Dalam sejarah peradaban manusia, konsep "balas dendam" sering kali disamakan dengan pembalasan yang setimpal, sebuah reaksi emosional yang berujung pada siklus kekerasan tak berkesudahan. Namun, ketika kita merujuk pada sosok Sayyidina Ali bin Abi Thalib, pintu gerbang ilmu dan keadilan, makna balas dendam mengalami transformasi radikal. Bagi sang Khalifah keempat, pembalasan sejati bukanlah tindakan yang didorong oleh amarah atau hasrat pribadi, melainkan sebuah tindakan supremasi moral dan etika yang jauh melampaui kepuasan sesaat.
Ali mengajarkan bahwa balas dendam terbaik bukanlah menghancurkan musuh, melainkan memperbaiki diri, menegakkan keadilan tanpa pandang bulu, dan memastikan bahwa kebenaranlah yang menang, bukan emosi yang kalut. Inilah prinsip agung yang membedakan kebijaksanaan Ali dari tirani biasa: Keadilan adalah tujuan, sementara pengampunan adalah metode untuk mencapai kemenangan jiwa yang abadi. Analisis mendalam terhadap kehidupan dan kepemimpinan Ali mengungkapkan bagaimana ia secara konsisten memilih jalan yang paling sulit—jalan keutamaan—bahkan ketika dunia mendesaknya untuk mengikuti jalur pembalasan darah.
Hidup Ali adalah serangkaian ujian dalam kesabaran, integritas, dan penahanan diri. Sejak masa mudanya di samping Rasulullah hingga masa kekhalifahannya yang penuh gejolak, ia senantiasa berhadapan dengan pengkhianatan, fitnah, dan perlawanan bersenjata. Setiap momen ini menjadi kanvas tempat ia melukis definisi baru tentang kekuatan: kekuatan untuk menahan diri ketika mampu membalas, kekuatan untuk memaafkan ketika pembalasan adalah hak yang diakui. Inilah yang diabadikan sebagai **Balas Dendam Terbaik**; sebuah supremasi etika di mana keadilan tidak pernah ternoda oleh kebencian pribadi.
Untuk memahami bagaimana Ali mencapai tingkat penguasaan diri yang memungkinkannya mempraktikkan "balas dendam terbaik," kita harus meninjau tiga pilar utama yang membentuk karakternya: Taqwa (Ketakutan kepada Tuhan), Zuhd (Kesederhanaan Duniawi), dan 'Adl (Keadilan Absolut).
Taqwa bagi Ali bukan sekadar ritual, melainkan filter yang memurnikan setiap niat dan tindakan. Keyakinan mendalam bahwa setiap ucapan dan perbuatan akan dipertanggungjawabkan di hadapan Yang Mahakuasa adalah rem utama terhadap dorongan pembalasan yang bersifat duniawi. Ketika seseorang bertindak dalam kerangka Taqwa, fokusnya bergeser dari memuaskan ego menjadi mencari ridha Ilahi. Ini berarti bahwa bahkan dalam pertempuran yang sah, Ali selalu memastikan bahwa tindakannya didasarkan pada penegakan hukum, bukan pemuasan emosi.
Kesadaran ini terlihat jelas dalam surat-suratnya kepada para gubernur dan komandan militernya, yang mana ia selalu mengingatkan mereka untuk menghindari penindasan, bahkan terhadap musuh. Ia memandang keadilan sebagai sebuah kewajiban yang harus dipenuhi, bukan sebagai alat tawar-menawar politik atau emosional. Kekuatan Taqwa memungkinkannya melihat musuh sebagai subjek yang mungkin keliru dan dapat diampuni, bukan sebagai objek kebencian yang harus dimusnahkan.
Kekuatan kedua adalah Zuhd, atau asketisme. Ali hidup dalam kemiskinan yang disengaja meskipun ia adalah pemimpin kekaisaran yang luas. Ia menolak kemewahan dan membatasi dirinya pada kebutuhan pokok. Mengapa ini penting dalam konteks "balas dendam"? Sederhana: ketika seseorang tidak terikat pada kekuasaan, harta, atau status duniawi, ia tidak memiliki apa pun yang dapat dicederai oleh musuhnya secara fundamental. Pengkhianatan politik atau kerugian materi tidak lagi memiliki daya rusak yang cukup untuk memicu amarah pribadi yang buta.
