Penggunaan insektisida dalam upaya pengendalian vektor penyakit menular seperti demam berdarah dengue (DBD) merupakan langkah yang krusial dalam perlindungan kesehatan masyarakat. Di Indonesia, salah satu senjata utama yang sering digunakan untuk membasmi jentik nyamuk Aedes aegypti adalah temefos, atau yang lebih dikenal dengan nama dagang Abate. Abate dikenal efektif karena kemampuannya dalam membunuh larva nyamuk secara cepat. Namun, di balik efektivitasnya yang tinggi, tersimpan ancaman serius terhadap keseimbangan lingkungan, khususnya bagi kehidupan akuatik. Paparan Abate berbahaya untuk ikan, dan dampak toksisitasnya melampaui sekadar kematian individu, mengancam stabilitas seluruh ekosistem perairan.
Diagram menunjukkan bahaya toksisitas kimia (Abate/Temephos) di lingkungan perairan, mengancam kehidupan ikan.
Abate, yang secara kimia dikenal sebagai O,O,O',O'-tetramethyl O,O'-thiodi-p-phenylene bis(phosphorothioate), termasuk dalam golongan insektisida organofosfat. Golongan ini sangat efektif karena mekanisme kerjanya yang menargetkan sistem saraf serangga. Abate dirancang sebagai larvisida, artinya ia digunakan untuk membunuh larva (jentik) serangga, terutama nyamuk, di tempat perkembangbiakannya, seperti bak mandi, drum penampungan air, atau genangan air yang terisolasi.
Temephos bekerja dengan cara menghambat aktivitas enzim asetilkolinesterase (AChE) pada serangga. AChE bertanggung jawab untuk memecah neurotransmitter asetilkolin (ACh) setelah impuls saraf dikirim. Ketika AChE dihambat oleh Abate, asetilkolin menumpuk di sinaps, menyebabkan stimulasi saraf yang berlebihan, yang pada akhirnya mengakibatkan kelumpuhan dan kematian serangga.
Sayangnya, mekanisme biokimia ini tidak bersifat eksklusif bagi serangga. Sistem saraf pada ikan dan mamalia juga bergantung pada asetilkolinesterase. Meskipun struktur enzim AChE pada vertebrata air mungkin sedikit berbeda, temefos memiliki afinitas yang cukup tinggi untuk menghambat enzim ini pada ikan. Toksisitas temefos pada ikan sering kali disebut sebagai efek neurotoksik, di mana paparan menyebabkan disfungsi saraf yang parah. Inhibisi AChE ini menjadi indikator biokimia utama dari keracunan organofosfat pada organisme akuatik.
Penggunaan Abate di lingkungan perairan, meskipun ditujukan hanya untuk air stagnan, memiliki potensi besar untuk mengalir ke badan air yang lebih besar seperti sungai, danau, atau tambak. Konsentrasi temefos yang dianggap aman untuk kesehatan manusia dalam konteks air minum, jauh melampaui batas toleransi fisiologis bagi sebagian besar spesies ikan.
Toksisitas Abate pada ikan dapat dibagi menjadi dua kategori utama: akut dan kronis. Toksisitas akut terjadi ketika ikan terpapar dosis tinggi dalam waktu singkat, seringkali menyebabkan kematian massal (fish kill). Parameter toksisitas akut yang paling umum digunakan adalah LC50 (Lethal Concentration 50%), yaitu konsentrasi yang mampu membunuh 50% populasi uji dalam periode 24, 48, atau 96 jam. Data penelitian menunjukkan bahwa nilai LC50 temefos untuk berbagai spesies ikan (seperti Ikan Nila, Ikan Mas, dan Zebra Fish) berada dalam kisaran yang sangat rendah, seringkali dalam satuan mikrogram per liter (µg/L) atau bagian per miliar (ppb), mengindikasikan bahwa Abate berbahaya untuk ikan bahkan pada konsentrasi yang sangat rendah.
Sebaliknya, toksisitas kronis terjadi akibat paparan dosis rendah yang berlangsung dalam jangka waktu lama. Dampak kronis mungkin tidak langsung menyebabkan kematian, tetapi secara substansial mengganggu fungsi biologis vital ikan. Efek ini meliputi:
Toksisitas Abate tidak hanya menyerang sistem saraf, tetapi juga menimbulkan kerusakan sistemik pada tingkat seluler. Ikan, sebagai organisme yang selalu bersentuhan langsung dengan lingkungan air, sangat rentan terhadap polutan yang terlarut.
