Kepemimpinan sejati seringkali diukur bukan hanya dari keberhasilan militer atau perluasan wilayah, tetapi dari bagaimana seorang pemimpin memperlakukan rakyatnya, terutama mereka yang paling rentan. Dalam sejarah Islam, sosok Ali bin Abi Thalib, Khalifah keempat, menonjol sebagai arketipe pemimpin yang peduli. Kepeduliannya melampaui sekadar retorika; ia termanifestasi dalam kebijakan fiskal yang radikal, instruksi etis kepada para pejabat, dan interaksi pribadinya yang mendalam dengan masyarakat biasa.
Ali memahami bahwa kekuasaan adalah amanah, bukan hak istimewa. Kepeduliannya berakar kuat pada prinsip tauhid dan keadilan yang diajarkan oleh Rasulullah SAW. Bagi Ali, seorang pemimpin tidak bisa tidur nyenyak jika masih ada satu orang pun di bawah kekuasaannya yang kelaparan atau terzalimi. Konsep ini menjadi fondasi bagi seluruh kebijakannya selama memimpin, bahkan di tengah gejolak politik dan perang saudara yang menuntut fokus yang berbeda.
Analisis mendalam terhadap kepemimpinan Ali, terutama melalui teks-teks monumental seperti Nahjul Balaghah, memperlihatkan betapa sentralnya konsep 'empati' dan 'tanggung jawab sosial' dalam visinya. Ia menolak keras praktik nepotisme, penumpukan kekayaan pribadi oleh pejabat, dan diskriminasi dalam pembagian kekayaan negara. Ali menetapkan standar etika pemerintahan yang hingga kini masih relevan sebagai pedoman universal bagi tata kelola yang baik dan berpihak kepada rakyat.
Visualisasi Keadilan: Kesetaraan dalam Pemerintahan Ali bin Abi Thalib.
Aspek paling revolusioner dari kepemimpinan Ali bin Abi Thalib adalah kebijakannya mengenai Baitul Mal (kas negara). Kepeduliannya terhadap kemiskinan dan ketidaksetaraan sosial mendorongnya untuk mengambil langkah-langkah yang berani, bahkan menghadapi penentangan dari para elit yang terbiasa menikmati hak istimewa pada masa-masa sebelumnya. Ali dengan tegas mengembalikan Baitul Mal pada fungsi aslinya: sebagai jaring pengaman sosial dan alat pemerataan ekonomi.
Setibanya di Kufah sebagai pusat pemerintahannya, Ali mengumumkan kebijakan yang mengejutkan: semua Muslim, tanpa memandang status sosial, kontribusi awal terhadap Islam, atau etnis, akan menerima pembagian yang sama dari Baitul Mal. Praktik yang berlaku sebelumnya (memberikan porsi lebih besar kepada para veteran awal dan kaum bangsawan) dihapuskan. Ketika Ali melihat tumpukan harta yang dibawa dari Mada’in, ia segera membagikannya secara merata, bahkan menyapu lantai Baitul Mal untuk memastikan tidak ada satu dirham pun yang tertinggal.
Tindakan ini mengirimkan pesan yang sangat kuat: di mata pemimpin, tidak ada warga negara kelas satu dan kelas dua. Peduli berarti memastikan kebutuhan dasar setiap individu terpenuhi secara setara. Sikapnya yang tegas dalam menolak perbedaan perlakuan ini menyebabkan beberapa tokoh berpengaruh menjauhinya, namun ia berpegang teguh pada prinsip bahwa kepemimpinan yang adil harus mengutamakan kemaslahatan umum di atas kepentingan segelintir elite.
Kepedulian Ali termanifestasi dalam pengawasan ketat terhadap harta negara. Ia tidak hanya menerapkan kesetaraan dalam pembagian, tetapi juga dalam pertanggungjawaban. Ia memperlakukan harta negara sebagai hak milik rakyat secara kolektif, bukan sebagai harta pribadi atau instrumen politik untuk membeli kesetiaan. Ia bahkan menolak menggunakan kekayaan Baitul Mal untuk keluarganya sendiri, hidup dalam kesederhanaan yang ekstrem meskipun ia adalah pemimpin kekhalifahan yang luas.