Zuhd memberikan Ali kemerdekaan emosional. Balas dendam duniawi seringkali timbul dari rasa kehilangan atau ancaman terhadap kepemilikan. Karena Ali telah melepaskan dirinya dari keterikatan materi, ia dapat memerintah dan bertindak dari posisi netralitas moral yang tak tertandingi. Ini memberinya kemampuan untuk menanggapi fitnah dan perlawanan dengan ketenangan seorang filsuf, bukan kegusaran seorang tiran yang takut kehilangan takhtanya.
Pilar terpenting adalah 'Adl, keadilan. Bagi Ali, keadilan adalah pondasi peradaban yang paling kokoh. Ia berulang kali menegaskan bahwa keadilan adalah prinsip yang harus diterapkan bahkan jika hal itu merugikan dirinya sendiri atau menguntungkan musuhnya. Keadilan ini adalah manifestasi konkret dari balas dendam terbaik.
Ketika lawan-lawannya melakukan kesalahan, Ali tidak membalas dengan ketidakadilan yang setara, melainkan membalas dengan menegakkan kembali tatanan yang adil. Balas dendamnya adalah keadilan itu sendiri. Tindakan ini mematahkan siklus kekejaman, karena lawan yang tadinya mengharapkan pembalasan kejam justru dihadapkan pada perlakuan yang beradab dan sesuai hukum. Ini memaksa mereka untuk menghadapi kekeliruan mereka sendiri berdasarkan standar moral yang lebih tinggi.
Keadilan (Adl) adalah poros Balas Dendam Terbaik.
Prinsip-prinsip etika Ali bukan sekadar teori filosofis; mereka teruji dalam kancah politik paling berdarah. Kepemimpinannya ditandai dengan serangkaian konflik internal yang mengancam persatuan umat, namun dalam setiap konflik tersebut, Ali menggunakan prinsip keadilan dan pengampunan sebagai senjata utamanya.
Perang Jamal (Unta) adalah konflik internal yang sangat menyakitkan. Setelah pertempuran berakhir, Ali memiliki kekuatan absolut atas pihak yang kalah. Sejarah menunjukkan bahwa para penguasa pada umumnya akan membersihkan musuh politik mereka untuk mengkonsolidasikan kekuasaan. Namun, Ali memilih jalan yang sama sekali berbeda.
Ia mengumumkan amnesti umum bagi semua prajurit yang kalah, kecuali mereka yang secara langsung bertanggung jawab atas pembunuhan Khalifah Utsman. Ia bahkan memastikan bahwa para tawanan wanita diperlakukan dengan hormat. Terutama perlakuan Ali terhadap Aisyah, yang merupakan figur sentral dalam oposisi terhadapnya, menunjukkan puncak dari Balas Dendam Terbaik.
Ali memperlakukan Aisyah dengan penghormatan tertinggi, memastikan ia dikawal pulang ke Madinah dengan pengawalan yang mulia dan terpercaya. Ia tidak menganggapnya sebagai musuh yang harus dihukum, melainkan sebagai Ibu Kaum Mukminin yang keliru dan perlu dilindungi. Ini bukan sekadar tindakan politik; ini adalah deklarasi bahwa martabat dan persaudaraan melampaui perselisihan politik. Balas dendamnya adalah menunjukkan kualitas kepemimpinan yang lebih unggul, yang mampu menyembuhkan daripada melukai.
Ali menolak untuk menjarah harta rampasan dari pihak yang kalah. Ia berargumen bahwa karena mereka adalah sesama Muslim yang disesatkan, kekalahan mereka tidak menjadikan mereka tawanan perang biasa. Tindakan ini sangat kontroversial saat itu, tetapi ia bersikukuh: keadilan tidak mengenal dendam, dan hukum harus diterapkan secara konsisten, bahkan jika itu berarti mengorbankan keuntungan materi atau politik.
Salah satu anekdot paling terkenal yang secara sempurna menggambarkan "balas dendam terbaik" adalah insiden di tengah pertempuran yang melibatkan Ali dan musuhnya. Dalam duel sengit, Ali berhasil menjatuhkan lawannya ke tanah. Saat Ali mengangkat pedangnya untuk memberikan pukulan terakhir, musuhnya meludah ke wajah Ali.
