Prinsip Abadi Ali bin Abi Thalib: Bahaya Berharap dan Bergantung pada Makhluk

Di antara seluruh ajaran yang diwariskan oleh Sayyidina Ali bin Abi Thalib, Khalifah keempat, sepupu dan menantu Rasulullah ﷺ, terdapat satu prinsip yang berfungsi sebagai tiang penopang bagi keutuhan jiwa dan kemerdekaan spiritual. Prinsip tersebut adalah keharusan untuk melepaskan segala bentuk ketergantungan yang mendalam, segala harapan yang menggantungkan diri, dan segala bentuk keterikatan emosional maupun material kepada manusia atau makhluk fana lainnya. Ini bukanlah anjuran untuk bersikap antisosial atau menolak interaksi, melainkan sebuah seruan fundamental menuju isti’ghna’ billah—kemandirian dan kecukupan yang bersumber murni dari Tuhan Yang Mahaesa. Inti dari ajaran ini dapat dirangkum dalam satu ungkapan mendalam: Jangan pernah berharap pada manusia.

Pesan ini, yang terpancar begitu kuat dalam berbagai khutbah dan suratnya yang terkumpul dalam Nahj al-Balaghah, menegaskan bahwa menggantungkan kebahagiaan, rezeki, kedudukan, atau validasi diri pada entitas yang memiliki keterbatasan inheren adalah sumber utama penderitaan, kekecewaan, dan kehinaan spiritual. Mengapa manusia, yang sejatinya memiliki niat baik, tidak dapat dijadikan sandaran mutlak? Jawabannya terletak pada sifat dasar manusia itu sendiri: perubahan, kelemahan, lupa, kefanaan, dan keterbatasan kekuasaan. Seseorang yang hari ini menjadi penolong, esok hari mungkin menjadi pengkhianat, atau bahkan lebih sederhana, ia mungkin wafat dan lenyap, membawa serta semua harapan yang telah kita labuhkan padanya.

Hikmah Sayyidina Ali menuntun kita pada pemahaman bahwa harapan yang dialamatkan kepada manusia adalah harapan yang dibangun di atas pasir. Fondasinya goyah, rentan terhadap hembusan angin ego, badai perubahan nasib, atau air pasang kepentingan pribadi. Sebaliknya, harapan yang dialamatkan kepada Sang Pencipta adalah harapan yang berdiri di atas batu karang kehendak abadi, kekuatan tak terbatas, dan kasih sayang yang tidak pernah pupus. Inilah titik tolak revolusi spiritual yang ditawarkan oleh kepemimpinan dan ajaran Sayyidina Ali.

I. Sifat Dasar Manusia dan Kekurangan Sumber Harapan

Untuk memahami mengapa Ali bin Abi Thalib begitu keras dalam mendesak pemutusan harapan pada manusia, kita harus mengupas tuntas realitas kemanusiaan. Manusia, dalam pandangan filosofis dan teologis Islam, adalah makhluk yang mulia namun sekaligus rentan. Keterbatasan kita adalah bukti tak terbantahkan dari kefanaan kita. Ketika seseorang meletakkan beban harapan yang terlalu berat pada pundak orang lain, ia tidak hanya menzalimi dirinya sendiri, tetapi juga menempatkan beban yang tidak semestinya pada makhluk lain yang sama-sama berjuang.

Dalam khutbahnya, Ali sering menggambarkan dunia ini sebagai tempat persinggahan yang penuh ilusi. Dan bagian terbesar dari ilusi itu adalah keyakinan bahwa kita dapat menemukan kepastian mutlak, kekayaan abadi, atau keadilan sempurna dari sesama manusia. Manusia adalah subjek bagi tiga kelemahan utama yang menjadikannya sandaran yang buruk:

1. Keterbatasan Daya dan Kekuatan

Manusia dibatasi oleh waktu, ruang, dan energi. Bahkan individu yang paling berkuasa di bumi suatu saat harus tidur, sakit, atau menghadapi kematian. Jika Anda berharap pada bantuan seorang penguasa atau seorang yang kaya raya, ingatlah bahwa kekayaan dan kekuasaan mereka bersifat pinjaman dan sementara. Mereka mungkin memiliki keinginan tulus untuk membantu, tetapi kemampuan mereka terbatas oleh hukum alam dan kehendak ilahi. Ali mengajarkan bahwa berharap pada yang terbatas sama saja dengan membatasi potensi kebahagiaan kita sendiri.

Pikiran ini meluas kepada segala aspek: jika kita berharap pujian dari manusia sebagai sumber kehormatan, kita akan hancur ketika pujian itu berganti menjadi caci maki. Jika kita berharap kekayaan dari manusia, kita akan jatuh miskin ketika sumber kekayaan itu mengering. Keterbatasan daya manusia meniscayakan ketidakmampuan mereka untuk menjamin kepastian bagi siapapun, apalagi bagi orang lain. Dalam konteks ini, keterbatasan itu sendiri menjadi sumber kekecewaan yang tak terhindarkan. Dan kekecewaan yang tak terhindarkan ini, menurut Ali, harusnya sudah kita antisipasi dengan memindahkan fokus harapan kita kepada sumber daya yang tak terbatas.

2. Ketidakstabilan Emosi dan Niat

Manusia adalah makhluk emosional yang niatnya dapat berubah secepat angin. Hari ini seseorang mungkin mencintai Anda, besok mereka mungkin membenci Anda tanpa alasan yang jelas, digerakkan oleh dengki, kesalahpahaman, atau perubahan kepentingan. Harapan yang didasarkan pada kasih sayang manusia adalah harapan yang paling rapuh, karena kasih sayang tersebut bergantung pada kondisi, keuntungan timbal balik, atau persepsi sesaat.

