Filosofi Hidup Mulia: Mengalihkan Ketergantungan Mutlak dari Makhluk menuju Khaliq
Di antara lautan hikmah yang ditinggalkan oleh Amirul Mukminin, Ali bin Abi Thalib Karramallahu Wajhah, terdapat sebuah pilar etika spiritual yang amat fundamental: larangan keras untuk meletakkan harapan mutlak, ketergantungan total, dan sandaran emosional yang mendalam kepada sesama manusia. Prinsip ini, yang sering kali diulang dalam khutbah-khutbahnya yang terkumpul dalam *Nahjul Balaghah*, bukanlah sekadar anjuran moral, melainkan sebuah strategi bertahan hidup spiritual, sebuah cara untuk memastikan kedamaian batin (sakinah) di tengah gejolak kehidupan dunia yang penuh ketidakpastian.
Ali bin Abi Thalib, yang dikenal sebagai pintu gerbang ilmu, memahami betul sifat dasar kemanusiaan. Manusia adalah entitas yang rentan, berubah-ubah, dan terbatas. Mereka dapat mencintai hari ini dan membenci esok hari; mereka dapat berjanji namun terhalang oleh takdir, lupa, atau bahkan keterbatasan daya upaya. Oleh karena itu, harapan yang diletakkan pada fondasi rapuh ini hanya akan menghasilkan kekecewaan yang berulang, menghancurkan ketenangan jiwa, dan mengalihkan fokus dari Dzat Yang Maha Kekal.
Ajaran Ali bin Abi Thalib mengenai harapan kepada manusia berakar pada pemahaman tauhid yang murni. Tauhid, dalam konteks ini, bukan hanya mengakui keesaan Tuhan, tetapi juga mengakui keesaan-Nya dalam kemampuan memberi, menahan, dan mengatur segala urusan. Ketika harapan diletakkan pada selain-Nya, tauhid tersebut menjadi ternoda, atau setidaknya, mengurangi derajat kesempurnaan tawakkul (berserah diri).
Imam Ali selalu mengingatkan umatnya akan sifat manusia yang esensial: kefanaan. Manusia adalah makhluk yang terikat waktu, ruang, dan kelemahan fisik serta mental. Setiap individu membawa beban dan keterbatasannya sendiri. Mereka memiliki kebutuhan pribadi, kelemahan karakter, dan potensi untuk berbuat salah. Berharap bahwa makhluk yang serba terbatas ini akan mampu menjadi sumber dukungan tak terbatas adalah ilusi yang berbahaya.
"Janganlah engkau berharap kecuali kepada Tuhanmu, dan janganlah engkau takut kecuali dosa-dosamu." — Ali bin Abi Thalib (Parafrase dari Nahjul Balaghah)
Keterbatasan ini mencakup beberapa aspek krusial:
Ketika harapan diletakkan di tempat yang salah—yakni pada makhluk yang rapuh—hasil yang paling sering terjadi adalah kekecewaan. Kekecewaan, menurut ajaran spiritual, bukan sekadar perasaan sedih. Ia adalah racun yang merusak iman, menimbulkan prasangka buruk terhadap orang lain, dan bahkan dapat memicu kemarahan terhadap takdir.
Imam Ali mengajarkan bahwa menjaga hati adalah prioritas utama. Ketika kita terlalu bergantung pada bantuan atau pujian manusia, kita menyerahkan kunci kebahagiaan kita kepada pihak lain. Jika mereka memberi, kita bahagia; jika mereka menahan, kita menderita. Siklus ini menciptakan perbudakan psikologis dan spiritual. Kebebasan sejati, dalam pandangan beliau, dicapai ketika hati hanya terikat pada Sang Pemberi Rezeki Sejati.
Harapan yang salah adalah sumber dari kehinaan. Seseorang yang selalu menengadahkan tangan kepada manusia akan kehilangan harga dirinya (izzah), sebuah nilai yang sangat dijunjung tinggi dalam Islam. Ali bin Abi Thalib mendorong umatnya untuk menjadi jiwa-jiwa yang kaya, bukan karena harta, melainkan karena kebebasan dari kebutuhan yang ditempelkan pada makhluk lain.
Imam Ali, sebagai pemimpin yang mengalami puncak kejayaan dan jurang pengkhianatan, memberikan pandangan yang sangat realistis—bahkan pragmatis—mengenai hubungan sosial. Ia tidak melarang interaksi atau tolong-menolong, tetapi ia mewanti-wanti agar kita membedakan antara kebutuhan fungsional dan ketergantungan spiritual.
