Pendahuluan: Definisi dan Makna Konsep Paternal dalam Syiah
Dalam diskursus keagamaan Syiah, terdapat lapisan otoritas dan bimbingan spiritual yang sangat kompleks dan mendalam. Salah satu konsep yang sering diinterpretasikan secara luas adalah penggunaan istilah yang merujuk pada "Abi" atau ayah/paternal. Dalam konteks linguistik Arab, ab (ayah) atau bentuk seruannya abi, tidak hanya merujuk pada ikatan biologis, tetapi juga kepada sumber, pangkal, atau figur yang memberikan perlindungan, bimbingan, dan merupakan asal dari suatu pengetahuan atau komunitas.
Ketika istilah ini diletakkan dalam kerangka Syiah Imamiyah (Twelver Shi'a), ia merujuk pada pilar-pilar fundamental yang menopang seluruh struktur teologi dan hukum. Pilar ini berakar kuat pada keturunan suci Nabi Muhammad SAW, yaitu Ahlul Bayt, yang dianggap sebagai 'ayah' spiritual seluruh umat, sumber mata air ilmu yang tak pernah kering. Namun, seiring berjalannya waktu dan setelah masa Kegaiban Akbar (Ghaybah Kubra), peran bimbingan paternal ini bertransformasi menjadi institusi keilmuan yang disebut Marja'iyyah.
Transformasi Otoritas dari Imam ke Marja'
Syiah meyakini bahwa setelah Nabi Muhammad, otoritas spiritual dan kepemimpinan umat secara sah hanya berada di tangan para Imam dari Ahlul Bayt yang berjumlah dua belas. Para Imam ini memiliki status Ismah (kemaksuman/infallibilitas) dan secara teologis merupakan pewaris langsung ilmu kenabian, menjadikan mereka 'ayah' rohani dan pembimbing umat yang sempurna. Namun, dengan Kegaiban Imam Kedua Belas (Imam Mahdi), umat dihadapkan pada kekosongan kepemimpinan langsung.
Untuk mengatasi kekosongan ini, dikembangkanlah doktrin mengenai Wilayah al-Faqih (Kepemimpinan Ahli Hukum) atau secara lebih umum, institusi Marja'iyyah. Marja' Taqlid, atau Sumber Emulasi, adalah figur ulama yang mendalam ilmunya dan memiliki kualifikasi untuk menggali hukum (melakukan Ijtihad) dari sumber-sumber primer, dan karenanya, mereka mengemban sebagian peran bimbingan spiritual yang dahulu dipegang oleh para Imam. Dalam pengertian kontemporer, Marja' ini lah yang mewakili struktur 'Abi Syiah' — figur otoritatif dan paternal yang memberikan petunjuk hidup dalam segala aspek, dari ritual hingga politik.
Landasan Teologis: Konsep Wilayah dan Imamah
Memahami struktur otoritas Syiah memerlukan pemahaman mendalam tentang dua konsep inti: Imamah dan Wilayah. Kedua konsep ini adalah pembeda utama antara teologi Syiah dan Sunni, dan menjadi alasan utama mengapa otoritas spiritual begitu terkonsentrasi pada figur-figur tertentu.
Imamah: Kepemimpinan Ilahi
Syiah meyakini bahwa Imamah bukanlah sekadar jabatan politik, melainkan posisi ilahi yang ditunjuk oleh Allah. Imam adalah penerus nabi dalam menjaga syariat dan membimbing spiritualitas umat. Mereka memiliki ilmu yang diwariskan secara langsung dan tidak dapat melakukan kesalahan (ma'sum). Inilah yang menjadi fondasi utama mengapa Ahlul Bayt (yang dalam konteks luas adalah 'Abi' umat) memiliki otoritas yang mutlak.