“Apabila keinginanmu terarah kepada pemberian manusia, maka kehormatanmu akan hilang. Apabila kamu hanya berharap kepada Allah, kehormatanmu akan tetap tegak.”

Kalimat ini menegaskan bahwa nilai diri (kehormatan) kita berbanding terbalik dengan tingkat harapan yang kita alamatkan kepada makhluk lain. Ketika kita berharap, kita secara implisit menyerahkan kendali atas harga diri kita kepada orang lain. Manakala orang itu mengecewakan atau menolak, harga diri kita runtuh. Ali menawarkan solusi radikal: kemerdekaan diri dari kebutuhan akan pengakuan atau bantuan manusiawi, karena kebutuhan tersebut adalah rantai yang mengikat jiwa.

3. Kefanaan dan Ketiadaan Kontrol

Setiap manusia pasti binasa. Bahkan jika ada individu yang sangat loyal dan mampu, kematian akan selalu menjadi pemutus janji terakhir. Ali sering mengingatkan pengikutnya akan kefanaan dunia. Jika dunia itu sendiri adalah sementara, bagaimana mungkin makhluk yang hidup di dalamnya dapat memberikan sandaran yang abadi? Keterikatan pada yang fana akan menghasilkan kesedihan yang tak berkesudahan ketika ketiadaan itu tiba.

Pikirkan tentang seorang pelayan yang menghabiskan hidupnya berharap mendapatkan kekuasaan melalui majikannya. Ketika majikannya wafat, seluruh bangunan harapannya hancur, bukan karena majikannya berkhianat, tetapi karena batasan eksistensi. Ali mengajak kita untuk melihat melampaui kuburan. Sandaran yang sejati haruslah Sandaran yang melampaui kefanaan, yakni Zat Yang Maha Hidup dan Kekal (Al-Hayy al-Qayyum).

II. Tawakkul yang Murni: Melepaskan Ikatan Hati

Ajaran Ali tentang tidak berharap pada manusia adalah sisi praktis dari konsep teologis sentral, yaitu *Tawakkul*. Tawakkul bukan berarti pasif dan tidak berusaha; sebaliknya, itu adalah pemenuhan usaha sambil melepaskan hasil dan harapan sepenuhnya kepada Allah. Dalam konteks ini, harapan pada manusia adalah pelanggaran terhadap kesempurnaan Tawakkul.

Ali memahami bahwa hati manusia memiliki kapasitas terbatas untuk mencintai, mempercayai, dan berharap. Setiap porsi harapan yang kita berikan kepada makhluk lain adalah porsi yang diambil dari hak Allah. Ini adalah bentuk *syirik* (penyekutuan) tersembunyi, di mana kita secara tidak sadar menyekutukan kekuasaan dan jaminan Allah dengan kekuasaan dan jaminan makhluk yang lemah.

Kemerdekaan dari Tunduk

Salah satu bahaya terbesar dari harapan kepada manusia adalah munculnya sikap merendahkan diri yang berlebihan (tunduk atau menjilat) demi mendapatkan kemurahan atau perhatian. Ali bin Abi Thalib sangat menghargai kemuliaan diri seorang Mukmin. Jika Anda berharap pada pemberian seseorang, Anda harus menoleransi arogansi mereka, mengabaikan ketidakadilan mereka, atau bahkan berkompromi dengan prinsip-prinsip Anda. Harapan menciptakan perbudakan psikologis.

Perbandingan Harapan: Pohon Kokoh (Tuhan) vs. Pasir Bergerak (Manusia) Ilustrasi filosofis yang membandingkan sandaran yang kokoh dan abadi (diwakili oleh pohon berakar) dengan sandaran yang sementara dan labil (diwakili oleh ombak di atas pasir).

Visualisasi sandaran yang kokoh dan yang labil. Pohon yang berakar kuat melambangkan Tawakkul kepada Allah, sementara pasir dan ombak melambangkan harapan yang fana pada manusia.

Ketika seseorang memiliki Tawakkul yang murni, ia dapat berinteraksi dengan manusia dari posisi kehormatan dan kemerdekaan. Ia membantu karena keimanan, bukan karena pamrih. Ia menerima bantuan dengan rasa syukur kepada Tuhan yang menggerakkan hati si penolong, dan bukan dengan penghambaan kepada si penolong itu sendiri. Ini adalah fondasi dari kepribadian yang teguh dan independen, sebagaimana yang dicontohkan oleh Ali sendiri dalam kepemimpinannya.

Pentingnya Qana’ah dan Zuhud dalam Pemutusan Harapan

Pelajaran tentang tidak berharap pada manusia terkait erat dengan konsep *Qana’ah* (rasa cukup) dan *Zuhud* (asketisme non-materialistik). Seseorang yang memiliki Qana’ah tidak merasa kekurangan meskipun hartanya sedikit, karena ia merasa cukup dengan jaminan Tuhannya. Orang yang Zuhud tidak terpikat oleh kemewahan duniawi, termasuk janji-janji kekuasaan atau kekayaan yang ditawarkan oleh manusia.

Tanpa Qana’ah dan Zuhud, harapan kepada manusia akan terus hidup. Kita berharap pada manusia karena kita merasa kekurangan, dan kita merasa kekurangan karena kita terikat pada standar duniawi yang tak terbatas. Ali mengajarkan bahwa kemiskinan sejati bukanlah ketiadaan harta, melainkan ketiadaan rasa cukup (Qana’ah) dalam hati. Jika hati kaya karena Tuhan, ia tidak akan mengemis, baik secara harfiah maupun metaforis, kepada sesama manusia.