Ketika seseorang meminta bantuan dari orang lain dengan harapan yang menggunung, ia menempatkan dirinya dalam posisi rentan. Jika permintaannya dikabulkan, ia berutang budi yang sering kali membebani. Jika ditolak, ia mengalami rasa sakit penolakan yang lebih dalam daripada jika ia hanya bergantung pada Allah sejak awal.
Ali bin Abi Thalib melihat bahwa bahkan dalam pemberian, terdapat potensi bahaya bagi pemberi dan penerima:
Salah satu pelajaran paling tajam dari kehidupan Imam Ali adalah bagaimana kekuasaan dan kekayaan dapat memutarbalikkan loyalitas. Dalam Nahjul Balaghah, ia sering meratapi bagaimana orang-orang yang setia saat ia berkuasa, meninggalkannya ketika ia menghadapi kesulitan atau ketika tawaran duniawi dari pihak lawan lebih menggiurkan.
Manusia cenderung mendekat kepada mereka yang sedang berada di puncak kekuasaan dan kekayaan, bukan karena cinta sejati, melainkan karena mengharapkan imbalan. Harapan semacam ini bersifat musiman. Ali bin Abi Thalib mengajarkan bahwa jika kita menginginkan ketenangan, kita harus menarik diri dari panggung drama harapan timbal balik ini dan mencari stabilitas di tempat yang tidak pernah berubah.
Dia menekankan bahwa kawan sejati adalah yang setia meskipun kita tidak memiliki apa-apa untuk ditawarkan, namun kawan sejati seperti itu adalah barang langka. Maka, lebih aman untuk menganggap semua dukungan manusia sebagai anugerah temporal, bukan sebagai fondasi kehidupan.
Melepaskan harapan kepada manusia bukanlah sikap pesimis atau anti-sosial. Sebaliknya, itu adalah langkah proaktif menuju optimisme yang berlandaskan tauhid, yang disebut *Tawakkul Sejati*. Tawakkul sejati tidak berarti duduk diam tanpa berusaha, melainkan mengerahkan seluruh upaya yang dimiliki (ikhtiar) sambil menyerahkan hasil akhir kepada Allah SWT.
Imam Ali selalu mendefinisikan seorang mukmin yang kuat sebagai dia yang menggabungkan kerja keras dan penyerahan diri. Ikhtiar adalah kewajiban kita sebagai hamba yang diberikan akal dan anggota tubuh. Kita harus mengetuk pintu, mencari solusi, dan membangun rencana. Namun, pada saat yang sama, kita harus memahami bahwa pintu yang kita ketuk mungkin tidak terbuka, dan rencana kita mungkin gagal.
Di sinilah peran tawakkul. Tawakkul adalah kesadaran bahwa sebab dan akibat yang kita usahakan hanyalah alat. Kekuatan untuk menghasilkan buah dari usaha itu sepenuhnya berada di tangan Ilahi. Ketika kita memahami ini, kita terbebaskan dari tekanan harus berhasil, dan dari kemarahan ketika orang lain yang kita harapkan gagal membantu.
Jika seseorang memberikan bantuan, itu dilihat sebagai rezeki yang Allah salurkan melalui tangan orang tersebut, bukan kebaikan mutlak dari manusia itu sendiri. Pandangan ini mengubah rasa terima kasih dari sanjungan kepada manusia menjadi syukur kepada Tuhan, sehingga menjaga kemurnian hati dan menghilangkan rasa terbebani.
Mengurangi harapan kepada manusia secara otomatis meningkatkan kemandirian batin. Seseorang yang tahu bahwa sandarannya adalah Yang Maha Kuat akan memiliki ketahanan spiritual yang luar biasa (istiqamah). Ini tercermin dalam beberapa ciri:
Konsep ini menghasilkan kehormatan diri yang autentik. Seseorang yang tidak mengharapkan apa pun dari orang lain tidak dapat dikecewakan, tidak dapat dibeli, dan sulit untuk diintimidasi. Inilah puncak kebebasan yang diajarkan oleh Ali bin Abi Thalib.
Mengapa kekecewaan yang ditimbulkan oleh manusia terasa begitu menyakitkan? Imam Ali mengajarkan kita untuk memahami mekanisme kekecewaan itu sendiri, agar kita dapat mencabut akarnya.