Apa yang dilakukan Ali mengejutkan semua orang: ia langsung menjatuhkan pedangnya, berdiri, dan menjauh. Musuhnya, yang bingung dan terkejut, bertanya mengapa Ali menghentikan pembunuhan yang sudah di ambang mata. Jawaban Ali adalah esensi dari kemurnian niat:
"Aku sedang berperang atas nama Allah dan keadilan. Ketika aku menjatuhkanmu, niatku murni karena Allah. Tetapi ketika kau meludah ke wajahku, seketika itu juga muncul rasa marah pribadi dalam diriku. Jika aku membunuhmu saat itu, aku akan membunuhmu demi memuaskan amarah pribadiku, bukan demi Allah. Balas dendam sejati adalah memastikan tindakanku bebas dari nafsu pribadi."
Dalam narasi ini, Balas Dendam Terbaik adalah melawan dirinya sendiri, melawan dorongan primal untuk membalas penghinaan. Ia memilih untuk kalah dalam duel sesaat demi memenangkan pertarungan abadi atas jiwanya. Ia tidak membalas ludah dengan darah, ia membalas amarah dengan penguasaan diri, mengajarkan kepada musuhnya (dan kepada sejarah) bahwa kebenaran harus mutlak, tanpa terkontaminasi emosi kotor.
Kelompok Khawarij adalah ujian terberat bagi Ali. Mereka adalah faksi yang sebelumnya berada di pihaknya tetapi kemudian memberontak dengan fanatisme ekstrem, mengkafirkan Ali dan pengikutnya, serta melakukan aksi teror terhadap warga sipil yang tidak sepaham. Meskipun Ali pada akhirnya terpaksa memerangi mereka setelah Khawarij melakukan pembantaian massal, cara ia menangani sisa-sisa kelompok ini adalah pelajaran penting.
Bahkan setelah pertempuran Nahrawan, Ali memerintahkan pasukannya untuk tidak mengejar sisa-sisa Khawarij yang melarikan diri, memberikan mereka kesempatan untuk kembali ke jalan yang benar. Ia juga tidak menjarah harta mereka atau memperlakukan keluarga mereka sebagai tawanan. Prinsipnya tetap teguh: Selama mereka tidak mengangkat senjata atau melanggar hukum, mereka harus diperlakukan sebagai warga negara. Balas dendamnya bukanlah pemusnahan total, melainkan pemulihan ketertiban dengan kerugian seminimal mungkin.
Ali bin Abi Thalib sering menekankan bahwa kekuatan terbesar seorang pemimpin bukanlah seberapa keras ia bisa menghukum, melainkan seberapa besar ia bisa mengampuni. Pengampunan (Al-'Afw) dalam konteks Ali bukanlah tanda kelemahan, melainkan manifestasi dari kekuatan absolut—seorang yang lemah tidak memiliki pilihan selain membalas, tetapi seorang yang kuat memilih untuk menahan diri.
Ada pepatah terkenal Ali yang berbunyi, "Jika engkau mampu menguasai musuhmu, jadikanlah pengampunan sebagai ucapan syukur atas kekuasaan yang telah dianugerahkan kepadamu." Kalimat ini menggarisbawahi prasyarat penting: pengampunan hanya bermakna sebagai balas dendam terbaik jika ia datang dari posisi kekuatan. Jika seseorang mengampuni karena takut atau lemah, itu adalah kebutuhan, bukan kebajikan.
Dalam setiap konflik, Ali selalu berusaha mencari jalan damai terlebih dahulu. Ia mengirim utusan, berdialog, dan memberikan peringatan berkali-kali. Ini adalah bagian dari strategi "balas dendam terbaik"—ia tidak ingin musuh-musuhnya dihukum di Hari Perhitungan karena kesalahan yang dapat ia cegah di dunia. Kemenangannya adalah kemenangan musuh atas kebodohan mereka sendiri, yang dimungkinkan oleh kesempatan bertaubat yang ia sediakan.
Kumpulan khotbah, surat, dan ucapan Ali, yang dikenal sebagai Nahjul Balagha, dipenuhi dengan instruksi yang menunjukkan orientasinya pada keadilan moral, bukan pembalasan. Salah satu suratnya yang paling terkenal, yang ditujukan kepada Malik al-Asytar (Gubernur Mesir), adalah piagam hak asasi manusia dan panduan etika kepemimpinan yang monumental.
