Abi Syuja: Pilar Mazhab Syafi'i dan Keabadian Matn Al-Ghāyah

Ilustrasi kitab dan pena kuno, melambangkan karya Abi Syuja. Matn Al-Ghāyah

Ilustrasi Kitab dan Pena Kuno

I. Pengantar: Kedudukan Abū Shujāʿ dalam Sejarah Fiqh

Syihabuddin Abū Shujāʿ Ahmad bin Al-Husain bin Ahmad Al-Isfahani, yang lebih dikenal sebagai Abi Syuja, merupakan salah satu tokoh sentral dalam tradisi keilmuan Mazhab Syafi'i. Meskipun namanya mungkin tidak sepopuler Imam An-Nawawi atau Imam Ar-Rafi'i, kontribusinya melampaui karya-karya monumental; beliau menyusun sebuah panduan ringkas, padat, dan sangat praktis yang telah menjadi kurikulum dasar bagi jutaan pelajar Islam selama berabad-abad. Karya utamanya, *Matn al-Ghāyah wa at-Taqrīb* (Teks Tujuan dan Penyederhanaan), atau yang lebih dikenal dengan *Mukhtaṣar Abī Shujāʿ*, adalah tonggak ajaran fiqh Syafi'i, khususnya bagi mereka yang berada di tahap awal pembelajaran.

Kitab ini, yang ukurannya tergolong tipis namun sarat makna, dikenal karena kemampuannya menyaring hukum-hukum Mazhab Syafi'i yang paling muktamad (terkuat) dari literatur-literatur yang lebih besar dan kompleks. Keistimewaannya terletak pada gaya penyampaian yang lugas, menghindari perdebatan internal mazhab (khilaf) dan hanya fokus pada pandangan yang diunggulkan (rajih), menjadikannya instrumen sempurna untuk pengajaran dan hafalan. Tidak mengherankan jika hingga hari ini, dari Asia Tenggara hingga Afrika Utara, para pelajar fiqh memulai perjalanan mereka dengan teks ringkas namun mendalam dari Abi Syuja ini.

Memahami Abi Syuja memerlukan penelusuran tidak hanya pada teks yang ia susun, tetapi juga pada era historis di mana ia hidup, suatu masa yang penuh gejolak politik namun subur secara intelektual. Era tersebut menuntut adanya sistematika hukum yang baku dan mudah diakses, sebuah kebutuhan yang dijawab dengan sempurna oleh karya agung beliau.

II. Biografi dan Konteks Sejarah Kehidupan Abū Shujāʿ

Informasi detail mengenai kehidupan pribadi Abū Shujāʿ memang relatif sedikit jika dibandingkan dengan biografi ulama-ulama besar generasi berikutnya. Namun, sumber-sumber sejarah mencatat periode penting dan pengaruhnya yang mendalam. Nama lengkapnya adalah Abū Shujāʿ Syihabuddin Ahmad bin Al-Husain bin Ahmad Al-Isfahani. Nisbah 'Al-Isfahani' menunjukkan asal-usulnya dari Isfahan, sebuah kota bersejarah di Persia (kini Iran), yang pada masa itu merupakan pusat keilmuan dan kebudayaan yang dinamis.

A. Masa Hidup dan Pendidikan

Abi Syuja diperkirakan hidup pada abad ke-5 dan ke-6 Hijriah (sekitar abad ke-11 dan ke-12 Masehi). Periode ini bertepatan dengan masa kekuasaan Dinasti Seljuk, sebuah era di mana sistem madrasah, yang didirikan oleh Wazir Nizam al-Mulk, sedang berada di puncak kejayaan. Madrasah-madrasah Nizhamiyah menjadi inkubator bagi para ulama Syafi'i, dan besar kemungkinan Abi Syuja adalah produk dari sistem pendidikan yang terstruktur tersebut, yang sangat menekankan penguasaan teks-teks fiqh dan ushul fiqh.

Sebagian besar hidupnya dihabiskan untuk menuntut ilmu dan mengajar. Setelah menimba ilmu di Isfahan dan wilayah Persia lainnya, Abi Syuja kemudian pindah ke lingkungan yang lebih stabil secara keilmuan, yaitu kota Basrah, yang saat itu masih menjadi pusat penting pembelajaran Islam. Di Basrah inilah beliau dikenal luas sebagai seorang ahli fiqh Syafi'i yang sangat piawai, menguasai metode (manhaj) madzhab dengan kedalaman yang luar biasa. Reputasinya tidak hanya dibangun dari penguasaan teori, tetapi juga dari integritas dan komitmennya dalam menyebarkan ajaran agama.