Kekecewaan terjadi ketika ada kesenjangan antara realitas dan ekspektasi. Ketika harapan diletakkan pada manusia, ekspektasi kita secara tidak sadar sering kali bersifat mutlak—kita menuntut kesempurnaan, konsistensi, dan kekuatan yang hanya dimiliki oleh Tuhan.
Seorang teman yang kita harapkan akan selalu ada mungkin sedang menghadapi krisisnya sendiri. Seorang kerabat yang kita yakini akan mendukung finansial mungkin tiba-tiba bangkrut. Kegagalan mereka bukan karena kejahatan mutlak, melainkan karena keterbatasan kemanusiaan mereka. Namun, jika kita telah membangun fondasi harapan kita di atas janji mereka, kehancurannya akan total.
Ali bin Abi Thalib mendidik kita untuk memiliki ‘ekspektasi terukur’ terhadap manusia: terima bantuan mereka sebagai potensi anugerah, tetapi jangan pernah menjadikannya sebuah kepastian. Dengan demikian, jika bantuan itu datang, itu adalah bonus; jika tidak, hati kita tetap stabil karena sandaran utama tidak pernah berubah.
Salah satu aspek yang paling ditekankan dalam hikmah Ali bin Abi Thalib adalah sifat manusia yang mudah lupa dan hatinya yang mudah berbalik. Apa yang dianggap penting hari ini bisa menjadi remeh besok. Persahabatan seumur hidup bisa terkikis oleh fitnah atau perubahan kepentingan materi.
Kondisi hati yang dinamis ini menjadikan manusia sebagai sandaran yang tidak dapat diandalkan. Ali bin Abi Thalib memahami bahwa hati manusia (disebut *qalb* dalam bahasa Arab, yang berarti ‘berbolak-balik’) adalah entitas yang rentan dan mudah dipengaruhi oleh syahwat, harta, dan kekuasaan. Mengikat nasib kita pada entitas yang mudah berbolak-balik ini adalah tindakan yang tidak bijaksana.
"Orang yang paling bahagia adalah yang terbebas dari mengharapkan apa pun dari orang lain." (Makna yang diatributkan kepada Ali bin Abi Thalib).
Bagaimana ajaran mulia ini diimplementasikan dalam kehidupan modern yang penuh interdependensi sosial dan ekonomi?
Dalam urusan pekerjaan, bisnis, atau pelayanan, kita tetap harus berinteraksi dan mengandalkan profesionalisme orang lain. Namun, ada perbedaan mendasar antara mengandalkan kinerja profesional (sebuah kontrak yang mengikat) dan mengandalkan kebaikan hati atau janji personal (ketergantungan spiritual).
Imam Ali mengajarkan kita untuk melaksanakan kontrak dengan integritas tertinggi dan menuntut profesionalisme yang sama. Namun, di balik semua transaksi tersebut, kita harus menyadari bahwa hasil akhir—apakah bisnis itu berhasil atau gagal—tidak bergantung pada keahlian manusia semata, melainkan pada izin Ilahi. Jika proyek gagal karena kegagalan manusia, kita sedih atas kerugian duniawi, tetapi hati kita tidak hancur karena fondasi kita tidak goyah.
Meskipun kita didorong untuk meminimalkan harapan, Ali bin Abi Thalib tidak melarang meminta sepenuhnya dalam situasi darurat. Namun, ia mengajarkan bahwa cara kita meminta haruslah menjaga kehormatan diri.
Meminta hanya boleh dilakukan setelah semua ikhtiar mandiri habis. Ketika terpaksa meminta, hati harus sudah siap menerima penolakan tanpa rasa sakit yang mendalam, karena kita telah mengalihkan harapan sejati kita kepada Allah sebelum permintaan itu diajukan. Permintaan yang demikian adalah permintaan yang didorong oleh kebutuhan fisik, bukan oleh kemiskinan spiritual.
Sebaliknya, Ali bin Abi Thalib juga menasihati para pemberi untuk memberi sebelum diminta, karena hal itu lebih menjaga kehormatan peminta. Namun, dari sisi penerima, kemuliaan adalah terletak pada menjauhkan diri dari meminta sedapat mungkin.
Jika kita melepaskan harapan, lantas bagaimana kualitas hubungan kita dengan orang lain? Ajaran Ali bin Abi Thalib mendorong kita untuk mengubah fokus hubungan dari ‘mengharapkan’ (ekspektasi) menjadi ‘memberi’ (kontribusi).
