tarekat sufi terkemuka di dunia, seperti Qadiriyyah, Naqshbandiyyah, dan Suhrawardiyyah, menelusuri akar spiritual mereka kembali kepada Ali. Ia dianggap sebagai sumber ajaran esoteris, yang menekankan pada pengenalan diri (ma'rifah), zuhud (asketisme), dan perjuangan spiritual (mujahadah).
Ali dikenal dengan penekanan pada hakikat batin ibadah. Banyak kata-kata hikmahnya yang kini menjadi dasar pemikiran sufistik, seperti:
"Barangsiapa yang mengenal dirinya, sesungguhnya ia telah mengenal Tuhannya."
Karya-karya yang dinisbatkan kepadanya, terutama Nahjul Balaghah, terus dipelajari di seluruh dunia Islam, tidak hanya sebagai teks keagamaan, tetapi juga sebagai sumber inspirasi filosofis. Khutbah-khutbahnya tentang metafisika, penciptaan alam semesta, dan hubungan antara kehendak manusia dan takdir, telah memengaruhi pemikir-pemikir besar Islam selama berabad-abad. Keindahan bahasa dan kedalaman argumennya menjadikannya guru retorika abadi.
Sebagai contoh, pemahamannya tentang keadilan tidak hanya terbatas pada hukum pidana, tetapi meluas ke keadilan distributif dan struktural, yang mengharuskan negara bertindak aktif untuk melindungi yang lemah. Prinsip-prinsip ini tetap relevan dalam perdebatan modern mengenai tata kelola dan hak asasi manusia.
Kepemimpinan Ali bin Abi Thalib dapat dianalisis melalui beberapa karakteristik utama yang membedakannya dari Khulafaur Rasyidin lainnya. Ia adalah pemimpin yang idealis, namun harus beroperasi dalam kenyataan politik yang sangat pragmatis dan penuh tipu daya.
Salah satu ciri paling menonjol dari Ali adalah keengganannya untuk berkompromi pada prinsip-prinsip keadilan, bahkan ketika kompromi politik akan meringankan bebannya. Ketika ia mengambil alih kekhalifahan, ia langsung membersihkan pemerintahan dari unsur-unsur yang ia anggap korup atau tidak adil, meskipun ia tahu tindakan itu akan menciptakan musuh politik yang kuat.
Contohnya adalah penolakannya untuk mengkompromikan distribusi kekayaan negara demi meredam pemberontakan. Bagi Ali, menjalankan pemerintahan yang tidak adil demi stabilitas sementara adalah pengkhianatan terhadap amanat Rasulullah SAW. Ketaatan mutlaknya pada prinsip-prinsip ini seringkali diinterpretasikan oleh lawan-lawannya sebagai kurangnya keluwesan politik.
Ali terkenal karena gaya hidupnya yang sangat sederhana, bahkan ketika ia berada di puncak kekuasaan. Ia menolak kemewahan istana, makan makanan yang paling sederhana, dan selalu terlihat memikul barang-barangnya sendiri. Kepatuhan pada kesederhanaan ini memungkinkannya untuk memahami penderitaan rakyat miskin dan buruh.
Ia sangat keras terhadap para pejabatnya yang menunjukkan kesombongan atau ketidakpedulian terhadap kaum papa. Dalam suratnya kepada salah satu gubernurnya, ia menulis tentang pentingnya merasakan kesulitan yang dialami rakyat agar pemimpin dapat memerintah dengan empati sejati.
Dalam situasi militer, Ali adalah singa. Namun, dalam diskusi politik dan teologis, ia mengandalkan logika, hujah (argumen), dan persuasi. Sebelum setiap pertempuran sipil, seperti Jamal dan Nahrawan, Ali selalu berusaha keras untuk bernegosiasi dan memberikan penjelasan teologis yang rasional kepada pihak oposisi. Ia tidak ingin pertumpahan darah dimulai kecuali sebagai upaya terakhir untuk mempertahankan ketertiban dan keamanan.
Penggunaan akal dan argumentasi yang kental dalam pendekatannya terhadap konflik mencerminkan kedalaman ilmunya. Ia selalu berusaha menyelamatkan hati nurani umat, bahkan jika itu berarti memperlambat proses politik yang mendesak.
Meskipun Ali dipuja karena integritasnya, kekhalifahannya adalah periode yang paling banyak diperdebatkan dalam sejarah Islam. Tantangan terbesar yang dihadapinya adalah ketidakmampuan untuk bertransisi dari era kenabian dan kepemimpinan yang ideal ke era kekuasaan kekaisaran yang pragmatis.
Pihak oposisi, terutama Muawiyah, secara konsisten mengkritik Ali karena menunda Qisas (hukuman mati) terhadap pembunuh Khalifah Utsman. Ali berargumen bahwa para pembunuh Utsman telah bercampur dengan kerumunan besar, dan menghukum mereka secara tergesa-gesa akan memicu pemberontakan yang tak terkendali di seluruh kekhalifahan.
Kritik historis seringkali menanyakan apakah Ali seharusnya lebih pragmatis, mungkin dengan membentuk komisi investigasi segera, namun Ali yakin bahwa prioritas utama adalah mengembalikan otoritas pusat di Madinah dan Kufah sebelum memulai proses hukum yang rumit.