"Biarkan belas kasihan dan kasih sayang menyelimuti hatimu untuk rakyatmu. Jangan sekali-kali bertindak seperti binatang buas yang siap menerkam karena mengira kekuatanmu adalah keadilanmu. Jauhi dirimu dari tumpahan darah tanpa alasan yang sah, karena tidak ada yang mendatangkan lebih banyak hukuman, mempercepat bencana, dan menghapus berkah selain menumpahkan darah secara tidak adil."
Instruksi ini diberikan kepada pemimpin militer tertinggi yang menghadapi wilayah yang tidak stabil dan penuh penentang. Ali secara eksplisit melarang penggunaan kekuasaan untuk "balas dendam" pribadi atau politik. Balas dendam terbaik, dalam konteks ini, adalah memastikan bahwa pemerintahannya menjadi model keadilan dan ihsan (kebaikan luar biasa), yang secara moral akan melucuti senjata para penentangnya dan memenangkan hati rakyat.
Kekuatan Sejati Berasal dari Penguasaan Diri (Nafs).
Balas dendam terbaik yang dipraktikkan oleh Ali bin Abi Thalib adalah pertempuran internal melawan *nafs* (ego atau diri) yang mendesak untuk membalas secara emosional. Ia memahami bahwa amarah, jika tidak dikendalikan, dapat merusak integritas seseorang dan menghancurkan tujuan keadilan yang lebih tinggi.
Ali sering memperingatkan para sahabatnya tentang bahaya amarah. Ia mengajarkan bahwa amarah adalah pintu masuk utama Iblis, dan seorang hakim atau pemimpin yang bertindak di bawah kendali amarah akan selalu menghasilkan ketidakadilan. Dalam kasus duel di medan perang yang telah disebutkan, Ali menunjukkan bahwa bahkan tindakan yang secara militer dibenarkan (membunuh musuh dalam duel) menjadi tidak sah secara etika jika motivasinya bergeser dari kewajiban menjadi emosi pribadi.
Seorang pemimpin yang membalas dendam karena amarah pribadi hanyalah korban lain dari musuh yang telah memprovokasinya. Sebaliknya, Ali mengajarkan balas dendam terbaik: **mengambil kembali kendali atas emosi sendiri**. Dengan menolak amarah dan memilih ketenangan, Ali telah menaklukkan musuh yang jauh lebih berbahaya daripada lawan yang tergeletak di kakinya—yaitu, ego pribadinya.
Dalam pandangan Ali, definisi pahlawan sejati bukanlah dia yang paling kuat dalam menjatuhkan musuh fisik, melainkan dia yang paling kuat dalam mengendalikan dirinya saat berada di puncak kekuatan. Ia menyatakan, "Orang yang paling kuat di antara kalian adalah dia yang mampu mengalahkan dirinya sendiri ketika ia marah."
Filosofi ini sangat mendasar dalam konteks konflik sipil yang ia hadapi. Ketika Ali menghadapi kritik pedas dan fitnah yang tak berujung, terutama dari faksi-faksi yang menentangnya, ia tidak menggunakan kekuasaannya untuk membungkam atau menyiksa mereka. Ia membalas dendam dengan **argumen yang lebih baik** dan **kehidupan yang lebih bermartabat**. Ia membiarkan musuh-musuhnya menyaksikan bahwa meskipun mereka berusaha menodai reputasinya, tindakannya tetap murni dan adil.
Balas dendamnya adalah superioritas moral yang tak terbantahkan, yang pada akhirnya akan menjadi saksi bisu kebenarannya di hadapan generasi mendatang. Waktu, dan bukan pedang, adalah pelaksana hukuman ilahi bagi mereka yang berbuat zalim, sementara tugas Ali hanyalah menjaga keadilan prosedural di bumi.
Dampak dari pilihan Ali untuk mempraktikkan pengampunan dan keadilan mutlak sebagai bentuk 'balas dendam terbaik' telah membentuk hukum Islam, etika pemerintahan, dan pemahaman spiritual tentang kepemimpinan. Warisan ini mengajarkan bahwa tujuan dari kekuatan bukan untuk menaklukkan musuh secara fisik, tetapi untuk mencapai stabilitas moral dan sosial yang tidak dapat dicapai melalui kekerasan berantai.