B. Peran dan Jabatan

Selain sebagai seorang guru dan mujtahid, Abi Syuja juga dilaporkan pernah menduduki posisi penting, termasuk jabatan sebagai Qadi (hakim) di beberapa wilayah. Pengalamannya dalam memutus perkara dan mengelola hukum praktis di pengadilan sangat krusial. Ini menjelaskan mengapa kitab *Mukhtaṣar*-nya sangat praktis dan terstruktur. Ia menulis bukan hanya sebagai seorang teoritikus yang bergelut di menara gading keilmuan, melainkan sebagai seorang praktisi yang memahami kebutuhan mendesak umat Islam terhadap panduan hukum yang jelas dan tidak ambigu.

Pekerjaan sebagai Qadi mengharuskannya memilih pendapat yang paling otoritatif (mu'tamad) dalam Mazhab Syafi'i agar keputusan yang diambil memiliki landasan hukum yang kuat dan seragam. Kebutuhan praktis inilah yang kemudian diimplementasikan dalam karyanya, di mana ia secara tegas hanya mencantumkan satu pandangan utama, berbeda dengan karya-karya besar lain yang seringkali mencantumkan berbagai pandangan (khilaf) di antara ulama Syafi'i sendiri.

III. Kontribusi Utama: Kitab Matn al-Ghāyah wa at-Taqrīb (Mukhtaṣar Abī Shujāʿ)

Karya monumental yang mengabadikan nama Abi Syuja adalah *Matn al-Ghāyah wa at-Taqrīb*, yang secara harfiah berarti "Teks Puncak dan Penyederhanaan." Judul tersebut secara akurat menggambarkan tujuan penulisannya: menyederhanakan hukum-hukum fiqh Mazhab Syafi'i ke dalam bentuk yang paling mudah dipahami dan dihafal, sehingga mencapai tujuan tertinggi (ghāyah) dari pengajaran fiqh dasar.

A. Struktur dan Metodologi Kitab

Kitab ini dikenal karena ringkasnya, namun meliputi hampir seluruh spektrum fiqh. Metode penulisannya sangat terstruktur:

  1. Fokus pada Pendapat Kuat (Al-Qaul ar-Rājih): Abi Syuja konsisten dalam hanya menyajikan pandangan yang paling diunggulkan dalam mazhab. Ini menghapus kebingungan bagi pelajar pemula yang mungkin kesulitan memilih di antara banyak pendapat ulama.
  2. Klasifikasi Jelas: Materi dibagi berdasarkan empat rubu' (kuadran) besar fiqh: *Ibadah* (ritual), *Muamalah* (transaksi), *Munakahat* (pernikahan), dan *Jinayat* (pidana/hukum).
  3. Gaya Bahasa yang Presisi: Penggunaan istilah teknis fiqh sangat tepat, namun disampaikan dalam kalimat yang pendek dan ringkas (matan). Ini sangat membantu dalam proses hafalan.

Dalam tradisi pendidikan Islam, khususnya di lingkungan pesantren atau madrasah yang beraliran Syafi'i, kitab ini sering menjadi kitab pertama yang harus dikuasai sebelum pelajar naik ke tingkat yang lebih tinggi, seperti *Minhāj aṭ-Ṭālibīn* karya Imam Nawawi, yang merupakan ringkasan dari *Muḥarrar* karya Ar-Rafi'i.

B. Bagian Pertama: Rubu' Al-Ibadat (Peribadatan)

Bagian Ibadat menempati porsi terbesar dan terpenting, karena ini adalah kewajiban dasar setiap Muslim. Abi Syuja memulainya dengan bab tentang thaharah (kesucian) yang merupakan kunci untuk sahnya ibadah, lalu berlanjut ke shalat, zakat, puasa, dan haji.