Ali gagal mendapatkan loyalitas penuh dari wilayah-wilayah yang jauh, terutama Syam, yang telah lama diperintah oleh Muawiyah dengan otonomi yang cukup besar. Perpecahan antara Kufah (Iraq), yang menjadi basis Ali, dan Syam (Suriah), yang merupakan basis Muawiyah, mencerminkan ketegangan geografis dan kesukuan yang mulai menggerogoti kesatuan umat. Ali memerintah hanya empat setengah tahun, waktu yang terlalu singkat untuk menjinakkan pusat-pusat kekuatan yang baru muncul di provinsi-provinsi yang jauh.
Ali dihadapkan pada kenyataan pahit bahwa masyarakat pasca-penaklukan tidak lagi hanya terdiri dari para sahabat idealis, melainkan juga politisi ambisius dan prajurit bayaran yang motivasinya bercampur antara agama dan kepentingan dunia. Ali berjuang keras untuk menegakkan standar moral kenabian dalam lingkungan politik yang semakin korup, dan idealisme ini seringkali membuatnya rentan terhadap manuver politik yang lebih licik.
Signifikansi Ali bin Abi Thalib melampaui masa kekhalifahannya yang singkat. Peninggalannya tertanam kuat dalam setiap aspek peradaban Islam.
Ali adalah guru langsung dari banyak Tabi’in (generasi setelah Sahabat) terkemuka, yang kemudian menjadi pendiri mazhab-mazhab fikih dan teologi. Sahabat terkemuka seperti Ibnu Abbas (ahli tafsir terbesar) dan putranya sendiri, Hasan dan Husain, mewarisi kedalaman ilmunya. Sekolah hukum di Kufah, yang kemudian melahirkan Imam Abu Hanifah (pendiri mazhab Hanafi), sangat dipengaruhi oleh metodologi fikih Ali.
Bagi sastra dan budaya Islam, Ali adalah simbol keberanian yang tak kenal takut. Kisah-kisah pertempurannya, khususnya di Khaibar, melahirkan tradisi kesatriaan (futuwwah) yang dihormati di seluruh dunia Muslim. Pedangnya, Dzul Fiqar, menjadi ikon kekuatan dan keadilan. Kualitasnya sebagai pejuang dan sekaligus sebagai seorang yang zuhud (bersahaja) menjadikannya pahlawan rakyat yang abadi.
Kontribusinya terhadap ilmu nahwu, meskipun teknis, memiliki dampak monumental. Tanpa standardisasi bahasa Arab yang ia inisiasi, kerangka linguistik untuk memahami Al-Qur'an dan Hadis mungkin akan melemah seiring penyebaran Islam. Ia melindungi inti ajaran dari distorsi linguistik, memastikan bahwa fondasi peradaban berbasis teks tetap kokoh.
Kehidupan Ali bin Abi Thalib adalah sebuah epik tentang kesetiaan, pengorbanan, dan perjuangan tiada henti untuk menegakkan idealisme Islam di tengah badai politik. Meskipun ia menderita kerugian politik dan gugur sebagai syahid, ia berhasil menjaga kemurnian spiritual dan moralitas kekuasaan.
Peninggalannya bukanlah kekaisaran politik, tetapi kerangka etika, pengetahuan, dan keadilan yang terus menjadi tolok ukur bagi para pemimpin dan cendekiawan Muslim. Ali bin Abi Thalib RA akan selalu dikenang sebagai "Gerbang Kota Ilmu", seorang pahlawan yang memilih integritas di atas takhta, dan seorang pemimpin yang keadilannya melampaui zamannya.
Studi mendalam mengenai pidato-pidatonya menunjukkan bahwa ia tidak pernah lelah mengingatkan umat bahwa kehidupan dunia hanyalah jembatan, dan bahwa kekuasaan sejati harus digunakan sebagai alat untuk mencari keridhaan Allah. Warisan inilah yang menjadikannya figur yang dihormati secara universal dan tak lekang oleh waktu, resonansi dari kebenaran yang ia perjuangkan dengan setiap tetes darah dan setiap kalimat hikmahnya.
Dalam sejarah umat Islam, Ali bin Abi Thalib RA berdiri sebagai mercusuar, seorang manusia yang memegang teguh amanah, menjadi penyambung pengetahuan dari Nabi, dan berusaha tanpa henti untuk menjadikan setiap aspek kehidupan, termasuk politik, sebagai ibadah yang murni.
Pengaruhnya meluas ke setiap sudut hukum, teologi, mistisisme, dan pemerintahan. Ia adalah perwujudan kesempurnaan seorang sahabat, seorang ahli ilmu, dan seorang pemimpin yang ideal, meskipun masa kepemimpinannya adalah yang paling sulit dan penuh gejolak. Kekuatan batin dan kejelasan visinya dalam menghadapi Fitnah Kubra membuktikan bahwa ia adalah salah satu pahlawan spiritual terbesar dalam sejarah umat manusia.
Sebagai penutup, seluruh riwayat hidupnya mengajarkan sebuah pelajaran fundamental: bahwa tantangan terberat bagi seorang Muslim adalah mempertahankan kebenaran dan keadilan dalam situasi yang paling korup dan penuh konflik, sebuah tugas yang diemban oleh Ali bin Abi Thalib hingga akhir hayatnya.