Balas dendam biasa menciptakan siklus kekerasan (darah dibalas darah). Balas dendam terbaik yang dipraktikkan Ali menciptakan siklus kebaikan. Ketika musuh diperlakukan dengan adil dan bermartabat setelah kekalahan, ada dua kemungkinan hasil, dan keduanya menguntungkan umat:
Dengan kata lain, tindakan Ali memastikan bahwa jika terjadi kekerasan lagi, itu akan menjadi kesalahan mutlak pihak oposisi, bukan reaksi berlebihan dari pihak pemerintah. Ini adalah kemenangan strategis dan moral yang jauh lebih langgeng daripada kemenangan medan perang.
Puncak dari filosofi balas dendam Ali tercermin dalam saat-saat terakhir hidupnya. Ketika ia diserang secara fatal oleh Abdurrahman bin Muljam, seorang anggota Khawarij yang fanatik, reaksi Ali bukanlah ledakan amarah atau keinginan untuk menyiksa.
Bahkan ketika terbaring sekarat, Ali memerintahkan agar pembunuhnya diperlakukan sesuai hukum, tanpa siksaan yang tidak perlu. Ia memastikan bahwa Bin Muljam diberi makanan dan minuman yang cukup. Ia berpesan kepada Hasan dan Husain, putra-putranya:
"Wahai anak-anakku, jika aku selamat, aku akan menjadi pengambil keputusan atas dirinya. Jika aku wafat, maka ia berada di bawah kekuasaanmu. Tetapi ingat, kalian hanya boleh membalas dengan satu pukulan (sebagaimana ia menyerangku), dan janganlah kalian menyiksa jenazahnya. Janganlah kalian membunuh siapa pun selain pembunuhku."
Perintah terakhir ini adalah pelajaran etika politik yang tak tertandingi. Dalam momen penderitaan tertinggi, Ali memastikan bahwa prinsip keadilan (Qisas) ditegakkan dengan ketat, menghindari ekstensi dendam kepada keluarga, pengikut, atau komunitas si pembunuh. Ia melarang keras praktik balas dendam suku atau massa, memastikan bahwa hukum dijalankan secara individual, terbatas, dan tanpa emosi yang berlebihan. Ini adalah penutup yang paling kuat dari filosofi Balas Dendam Terbaik: bahkan di hadapan kematian yang brutal, ia memilih Keadilan dan pengendalian diri di atas segalanya.
Kisah hidup Ali bin Abi Thalib menawarkan sebuah revisi fundamental terhadap apa yang kita pahami sebagai kemenangan dan pembalasan. Balas dendam terbaik baginya bukanlah kehancuran musuh, tetapi **penyempurnaan diri** dan **penegakan tatanan ilahi** di bumi. Ia mengajarkan bahwa seorang pemimpin sejati, atau individu mana pun yang mencari keutamaan, tidak boleh menjadi budak dari amarahnya sendiri.
Melalui Taqwa, Zuhd, dan 'Adl, Ali mampu melepaskan diri dari rantai emosi yang mengikat para tiran dan pembalas dendam biasa. Ia membalas penghinaan dengan kesabaran, perlawanan dengan pengampunan, dan fitnah dengan kebenaran yang tak tergoyahkan. Setiap kali ia memaafkan, setiap kali ia menahan pedangnya dari dorongan pribadi, ia tidak hanya mengampuni musuhnya, tetapi ia juga memenangkan peperangan abadi di dalam dirinya sendiri.
Warisan Sayyidina Ali adalah pengingat bahwa kekuasaan sejati diukur bukan dari kemampuan kita untuk menimpakan rasa sakit, melainkan dari kapasitas kita untuk merangkul keadilan dan belas kasihan, bahkan kepada mereka yang telah berbuat salah terbesar kepada kita. Inilah yang membuat Ali, bukan hanya seorang pahlawan militer atau pemimpin politik, tetapi ikon abadi dari **Balas Dendam Terbaik**: sebuah kemenangan spiritual atas ego yang mendahului semua kemenangan duniawi.