Wilayah Takwiniyyah vs. Wilayah Tashri'iyyah
Konsep Wilayah (Kewalian/Kepenguasaan) dipecah menjadi dua: Wilayah Takwiniyyah (kosmik atau eksistensial), yang memberikan kemampuan untuk menguasai realitas ciptaan, yang hanya dimiliki oleh Nabi dan Para Imam; dan Wilayah Tashri'iyyah (legislatif atau hukum), yaitu hak untuk menetapkan hukum, yang sebagiannya diwariskan kepada Marja' melalui Ijtihad.
Perbedaan antara dua jenis Wilayah ini sangat penting. Marja' Taqlid, meskipun sangat dihormati, tidak mengklaim Wilayah Takwiniyyah. Otoritas Marja' terletak pada Wilayah Tashri'iyyah yang terbatas—kemampuan untuk mengeluarkan fatwa berdasarkan pemahaman yang mendalam terhadap sumber hukum, yang merupakan perwujudan praktis dari bimbingan 'Abi' di era kegaiban.
Doktrin teologis yang mendukung struktur ini memastikan bahwa rantai otoritas selalu valid dan terhubung kembali ke sumber ilahi. Meskipun Imam Mahdi tidak hadir secara fisik, keberadaan spiritualnya menjamin bahwa hukum yang digali oleh Marja' melalui proses Ijtihad yang ketat tetap berada dalam koridor syariat yang benar, sebuah peran yang memerlukan kualitas pengetahuan yang nyaris sempurna.
Peran 'Abul Qasim dan Simbolisme Spiritual
Dalam banyak tradisi, Nabi Muhammad SAW sendiri disebut sebagai 'Abul Qasim' (Ayah dari Qasim). Ini adalah salah satu contoh penerapan konsep paternal spiritual. Lebih jauh lagi, Imam Ali bin Abi Thalib, Imam pertama, sering disebut sebagai ‘ayah’ spiritual umat, terutama dalam konteks sufisme dan Syiah, karena perannya sebagai gerbang ilmu dan kebijaksanaan Nabi. Figur-figur ini menetapkan preseden historis bahwa otoritas spiritual yang tertinggi harus dilihat sebagai sumber paternal yang memberi hidup dan pengetahuan, yang kemudian direplikasi oleh institusi Hawza dan Marja'iyyah.
Figur 1: Representasi Simbolis Pilar Ilmu dan Otoritas Paternal.
Marja'iyyah: Struktur Paternal Kontemporer
Institusi Marja'iyyah (plural dari Marja' Taqlid) adalah jantung dari struktur keagamaan Syiah modern. Marja' secara harfiah berarti 'tempat kembali' atau 'sumber rujukan'. Seorang Marja' Taqlid adalah ulama yang mencapai tingkat tertinggi dalam keilmuan Islam (Ijtihad mutlaq) dan diakui oleh komunitas untuk diikuti dalam urusan hukum praktis (furu' al-din).
Syarat dan Kualifikasi untuk Menjadi Marja'
Proses untuk mencapai status Marja' sangat ketat dan panjang, sering memakan waktu puluhan tahun studi di Hawza (seminari). Seorang kandidat harus memenuhi beberapa kualifikasi fundamental yang berfungsi sebagai filter untuk memastikan bahwa peran bimbingan paternal ini dipegang oleh individu yang paling kompeten:
- Ijtihad Mutlaq: Kemampuan untuk menghasilkan fatwa secara independen dari sumber-sumber primer (Al-Qur'an, Sunnah, Ijma', dan Akal).
- A’lamiyyah (Superioritas Pengetahuan): Dianggap sebagai ulama yang paling berpengetahuan dan paling unggul dalam zamannya mengenai prinsip-prinsip hukum (Usul al-Fiqh).
- Keadilan dan Kesalehan (Adalah): Harus memiliki tingkat kesalehan pribadi yang sangat tinggi dan moralitas yang sempurna.
- Pengetahuan tentang Urusan Kontemporer: Mampu menerapkan prinsip hukum Islam kuno pada masalah-masalah modern (ekonomi, politik, teknologi).