Detail Taharah (Kesucian): Taharah dijelaskan secara rinci mulai dari jenis-jenis air. Kitab ini secara eksplisit membagi air menjadi air suci menyucikan tanpa makruh (air mutlak), air suci menyucikan dengan makruh (air musyammas), air suci tapi tidak menyucikan (air musta’mal), dan air najis (air mutanajjis). Penjelasan mendalam ini memastikan pelajar memahami bahwa air, meskipun tampak sama, memiliki status hukum yang berbeda-beda dalam konteks penyucian ritual. Selain air, dijelaskan juga tata cara wudhu, rukun wudhu yang enam, dan hal-hal yang membatalkannya, serta prosedur mandi besar (ghusl) dan sebab-sebab wajibnya.

Detail Shalat (Ritual Salat): Bab shalat adalah inti dari Rubu' Ibadat. Abi Syuja menyajikan rukun shalat (rukun qauli, rukun fi'li, rukun qalbi) dengan sangat sistematis. Ia menegaskan syarat-syarat sah shalat (seperti suci dari hadas dan najis, menutup aurat, menghadap kiblat) sebelum beralih ke rukun-rukunnya, mulai dari niat hingga salam. Kedalaman penjelasannya mencakup pula shalat-shalat sunnah yang muakkadah (dianjurkan) dan cara mengatasi keraguan (sujud sahwi). Pembahasan di sini menekankan pada konsistensi ritual sesuai Mazhab Syafi'i, seperti keharusan tumaninah di setiap gerakan.

Detail Zakat (Amil Zakat): Dalam bab zakat, Mukhtaṣar Abi Syuja memberikan penekanan pada harta yang wajib dizakati (*Amwal Zakat*), termasuk empat jenis utama: binatang ternak (unta, sapi, kambing), hasil bumi (pertanian dan buah-buahan), emas dan perak, serta harta dagangan (*’urudh at-tijarah*). Abi Syuja dengan cermat menjelaskan *nisab* (batas minimal wajib zakat) dan *haul* (masa kepemilikan) untuk setiap jenis harta. Misalnya, ketika membahas zakat pertanian, ia menjelaskan perbedaan antara tanaman yang membutuhkan biaya besar (dizakati 5%) dan yang tidak (dizakati 10%), serta bagaimana menghitung zakat fitrah.

IV. Analisis Mendalam Fiqh Muamalah dalam Matn Abī Shujāʿ

Bagian Muamalah, atau hukum perdata yang mengatur interaksi sesama manusia, menunjukkan keahlian Abi Syuja sebagai seorang Qadi. Bagian ini mencakup jual beli (bay'), sewa menyewa (ijarah), gadai (rahn), pinjaman, hingga pembagian harta warisan. Konten ini sangat penting karena ia mengajarkan umat bagaimana berinteraksi secara ekonomi dan sosial sesuai syariat.

A. Hukum Jual Beli (Bay’) dan Syarat-Syaratnya

Abi Syuja memulai dengan mendefinisikan rukun jual beli, yang terdiri dari penjual dan pembeli (âqid), barang yang diperjualbelikan (mabi’), harga (tsaman), dan ijab kabul (shighah). Dalam Matn, penekanan diletakkan pada syarat-syarat mabi’:

  1. Barang harus suci (bukan benda najis, kecuali yang dikecualikan, seperti kotoran yang digunakan sebagai pupuk).
  2. Barang harus bermanfaat.
  3. Barang harus dimiliki penuh oleh penjual atau diizinkan untuk dijual.
  4. Barang harus dapat diserahterimakan (maqdurun ‘ala taslimihi).
  5. Barang harus diketahui dengan jelas oleh kedua belah pihak (ma’lumun litarofain).

Pembahasan Abi Syuja tentang *Khiyar* (hak opsi) sangat detail. Ia menjelaskan *Khiyar Majlis* (hak opsi selama masih berada di tempat transaksi) dan *Khiyar Syarat* (hak opsi yang disepakati untuk jangka waktu tertentu), yang memberikan jaminan keadilan bagi kedua belah pihak, mencerminkan kepedulian Islam terhadap pencegahan penyesalan dan penipuan (gharar).

B. Larangan Riba dan Transaksi Terlarang

Abi Syuja dengan tegas memisahkan jenis-jenis transaksi yang sah dari yang dilarang. Larangan Riba dijelaskan melalui dua kategori utama: *Riba Fadhl* (pertukaran barang ribawi sejenis dengan jumlah berbeda, misalnya satu kilogram gandum dengan dua kilogram gandum), dan *Riba Nasiah* (penundaan serah terima pada pertukaran barang ribawi, misalnya penundaan pembayaran emas). Ia menekankan bahwa barang-barang ribawi (emas, perak, gandum, jelai, kurma, garam) harus ditukar dengan cara *yadan bi yadin* (tangan ke tangan, tunai) dan *mitslan bi mitslin* (setara jika sejenis).