III. Analisis Mendalam terhadap Ucapan Ali bin Abi Thalib dalam Nahj al-Balaghah

Kumpulan khutbah, surat, dan pepatah Ali bin Abi Thalib, yang dikenal sebagai Nahj al-Balaghah (Puncak Kefasihan), adalah sumber utama untuk memahami kedalaman ajaran ini. Di dalamnya, Ali secara eksplisit menguraikan bahaya ketergantungan dan pentingnya kemandirian spiritual. Terdapat beberapa tema berulang yang wajib kita telaah untuk mencapai ambang pemahaman yang menyeluruh.

1. Kehinaan yang Mengikuti Permintaan

Ali sering menekankan bahwa meminta (bantuan atau pengakuan) dari manusia akan selalu dibayar dengan harga kehormatan. Ia memandang bahwa meminta, jika tidak dalam keadaan darurat yang ekstrem, adalah penyerahan sebagian dari jiwa kepada orang yang diminta. Orang yang diminta akan selalu merasa superior, sementara peminta merasa inferior, bahkan jika permintaan itu dipenuhi.

“Keperluan yang ditujukan kepada makhluk adalah awal dari kehinaan; dan apabila kamu mengharapkan sesuatu, maka janganlah kamu berharap kecuali kepada Yang Maha Pemberi, karena sesungguhnya berharap kepada selain Dia akan membawa kamu pada kerugian yang tiada tara.”

Dalam konteks ini, 'kerugian yang tiada tara' bukan hanya kerugian material akibat penolakan, tetapi kerugian spiritual yang disebabkan oleh rusaknya integritas diri. Ali ingin agar umatnya menjadi bangsawan spiritual, yang keberadaannya tidak ditentukan oleh kemurahan hati orang lain. Setiap kali kita berharap, kita mempertaruhkan kemuliaan yang telah dianugerahkan oleh Allah.

2. Keseimbangan Antara Ikhtiar dan Tawakkul

Penting untuk menggarisbawahi bahwa Ali tidak pernah mengajarkan fatalisme. Ia adalah seorang pejuang, pemimpin, dan administrator yang sangat aktif. Ia mendorong umatnya untuk bekerja keras, berinteraksi sosial, dan mencari rezeki. Namun, ia membedakan antara *usaha yang wajib* (ikhtiar) dan *harapan yang mengikat* (ketergantungan hati). Kita diperintahkan untuk berusaha seolah-olah segala sesuatu tergantung pada usaha kita, tetapi kita dilarang berharap pada hasil yang datang dari tangan manusia.

Usaha kita, meskipun melibatkan interaksi dengan manusia, haruslah dilihat sebagai bagian dari proses yang ditetapkan oleh Allah. Jika kita berdagang dengan seseorang, kita berharap pada Allah melalui sarana perniagaan tersebut, bukan berharap pada kepribadian atau kesetiaan mitra dagang kita. Jika mitra dagang berkhianat, kita tidak akan hancur, karena sejak awal hati kita telah siap menghadapi kemungkinan terburuk yang diatur oleh takdir.

Ali mengajarkan bahwa fokus pada upaya (tanggung jawab kita) haruslah 100%, tetapi fokus pada hasil (yang ada di tangan Allah) haruslah 0% dalam hal harapan. Keseimbangan ini adalah kunci untuk hidup tenang di tengah badai kehidupan. Harapan pada manusia selalu menuntut hasil instan atau jaminan, dan ketika hasil itu tidak datang, jiwa menjadi kacau balau.

3. Ujian dalam Persahabatan dan Kekuasaan

Ali bin Abi Thalib, sebagai seorang pemimpin yang menghadapi pengkhianatan dan kekecewaan politik yang mendalam, memiliki pandangan yang sangat realistis mengenai hubungan interpersonal dan kekuasaan. Ia mengajarkan bahwa bahkan sahabat terdekat pun dapat berubah, dan kekuasaan adalah ujian yang bisa merusak karakter terbaik.

Oleh karena itu, jika kita mencari keadilan, kita tidak boleh berharap sepenuhnya pada sistem peradilan manusia yang rentan suap, manipulasi, dan bias. Jika kita mencari dukungan, kita tidak boleh berharap sepenuhnya pada janji politikus yang kepentingannya dapat berubah dalam semalam. Harapan pada makhluk, terutama dalam ranah kekuasaan, adalah resep pasti menuju frustrasi yang akut.

Bagi Ali, kekuasaan dan jabatan adalah amanah, bukan tujuan. Seseorang yang berharap mendapatkan kehormatan melalui jabatan yang diberikan oleh manusia akan kehilangan kehormatan tersebut segera setelah jabatan itu dicabut. Namun, seseorang yang kehormatannya bersumber dari hubungannya dengan Allah akan tetap mulia, di mana pun ia berada, bahkan di dalam pengasingan.

IV. Dimensi Psikologis Ketergantungan dan Kehilangan Kemuliaan Diri

Kajian tentang ajaran Ali bin Abi Thalib ini tidak hanya berhenti pada ranah teologis, tetapi merambah jauh ke dalam psikologi manusia. Ali adalah seorang ahli dalam memahami dinamika internal yang menyebabkan penderitaan. Ketergantungan pada manusia menciptakan siklus penderitaan psikologis yang berkelanjutan.

Siklus Harapan, Kekecewaan, dan Kemarahan

Ketika seseorang berharap pada manusia, ia menciptakan kontrak emosional yang sering kali tidak diucapkan dan tidak diketahui oleh pihak lain. Dalam kontrak ini, si pengharap menuntut balasan atau pemenuhan atas kebutuhannya. Ketika manusia, karena kelemahan inheren mereka, gagal memenuhi harapan tersebut, terjadi kekecewaan mendalam.