Peran Lembaga Hawza dalam Mendidik 'Abi'
Hawza, khususnya di Najaf (Irak) dan Qom (Iran), adalah pusat pendidikan teologis Syiah yang berfungsi sebagai inkubator bagi para Marja'. Kurikulum Hawza mencakup studi mendalam tentang Fiqh (yurisprudensi), Usul al-Fiqh (prinsip yurisprudensi), Filsafat, Tafsir (eksegesis Al-Qur'an), dan Kalam (teologi). Pendidikan ini memastikan bahwa Marja' yang muncul adalah figur yang secara intelektual mampu menanggung beban 'abi' spiritual umat.
Proses pendidikan ini didominasi oleh sistem Dars al-Kharij, yaitu kelas lanjutan di mana seorang mahasiswa (tullab) belajar bagaimana melakukan Ijtihad di bawah bimbingan seorang Ayatullah. Hanya setelah puluhan tahun terlibat dalam studi dan debat mendalam ini, seorang ulama akan diakui oleh rekan-rekannya sebagai seorang Mujtahid, langkah awal menuju Marja'iyyah.
Struktur Hierarki Otoritas
Dalam institusi Marja'iyyah, terdapat hierarki informal namun signifikan:
- Hujjatul Islam: Gelar bagi ulama yang telah mencapai tingkat Ijtihad parsial atau sedang dalam proses.
- Ayatullah: Gelar yang lebih tinggi, menunjukkan seorang ulama telah mencapai Ijtihad penuh.
- Ayatullah Udhma (Ayatullah Agung): Gelar kehormatan bagi ulama yang diakui oleh masyarakat luas sebagai Marja' Taqlid. Mereka adalah figur 'Abi' yang memiliki pengikut jutaan orang.
Peran Marja' Agung tidak hanya terbatas pada mengeluarkan fatwa. Mereka juga mengelola dana keagamaan (khums dan zakat), menjalankan institusi amal, dan memberikan bimbingan moral serta politik. Dalam hal ini, mereka bertindak sebagai 'ayah' yang mengelola rumah tangga (umat) secara finansial, sosial, dan spiritual.
Kontribusi Historis dan Kasus Studi 'Abi Syiah'
Sejarah Syiah dipenuhi oleh figur-figur agung yang telah membentuk dan mempertahankan identitas keagamaan komunitas. Peran mereka, sebagai pemegang otoritas 'abi', sangat krusial, terutama pada masa-masa sulit atau krisis politik.
Dari Kegaiban Hingga Dinasti Safawi
Shaykh al-Mufid (w. 1022 M)
Shaykh al-Mufid, atau Muhammad bin Nu'man, dianggap sebagai salah satu arsitek teologi Syiah pasca-Kegaiban. Karyanya, terutama Al-Muqni'ah, meletakkan dasar bagi Usul al-Fiqh (Prinsip-Prinsip Yurisprudensi) Syiah. Dalam masa yang penuh kekacauan ini, ia bertindak sebagai 'abi' intelektual, memastikan bahwa doktrin Syiah tetap koheren dan rasional menghadapi serangan teologis dari mazhab lain.
Perannya sangat penting karena ia menjembatani masa awal yang bergantung pada riwayat langsung dari para Imam, menuju masa di mana ulama harus menggunakan akal (aql) dan metodologi sistematis (ijtihad) untuk menggali hukum. Tanpa kontribusi Mufid dan penerusnya, struktur Marja'iyyah modern mungkin tidak akan terbentuk.
Ayatullah Wahid Behbahani dan Kebangkitan Usuliyyah
Pada abad ke-18, terjadi perdebatan besar antara mazhab Usuliyyah (yang mendukung Ijtihad) dan Akhbariyyah (yang hanya bergantung pada Hadits/Akhbar). Perdebatan ini mengancam stabilitas Marja'iyyah. Ayatullah Muhammad Baqir Behbahani (w. 1791), dikenal sebagai 'Wahid', memimpin kemenangan Usuliyyah. Kemenangan ini adalah momen krusial yang mengukuhkan peran 'abi' (Marja' Taqlid) sebagai ahli hukum yang aktif dan tidak pasif.