Selain riba, ia juga membahas kontrak yang mengandung *gharar* (ketidakjelasan atau risiko berlebihan), seperti menjual ikan yang masih di dalam air atau burung yang masih terbang. Prinsip ini menjadi fondasi bagi sistem ekonomi Islam yang mengutamakan transparansi dan kejelasan kontrak.

C. Rahn (Gadai), Ijarah (Sewa), dan Syirkah (Kemitraan)

Bagian Muamalah ini juga mencakup mekanisme keamanan finansial dan investasi. Mengenai *Rahn* (gadai), Abi Syuja menjelaskan bahwa barang gadai berfungsi sebagai jaminan utang dan tidak boleh dimanfaatkan oleh pemegang gadai kecuali dengan izin khusus. Ia menjabarkan rukun Rahn: penggadai, penerima gadai, barang gadai, dan ijab kabul.

Dalam bab *Ijarah* (sewa), dijelaskan bahwa sewa adalah akad penyerahan manfaat suatu benda atau jasa dengan imbalan upah (ujrah). Syarat utama ijarah adalah manfaat yang disewa harus diketahui secara jelas dan pasti, untuk mencegah perselisihan di kemudian hari. Sementara itu, *Syirkah* (kemitraan) dibahas sebagai sarana investasi bersama, menekankan perlunya kesepakatan jelas mengenai modal, pekerjaan, dan pembagian keuntungan atau kerugian.

Kedalaman pembahasan ini mencerminkan bahwa Fiqh Syafi'i, sebagaimana dirumuskan oleh Abi Syuja, tidak hanya berfokus pada ibadah ritual, tetapi juga menyediakan kerangka hukum yang komprehensif untuk membangun masyarakat yang adil secara ekonomi.

D. Hukum Wakalah (Perwakilan) dan Iqrar (Pengakuan)

Perluasan hukum muamalah dalam Matn meliputi pula bab tentang Wakalah (perwakilan atau kuasa). Hukum ini sangat relevan dalam kehidupan modern di mana tidak semua pihak bisa hadir dalam transaksi. Abi Syuja menjelaskan bahwa perwakilan hanya sah pada hal-hal yang dapat diwakilkan. Rukun Wakalah melibatkan pemberi kuasa (muwakkil), penerima kuasa (wakil), dan hal yang diwakilkan (muwakkal fih). Kejelasan mengenai batas-batas kuasa sangat ditekankan untuk menghindari penyalahgunaan wewenang.

Selanjutnya, pembahasan tentang *Iqrar* (pengakuan) diletakkan sebagai fondasi pembuktian hukum. Pengakuan seseorang atas suatu hak yang dimiliki orang lain adalah bukti yang sah di mata hukum. Abi Syuja mensyaratkan bahwa orang yang memberi pengakuan haruslah baligh, berakal, dan tidak berada di bawah paksaan. Pengakuan dalam hukum perdata ini sangat vital untuk menyelesaikan sengketa hak milik dan utang piutang, menunjukkan bagaimana Fiqh berfungsi sebagai sistem yudisial yang lengkap.

V. Rubu' Munakahat dan Jinayat: Hukum Keluarga dan Pidana

A. Fiqh Munakahat (Hukum Keluarga)

Bagian Munakahat adalah fondasi hukum keluarga dalam Islam. Abi Syuja menyajikan rukun pernikahan (zawaj) dengan ringkas: adanya calon suami, calon istri, dua saksi adil, wali, dan sighah (ijab kabul). Ia menjelaskan secara detail syarat-syarat sahnya wali, termasuk prioritas wali (wali nasab), serta fungsi dua saksi sebagai syarat keabsahan yang mutlak, yang bertujuan untuk mencegah pernikahan rahasia yang dapat merusak tatanan sosial.