Kekecewaan ini dengan cepat berubah menjadi kemarahan atau kebencian—baik terhadap orang yang gagal memenuhi harapan, maupun terhadap diri sendiri karena telah menjadi begitu rentan. Ali mengajarkan bahwa dengan melepaskan harapan pada makhluk, kita memotong siklus ini di akarnya. Kita tidak pernah kecewa pada makhluk, karena kita tidak pernah mengharapkan kesempurnaan atau kepastian dari mereka sejak awal. Kelemahan mereka adalah hal yang kita pahami dan terima.

Kemuliaan yang Terenggut (Izzah)

Inti dari nasihat Ali adalah perlindungan terhadap *Izzah* (kemuliaan, kehormatan) seorang Mukmin. Ketika kita mengemis atau berharap, kita menempatkan diri kita pada posisi inferior, dan secara perlahan, kita kehilangan keberanian untuk berbicara jujur, untuk menuntut keadilan, atau untuk menegakkan kebenaran, karena kita takut kehilangan sumber bantuan atau dukungan manusia tersebut.

Ali ingin umat Islam menjadi pihak yang selalu berdaulat atas jiwanya. Kedaulatan ini hanya dapat dipertahankan melalui pengakuan total bahwa satu-satunya yang berkuasa untuk memberi dan menahan adalah Allah. Ketika kita memiliki pandangan ini, kita menjadi 'kaya' di mata kita sendiri, meskipun kita miskin harta. Kekayaan jiwa inilah yang tidak dapat dibeli atau dicabut oleh siapapun di dunia.

Seseorang yang sepenuhnya Tawakkul kepada Allah memiliki keberanian yang luar biasa. Ia tidak takut kehilangan pekerjaan karena ia tahu rezekinya dijamin oleh Allah, bukan oleh atasannya. Ia tidak takut pada ancaman karena ia tahu perlindungan sejati hanya milik Allah. Inilah kebebasan sejati yang hanya bisa diraih melalui pemutusan harapan pada keterbatasan makhluk.

V. Penerapan Praktis: Rezeki, Persahabatan, dan Pujian

Bagaimana ajaran ini diterapkan dalam kehidupan sehari-hari yang penuh dengan interaksi sosial, ekonomi, dan politik?

1. Dalam Urusan Rezeki dan Kekayaan

Ali bin Abi Thalib mengajarkan bahwa Rezeki telah ditetapkan. Tugas kita adalah mencarinya melalui jalan yang halal, tetapi kita tidak boleh mengkhawatirkan sumbernya datang dari mana. Jika kita memiliki mitra bisnis, kita harus bekerja sama dengan profesionalisme, tetapi kita tidak boleh menggantungkan kelangsungan hidup kita pada loyalitas atau kejujuran mitra tersebut. Jika ia jujur, itu adalah karunia Allah. Jika ia berkhianat, itu adalah takdir yang diizinkan Allah untuk menguji Tawakkul kita.

Harapan pada kekayaan manusia (pinjaman, investasi, warisan) sering kali menjadi jebakan. Kekayaan tersebut bisa habis, dan harapan itu akan berubah menjadi lilitan hutang atau kemiskinan ganda. Ali menekankan bahwa rezeki yang sesungguhnya adalah *Barakah* (keberkahan), yang tidak selalu berbanding lurus dengan jumlah uang. Seseorang bisa memiliki sedikit uang tetapi merasa cukup (Qana’ah), sementara yang lain memiliki banyak tetapi selalu merasa miskin karena hatinya tidak pernah puas—karena ia selalu berharap lebih dari yang diberikan manusia.

2. Dalam Persahabatan dan Hubungan Sosial

Ali menganjurkan persahabatan yang tulus. Namun, ia juga mengajarkan kewaspadaan spiritual. Kita harus mencintai dan membantu teman kita, tetapi kita tidak boleh menuntut balasan setimpal atau menjadikan teman kita sebagai satu-satunya sumber dukungan emosional atau material kita. Ketergantungan emosional yang terlalu besar akan membuat kita rentan terhadap manipulasi atau patah hati ketika hubungan itu berubah.

Ketika kita memberi, kita harus memberikannya hanya demi Allah. Ketika kita membantu, kita melakukannya karena itu adalah perintah agama. Dengan demikian, jika teman kita tidak membalas kebaikan kita, hati kita tidak terluka, karena upah kita sudah kita harapkan sepenuhnya dari Allah, bukan dari rasa terima kasih teman kita.

Ajaran ini membebaskan persahabatan dari beban transaksional. Persahabatan sejati harus dibangun atas dasar spiritual, bukan kebutuhan atau harapan materialistik.

3. Dalam Menghadapi Pujian dan Kritik

Harapan untuk dipuji oleh manusia adalah salah satu bentuk ketergantungan yang paling halus dan berbahaya. Ali mengajarkan bahwa pujian manusia tidak menambah berat timbangan amal kita di akhirat, dan kritikan mereka tidak mengurangi pahala kita. Berharap pada pujian membuat kita menjadi budak opini publik, selalu berusaha menyenangkan orang banyak, bahkan jika itu bertentangan dengan kebenaran.

Jika kita berbuat baik, niat kita haruslah murni untuk Allah (Ikhlas). Jika pujian datang, kita bersyukur karena Allah menampakkan kebaikan kita, tetapi kita tidak boleh mengikat hati kita pada pujian tersebut. Jika kritik datang, kita menerimanya sebagai pelajaran, tetapi kita tidak hancur, karena nilai diri kita tidak didasarkan pada penilaian fana manusia.