Behbahani menggarisbawahi bahwa di era Kegaiban, ketergantungan buta pada riwayat lama tidak cukup untuk menyelesaikan masalah modern. Marja' harus berani menggunakan penalaran metodologis untuk menghasilkan fatwa baru. Ini memperkuat status Marja' sebagai pemimpin yang dinamis dan berwenang penuh atas umat.
Figur Paternal Kontemporer
Sayyid Abul Qasim al-Khu’i (w. 1992)
Ayatullah Udhma al-Khu'i, yang berbasis di Najaf, adalah salah satu Marja' paling berpengaruh di abad ke-20. Ia adalah 'abi' bagi seluruh generasi ulama, termasuk banyak Marja' saat ini. Kontribusinya terhadap Usul al-Fiqh dan Rijal (ilmu periwayatan Hadits) sangat monumental, membuat kurikulum Hawza modern tak terpisahkan dari pemikirannya.
Kepemimpinan al-Khu'i menekankan apolitisitas Marja'iyyah, memfokuskan peran otoritas spiritual pada pemeliharaan ilmu dan bimbingan moral, sebuah interpretasi konservatif mengenai Wilayah al-Faqih yang berbeda dengan interpretasi revolusioner. Ia bertindak sebagai jangkar spiritual bagi komunitas Syiah global selama masa-masa perang dan represi.
Ayatullah Sayyid Ali al-Sistani
Ayatullah Sistani, yang saat ini menjadi Marja' Agung di Najaf, mewakili kelanjutan dari tradisi Najaf yang berbasis pada kehati-hatian, ilmu yang mendalam, dan peran sosial yang damai. Pengaruh Sistani meluas secara global, dan ia dipandang sebagai salah satu figur 'abi' paling penting di dunia Islam.
Perannya dalam krisis Irak pasca-2003 menunjukkan manifestasi praktis dari Wilayah Tashri'iyyah. Meskipun menolak jabatan politik formal, intervensi dan fatwa-fatwa strategisnya (seperti seruannya untuk pemilihan umum atau perlawanan terhadap ekstremisme) telah membentuk nasib seluruh negara. Tindakannya membuktikan bahwa otoritas 'abi' spiritual ini memiliki implikasi sosial dan politik yang nyata, bahkan tanpa menjabat sebagai kepala negara.
Perbedaan Konsep Abi/Ayah dalam Syiah:
Secara spiritual, Imam Ali adalah 'Ayah' bagi ilmu dan spiritualitas. Secara metodologis, Marja' Taqlid adalah 'Ayah' bagi pengikutnya (muqallid) karena ia bertanggung jawab atas keselamatan praktik ibadah mereka di hadapan Tuhan, memberikan kepastian hukum di tengah ketidakpastian zaman.
Ijtihad dan Mekanisme Pertanggungjawaban Paternal
Jantung dari Marja'iyyah adalah Ijtihad, yang merupakan upaya maksimal seorang mujtahid untuk menarik hukum syariah dari sumber-sumber yang tersedia. Proses ini bukan hanya sebuah latihan intelektual, tetapi sebuah pertanggungjawaban teologis yang sangat berat. Karena seorang Marja' bertindak sebagai pengganti fungsional dari Imam yang gaib, kesalahan dalam Ijtihad dapat berakibat fatal bagi jutaan pengikutnya.
Usul al-Fiqh sebagai Metodologi 'Abi'
Metodologi yang digunakan oleh Marja' untuk ber-Ijtihad disebut Usul al-Fiqh. Ini adalah ilmu tentang prinsip-prinsip yang memungkinkan seorang mujtahid untuk memahami Al-Qur'an dan Sunnah secara kontekstual, memecahkan kontradiksi, dan menetapkan hukum baru. Usul al-Fiqh adalah filter rasionalitas dan konsistensi yang menjamin bahwa fatwa yang dikeluarkan oleh 'abi' spiritual ini adalah yang paling mendekati kebenaran ilahi.