Ia sangat menekankan bahwa para pejabat harus hidup sederhana dan menghindari segala bentuk kemewahan yang dapat menimbulkan kecurigaan atau merusak kepercayaan rakyat. Ini adalah bentuk kepedulian preventif—mencegah pejabat jatuh dalam keserakahan yang pada akhirnya akan merampas hak rakyat miskin. Sikapnya yang keras terhadap korupsi dan penyelewengan dana adalah cerminan langsung dari kepeduliannya yang mendalam terhadap setiap warga negara.
Ali pernah menulis kepada salah seorang gubernurnya yang dituduh melakukan penyelewengan, mengingatkannya bahwa penumpukan kekayaan pribadi adalah bentuk pengkhianatan terbesar terhadap umat. Ia tidak segan-segan memecat pejabat, bahkan kerabat dekat, jika terbukti melanggar etika keuangan, menunjukkan bahwa kepeduliannya terhadap keadilan lebih tinggi daripada ikatan darah atau politik.
Filosofi ekonomi Ali adalah bahwa peduli terhadap rakyat miskin adalah prioritas fiskal tertinggi. Jika ada surplus, surplus itu harus kembali kepada rakyat, bukan ditimbun di kas negara atau disalurkan ke proyek-proyek yang hanya menguntungkan kelas atas. Kesejahteraan rakyat, khususnya kaum lemah, menjadi indikator utama keberhasilan pemerintahannya.
Penerapan kebijakan kesetaraan ini bukan hanya kebijakan ekonomi, tetapi juga pernyataan moral yang berani. Ini adalah pengakuan bahwa kepedulian seorang pemimpin harus diukur dari seberapa besar ia mampu mengangkat harkat martabat lapisan masyarakat terbawah. Keberaniannya untuk menantang struktur ekonomi yang ada, demi prinsip keadilan, menggarisbawahi komitmennya yang tak tergoyahkan terhadap masyarakat yang lebih adil dan setara.
Salah satu bukti paling nyata dan terperinci tentang kepedulian Ali bin Abi Thalib adalah instruksi-instruksinya yang terangkum dalam Nahjul Balaghah, terutama surat panjang yang ditujukan kepada Malik al-Ashtar, gubernur yang ditunjuk untuk Mesir. Surat ini bukan hanya sekadar petunjuk administratif, tetapi sebuah konstitusi etika kepemimpinan yang menekankan empati, tanggung jawab moral, dan pelayanan publik di atas segalanya. Dokumen ini adalah refleksi paling murni dari kepedulian seorang pemimpin.
Dalam suratnya, Ali memerintahkan Malik untuk memandang rakyatnya—yang terdiri dari berbagai kelas, agama, dan latar belakang—dengan pandangan yang penuh kasih sayang dan belas kasihan. Ia menasihati Malik agar tidak bersikap seperti “binatang buas yang menunggu kesempatan untuk memangsa mereka.” Instruksi ini menekankan bahwa hubungan antara penguasa dan rakyat harus didasarkan pada rasa saling percaya dan kepedulian, bukan rasa takut atau paksaan.
“Tanamkanlah di hatimu rasa kasih sayang, cinta dan kebaikan kepada rakyatmu. Janganlah engkau menjadi singa buas yang menganggap mereka sebagai mangsa, karena mereka adalah saudaramu dalam agama atau setara denganmu dalam penciptaan.”
Perintah ini secara eksplisit mencakup perlindungan terhadap minoritas non-Muslim (Ahludz Dzimmah). Kepedulian Ali tidak mengenal batas agama; ia melihat setiap individu di bawah pemerintahannya sebagai ciptaan Tuhan yang berhak atas perlindungan dan keadilan penuh. Ini adalah salah satu manifestasi paling maju dari konsep hak asasi manusia dalam sejarah awal pemerintahan Islam.