Pembahasan Talaq (Perceraian): Pembahasan tentang talaq disajikan setelah pernikahan, menekankan bahwa meskipun dibolehkan, perceraian adalah solusi terakhir. Abi Syuja membahas jenis-jenis talaq (talaq raj'i dan talaq ba’in), masa iddah bagi istri yang dicerai, dan kewajiban nafkah. Kedalaman analisis ini mencakup pula situasi khusus seperti khulu’ (perceraian atas inisiatif istri dengan imbalan), yang menunjukkan bahwa Matn ini mencakup skenario hukum yang kompleks.

Abi Syuja juga menyajikan larangan-larangan pernikahan, baik yang bersifat abadi (mahram muabbad) karena hubungan darah, persusuan, maupun pernikahan (mushaharah), maupun larangan sementara (seperti menikahi wanita yang masih dalam masa iddah orang lain atau menikahi dua wanita bersaudara sekaligus).

B. Fiqh Jinayat (Hukum Pidana dan Peradilan)

Rubu' Jinayat (pidana) dan Ahkam (peradilan) dalam Matn Abi Syuja memberikan garis besar yang tegas mengenai penegakan keadilan. Bagian ini dimulai dengan konsep *Qisas* (pembalasan setimpal) untuk kasus pembunuhan dan luka fisik. Abi Syuja menekankan prinsip kesetaraan dan kehati-hatian dalam penerapan Qisas. Ia menjelaskan syarat-syarat wajib Qisas, dan adanya opsi bagi korban atau ahli waris untuk memaafkan pelaku dengan imbalan diyat (denda).

Hukum Hudud: Abi Syuja merangkum hukum-hukum Hudud (hukuman yang kadarnya telah ditetapkan syariat), seperti hukuman bagi pezina, peminum khamar, pencuri, dan perampok. Meskipun ringkas, Matn ini tetap memberikan landasan hukum bagi ulama Syafi'i mengenai batasan-batasan syariat dalam konteks pidana.

Sistem Peradilan (Qadha): Bagian akhir Matn seringkali membahas adab Qadi (etika hakim) dan tata cara persaksian. Abi Syuja menekankan pentingnya kejujuran, keadilan, dan kualifikasi saksi. Syarat menjadi saksi adalah adil (tidak fasik), memiliki daya ingat yang baik, dan bukan pihak yang berkepentingan. Penjelasan ini memperkuat pandangan bahwa Fiqh adalah sistem hukum yang terpadu, yang membutuhkan hakim yang kompeten dan bukti yang valid.

Timbangan keadilan, simbol hukum Fiqh dalam Matn Abi Syuja. Al-Mizān (Keadilan)

Timbangan Keadilan dalam Syariat

VI. Ekstensifikasi dan Kedalaman Materi dalam Fiqh Taharah dan Shalat

Untuk memahami kedudukan Mukhtaṣar Abī Shujāʿ secara utuh, penting untuk mengulas lebih dalam bagaimana ia menyajikan topik-topik krusial yang harus dikuasai pelajar pada tingkat awal. Kedalaman ini, meskipun dalam format ringkas, menunjukkan kecermatan Abi Syuja dalam memilih kaidah-kaidah yang paling fundamental dan aplikatif.

A. Mendalami Fiqh Air (Miyah) dan Perubahan Statusnya

Dalam Mazhab Syafi'i, pembahasan air adalah fondasi dari seluruh Fiqh Ibadah. Abi Syuja memaparkan status air tidak hanya berdasarkan zatnya tetapi juga berdasarkan interaksinya dengan benda lain. Air dibagi menjadi empat jenis sebagaimana disebutkan sebelumnya, namun rincian mengenai perubahan air sangat penting:

  1. Air Musta’mal (Air Bekas Pakai): Ini adalah air yang telah digunakan untuk mengangkat hadas (wudhu atau ghusl wajib) atau untuk menghilangkan najis (setelah najisnya hilang). Statusnya adalah suci, tetapi tidak menyucikan. Abi Syuja memastikan bahwa pelajar memahami batasan kuantitas air. Air yang sedikit (kurang dari dua qullah, sekitar 270 liter) menjadi musta’mal segera setelah digunakan untuk mengangkat hadas, namun air yang banyak tidak berubah statusnya kecuali mengalami perubahan signifikan.
  2. Air Mutanajjis (Air Ternajisi): Air yang bertemu dengan najis. Jika airnya banyak, ia tidak menjadi najis kecuali jika salah satu dari tiga sifatnya (warna, rasa, bau) berubah. Jika airnya sedikit, ia menjadi najis hanya dengan bertemu najis, meskipun sifatnya tidak berubah. Penegasan terhadap kuantitas dua qullah ini adalah salah satu ciri khas Fiqh Syafi'i yang sangat ditekankan oleh Abi Syuja.