Ketika kita mendekati seseorang dengan niat tulus untuk memberi manfaat, mendukung, dan melayani—bukan dengan daftar permintaan atau harapan timbal balik—hubungan itu menjadi sehat dan stabil. Cinta yang didasarkan pada altruisme, bukan kebutuhan, adalah cinta yang murni dan tidak rentan terhadap kekecewaan.
Menerapkan prinsip "jangan berharap kepada manusia" adalah praktik spiritual yang mendalam dengan konsekuensi psikologis yang transformatif.
Ali bin Abi Thalib menekankan konsep kekayaan yang sesungguhnya. Kekayaan bukanlah banyaknya harta, melainkan kekayaan batin (Ghina anin-nas), yaitu ketidakbutuhan terhadap orang lain. Orang yang kaya batin adalah dia yang tidak terombang-ambing oleh pujian atau celaan manusia, dan tidak tergantung pada bantuan atau pemberian mereka.
Kekayaan batin ini melahirkan:
Ajaran ini sangat relevan bagi mereka yang berada di posisi kepemimpinan atau yang memiliki pengikut. Seorang pemimpin yang meletakkan harapan terlalu tinggi pada pengikutnya akan sangat rentan terhadap pengkhianatan dan kehancuran moral. Imam Ali sendiri sering memperingatkan para pengikutnya bahwa mereka harus mengikuti kebenaran, bukan dirinya sebagai individu.
Bagi pemimpin, melepaskan harapan kepada manusia berarti: memimpin dengan keikhlasan, bersikap adil tanpa memandang loyalitas personal, dan menerima bahwa popularitas dan dukungan adalah hal yang fana. Bagi pengikut, ini berarti: mengikuti prinsip, bukan individu, dan tidak mengharapkan imbalan duniawi yang berlebihan dari pemimpin mereka.
Inti dari nasihat Ali bin Abi Thalib terletak pada pemahaman yang benar tentang Rezeki dan Takdir. Jika seseorang yakin bahwa rezekinya telah ditentukan oleh Allah, maka ia akan memahami bahwa sumber daya yang dibutuhkan pasti akan datang, entah melalui tangan manusia A, B, atau bahkan tanpa perantara manusia sama sekali.
Keyakinan ini adalah benteng terkuat melawan harapan yang salah. Ali bin Abi Thalib mengajarkan bahwa jika rezeki kita ada di tangan orang lain, maka Allah-lah yang akan menggerakkan tangan itu. Jika Allah telah menetapkan rezeki itu bukan untuk kita, seribu tangan manusia pun tidak akan bisa memberikannya.
Pemahaman ini menghasilkan kelegaan yang luar biasa. Kita berhenti memohon dengan putus asa, menyogok, atau menjilat demi mendapatkan rezeki yang, pada hakikatnya, telah dijamin oleh Sang Pencipta. Kita hanya diperintahkan untuk berikhtiar dengan cara yang halal dan terhormat.
Ketika kita mendapati diri kita bergantung pada keputusan manusia—misalnya, dalam kenaikan pangkat atau persetujuan bisnis—kita harus segera menarik hati kita dan mengingatkan diri sendiri: “Keputusan akhir bukan milik manusia ini, melainkan milik Allah. Tugas saya hanya berbuat yang terbaik.” Keyakinan ini menjaga martabat kita dari kehinaan permohonan yang berlebihan.
Melepaskan harapan kepada manusia adalah praktik kesabaran yang tertinggi. Kesabaran di sini adalah kesabaran dalam menahan diri untuk tidak mengeluh kepada manusia, tidak memamerkan penderitaan demi simpati, dan tidak menagih janji yang tidak terpenuhi.
Menurut Ali bin Abi Thalib, kemenangan sejati bukanlah ketika kita mendapatkan apa yang kita inginkan dari manusia, melainkan ketika kita mampu melewati masa-masa kekurangan tanpa harus merendahkan diri kepada mereka. Jiwa yang mandiri inilah yang pada akhirnya akan dimuliakan oleh Allah, sering kali dengan mengirimkan bantuan tak terduga (rejeki min ghairi hisab) sebagai ganti dari keikhlasan tawakkulnya.