Tawakkul dan Kebutuhan Manusiawi Ilustrasi tangan yang digariskan: satu tangan menunjuk ke atas (Tawakkul/Harapan Ilahi) dan tangan lainnya memegang erat objek duniawi yang rapuh (Harapan Manusiawi). Fana

Visualisasi dua jenis harapan: yang diarahkan ke atas (kekuatan abadi) dan yang menggenggam erat pada yang fana (sumber kekecewaan).

VI. Kedalaman Filosofis: Makna Sejati Isti’ghna’ billah

Untuk mencapai target keluasan pemahaman yang didesak oleh Ali, kita harus memahami *Isti’ghna’ billah* (merasa cukup oleh Allah) sebagai sebuah pencapaian filosofis dan spiritual tertinggi. Ini bukan hanya tentang menahan diri dari meminta, melainkan tentang restrukturisasi total cara pandang kita terhadap nilai dan sumber kebahagiaan.

1. Pembebasan dari Rasa Takut

Ketergantungan pada manusia secara otomatis menghasilkan rasa takut: takut kehilangan mereka, takut tidak disukai, takut ditolak. Rasa takut ini adalah musuh terbesar kebebasan batin. Ali bin Abi Thalib, seorang pahlawan yang tidak mengenal gentar di medan perang, mengajarkan bahwa keberanian fisik harus didahului oleh keberanian spiritual.

Keberanian spiritual muncul ketika seseorang menyadari bahwa tidak ada makhluk yang dapat memberinya manfaat atau menimpakan mudarat tanpa izin Allah. Jika kita telah memutus harapan kita pada manusia, kita secara otomatis melepaskan kekuatan yang mereka miliki untuk menyakiti kita. Kita tidak takut pada gosip, ancaman pemecatan, atau penolakan sosial, karena sandaran kita jauh di atas jangkauan manusia fana.

2. Konsistensi dalam Tindakan

Orang yang berharap pada manusia cenderung inkonsisten. Tindakan mereka berubah-ubah tergantung pada siapa yang mereka coba senangi saat itu. Jika mereka ingin menyenangkan kelompok A, mereka akan mengkritik kelompok B. Jika kepentingan mereka beralih ke kelompok B, mereka akan berbalik arah. Ini adalah ciri khas kemunafikan yang diakibatkan oleh ketergantungan pada penerimaan manusia.

Sebaliknya, seseorang yang hanya berharap pada Allah memiliki sumber moral yang tunggal dan abadi. Prinsip-prinsipnya tidak bergeser mengikuti tren atau tekanan sosial. Ia akan tetap melakukan keadilan dan kebenaran, bahkan jika itu berarti berdiri sendirian dan kehilangan semua dukungan manusia. Ali mengajarkan, berdiri teguh di atas kebenaran meskipun sendiri lebih mulia daripada didukung oleh ribuan orang dalam kebatilan.

3. Mengenali Hakikat Kekuasaan Mutlak

Inti dari tidak berharap pada manusia adalah pengakuan terhadap *Tauhid Rububiyyah* (keesaan Allah dalam pengurusan alam semesta). Jika kita benar-benar percaya bahwa Allah adalah satu-satunya *Rabb* (Penguasa, Pemberi Rezeki, Pengatur), maka kita tidak akan mencari pengatur kedua. Mencari dan berharap pada makhluk adalah menyiratkan bahwa kita meragukan kekuasaan tunggal Allah, atau bahwa kita meyakini makhluk memiliki kekuasaan yang independen.

Filsafat Ali mengharuskan kita untuk terus-menerus mengevaluasi di mana hati kita menaruh kepercayaan terbesar. Apakah ketika kita sakit, kita lebih yakin bahwa dokter tertentu akan menyembuhkan kita daripada keyakinan bahwa Allah adalah *Asy-Syafi* (Yang Maha Penyembuh)? Jika iya, maka harapan kita telah salah alamat. Dokter hanyalah sarana; kesembuhan mutlak datang dari Allah.

VII. Mengurai Jaring Ketergantungan Sosial Ekonomi

Harapan pada manusia sering kali termanifestasi dalam sistem sosial dan ekonomi yang kita bangun. Analisis mendalam Ali mengharuskan kita untuk menyaring setiap interaksi agar tetap murni dari ketergantungan yang merusak.

1. Menghadapi Sikap Pelit dan Pemberi

Dalam konteks harta, kita akan bertemu dua jenis manusia: yang sangat pelit dan yang sangat dermawan. Seseorang yang berharap pada manusia akan sangat terluka oleh si pelit dan sangat gembira oleh si dermawan. Ali mengajarkan agar respons kita tetap stabil. Jika si pelit menahan harta, itu adalah takdir Allah yang menggunakan kepelitan orang tersebut sebagai sarana ujian. Jika si dermawan memberi, itu adalah kemurahan Allah yang menggunakan tangan orang tersebut sebagai saluran.

Dengan pandangan ini, kita tidak perlu memuji berlebihan si dermawan (sehingga menjadi budak pujian) dan tidak perlu membenci si pelit (sehingga hati kita dipenuhi dengki). Ali mengajarkan ketidakberpihakan emosional terhadap sifat-sifat manusia yang berubah-ubah, karena keduanya hanyalah alat di tangan Penguasa Takdir.

“Jadikanlah yang paling kamu harapkan adalah Dia, dan yang paling kamu takuti adalah dosamu sendiri. Apabila kamu melakukan ini, kamu tidak akan pernah kecewa dan tidak akan pernah terhina.”

Memindahkan fokus ketakutan dari makhluk (takut miskin, takut dihina oleh manusia) menjadi ketakutan terhadap dosa (takut akan murka Allah) adalah revolusi moral yang ditawarkan Ali. Selama kita takut pada manusia, kita akan berharap pada manusia; tetapi ketika kita hanya takut pada Allah, kita hanya akan berharap pada-Nya.