Pemaparan yang rigid ini berfungsi sebagai panduan praktis bagi masyarakat yang hidup di daerah dengan sumber air terbatas, memastikan ibadah mereka tetap sah meskipun menghadapi keterbatasan logistik.

B. Hukum Tayammum dan Alternatif Kesucian

Abi Syuja juga membahas Tayammum (bersuci dengan debu) sebagai pengganti wudhu atau ghusl. Beliau menjelaskan syarat-syarat Tayammum: adanya uzur (sakit parah, tidak ada air, atau takut menggunakan air), masuknya waktu shalat, dan telah mencari air namun tidak menemukannya. Matn ini secara spesifik menyebutkan rukun Tayammum (niat, mengusap wajah, mengusap kedua tangan sampai siku, dan tertib). Lebih lanjut, beliau membedakan secara tegas antara Tayammum yang dilakukan karena ketiadaan air (yang mengizinkan melakukan shalat sunnah) dan Tayammum karena adanya luka (yang hanya mengizinkan shalat fardhu satu kali), sebuah detail yang menunjukkan ketelitian mazhab.

C. Rukun dan Sunnah Shalat: Membedakan Kewajiban dan Pelengkap

Ketika membahas Shalat, Abi Syuja sangat berhati-hati dalam membedakan antara Rukun (Pilar, jika ditinggalkan shalat batal) dan Sunnah (pelengkap, jika ditinggalkan shalat tetap sah tetapi mengurangi pahala). Ini sangat esensial untuk pendidikan dasar. Ia membagi rukun menjadi 13 poin (sesuai pandangan mu’tamad Syafi’i), mencakup rukun qalbi (niat), rukun qauli (bacaan seperti takbiratul ihram, Al-Fatihah, tasyahhud akhir, dan salam), serta rukun fi’li (gerakan seperti rukuk, sujud, dan tumaninah).

Pentingnya Tumaninah (diam sebentar setelah gerakan mencapai posisi sempurna) ditekankan sebagai rukun fi’li. Abi Syuja memastikan bahwa pembaca memahami, jika tumaninah ditinggalkan, gerakan tersebut batal dan harus diulangi. Ini menunjukkan fokus Matn pada pelaksanaan ibadah yang sempurna.

Di samping rukun, beliau juga menyajikan Sunnah Ab’adh (sunnah yang sangat dianjurkan sehingga jika ditinggalkan harus diganti dengan sujud sahwi, seperti tasyahhud awal dan qunut) dan Sunnah Hai’at (sunnah biasa yang jika ditinggalkan tidak perlu sujud sahwi, seperti mengangkat tangan saat takbir).

D. Hukum-hukum Khusus Shalat: Jamak, Qashar, dan Shalat Jumat

Abi Syuja tidak hanya membahas shalat fardhu harian, tetapi juga shalat bagi musafir. Beliau menjelaskan syarat-syarat dibolehkannya Qashar (meringkas) shalat, yaitu perjalanan yang mencapai minimal dua marhalah (sekitar 81 km) dan niat bepergian yang sah. Ia juga menjelaskan syarat Jamak (menggabungkan) shalat, yang dibolehkan bagi musafir, atau dalam kondisi hujan lebat yang menyulitkan. Ketentuan ini menunjukkan bagaimana Fiqh Syafi'i menyediakan kemudahan (rukhshah) tanpa mengabaikan ketelitian hukum.

Mengenai Shalat Jumat, Abi Syuja menyebutkan rukunnya (dua khutbah) dan syarat wajibnya (muslim, baligh, berakal, sehat, dan tidak musafir), serta syarat sahnya (dilaksanakan di permukiman, dihadiri minimal 40 orang yang memenuhi syarat wajib Jumat). Struktur ini menegaskan peran Shalat Jumat sebagai kewajiban komunal yang penting.

VII. Analisis Mendalam Fiqh Zakat dalam Konteks Matn Abī Shujāʿ

Dalam bab zakat, Abi Syuja menyajikan tidak hanya kewajiban harta, tetapi juga penerima yang sah dan mekanisme pendistribusian. Kedalaman ini sangat membantu pengelola zakat kontemporer.