Ali secara spesifik memerintahkan Malik untuk memberikan perhatian khusus kepada kelompok-kelompok yang paling rentan, yaitu: fakir miskin, orang cacat, dan mereka yang tidak memiliki suara dalam struktur kekuasaan. Ini adalah inti dari kepeduliannya. Ia menegaskan bahwa pemimpin harus meluangkan waktu secara pribadi untuk mendengar keluhan mereka.
Ali menyadari bahwa seorang pemimpin, seberapa pun kuatnya, tidak dapat mengetahui semua penderitaan yang tersembunyi. Oleh karena itu, ia menasihati Malik untuk menunjuk orang-orang yang jujur dan berani untuk menyampaikan keluhan rakyat kepadanya, bahkan keluhan yang ditujukan kepada Malik sendiri. Keberadaan sistem umpan balik yang jujur ini adalah bukti kepeduliannya untuk mencegah tirani dan kesewenang-wenangan.
Kepedulian Ali juga diarahkan pada integritas birokrasi. Ia menetapkan bahwa para pejabat harus dipilih berdasarkan kompetensi dan kejujuran, bukan berdasarkan koneksi pribadi. Ia meminta agar hakim dan pejabat diberi gaji yang memadai agar mereka tidak mudah tergiur oleh suap. Namun, pada saat yang sama, ia menuntut kehidupan yang sederhana dari mereka.
Ia menekankan bahwa hakim haruslah orang-orang yang paling tahu hukum, paling tidak terpengaruh oleh tekanan, dan paling sabar dalam mendengarkan pihak-pihak yang berselisih. Kepedulian terhadap rakyat di sini diwujudkan dalam memastikan bahwa sistem peradilan berfungsi dengan adil dan efisien, sehingga tidak ada yang merasa haknya dirampas atau suaranya diabaikan.
Kepedulian Ali bin Abi Thalib adalah kepedulian yang holistik—tidak hanya memberi makan yang lapar, tetapi juga membangun sistem yang menjamin bahwa tidak ada yang akan kelaparan. Ini adalah visi kepemimpinan yang berbasis pada moralitas dan etika publik yang ketat, menjadikannya model yang abadi dalam sejarah tata kelola pemerintahan.
Kebijaksanaan sebagai Fondasi Kepedulian.
Kepedulian Ali tidak hanya terlihat dalam makro-kebijakannya, tetapi juga dalam tindakan dan interaksi sehari-hari yang menunjukkan kerendahan hati dan empati yang luar biasa. Cerita-cerita tentang dirinya beredar luas, membuktikan bahwa ia mempraktikkan apa yang ia dakwahkan kepada para gubernurnya.
Ali menjalani hidup sebagai Khalifah dengan tingkat asketisme yang mengejutkan. Ia sering mengenakan pakaian yang kasar, makan makanan yang sangat sederhana—seringkali hanya roti kering dan cuka—dan tidur di atas tikar kasar. Ketika orang-orang terdekatnya, termasuk putrinya, mencoba memberikannya kenyamanan yang layak bagi seorang pemimpin, ia menolak dengan alasan bahwa seorang pemimpin harus merasakan kesulitan yang sama dengan rakyatnya yang paling miskin. Kesederhanaan ini adalah bentuk kepedulian: solidaritas praktis dengan kaum yang tertindas.
Ia yakin bahwa jika seorang pemimpin terbiasa dengan kemewahan, ia akan kehilangan sensitivitas terhadap penderitaan orang lain. Kehidupan pribadinya yang zuhud merupakan benteng pertahanan terhadap sifat serakah dan ketidakpedulian yang seringkali menyertai kekuasaan mutlak. Ia memastikan bahwa tidak ada batas psikologis yang memisahkannya dari penderitaan rakyat biasa.
Salah satu kisah paling mengharukan yang mencerminkan kepeduliannya adalah saat ia berpatroli di malam hari. Ia melihat cahaya di kejauhan dan mendekati gubuk tersebut. Di dalamnya, ia menemukan seorang wanita sedang memasak air di panci besar, sementara anak-anaknya menangis kelaparan di sekitarnya. Wanita itu, yang tidak mengenalinya, mengeluh bahwa Khalifah (yaitu Ali sendiri) tidak peduli terhadap penderitaan mereka.