Insang adalah organ yang sangat sensitif karena permukaannya yang luas dan tipis, dirancang untuk pertukaran gas efisien. Ketika ikan terpapar temefos, insang menjadi target utama. Paparan menyebabkan hiperplasia (penebalan) epitel insang dan fusi lamela. Penebalan ini meningkatkan jarak difusi oksigen dari air ke darah, secara signifikan mengurangi efisiensi pernapasan. Ikan yang keracunan Abate sering menunjukkan gejala stres pernapasan, seperti megap-megap di permukaan air, yang merupakan upaya kompensasi untuk mendapatkan oksigen lebih banyak.
Pada dosis subletal (di bawah dosis mematikan), kerusakan insang juga mengganggu osmoregulasi (keseimbangan garam dan air dalam tubuh). Karena homeostasis terganggu, kemampuan ikan untuk bertahan hidup di lingkungan yang berubah, seperti perubahan salinitas atau suhu, menjadi sangat berkurang. Inilah salah satu alasan mengapa Abate berbahaya untuk ikan di berbagai jenis habitat perairan, baik tawar maupun payau.
Hati merupakan pusat detoksifikasi. Ketika temefos masuk ke dalam tubuh ikan, hati bekerja keras untuk memetabolisme dan menetralkan racun tersebut. Paparan kronis Abate menyebabkan pembengkakan sel hati (hepatomegali), degenerasi vakuolar, dan nekrosis (kematian sel). Kerusakan hati ini mengganggu kemampuan ikan untuk menyimpan energi (glikogen) dan memproses nutrisi, memperburuk kondisi stres fisiologisnya.
Ginjal, sebagai organ ekskresi, juga mengalami tekanan besar. Paparan Abate dapat menyebabkan nekrosis tubulus ginjal, mengurangi kemampuan ginjal untuk menyaring limbah metabolik dan mempertahankan keseimbangan elektrolit. Kerusakan gabungan pada hati dan ginjal menunjukkan bahwa keracunan temefos adalah ancaman multidimensi bagi kesehatan ikan, bukan sekadar efek neurotoksik tunggal.
Perubahan perilaku adalah salah satu indikator paling cepat dari keracunan Abate. Selain gerakan tak terkoordinasi, ikan yang terpapar mungkin menunjukkan peningkatan aktivitas lokomotor diikuti oleh periode kelelahan ekstrem. Perubahan ini mempengaruhi kemampuan mereka untuk mencari makan, menghindari predator, dan berinteraksi sosial, yang berujung pada penurunan kelangsungan hidup populasi.
Selain itu, temefos memiliki potensi biokonsentrasi, meskipun tidak sekuat beberapa insektisida organoklorin lama. Artinya, temefos dapat terakumulasi dalam jaringan tubuh ikan, terutama di jaringan lemak. Meskipun laju ekskresi temefos relatif cepat, paparan terus-menerus di lingkungan yang terkontaminasi dapat mempertahankan kadar racun yang tinggi dalam tubuh ikan. Ikan yang terkontaminasi ini kemudian menjadi bagian dari rantai makanan, berpotensi membawa risiko residu racun bagi predator yang lebih besar, termasuk manusia yang mengonsumsi ikan tersebut.
Sifat penggunaan Abate yang tersebar di area pemukiman menjadikannya polutan non-titik (non-point source pollution) yang sulit dikendalikan. Meskipun panduan penggunaan sering kali menekankan bahwa Abate hanya boleh digunakan di tempat penampungan air yang tidak berhubungan dengan badan air alami, realitas di lapangan menunjukkan risiko kontaminasi yang tinggi.
Ketika Abate digunakan di bak penampungan air atau drainase kecil, air tersebut pada akhirnya dapat dibuang atau meluap. Hujan deras atau kegiatan pembersihan dapat mencuci residu temefos dari area domestik dan membawanya melalui sistem drainase ke sungai, saluran irigasi, dan danau. Karena Abate berbahaya untuk ikan pada konsentrasi yang sangat rendah, bahkan dilusi yang terjadi selama perjalanan runoff mungkin tidak cukup untuk menghilangkan ancaman toksisitas sepenuhnya.
Perairan irigasi, yang seringkali menjadi habitat penting bagi berbagai jenis ikan air tawar dan juga berfungsi sebagai sumber perikanan lokal, sangat rentan. Petani atau warga yang menggunakan air yang telah tercemar oleh Abate secara tidak langsung memperkenalkan racun ini ke ekosistem yang seharusnya produktif.