A. Kewajiban Zakat Harta (Amwal)

Zakat dibahas melalui syarat umum kewajiban zakat, yaitu Islam, kepemilikan penuh, mencapai nisab, dan berlalu haul (satu tahun kepemilikan), kecuali untuk zakat hasil bumi. Abi Syuja memaparkan rincian nisab, yang berbeda-beda:

  1. Emas dan Perak: Nisab emas adalah 20 dinar (sekitar 85 gram) dan perak 200 dirham (sekitar 595 gram). Kadarnya adalah 2.5% (rubu' al-'usyr).
  2. Binatang Ternak (An’am): Nisab dan kadar zakat untuk unta, sapi, dan kambing dijelaskan dalam tabel terstruktur, berdasarkan jumlah dan usia hewan yang wajib dikeluarkan.
  3. Hasil Bumi (Zuru’ wal-Tsamar): Nisab adalah 5 wasaq (sekitar 653 kg). Jika diairi dengan biaya (irigasi buatan), kadarnya 5%. Jika diairi oleh hujan atau sungai (alami), kadarnya 10%. Perbedaan kadar ini mencerminkan prinsip keadilan syariat yang mempertimbangkan biaya produksi.
  4. Harta Dagangan: Diwajibkan zakat 2.5% setelah mencapai haul dan nisab, dihitung dari nilai barang pada akhir haul.

B. Mustahiqqun (Penerima Zakat)

Abi Syuja mengutip ayat Al-Qur'an (QS. At-Tawbah: 60) dan menjelaskan delapan golongan penerima zakat (*Ashnaf Ats-Tsamaniyah*): Fakir, Miskin, Amil (pengurus zakat), Muallaf (yang dibujuk hatinya), Riqab (pembebasan budak, meskipun ini tidak relevan di era modern, Abi Syuja tetap memasukkannya), Gharimin (orang berutang), Fi Sabilillah (untuk kepentingan jihad/dakwah), dan Ibn Sabil (musafir yang kehabisan bekal).

Matn ini menegaskan bahwa zakat harus didistribusikan kepada semua delapan golongan jika memungkinkan, dan pembagian harus dilakukan secara adil. Ulama Syafi'i sangat menekankan prinsip *isti’ab* (meratakan pembagian) kepada semua golongan yang berhak, mencerminkan komitmen sosial Abi Syuja terhadap pemerataan kesejahteraan.

VIII. Keabadian Kitab Mukhtaṣar dan Tradisi Sanad

Keberhasilan *Mukhtaṣar Abī Shujāʿ* terletak pada daya tahannya melintasi zaman. Meskipun ditulis oleh seorang Qadi yang hidup berabad-abad lalu, teks ini tetap relevan dan menjadi mata air utama dalam pembelajaran Fiqh Syafi'i.

A. Tradisi Syarah (Komentar) dan Hasyiyah (Catatan Kaki)

Jarang ada matan fiqh sesingkat Abi Syuja yang melahirkan begitu banyak syarah (komentar) dan hasyiyah (catatan kaki) oleh ulama-ulama besar. Ini membuktikan kedalaman dan otoritas teks tersebut. Beberapa syarah paling terkenal yang menegaskan otoritas Matn ini antara lain:

  1. Kifāyah al-Akhyār fī Ḥall Ghāyah al-Ikhtiṣār: Karya Imam Taqiyyuddin Abi Bakr bin Muhammad Al-Hishni. Kitab ini menjadi rujukan utama karena memberikan penjelasan yang padat dan sering digunakan sebagai transisi sebelum mempelajari kitab yang lebih besar.
  2. Fatḥ al-Qarīb al-Mujīb fī Sharḥ Alfāẓ al-Taqrīb: Karya Syamsuddin Muhammad bin Qasim Al-Ghazzi (Ibnu Qasim Al-Ghazzi). Syarah ini adalah yang paling populer dan sering diajarkan di pesantren-pesantren tradisional. Ibnu Qasim menjelaskan setiap kata Abi Syuja dengan bahasa yang sederhana namun akurat sesuai mazhab.
  3. Hasyiyah Al-Bajuri ‘alā Ibni Qasim: Catatan kaki oleh Syaikh Ibrahim Al-Bajuri, yang menjadi pelengkap tak terpisahkan dari *Fath Al-Qarib*, memberikan klarifikasi terhadap poin-poin yang ambigu dan memasukkan perbandingan dengan pandangan ulama Syafi'i lainnya (khilaf antara Nawawi dan Rafi'i).