Keagungan hikmah Ali bin Abi Thalib ini menembus zaman. Ia mengajarkan kepada kita bahwa dunia adalah panggung ujian, dan salah satu ujian terbesar adalah di mana kita meletakkan fondasi harapan kita. Apakah pada struktur yang bergoyang, atau pada Pilar Keabadian yang tidak pernah runtuh.
***
Untuk memahami kedalaman filosofi Ali bin Abi Thalib, kita harus merenungkan konteks di mana ia mengucapkan nasihat-nasihat ini. Sebagai khalifah, ia menyaksikan bagaimana kesetiaan yang dicanangkan di pagi hari bisa berubah menjadi pengkhianatan di sore hari. Peristiwa-peristiwa ini membentuk pemahaman yang matang bahwa sifat dasar manusia adalah ketidaksempurnaan, sehingga menjadikannya objek yang tidak layak untuk disandari harapan mutlak.
Ali bin Abi Thalib sering mengeluhkan sifat kaumnya yang mudah terpengaruh oleh dunia. Mereka yang bersamanya saat peperangan sengit, menunjukkan keberanian yang luar biasa. Namun, begitu godaan kekayaan dan jabatan ditawarkan oleh lawan, atau ketika keadaan menjadi sulit, kesetiaan mereka langsung memudar. Ini mengajarkan bahwa dukungan manusia sering kali bukan hasil dari keyakinan ideologis yang kuat, melainkan kalkulasi pragmatis.
Harapan kepada manusia, dalam kasus ini, adalah berharap bahwa kalkulasi mereka akan selalu menguntungkan kita. Ketika kalkulasi itu berubah, harapan kita akan runtuh. Imam Ali menasihati: jangan biarkan kedamaian batin Anda bergantung pada hasil kalkulasi orang lain. Sandarkanlah pada kebenaran yang mutlak.
Bagian dari melepaskan harapan kepada manusia adalah melepaskan harapan terhadap pujian dan pengakuan. Ali bin Abi Thalib sangat berhati-hati terhadap sanjungan. Ia tahu bahwa pujian hari ini adalah jebakan, karena ia akan melahirkan ekspektasi bahwa kita harus selalu dipuji. Jika besok orang yang sama mencela kita, hati kita akan sakit karena kita telah menerima pujiannya sebagai kebenaran mutlak.
Dengan tidak berharap pujian, kita tetap teguh dalam perbuatan baik kita, baik disaksikan maupun tidak disaksikan oleh manusia. Kualitas ibadah dan pekerjaan kita menjadi murni, berorientasi hanya pada ridha Ilahi. Ini adalah inti dari kemurnian niat (ikhlas), yang merupakan fondasi ajaran Imam Ali.
Ali bin Abi Thalib sering memberikan perumpamaan tentang kehinaan yang menimpa orang yang jiwanya terikat pada materi yang dimiliki orang lain. Ia menggambarkan bagaimana hati orang tersebut selalu sibuk menghitung-hitung milik orang lain, cemas jika orang itu kehilangan hartanya, dan gembira ketika orang itu mendapat tambahan rezeki—semua karena ia menggantungkan kepentingannya di sana.
Keterikatan materi semacam ini menciptakan ketergantungan emosional yang jauh lebih berbahaya daripada ketergantungan finansial semata. Ini merusak rasa syukur terhadap apa yang sudah dimiliki, dan mengubah pandangan terhadap orang lain menjadi objek yang harus dimanfaatkan, bukan sesama manusia yang harus dicintai dan dihormati.
Pelepasan harapan kepada manusia adalah sebuah deklarasi kemerdekaan. Kemerdekaan dari cengkeraman penilaian sosial, dari kebutuhan untuk diakui, dan dari keterpaksaan untuk mengemis pada mereka yang tidak memiliki kekuasaan mutlak untuk memberi.
Nasihat Ali bin Abi Thalib, "Jangan berharap kepada manusia," adalah sebuah mandat abadi yang relevan bagi setiap generasi. Ini adalah panggilan untuk kembali kepada sumber kekuatan dan keadilan yang sejati, dan untuk membangun benteng spiritual yang tidak dapat ditembus oleh kekecewaan duniawi.
Dengan menerapkan ajaran ini, kita tidak menjadi penyendiri, tetapi menjadi individu yang utuh, yang mampu berinteraksi dengan sesama dalam kasih sayang dan kolaborasi tanpa menuntut atau mengharapkan imbalan yang melebihi kemampuan mereka sebagai makhluk fana.