2. Ketergantungan Intelektual dan Spiritual

Prinsip ini juga berlaku untuk harapan pada intelektualitas dan spiritualitas orang lain. Kita harus mencari ilmu dari guru yang mumpuni, tetapi kita tidak boleh mengidolakan guru tersebut sedemikian rupa sehingga kita tidak berani mempertanyakan kebenaran atau mengkritik kesalahan mereka. Ketika harapan intelektual kita dialamatkan kepada manusia, kita rentan terhadap dogmatisme dan cult of personality.

Ali, yang dikenal sebagai 'Pintu Kota Ilmu', selalu mendesak agar ilmu digunakan untuk mencapai Tuhan, bukan untuk memperbudak diri pada manusia. Guru adalah pemandu, tetapi sumber ilmu sejati adalah Allah. Harapan kita haruslah agar Allah membuka pintu pemahaman, bukan semata-mata berharap agar guru kita memberikan kita semua jawaban.

VIII. Penutup: Manifestasi Kemerdekaan Sejati

Pelajaran Ali bin Abi Thalib mengenai tidak berharap pada manusia adalah sebuah peta jalan menuju kemerdekaan sejati. Kemerdekaan ini tidak dapat dibeli dengan uang, tidak dapat diberikan oleh kekuasaan, dan tidak dapat dicabut oleh musuh. Kemerdekaan ini adalah kondisi batin, di mana jiwa telah melepaskan semua rantai ketergantungan kecuali satu rantai: rantai ketundukan total kepada Sang Pencipta.

Untuk mencapai kondisi ini, dibutuhkan latihan spiritual yang konstan dan pengawasan hati yang ketat. Setiap kali kita merasa sedih karena pengkhianatan seseorang, atau terlalu bahagia karena bantuan seseorang, kita harus segera mengkoreksi diri: di mana letak harapan saya? Jika harapan itu tertuju pada makhluk, maka kita harus segera mengembalikannya kepada Allah.

Ketika seseorang telah sepenuhnya menginternalisasi ajaran Ali ini, dampaknya akan terlihat nyata:

Ajaran Ali bin Abi Thalib ini, yang berfokus pada pemutusan harapan pada yang fana, adalah warisan abadi yang menawarkan solusi terhadap krisis psikologis modern, di mana manusia semakin terikat pada validasi sosial, pengakuan media, dan janji-janji kekuasaan. Mengadopsi prinsip ini adalah memilih jalan kemuliaan, ketenangan, dan kedaulatan jiwa yang sesungguhnya. Sandarkan dirimu sepenuhnya hanya kepada Yang Maha Hidup, yang tidak akan pernah mati, dan tidak akan pernah mengecewakan.

Ini adalah seruan kembali kepada *Tauhid* yang murni—prinsip bahwa hanya ada satu sumber daya, satu sumber perlindungan, dan satu sumber harapan yang layak untuk digantungkan. Dengan mempraktikkan ajaran Ali, kita menjadi bebas di tengah perbudakan dunia, dan kaya di tengah kemiskinan materi. Kehormatan yang dicari dari makhluk akan hilang, tetapi kehormatan yang dicari dari Khaliq akan abadi.

Keagungan hikmah ini terletak pada kesederhanaannya yang radikal. Lepaskan, dan Anda akan mendapatkan segalanya. Berharaplah pada manusia, dan Anda akan kehilangan diri Anda sendiri. Harapan adalah jangkar, dan jangkar itu harus dilabuhkan di pelabuhan yang tidak akan pernah berubah: Kekuatan dan Kasih Sayang Allah Yang Maha Kuasa. Inilah warisan Ali bin Abi Thalib: hidup bebas dari belenggu harapan kepada makhluk fana.

Ajaran ini tidak hanya membentuk filosofi hidup individu tetapi juga menjadi cetak biru bagi masyarakat yang adil dan beradab. Ketika masyarakatnya melepaskan harapan pada kekayaan dan kekuasaan sesama manusia, mereka berhenti bersaing dalam perlombaan yang tidak sehat dan mulai berfokus pada upaya kolektif yang jujur. Harapan yang salah alamat sering kali menjadi pemicu korupsi dan ketidakadilan, karena individu yang haus kekuasaan atau kekayaan akan menempuh jalan apapun untuk mendapatkan apa yang mereka harapkan dari sumber manusiawi. Jika setiap individu memahami bahwa rezeki dan kedudukan adalah urusan Tuhan, maka perilaku predator dalam masyarakat akan berkurang secara drastis.

Pemisahan yang jelas antara usaha (ikhtiar) dan hasil (harapan) adalah kunci yang terus diulang oleh Ali. Usaha adalah ibadah; harapan pada usaha adalah kesombongan. Usaha adalah manifestasi kepatuhan; harapan pada hasil dari usaha itu adalah keraguan terhadap takdir. Seseorang yang bekerja keras dalam bisnis, tetapi kemudian meratapi kegagalan dan menyalahkan orang lain, berarti ia telah melabuhkan harapannya pada dirinya sendiri atau pada mitra bisnisnya, bukan pada Allah. Ali mengajarkan ketenangan dalam menghadapi kegagalan dan kesuksesan, karena keduanya adalah takdir yang harus diterima dengan Qana’ah dan Tawakkul yang murni.