Aspek-Aspek Kunci Usul al-Fiqh:
- Ilmu Dhaman (Asumsi Jaminan): Ini adalah prinsip di mana seorang Marja' harus memastikan validitas hukum di bawah kondisi keraguan.
- Bara'ah (Asumsi Tidak Bersalah): Jika tidak ada dalil jelas yang melarang sesuatu, itu dianggap diperbolehkan, menunjukkan keterbukaan dalam hukum.
- Istishab (Kontinuitas): Asumsi bahwa status hukum sebelumnya tetap berlaku sampai ada bukti yang meyakinkannya berubah.
Kompleksitas Usul al-Fiqh menuntut seorang Marja' untuk menghabiskan seluruh hidupnya dalam studi. Ini menjelaskan mengapa gelar 'Ayatullah Udhma' hanya diberikan kepada segelintir orang. Mereka harus mampu menimbang ribuan riwayat, memahami filsafat hukum, dan memiliki wawasan mendalam tentang bahasa Arab klasik—semua untuk menjalankan peran paternal dalam memberikan panduan yang paling akurat.
Taqlid: Kepatuhan kepada Pemandu Paternal
Kebalikan dari Ijtihad adalah Taqlid (emulasi atau mengikuti). Mayoritas Muslim Syiah yang tidak mencapai tingkat Ijtihad wajib melakukan Taqlid kepada Marja' Taqlid yang hidup. Tindakan Taqlid ini adalah manifestasi konkret dari pengakuan terhadap otoritas 'abi' spiritual.
Kepatuhan ini tidak bersifat membabi buta, melainkan merupakan kepatuhan rasional. Dalam pandangan Syiah, secara nalar, individu yang tidak ahli diwajibkan mengikuti saran ahli dalam bidang yang bersangkutan. Dalam hal agama dan hukum Ilahi, Marja' adalah ahlinya. Dengan mengikuti Marja', umat Syiah memastikan bahwa ibadah dan transaksi mereka sah di mata Tuhan, sebuah jaminan yang diberikan oleh figur paternal tersebut.
Sistem ini menciptakan hubungan timbal balik yang unik: Marja' bertanggung jawab di hadapan Tuhan atas fatwa yang ia keluarkan, dan pengikut (muqallid) dibebaskan dari pertanggungjawaban selama mereka mengikuti fatwa tersebut dengan tulus. Ini adalah bentuk perlindungan dan bimbingan 'abi' yang sangat praktis dan terstruktur secara teologis.
Dampak Sosial, Ekonomi, dan Politik Otoritas 'Abi'
Otoritas Marja' tidak hanya berlaku di ranah ritual. Karena konsep Islam Syiah yang komprehensif, kepemimpinan spiritual ini merembet ke seluruh aspek kehidupan sosial, ekonomi, dan politik, terutama melalui mekanisme dana keagamaan dan fatwa-fatwa sosial.
Pengelolaan Dana Khums dan Zakat
Salah satu manifestasi paling nyata dari kekuasaan 'abi' adalah pengelolaan Khums (seperlima dari pendapatan bersih). Khums wajib dibayarkan kepada Marja' atau wakilnya untuk dialokasikan bagi kepentingan agama, pendidikan, dan amal. Marja' Taqlid mengelola triliunan dana yang digunakan untuk:
- Mendanai Hawza dan ulama di seluruh dunia.
- Membangun rumah sakit, sekolah, dan perpustakaan.
- Mendukung fakir miskin dan proyek kesejahteraan sosial.
Pengelolaan dana ini menjadikan Marja' sebagai jaringan sosial dan ekonomi yang independen dari struktur negara. Kekuatan finansial ini memperkuat peran paternal mereka, memungkinkan mereka untuk bertindak sebagai pelindung sosial bagi komunitas, terutama di negara-negara di mana Syiah adalah minoritas atau menghadapi diskriminasi.