Adanya lapisan-lapisan syarah dan hasyiyah ini menciptakan sebuah tradisi keilmuan yang berkelanjutan. Setiap generasi ulama menambahkan kedalaman baru pada ringkasan Abi Syuja, memastikan bahwa pesan aslinya tetap terpelihara dan dapat diaplikasikan dalam konteks zaman yang berbeda.

B. Peran dalam Kurikulum Madrasah dan Pesantren

Di banyak negara mayoritas Muslim, terutama di Asia Tenggara (Indonesia, Malaysia) yang secara dominan mengikuti Mazhab Syafi'i, Mukhtaṣar Abī Shujāʿ adalah gerbang wajib menuju ilmu Fiqh. Kitab ini diajarkan sebagai teks hafalan (*matan*) di tingkat Mutawassith (menengah), dan berfungsi sebagai peta jalan. Dengan menghafal matan ini, pelajar menguasai kerangka dasar Fiqh, yang memungkinkan mereka untuk memahami diskusi yang lebih kompleks di kitab-kitab tingkat lanjut.

Kemudahan Matn ini juga membantu dalam tradisi sanad. Banyak sanad keilmuan Fiqh Syafi'i (rantai transmisi pengetahuan) yang melalui jalur ini, karena kitab ini adalah salah satu teks Fiqh yang paling sering diajarkan secara lisan dari guru ke murid, menjamin autentisitas ajaran Mazhab Syafi'i yang berlandaskan metodologi Abi Syuja.

C. Relevansi Kontemporer

Meskipun dunia telah berubah drastis sejak era Abi Syuja, prinsip-prinsip dasar hukum yang ia kodifikasikan tetap relevan. Ketegasan dalam memisahkan halal dan haram, kejelasan dalam syarat-syarat ibadah, serta fondasi keadilan dalam muamalah dan munakahat, adalah pilar yang tak lekang oleh waktu. Para ulama kontemporer masih merujuk pada teks ini sebagai landasan saat menghadapi isu-isu fiqh baru, menggunakan kaidah-kaidah yang telah ditetapkan Abi Syuja untuk menarik kesimpulan hukum baru (ijtihad kontemporer).

Karya beliau menjadi bukti bahwa sebuah ringkasan yang ditulis dengan niat tulus dan metodologi yang tepat dapat memberikan dampak yang jauh lebih besar dan bertahan lebih lama dibandingkan dengan ensiklopedia hukum yang besar dan sulit diakses.

IX. Penutup: Warisan Intelektual Abi Syuja

Abū Shujāʿ Al-Iṣfahānī meninggalkan warisan yang abadi melalui kitabnya yang sederhana namun padat, *Matn al-Ghāyah wa at-Taqrīb*. Lebih dari sekadar ringkasan hukum, karyanya adalah sebuah jembatan yang menghubungkan generasi awal Mazhab Syafi'i dengan para pelajar masa kini. Kitab ini adalah manifestasi dari keikhlasan seorang ulama yang berusaha menyederhanakan kompleksitas syariat, menjadikannya mudah dijangkau oleh setiap Muslim yang ingin mengamalkan agamanya dengan benar.

Dedikasi Abi Syuja dalam menyajikan pandangan yang paling kuat (rajih) dalam mazhab Syafi'i telah melahirkan ribuan ulama dan jutaan Muslim yang taat. Keahliannya dalam menyusun teks yang ringkas namun mencakup semua babak fiqh (ibadah, muamalah, munakahat, dan jinayat) memastikan bahwa ia akan terus dikenang dan dihormati sebagai salah satu arsitek utama pendidikan Fiqh dasar dalam sejarah Islam.

Hingga kini, setiap langkah pertama dalam mempelajari Fiqh Syafi'i hampir selalu dimulai di hadapan teks Abi Syuja, sebuah kehormatan abadi bagi seorang Qadi dari Isfahan yang mendedikasikan hidupnya untuk kejelasan dan ketelitian hukum Islam.

🏠 Homepage