Ali, tanpa mengungkapkan identitasnya, kembali ke Baitul Mal, mengambil karung berisi tepung dan minyak, memanggulnya sendiri di punggung, dan membawanya kembali ke gubuk itu. Ketika salah seorang pembantunya menawarkan diri untuk membawakan karung itu, Ali menolak dengan berkata, “Siapa yang akan memikul bebanku di Hari Penghakiman?” Ia sendiri yang menyalakan api dan memasak makanan untuk anak-anak itu, sambil berlutut dan bermain dengan mereka hingga mereka tertawa gembira dan tertidur pulas. Kepeduliannya adalah tindakan langsung, bukan delegasi.
Kisah ini menggambarkan esensi kepemimpinan yang peduli: tanggung jawab pribadi dan rasa malu yang mendalam jika ada rakyatnya yang menderita. Ali tidak hanya memastikan bantuan diberikan, tetapi ia juga merasakan secara fisik dan emosional penderitaan yang dialami rakyatnya. Ini adalah kepedulian yang menjangkau hati, bukan sekadar buku anggaran.
Kepedulian terhadap keadilan dan hukum harus diterapkan bahkan pada dirinya sendiri. Kisah terkenalnya ketika ia kehilangan perisainya, dan kemudian menemukan perisai itu di tangan seorang Yahudi. Ali membawa kasus ini ke pengadilan, di mana ia harus tampil sebagai penggugat biasa. Hakim, Syuraih, meminta bukti. Ali tidak memiliki bukti yang kuat kecuali kesaksian putranya, Hasan, yang ditolak oleh hakim karena kesaksian anak terhadap ayah dianggap bias dalam hukum formal saat itu.
Ali menerima keputusan hakim tersebut tanpa protes, meskipun ia adalah Khalifah. Orang Yahudi itu terkejut melihat keadilan dan kepedulian Khalifah terhadap proses hukum yang bahkan merugikannya. Akhirnya, orang Yahudi itu mengakui bahwa perisai itu memang milik Ali, dan ia memeluk Islam karena menyaksikan tingkat keadilan yang diterapkan oleh pemimpin Muslim tersebut. Kepedulian Ali terhadap supremasi hukum menjadi demonstrasi publik tentang integritas pemerintahannya.
Kepemimpinan Ali bin Abi Thalib diwarnai oleh tantangan domestik yang belum pernah terjadi sebelumnya. Tiga perang besar (Jamal, Shiffin, dan Nahrawan) menguji prinsip-prinsip kepedulian dan keadilannya. Dalam situasi yang sangat tegang dan penuh kekerasan, Ali menunjukkan bahwa kepedulian seorang pemimpin harus tetap ditegakkan, bahkan terhadap lawan politik yang memberontak.
Di setiap konflik, prioritas utama Ali adalah menghindari pertumpahan darah sebanyak mungkin. Sebelum Perang Jamal, ia menghabiskan waktu berhari-hari untuk bernegosiasi, mengirim utusan, dan menyampaikan argumen hukum untuk mencegah peperangan. Ketika pertempuran akhirnya meletus, ia memberikan instruksi yang ketat: tidak boleh mengejar tentara yang melarikan diri, tidak boleh melukai yang terluka, dan tidak boleh menjarah harta benda mereka. Ia mengizinkan para tahanan untuk kembali ke rumah mereka dengan selamat, sebuah tindakan kepedulian dan belas kasihan yang langka dalam peperangan pada masa itu.
Kepedulian ini didasarkan pada pandangan teologisnya: ia menganggap pihak lawan, meskipun salah, masih sebagai Muslim yang merupakan bagian dari umat, bukan musuh asing. Oleh karena itu, pengobatan terhadap mereka harus didasarkan pada persaudaraan agama, bukan kebencian politik.