Hidup yang damai adalah hidup yang diisi dengan ketenangan karena mengetahui bahwa apa pun yang ditakdirkan untuk kita, akan sampai kepada kita, tidak peduli seberapa banyak manusia yang menahannya. Dan apa pun yang ditahan dari kita, pasti memiliki hikmah yang lebih besar, tidak peduli seberapa banyak manusia yang menjanjikannya. Inilah inti dari kebijaksanaan Ali bin Abi Thalib: meletakkan hati di tempat yang tidak pernah berubah, Dzat Yang Maha Abadi.
***
Pilar utama yang dijaga oleh ajaran Imam Ali adalah *Izzah*, kehormatan dan martabat diri. Seseorang yang terus-menerus menengadahkan tangan harapannya kepada manusia akan kehilangan izzah-nya, sebab ia menempatkan dirinya dalam posisi subservien (kepatuhan bawahan). Izzah sejati hanya dapat diperoleh melalui ketaatan kepada Allah dan ketidakbutuhan kepada ciptaan-Nya. Ketika harapan ditarik dari manusia, ia secara otomatis mendongkrak status spiritual dan harga diri seseorang, menjadikannya pribadi yang disegani, bukan karena kekayaan atau jabatan, tetapi karena integritas dan kemandirian batinnya.
Ali bin Abi Thalib mengajarkan bahwa kehormatan diri adalah harta yang lebih berharga daripada semua kekayaan dunia. Seseorang yang menjaga izzah-nya tidak akan menjual prinsipnya demi keuntungan sesaat atau dukungan manusia yang fana. Ia berdiri tegak, mengetahui bahwa kebutuhan dasarnya akan dipenuhi oleh Dzat yang menjamin rezeki seluruh alam. Ketergantungan kepada manusia adalah bentuk kemiskinan spiritual yang paling parah, karena ia merampas kehormatan yang dianugerahkan Tuhan kepada setiap individu.
Budaya masyarakat sering kali didorong oleh mekanisme pujian dan celaan. Orang bekerja keras, berpenampilan tertentu, atau berbicara dengan cara tertentu semata-mata untuk mendapatkan validasi dari orang lain. Validasi ini adalah bentuk harapan yang berbahaya. Ali bin Abi Thalib memberikan panduan yang jelas: bekerja, berbuat baik, dan beribadah hanya untuk mendapatkan pandangan baik dari Allah, bukan dari manusia.
Ketika kita mengalihkan fokus kita dari mata manusia ke mata Ilahi, pujian tidak akan membuat kita sombong, dan celaan tidak akan menjatuhkan kita. Kita menjadi konsisten, karena Dzat yang kita cari ridha-Nya adalah Dzat yang Maha Konsisten. Jika kita terlalu berharap pada tepuk tangan manusia, kita akan hancur ketika tepuk tangan itu berhenti. Ini adalah pelajaran yang sangat relevan bagi mereka yang hidup di era media sosial, di mana validasi instan telah menjadi mata uang spiritual baru.
Kepuasan manusia adalah tujuan yang mustahil untuk dicapai. Seseorang akan selalu memiliki kritik, motif tersembunyi, atau preferensi yang berbeda. Mengejar kepuasan manusia adalah seperti mengejar fatamorgana di padang pasir. Imam Ali menawarkan solusi: carilah kepuasan mutlak, yang tidak akan pernah berubah dan yang selalu menghargai usaha yang tulus.
Ali bin Abi Thalib telah mengalami bentuk-bentuk pengkhianatan yang paling menyakitkan dari orang-orang terdekatnya. Ajaran "jangan berharap kepada manusia" adalah pertahanan terbaik melawan luka pengkhianatan. Jika kita telah memposisikan manusia sebagai entitas yang secara inheren cacat dan tidak sempurna, kegagalan mereka untuk memenuhi harapan kita tidak akan terasa sebagai pengkhianatan yang meruntuhkan segalanya, melainkan sebagai konfirmasi atas sifat fana mereka.
Ini bukan berarti kita harus curiga terhadap semua orang, melainkan kita harus realistis. Kita berinteraksi dengan kebaikan dan niat tulus, tetapi kita menyimpan harapan mutlak kita untuk Yang Maha Pemberi. Ketika teman menjauh, kita bersedih atas kepergiannya, tetapi kita tidak mempertanyakan keadilan Tuhan atau merasa seluruh dunia runtuh, karena kita tahu bahwa dukungan sejati kita tetap ada, teguh, dan tak terjangkau oleh perubahan hati manusia.