Peran Politik: Wilayah al-Faqih
Interpretasi politik dari otoritas 'abi' mencapai puncaknya dalam doktrin Wilayah al-Faqih (Kepemimpinan Ahli Hukum), yang paling terkenal dipraktikkan di Republik Islam Iran pasca Revolusi 1979 oleh Imam Ruhollah Khomeini.
Khomeini dan Interpretasi Maksimalis
Khomeini menafsirkan bahwa, di era Kegaiban, Wilayah Tashri'iyyah seorang faqih yang memenuhi syarat tidak hanya mencakup hukum ritual, tetapi juga pemerintahan dan urusan negara. Ia berpendapat bahwa Marja' harus memiliki otoritas yang sama (dalam urusan pemerintahan) dengan Imam yang gaib, untuk mencegah kekacauan dan menegakkan keadilan Islam di Bumi. Ini adalah interpretasi maksimalis yang menempatkan figur 'abi' spiritual di puncak hierarki politik dan militer.
Najaf dan Interpretasi Minimalis
Di Najaf, Irak, tradisi yang dipegang oleh Al-Khu’i dan Al-Sistani cenderung pada interpretasi minimalis, yang dikenal sebagai Wilayah al-Faqih yang terbatas (atau Wilayah al-Umuur al-Hisbiyyah). Di sini, Marja' hanya boleh mengintervensi urusan publik dalam kondisi darurat (seperti melindungi umat, menjaga keamanan, atau mengelola wakaf) dan menolak penggabungan langsung antara otoritas spiritual dan politik negara. Kedua interpretasi ini, meskipun berbeda dalam aplikasinya, sama-sama berangkat dari prinsip bahwa otoritas paternal spiritual harus tetap menjadi rujukan tertinggi dalam masyarakat Syiah.
Figur 2: Keseimbangan Peran Paternal Marja' antara Bimbingan Spiritual dan Tanggung Jawab Sosial.
Tantangan Kontemporer terhadap Otoritas Paternal
Meskipun institusi Marja'iyyah telah bertahan selama lebih dari seribu tahun, ia menghadapi tantangan signifikan di era modern, termasuk globalisasi informasi, meningkatnya kesadaran politik di kalangan pemuda, dan isu transparansi.
Globalisasi Informasi dan Akses Fatwa
Internet telah mendemokratisasi akses terhadap pengetahuan agama. Fatwa seorang Marja' kini tersedia secara instan di seluruh dunia. Sementara ini meningkatkan konektivitas, hal ini juga menimbulkan masalah 'pasar bebas' fatwa. Pengikut (muqallid) kini dihadapkan pada pilihan banyak Marja' yang berbeda, bahkan dalam satu keluarga atau satu wilayah, sehingga mengurangi sentralitas absolut satu figur 'abi'.
Selain itu, media sosial memungkinkan kritik terhadap Marja' yang jarang terjadi di masa lalu. Figur paternal yang tadinya hampir tak tersentuh kini harus lebih transparan dalam manajemen keuangan dan pengambilan keputusan, menanggapi ekspektasi publik yang lebih tinggi.
Ancaman Sekularisme dan Nasionalisme
Di banyak negara, khususnya di Timur Tengah, munculnya nasionalisme dan ideologi sekuler menantang otoritas agama tradisional. Bagi sebagian kaum muda, loyalitas kepada negara atau ideologi sekuler lebih kuat daripada kepatuhan kepada Marja' yang mungkin tinggal di negara lain (seperti Najaf atau Qom). Ini merupakan ancaman serius terhadap konsep 'abi' transnasional yang dianut Syiah.
Untuk menghadapi ini, banyak Marja' telah beradaptasi, menggunakan teknologi canggih, mendirikan kantor-kantor perwakilan di Barat, dan mengeluarkan fatwa yang relevan dengan kehidupan modern, seperti panduan mengenai etika siber, keuangan syariah modern, dan hak-hak sipil, memastikan relevansi peran paternal mereka tetap terjaga di tengah modernitas.