Kasus Khawarij (kelompok yang mulanya mendukung Ali tetapi kemudian memberontak setelah peristiwa Arbitrase) adalah ujian terbesar bagi kepedulian politiknya. Meskipun Khawarij secara terbuka mengancam stabilitas negara dan membunuh Muslim yang tidak bersalah, Ali menahan diri dari memerangi mereka selama mungkin.
Ali memulai dengan dialog yang panjang dan sabar. Ia mengirim utusan, berdebat secara rasional, dan bahkan mengutus juru bicara ulung untuk mencoba meyakinkan mereka agar kembali. Upaya negosiasi ini berlangsung berbulan-bulan, dan hanya ketika Khawarij melakukan pembunuhan massal terhadap warga sipil di Nahrawan barulah Ali merasa terpaksa untuk bertindak militer. Bahkan setelah kemenangan, ia memerintahkan agar kaum Khawarij yang terluka diberi perawatan dan yang selamat diizinkan pulang. Kepeduliannya adalah bahwa setiap nyawa, bahkan nyawa pemberontak, memiliki nilai yang harus dijaga selama ada harapan untuk rekonsiliasi.
Kepedulian Ali bin Abi Thalib tidak bersifat impulsif; itu adalah strategi pemerintahan jangka panjang yang bertujuan membangun masyarakat yang adil dan stabil. Strategi ini mencakup reformasi pendidikan, penekanan pada hak-hak sipil, dan pembentukan budaya akuntabilitas.
Ali adalah seorang sarjana yang mendalam, dan ia memahami bahwa kepedulian sejati juga berarti memberdayakan rakyat melalui pengetahuan. Ia sering menekankan pentingnya ilmu pengetahuan dan pendidikan, melihatnya sebagai kunci untuk membebaskan rakyat dari kebodohan dan kemiskinan. Ia adalah pelopor dalam bidang tata bahasa Arab (Nahu), menyadari bahwa pelestarian bahasa adalah penting untuk pemahaman teks-teks agama dan administrasi yang benar. Kepeduliannya meluas hingga infrastruktur intelektual masyarakat.
Ia mendorong para sahabat dan tabiin untuk mendokumentasikan hadis dan ilmu, memastikan bahwa warisan pengetahuan Rasulullah SAW tidak hilang. Ini adalah bentuk kepedulian yang menjangkau masa depan, memastikan generasi mendatang memiliki alat untuk memimpin diri mereka sendiri dengan bijaksana dan adil.
Dalam suratnya kepada Malik al-Ashtar, Ali mendedikasikan bagian yang signifikan untuk hak-hak para petani (petani), buruh, dan pekerja. Ia mengakui bahwa kelompok ini adalah tulang punggung perekonomian dan seringkali menjadi korban pertama dari kebijakan yang buruk atau eksploitasi. Ia memperingatkan gubernurnya agar berhati-hati dalam memungut pajak, terutama jika panen gagal atau bencana alam melanda.
Ali bersikeras bahwa jika petani mengalami kerugian, pemerintah harus menanggung kerugian tersebut. Ini adalah konsep asuransi sosial dan kepedulian negara. Ia percaya bahwa dengan memberikan perlindungan dan dukungan, negara akan membangun fondasi ekonomi yang lebih kuat dalam jangka panjang, karena petani yang merasa dihargai akan bekerja lebih keras dan lebih setia kepada negara.
Ali menekankan perlunya keseimbangan: seorang pemimpin harus bekerja keras untuk mendamaikan tuntutan kekuasaan dengan kebutuhan hati nurani. Kepedulian yang tulus harus menghasilkan tindakan yang menopang kehidupan mereka yang bekerja paling keras namun menerima imbalan paling sedikit. Prinsip ini menjadi cetak biru bagi kebijakan sosial-ekonomi yang berorientasi pada rakyat jelata, bukan pada kepentingan modal atau kekuasaan.
Ironisnya, kepedulian Ali bin Abi Thalib yang ekstrem terhadap keadilan dan kesetaraan seringkali menjadi sumber kesulitan politiknya. Penolakannya untuk berkompromi dengan prinsip-prinsip etika demi stabilitas politik jangka pendek membuat elit-elit yang merasa dirugikan oleh kebijakan Baitul Mal-nya menjadi penentang keras. Ali memilih untuk mempertahankan keadilan substantif daripada mencari popularitas politik melalui konsesi kepada kaum bangsawan.