Dampak Abate tidak hanya terbatas pada ikan. Temephos adalah insektisida spektrum luas, yang berarti ia sangat beracun bagi banyak invertebrata air, termasuk plankton dan makroinvertebrata benthik (dasar perairan). Organisme ini—seperti Daphnia (kutu air), Copepoda, dan larva serangga air lainnya—merupakan sumber makanan utama bagi sebagian besar ikan muda dan filter-feeder (pemakan penyaring).
Ilustrasi menunjukkan bagaimana zat toksik (Abate) mempengaruhi organisme dasar (plankton) yang menjadi makanan ikan, menyebabkan disrupsi seluruh rantai makanan akuatik.
Ketika basis rantai makanan ini musnah, ikan akan kehilangan sumber nutrisi utama mereka, menyebabkan kelaparan, penurunan kondisi tubuh, dan akhirnya kematian, bahkan tanpa keracunan temefos secara langsung. Ini menciptakan efek kaskade trofik, di mana dampak pada satu tingkat trofik (produsen sekunder) menyebabkan kehancuran pada tingkat trofik di atasnya (konsumen primer).
Meskipun temefos relatif mudah terdegradasi oleh sinar matahari (fotolisis) dan hidrolisis, sebagian besar partikel aktif yang terlarut dalam air cenderung mengikat partikel organik dan mengendap di sedimen dasar perairan. Sedimen ini menjadi 'reservoir' racun. Organisme benthik yang hidup di atau memakan sedimen, seperti cacing dan moluska, akan terus terpapar racun.
Ikan yang mencari makan di dasar perairan (bottom feeder), seperti lele atau beberapa jenis ikan mas, secara terus-menerus menelan partikel sedimen yang terkontaminasi Abate. Pelepasan temefos dari sedimen ke kolom air dapat terjadi berulang kali, memperpanjang durasi kontaminasi lingkungan jauh setelah aplikasi awal, menegaskan mengapa pengawasan ketat terhadap penggunaan Abate sangat penting.
Kekhawatiran mengenai dampak temefos pada kehidupan akuatik bukanlah isu baru. Berbagai penelitian ilmiah di seluruh dunia telah mengkonfirmasi sifat toksik Temephos, khususnya terhadap spesies ikan yang penting secara ekonomi dan ekologis.
Ikan Nila (Oreochromis niloticus) dan Ikan Mas (Cyprinus carpio) adalah dua spesies air tawar yang paling banyak dibudidayakan dan dikonsumsi di Indonesia. Kedua spesies ini telah banyak digunakan dalam uji toksisitas temefos. Penelitian menunjukkan bahwa nilai LC50 96 jam untuk larva dan juvenil Ikan Nila berada pada kisaran 0.1 hingga 1.0 mg/L, yang menunjukkan tingkat toksisitas yang sangat tinggi. Beberapa penelitian bahkan mencatat nilai LC50 di bawah 0.5 mg/L, yang berarti bahwa tumpahan atau pembuangan Abate dalam jumlah kecil saja ke kolam budidaya dapat memusnahkan seluruh populasi dalam waktu kurang dari empat hari.
Pada Ikan Mas, paparan subletal Abate telah terbukti menyebabkan penurunan signifikan dalam aktivitas enzim AChE dalam otak dan otot. Penurunan aktivitas AChE ini berkorelasi langsung dengan gangguan koordinasi motorik, yang membuat ikan sulit mencari makan dan melarikan diri dari jaring. Ini menunjukkan bahwa efek neurotoksik tidak hanya menyebabkan kematian akut, tetapi juga mengurangi kebugaran dan kelangsungan hidup populasi jangka panjang.
Fase kehidupan ikan yang paling rentan terhadap paparan toksikan adalah tahap embrio dan larva. Pada tahap ini, organ vital belum sepenuhnya matang, dan sistem detoksifikasi (seperti enzim sitokrom P450) masih berkembang. Paparan temefos pada embrio seringkali menyebabkan malformasi struktural yang parah, seperti kelainan tulang belakang (skoliosis), kantung kuning telur yang gagal terserap, dan defek pada perkembangan mata dan sirip. Dalam banyak kasus, larva yang menetas dari telur yang terpapar Abate menunjukkan tingkat mortalitas yang sangat tinggi sebelum mencapai tahap juvenil.
Studi mengenai Zebrafish (Danio rerio), yang sering digunakan sebagai model akuatik, menunjukkan bahwa temefos mengganggu jalur sinyal hormonal yang penting untuk perkembangan normal, termasuk disregulasi gen yang terkait dengan stres oksidatif. Stres oksidatif yang diinduksi oleh racun ini menyebabkan kerusakan DNA dan lipid peroksidasi, yang merupakan kerusakan ireversibel pada tingkat molekuler, jauh sebelum gejala fisik keracunan terlihat. Ini adalah bukti kuat mengapa Abate berbahaya untuk ikan di semua tahap kehidupannya.