Isu Suksesi dan Keberlanjutan
Sistem Marja'iyyah tidak memiliki mekanisme suksesi formal yang jelas seperti kerajaan. Ketika seorang Marja' Agung wafat, para pengikut secara alami beralih ke ulama lain yang mereka yakini memiliki A'lamiyyah tertinggi. Proses informal ini dapat menyebabkan ketidakpastian. Para ulama harus membuktikan diri mereka sebagai 'abi' berikutnya melalui keunggulan akademis dan pengaruh publik, bukan melalui penunjukan warisan.
Perdebatan mengenai kriteria A'lamiyyah—apakah itu harus murni keunggulan Fiqh, atau juga harus mencakup wawasan politik dan manajemen—terus berlanjut dan membentuk lanskap kepemimpinan Syiah di masa depan.
Masa Depan Hawza
Keberlanjutan otoritas 'abi' sangat bergantung pada kualitas Hawza. Hawza harus terus menghasilkan ulama yang tidak hanya menguasai tradisi tetapi juga mampu berdialog dengan dunia modern. Ini memerlukan reformasi kurikulum yang seimbang antara studi klasik yang mendalam dan studi ilmu-ilmu kontemporer, memastikan bahwa 'ayah' spiritual di masa depan memiliki pengetahuan yang komprehensif.
Kesimpulan Mendalam: Peran Abadi 'Abi' Spiritual
Konsep 'Abi Syiah' — figur paternal, pelindung, dan sumber otoritas—merupakan konstruksi teologis yang vital dan dinamis dalam Syiah Imamiyah. Ia telah berevolusi dari peran para Imam yang ma'sum dan diangkat secara ilahi, menjadi struktur Marja'iyyah yang diisi oleh ulama yang mencapai tingkat Ijtihad tertinggi melalui dedikasi dan keunggulan akademik. Evolusi ini menunjukkan ketahanan Syiah dalam menghadapi Kegaiban Akbar.
Marja' Taqlid, sebagai perwujudan kontemporer dari otoritas paternal spiritual, memikul beban tanggung jawab yang sangat besar: menjaga kemurnian syariat, memberikan bimbingan moral dan hukum praktis, serta memimpin masyarakat di tengah krisis sosial dan politik. Peran ini didukung oleh landasan teologis Wilayah al-Faqih, yang meskipun memiliki interpretasi berbeda (maksimalis di Iran dan minimalis di Najaf), sama-sama mengakui bahwa di masa ketiadaan Imam, seorang ahli hukum yang adil dan berpengetahuan harus memegang kendali kepemimpinan fungsional.
Otoritas ini bersifat transnasional dan independen, didanai oleh sistem Khums dan diperkuat oleh Taqlid jutaan muqallid (pengikut). Institusi ini berhasil menjamin bahwa hukum Ilahi tetap relevan dan dapat diterapkan, meskipun tantangan modern terus mendesak. Keberlanjutan dan keabsahan 'Abi Syiah' tidak terletak pada penunjukan hierarkis, melainkan pada pengakuan umat terhadap kedalaman ilmu, keadilan moral, dan kemampuan ulama tersebut untuk menjadi sumber rujukan yang paling dapat diandalkan bagi keselamatan dunia dan akhirat. Selama kebutuhan akan bimbingan spiritual dan kepastian hukum tetap ada, figur 'Abi' dalam bentuk Marja'iyyah akan terus menjadi pilar sentral bagi identitas dan praktik keagamaan Syiah global.
Dalam esensinya, pencarian figur 'Abi' adalah pencarian akan tautan yang tak terputus kembali kepada sumber wahyu, sebuah upaya untuk menemukan ayah rohani yang akan memandu umat melewati kegelapan Kegaiban, menjanjikan bahwa meskipun pemimpin utama tersembunyi, bimbingan-Nya melalui para pewaris ilmu tetap hadir dan nyata di setiap lapisan kehidupan umat.