Kita harus merenungkan secara mendalam mengapa manusia begitu rentan terhadap harapan yang salah ini. Alasannya adalah kebutuhan psikologis yang mendalam akan kepastian. Dunia penuh ketidakpastian; manusia mencari oase kepastian pada orang lain—pada pasangan, pemimpin, atau lembaga keuangan. Namun, Ali dengan tegas menyatakan bahwa oase tersebut adalah fatamorgana. Hanya ada satu Sumber Kepastian, satu Sumber Jaminan, yang tidak terikat oleh hukum waktu dan ruang. Keyakinan teguh pada kekuasaan Yang Maha Esa adalah satu-satunya pelindung dari kegilaan ketidakpastian duniawi.

Lebih jauh lagi, ajaran Ali ini menciptakan sebuah etos kesetiaan yang unik. Kesetiaan seorang Mukmin adalah kepada prinsip kebenaran (al-Haqq), bukan kepada individu. Ketika kita setia kepada individu karena kita berharap imbalan darinya, kesetiaan itu rapuh dan bersifat kondisional. Ketika individu tersebut menyimpang dari kebenaran, kesetiaan kita pun akan terombang-ambing. Sebaliknya, jika kesetiaan kita hanya kepada Allah, maka kita akan setia kepada siapa pun yang berjalan di atas jalan kebenaran, dan kita akan berpaling dari siapa pun yang menyimpang, tanpa merasa bersalah atau takut kehilangan dukungan. Ini adalah kesetiaan yang independen dan bermartabat.

Bayangkan sebuah sistem politik atau ekonomi yang dipimpin oleh orang-orang yang sepenuhnya melepaskan harapan pada sanjungan, kekayaan, atau kekuasaan manusia. Mereka tidak akan tergoda oleh suap karena mereka tidak berharap pada uang. Mereka tidak akan takut dikritik karena mereka tidak berharap pada pujian. Mereka akan mengambil keputusan yang adil meskipun itu tidak populer, karena mereka hanya mencari keridhaan Allah. Ali bin Abi Thalib, dalam surat-suratnya kepada para gubernur, selalu menekankan pentingnya integritas ini, yang hanya dapat dipertahankan jika hati seorang pemimpin tidak terikat pada imbalan duniawi dari rakyatnya.

Ketergantungan pada manusia juga menciptakan tirani baru—tirani si pemberi. Seseorang yang berharap pada bantuan orang lain secara tidak sadar memberikan kekuatan kepada si pemberi untuk mengendalikan dirinya. Si pemberi dapat menuntut ketaatan, kepatuhan, atau bahkan penghinaan sebagai imbalan atas bantuannya. Ali sangat menentang segala bentuk perbudakan, baik fisik maupun spiritual. Melepaskan harapan adalah tindakan pembebasan terakhir, sebuah deklarasi bahwa jiwa kita terlalu mulia untuk diperdagangkan demi bantuan duniawi.

Dalam refleksi akhir, hikmah Ali adalah panggilan untuk introspeksi yang mendalam: apa yang saya cari, dan dari mana saya mencarinya? Apakah saya mencari kekayaan yang abadi dari sumber yang fana? Apakah saya mencari pengampunan dari makhluk yang penuh dosa? Apakah saya mencari kepastian dari dunia yang bersifat sementara? Jika jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini menunjukkan adanya ketergantungan pada selain Allah, maka kita harus kembali kepada prinsip fundamental ini: lepaskan semua harapan pada makhluk, dan labuhkanlah Tawakkul Anda pada Al-Qadir, Yang Maha Kuasa, satu-satunya yang mampu memenuhi semua harapan tanpa pernah mengecewakan.

Proses pemutusan harapan ini tidak terjadi dalam semalam. Ini adalah perjalanan spiritual seumur hidup, di mana setiap kali kita merasa kecewa oleh manusia, kita diingatkan untuk memindahkan jangkar hati kita ke tempat yang lebih aman. Setiap pengkhianatan, setiap penolakan, setiap kegagalan janji dari sesama manusia, harus dilihat sebagai rahmat tersembunyi—sebuah pengingat yang menyakitkan namun diperlukan bahwa kita telah meletakkan harapan kita di tempat yang salah. Tanpa penderitaan dari kekecewaan manusia, kita mungkin tidak pernah terdorong untuk mencari sandaran yang sempurna.

Ketika kita benar-benar hidup berdasarkan ajaran ini, kita tidak hanya merasa damai, tetapi juga menjadi agen kebaikan yang lebih efektif di dunia. Kita membantu orang lain bukan karena kita berharap mereka akan membalas budi, tetapi karena kita menjalankan tugas kita sebagai hamba Allah. Pemberian kita menjadi murni, tanpa pamrih, dan dengan demikian, memiliki kekuatan spiritual yang jauh lebih besar. Kita menjadi sumber stabilitas bagi orang lain, bukan karena kekuatan kita sendiri, tetapi karena kita terhubung pada Sumber Stabilitas sejati.

Keagungan Ali bin Abi Thalib terletak pada kemampuannya merumuskan ajaran yang sedemikian teologis tetapi memiliki relevansi praktis yang luar biasa. Ia menyadari bahwa penderitaan manusia sebagian besar berasal dari kesalahpahaman mereka tentang sumber dan tujuan kehidupan. Ketika kita memahami bahwa manusia adalah sarana dan bukan tujuan, alat dan bukan sumber, barulah kita dapat menjalani kehidupan yang utuh, bermartabat, dan sepenuhnya terbebaskan dari belenggu kebutuhan terhadap makhluk. Jadilah hamba Allah yang merdeka, bukan budak dari harapan dan kekecewaan manusiawi. Prinsip ini adalah kunci emas menuju kebahagiaan sejati dan kemuliaan abadi.