Paradoks dari nasihat ini adalah: semakin sedikit kita berharap dari manusia, semakin besar kontribusi kita kepada masyarakat. Ketika seseorang bertindak tanpa mengharapkan imbalan, pujian, atau pengakuan, tindakannya menjadi murni, kuat, dan tidak terikat oleh rasa bersalah atau keterpaksaan. Tindakan yang lahir dari keikhlasan semacam ini memiliki dampak yang lebih besar dan bertahan lebih lama.
Imam Ali mendorong umatnya untuk menjadi sumber kemanfaatan, bukan sumber permintaan. Jadilah tiang penyangga bagi orang lain, bukan orang yang selalu mencari tiang penyangga. Sikap ini mengubah seseorang dari entitas yang pasif dan bergantung menjadi agen perubahan yang aktif dan mandiri.
Seorang yang melepaskan harapan kepada manusia menjadi lebih dermawan dan tulus dalam berinteraksi, karena ia tahu bahwa pemberiannya bukan untuk "diinvestasikan" kembali dalam bentuk bantuan di masa depan, melainkan sepenuhnya diserahkan kepada Allah. Hal ini menghasilkan sebuah masyarakat yang saling membantu berdasarkan cinta dan kewajiban spiritual, bukan berdasarkan perhitungan untung rugi atau harapan timbal balik yang menyesatkan.
Ali bin Abi Thalib, sebagai pewaris spiritual Nabi Muhammad SAW, senantiasa merujuk pada teladan para Nabi. Para Nabi adalah manusia yang paling dicintai Allah, namun mereka juga menghadapi penolakan dan pengkhianatan paling brutal dari kaum mereka sendiri. Mereka tidak pernah goyah, karena harapan mereka tidak pernah diletakkan pada jumlah pengikut atau kepuasan publik, tetapi pada janji Tuhan. Keyakinan mereka kepada Tuhanlah yang menjadi sumber kekuatan mereka, bukan dukungan manusia yang selalu fluktuatif.
Ketika kita menginternalisasi bahwa bahkan utusan terbaik pun tidak sepenuhnya didukung oleh manusia, kita menjadi lebih rendah hati dan menerima bahwa kita sebagai manusia biasa pasti akan menghadapi penolakan dan kegagalan dalam mendapatkan dukungan dari sesama. Ini adalah pembebasan dari ilusi bahwa kita berhak mendapatkan loyalitas penuh dari siapapun di dunia ini.
Pelepasan harapan bukan terjadi secara instan, melainkan sebuah disiplin harian. Setiap pagi, ketika kita bangun, kita harus secara sadar memperbarui niat kita bahwa rezeki dan pertolongan kita datang dari Allah, dan bahwa interaksi kita dengan manusia hanya sebatas media, bukan sumber daya mutlak. Ini memerlukan perjuangan melawan ego yang selalu mencari pengakuan dan kenyamanan instan dari dukungan sosial.
Disiplin ini mencakup latihan mental untuk menghentikan pikiran yang mulai berputar-putar dalam kecemasan tentang "apa yang akan dikatakan si fulan" atau "bagaimana jika si fulan tidak membantu." Dengan bimbingan Ali bin Abi Thalib, kita belajar untuk segera mengarahkan kecemasan itu kembali kepada doa dan ikhtiar yang jujur, sambil meyakini bahwa hasil akhirnya adalah milik Tuhan.
Pada akhirnya, ajaran Ali bin Abi Thalib adalah peta jalan menuju kebahagiaan yang sejati, di mana hati kita bebas dari belenggu ekspektasi yang menyesakkan, dan jiwa kita menemukan kedamaian mutlak dalam sandaran kepada Sang Maha Kekal, jauh dari kefanaan dan ketidakstabilan harapan kepada manusia.
Keyakinan ini adalah cerminan dari pemahaman mendalam tentang alam semesta, di mana setiap manusia, betapapun kuatnya ia terlihat, hanyalah bidak yang bergerak sesuai kehendak Yang Maha Kuasa. Melepaskan harapan kepada bidak berarti mengalihkan pandangan kepada Pemain Catur Agung. Ini adalah warisan emas dari Ali bin Abi Thalib, yang menawarkan kehormatan, ketenangan, dan kekayaan sejati bagi mereka yang memilih jalan kemandirian spiritual ini.