Prinsip-prinsip ini tetap relevan. Dalam menghadapi ketidakadilan modern, balas dendam terbaik bukanlah merendahkan pihak lawan atau membalas kebencian dengan kebencian, melainkan dengan menjunjung tinggi integritas, profesionalisme, dan keadilan prosedural. Dengan demikian, kita meniru Ali, menjadikan diri kita pelayan kebenaran yang tidak dapat dicemari oleh emosi sesaat, dan memastikan bahwa keadilan adalah tujuan akhir, bukan sarana untuk pembalasan yang dangkal. Hanya dengan begitu, kita mencapai supremasi moral yang diinginkan oleh pintu gerbang ilmu, Ali bin Abi Thalib.
Lebih jauh lagi, balas dendam Ali terkait erat dengan dua konsep sentral dalam Islam: *Hikmah* (kebijaksanaan) dan *Sabr* (kesabaran). Hikmah memungkinkan Ali untuk melihat melampaui konflik sesaat dan memahami konsekuensi jangka panjang dari tindakan pembalasan yang emosional. Ia menyadari bahwa tindakan yang didorong oleh kemarahan dapat memenangkan pertempuran hari ini tetapi pasti akan merusak masa depan umat. Oleh karena itu, kebijaksanaannya menuntut solusi yang bersifat transformatif, bukan destruktif.
Kesabaran (Sabr) bagi Ali bukanlah kepasrahan pasif, melainkan daya tahan aktif yang diperlukan untuk menegakkan kebenaran dalam menghadapi tekanan yang luar biasa. Sepanjang masa kekhalifahannya, ia dicerca, dicurigai, dan diperangi, namun ia mempertahankan kesabarannya dalam melaksanakan tugas keadilan. Kesabarannya adalah benteng yang menghalangi air bah kemarahan pribadi untuk membanjiri keputusannya. Balas dendamnya adalah kemampuan untuk menunggu, bagi kebenaran untuk membuktikan dirinya sendiri, sementara ia tetap berpegang teguh pada prinsip-prinsip suci.
Contoh nyata dari *Sabr* adalah bagaimana Ali menangani konflik dengan Muawiyah di Siffin. Ali tahu bahwa ia berada di posisi yang benar secara etika dan hukum. Namun, ia tidak terburu-buru menghancurkan lawannya. Ia menghabiskan waktu berbulan-bulan untuk bernegosiasi dan berdialog, meskipun pasukannya mendesak untuk segera menyerang. Ketika Muawiyah menggunakan taktik mengangkat mushaf di ujung tombak—sebuah trik politik yang jelas—Ali tetap bersabar, membiarkan proses arbitrase berjalan, meskipun ia tahu hasil akhirnya akan dipolitisasi dan merugikan kekhalifahannya. Kesabarannya di sini adalah pembalasan yang paling menyakitkan bagi musuhnya: Musuh Ali tidak dapat menuduhnya sebagai diktator haus darah; mereka hanya bisa menuduhnya sebagai pemimpin yang terlalu patuh pada proses hukum dan keadilan, bahkan ketika hukum itu dimanfaatkan untuk melawannya.
Perbedaan paling tajam antara model kepemimpinan Ali dan pemimpin lain yang cenderung membalas dendam adalah etika perangnya yang luar biasa ketat. Dalam setiap pertempuran, Ali mengeluarkan serangkaian instruksi yang sangat rinci untuk melindungi non-kombatan, wanita, anak-anak, dan orang tua. Ia melarang pemotongan pohon, penghancuran sumur, atau penjarahan harta benda umum.
Ketika musuh-musuhnya melanggar etika perang (misalnya, menolak air minum kepada pasukan Ali di beberapa insiden), Ali tidak membalas dengan kekejaman yang sama. Ketika pasukannya berhasil menguasai kembali jalur air, ia segera mengizinkan pasukan musuh untuk mengambil air. Balas dendamnya adalah **membalas kejahatan dengan kebaikan dan kedermawanan**, sebuah tindakan yang secara moral melucuti argumen musuh dan menunjukkan superioritas peradaban yang ia wakili.
Tindakan ini tidak hanya tentang belas kasihan; ini adalah strategi untuk kemenangan yang berkelanjutan. Jika Ali membalas dendam dengan kekejaman, ia akan menciptakan kebencian yang akan berlanjut ke generasi berikutnya. Sebaliknya, dengan membalas dengan keadilan dan ihsan, ia menanamkan benih pengampunan yang memungkinkan rekonsiliasi setelah konflik usai. Balas dendam yang ditujukan Ali adalah terhadap budaya kekejaman dan pembalasan yang mendominasi era pra-Islam, dan ia melawannya dengan perwujudan ajaran Islam tentang keadilan universal.