Fokus Ali pada kemandirian batin ini juga mencerminkan pemahaman mendalam tentang fitrah manusia yang cenderung sombong dan serakah. Ketika kita berharap pada manusia, kita tidak hanya menempatkan diri kita dalam posisi inferior, tetapi kita juga memupuk kesombongan dalam diri orang yang kita harapkan. Mereka mulai merasa bahwa mereka adalah sumber rezeki atau penentu nasib, yang merupakan ilusi yang merusak spiritualitas mereka sendiri. Dengan melepaskan harapan, kita melindungi kehormatan diri kita dan, secara tidak langsung, membantu orang lain untuk tetap rendah hati dengan tidak menjadikan mereka objek pemujaan atau ketergantungan berlebihan.

Oleh karena itu, ajaran untuk tidak berharap pada manusia adalah cerminan dari kecintaan yang mendalam Sayyidina Ali terhadap kehormatan dan keutuhan moral setiap individu. Ia ingin setiap Mukmin berdiri tegak di hadapan siapapun, kaya atau miskin, berkuasa atau lemah, karena mereka semua setara di hadapan Allah. Kemerdekaan ini tidak didapat dari deklarasi politik, tetapi dari keputusan hati yang radikal untuk menanggalkan setiap ikatan yang mengarah pada penghambaan kepada selain Sang Pencipta. Harapan yang salah adalah racun bagi jiwa, dan membebaskan diri dari racun ini adalah langkah pertama menuju kehidupan yang benar-benar saleh dan penuh makna, sebagaimana yang diajarkan oleh sang ksatria ilmu dan kebijaksanaan, Ali bin Abi Thalib.

Pola pikir ini membawa kita pada kesimpulan akhir bahwa melepaskan harapan pada manusia bukanlah tindakan pesimis atau sinis, melainkan tindakan optimisme teologis yang tertinggi. Optimisme yang didasarkan pada keyakinan bahwa Alam Semesta dikelola oleh Zat Yang Maha Sempurna. Jika kita merasa membutuhkan, kita akan meminta pada Yang Kaya Raya. Jika kita merasa takut, kita akan berlindung pada Yang Maha Perkasa. Jika kita merasa kecewa, kita akan mencari penghiburan dari Yang Maha Pengasih. Selama kita mengalihkan semua kebutuhan dasar kita kepada sumbernya yang Abadi, kita akan menemukan ketenangan yang tidak terganggu oleh badai interaksi manusiawi. Inilah esensi dari hikmah Ali bin Abi Thalib yang berlaku sepanjang masa.

Kita harus melatih diri untuk tidak terguncang oleh perubahan nasib yang disebabkan oleh makhluk. Jika hari ini seorang teman baik memberikan dukungan finansial yang besar dan besok dia jatuh miskin atau memutuskan persahabatan, respons kita haruslah stabil. Kesedihan atas kepergian teman adalah wajar, tetapi kehancuran karena hilangnya sumber daya adalah bukti kegagalan Tawakkul. Dalam pandangan Ali, musibah terbesar bukanlah kehilangan harta atau teman, tetapi hilangnya keyakinan pada janji-janji Allah. Kualitas hidup seseorang diukur dari seberapa cepat ia mampu mengembalikan fokus harapannya kembali kepada Tuhan setelah dikecewakan oleh dunia dan isinya.

Ali mengajarkan pentingnya 'kekayaan batin' (al-Ghina' al-Qalbi). Kekayaan batin adalah keadaan di mana hati merasa puas dan berkecukupan meskipun lingkungan eksternal penuh kekurangan. Kekayaan ini hanya dapat dicapai melalui praktik pelepasan harapan dari sumber-sumber yang terbatas. Orang yang kaya batinnya tidak perlu mengemis, tidak perlu menipu, dan tidak perlu menjilat. Ia berinteraksi dengan dunia dari posisi kekuatan yang tenang, karena ia membawa kerajaan ketaqwaan di dalam hatinya. Inilah puncak kebijaksanaan yang diwariskan oleh Ali bin Abi Thalib, sebuah seruan abadi untuk kemuliaan yang berdiri tegak di atas fondasi Tawhid yang murni dan tak tercela. Prinsip 'Jangan berharap pada manusia' adalah fondasi kemuliaan spiritual yang paling kokoh, sebuah pelajaran yang relevan bagi setiap jiwa yang mendambakan kebebasan sejati di dunia yang fana ini.

Penghayatan terhadap prinsip ini adalah obat bagi penyakit hati yang kronis, seperti iri hati, dengki, dan ambisi buta. Iri hati muncul ketika kita melihat manusia lain mendapatkan apa yang kita harapkan darinya, dan kita merasa bahwa kita pantas mendapatkannya. Ambisi buta muncul ketika kita terlalu berharap mendapatkan kedudukan tertinggi dari otoritas manusia. Ketika kita menyadari bahwa segala sesuatu datang dari Allah, dan bahwa kita hanya diperintahkan untuk berusaha, maka iri hati dan ambisi buta akan luntur, digantikan oleh kerelaan dan kesabaran (Sabr dan Ridha).

Oleh karena itu, upaya memutus harapan dari makhluk adalah sebuah proyek penyucian diri. Ini adalah jihad internal terbesar. Setiap hari, kita harus memerangi bisikan hati yang mengatakan, "Saya harus mendapatkan ini dari orang itu," atau "Saya akan gagal jika orang itu tidak membantu." Ali mendorong kita untuk mengganti bisikan itu dengan, "Saya akan berusaha, dan hasilnya sepenuhnya saya serahkan kepada Allah, yang tidak akan pernah menyia-nyiakan hamba-Nya." Dengan cara ini, kehidupan menjadi sebuah perjalanan ibadah yang murni, terlepas dari segala kekeruhan harapan duniawi.

🏠 Homepage