Banyak penentang Ali, seperti yang terungkap dalam analisis sejarah, menginginkan kembalinya sistem di mana kedekatan dengan kekuasaan menghasilkan keuntungan finansial yang besar. Ketika Ali meruntuhkan sistem tersebut dan menerapkan kesetaraan yang ketat, ia kehilangan dukungan finansial dan politik yang penting untuk memperkuat pemerintahannya. Namun, bagi Ali, kehilangan kekuasaan karena mempertahankan keadilan adalah kemenangan moral yang lebih besar daripada memerintah dengan mengorbankan prinsip-prinsip tersebut.
Kepeduliannya adalah visi moral yang menolak pragmatisme politik yang korup. Ia percaya bahwa fondasi negara haruslah kebenaran dan keadilan, meskipun fondasi itu sulit dibangun dan mudah diguncang oleh kepentingan pribadi. Komitmen ini menunjukkan kedalaman kepeduliannya; ia peduli pada keselamatan spiritual dan moral umat, bukan hanya pada efisiensi administrasi sesaat.
Ajaran Ali bin Abi Thalib, khususnya yang berkaitan dengan tata kelola, terus menjadi inspirasi universal. Suratnya kepada Malik al-Ashtar sering dipelajari dalam kajian etika pemerintahan modern, baik di Timur maupun di Barat. Prinsip-prinsip yang ia tegaskan adalah:
Dalam konteks modern yang menghadapi kesenjangan ekonomi yang semakin lebar dan krisis kepercayaan publik terhadap pemerintah, model kepemimpinan yang ditawarkan oleh Ali bin Abi Thalib—yang menempatkan empati dan keadilan sosial sebagai inti dari kekuasaan—menjadi sangat relevan. Ia mengajarkan bahwa kepemimpinan yang kuat adalah kepemimpinan yang melayani, bukan dilayani; kepemimpinan yang peduli pada setiap individu, bukan hanya pada segelintir elite.
Ali bin Abi Thalib meninggalkan warisan kepedulian yang melampaui batas waktu dan geografi. Ia adalah pemimpin yang menunjukkan bahwa kekuasaan, jika digunakan dengan hati nurani dan kepedulian yang tulus, dapat menjadi instrumen untuk transformasi sosial dan moral yang mendalam. Kisah hidupnya adalah pengingat bahwa kepemimpinan yang paling abadi bukanlah yang paling kaya atau yang paling berkuasa secara militer, tetapi yang paling adil dan paling peduli terhadap kesejahteraan spiritual dan materi rakyatnya.
Ali bin Abi Thalib bukanlah pemimpin yang mencari jalan mudah. Ia adalah Khalifah yang memilih jalan paling sulit: jalan keadilan absolut dan kepedulian yang tidak mengenal kompromi. Kepeduliannya terhadap rakyat dimanifestasikan melalui penolakan terhadap pembedaan kelas dalam Baitul Mal, penegasan etika yang ketat bagi para pejabat, dan kesiapan untuk turun langsung, memanggul sendiri beban rakyatnya yang miskin.
Warisan utamanya adalah bahwa kekuasaan harus tunduk pada kemanusiaan. Ia mengajarkan bahwa seorang pemimpin tidak boleh menjadi tiran, melainkan penjaga dan pelayan. Dalam setiap kebijakan, dari ekonomi hingga militer, Ali selalu menyematkan prinsip empati dan keadilan, menjadikannya salah satu tokoh kepemimpinan yang paling mulia dan paling peduli dalam sejarah Islam.
Sosok Ali bin Abi Thalib akan selamanya dikenang sebagai model pemimpin yang menyadari bahwa tugas terberat seorang penguasa bukanlah mengumpulkan harta atau memperluas wilayah, melainkan memastikan bahwa tidak ada satu pun air mata kesedihan atau ketidakadilan yang menetes di bawah payung pemerintahannya.