Keputusan-keputusan politik Ali sering kali disalahpahami sebagai kelemahan oleh pihak yang haus kekuasaan, namun dari sudut pandang Balas Dendam Terbaik, mereka adalah bukti kekuatan moral. Misalnya, Ali menolak untuk menggunakan harta negara (Baitul Mal) sebagai alat politik untuk menyuap kesetiaan para bangsawan dan pemimpin suku yang menentangnya. Ketika ia menjabat, ia menerapkan kesetaraan yang ketat dalam pembagian harta, menolak memberikan keistimewaan kepada veteran perang awal atau bangsawan Quraisy, suatu tindakan yang memicu permusuhan dari faksi-faksi kaya yang merasa hak istimewa mereka telah dicabut.
Meskipun ia tahu bahwa langkah ini akan menghasilkan penentangan, Ali bersikeras pada keadilan. Keadilan dalam pendistribusian kekayaan adalah 'balas dendam' terhadap sistem oligarki yang telah berkembang. Ia membalas kerakusan dengan keadilan sosio-ekonomi. Musuh-musuh Ali mengklaim ia bodoh dalam politik karena tidak berkompromi; namun, dari sudut pandang Ali, kompromi atas keadilan adalah pengkhianatan terhadap prinsip-prinsip yang ia perjuangkan, dan pengkhianatan diri adalah kekalahan terburuk.
Inti dari seluruh filosofi ini terletak pada niat (niyyah). Ali mengajarkan bahwa tindakan fisik hanyalah cangkang; inti adalah niat yang mendorongnya. Jika niat di balik pembalasan adalah kebencian, iri hati, atau amarah, maka tindakan itu adalah kezaliman, meskipun secara hukum diperbolehkan. Sebaliknya, jika niatnya adalah menegakkan kebenaran, mencegah kezaliman, dan menjaga tatanan sosial, maka tindakan tersebut adalah ibadah dan keadilan, meskipun ia melibatkan penggunaan kekuatan militer.
Ketika ia berduel dan menghentikan tindakannya karena ludah musuhnya, ia melakukan audit niat secara instan dan tanpa kompromi. Ia mengajarkan kita bahwa Balas Dendam Terbaik memerlukan kejujuran total dengan diri sendiri. Kita harus bertanya: "Apakah saya melakukan ini untuk keadilan, atau untuk kepuasan pribadi?" Ali menetapkan standar yang hampir mustahil untuk diikuti: keadilan harus murni, tanpa noda amarah pribadi sedikit pun.
Kejujuran niat inilah yang memberikan Ali ketenangan yang luar biasa di tengah badai. Ia tidak perlu khawatir tentang penilaian manusia karena ia tahu bahwa ia telah memenuhi tugasnya di hadapan Tuhan, bertindak sebagai instrumen keadilan, bukan sebagai pembalas dendam yang dipenuhi kebencian.
Pada akhirnya, Ali bin Abi Thalib dapat dilihat sebagai arsitek kemanusiaan dalam konflik. Ia menggunakan setiap tantangan sebagai kesempatan untuk membangun jembatan etika yang menghubungkan kekuasaan dengan kebajikan. Balas dendam terbaiknya adalah warisan yang lebih berharga daripada semua kekayaan dan kekuasaan yang pernah ia genggam. Itu adalah warisan yang mengajarkan bahwa kemenangan hakiki dicapai ketika kita menolak untuk membiarkan kejahatan mengubah kita menjadi jahat; ketika kita membalas kebencian dengan hukum yang adil, dan membalas kekejaman dengan pengampunan yang mulia.
Balas dendamnya adalah demonstrasi abadi bahwa keadilan, belas kasih, dan penguasaan diri adalah kekuatan tertinggi yang dapat menghancurkan siklus permusuhan dan membangun peradaban yang langgeng. Keberanian terbesar Ali bukanlah mengayunkan pedang Zulfiqar di medan Badr atau Uhud, melainkan mengendalikan nafs-nya di puncak amarah. Inilah esensi dari Balas Dendam Terbaik.