Penggunaan Abate memunculkan dilema kebijakan yang kompleks. Di satu sisi, temefos adalah alat yang efektif dan relatif murah untuk mengendalikan vektor nyamuk dan melindungi jutaan orang dari DBD. Di sisi lain, penggunaannya mengancam sumber daya perikanan dan keanekaragaman hayati perairan.
Di banyak negara, termasuk Indonesia, penggunaan temefos diatur, dan ada batas maksimum yang diizinkan dalam air minum (biasanya sangat rendah, misalnya 10 µg/L). Namun, batas aman ini tidak selalu berlaku untuk perlindungan ekosistem akuatik. Batas toksisitas kronis bagi invertebrata dan ikan jauh lebih rendah daripada yang dianggap aman untuk manusia.
Masalah utama adalah kurangnya pemantauan yang sistematis terhadap residu temefos di sungai, danau, dan tambak. Karena Abate sering diaplikasikan oleh masyarakat atau petugas kesehatan lingkungan secara ad hoc, sulit untuk melacak dan mengukur total beban temefos yang memasuki lingkungan perairan alami. Kurangnya data residu yang komprehensif menghambat upaya konservasi dan manajemen perikanan.
Indonesia memiliki sektor akuakultur yang vital, dengan ribuan tambak dan kolam budidaya. Budidaya ikan sangat rentan terhadap pencemaran Abate. Jika sumber air irigasi yang digunakan untuk mengisi kolam budidaya terkontaminasi, kerugian ekonomi bisa sangat besar. Para pembudidaya ikan seringkali harus menghadapi kerugian total jika terjadi tumpahan atau runoff Abate di sekitar area mereka, karena ikan budidaya, yang dipelihara dalam kepadatan tinggi, akan mengalami keracunan massal.
Pencegahan menjadi kunci. Edukasi kepada masyarakat yang tinggal di sekitar area budidaya mengenai bahaya pembuangan atau pencucian wadah yang mengandung residu Abate menjadi sangat penting. Penggunaan Abate berbahaya untuk ikan bukan hanya masalah lingkungan, tetapi juga ancaman serius terhadap ketahanan pangan dan mata pencaharian masyarakat pesisir dan pedalaman.
Mengatasi ancaman DBD sambil melindungi ekosistem akuatik memerlukan pergeseran paradigma dari ketergantungan kimiawi menuju strategi Pengendalian Vektor Terpadu (Integrated Vector Management/IVM) yang lebih holistik dan berkelanjutan. Fokus harus dialihkan dari insektisida spektrum luas seperti Abate ke metode yang lebih spesifik dan ramah lingkungan.
Alternatif paling menjanjikan untuk temefos adalah penggunaan larvisida biologis, seperti Bacillus thuringiensis israelensis (Bti). Bti adalah bakteri alami yang menghasilkan protein toksin (delta-endotoksin) yang hanya aktif dalam lingkungan usus dengan pH alkali, seperti yang dimiliki oleh larva nyamuk. Mekanisme kerja ini sangat spesifik: toksin Bti tidak aktif dalam sistem pencernaan vertebrata air (ikan) atau mamalia, karena pH usus mereka bersifat asam. Karena kekhususan targetnya, Bti hampir tidak menimbulkan ancaman toksisitas langsung terhadap ikan, zooplankton, atau organisme akuatik non-target lainnya. Penggunaan Bti memungkinkan pengendalian nyamuk yang efektif tanpa risiko keracunan yang ditimbulkan oleh temefos, menjadikan ini pilihan utama ketika menghindari dampak negatif terhadap perikanan.
Penerapan pengendalian hayati melalui ikan pemakan jentik (larvivorous fish) merupakan metode yang efektif dan sepenuhnya ramah lingkungan. Spesies seperti Ikan Kepala Timah (Aplocheilus panchax), Ikan Guppy (Poecilia reticulata), atau bahkan Ikan Nila kecil telah terbukti efisien dalam mengonsumsi larva nyamuk di genangan air permanen atau tempat penampungan air yang tidak terlalu besar. Ikan-ikan ini berintegrasi secara alami ke dalam ekosistem dan menjaga populasi nyamuk tetap terkendali tanpa memperkenalkan bahan kimia berbahaya.
Keuntungan utama dari metode ini adalah terciptanya keseimbangan ekologi yang alami. Tidak ada residu, tidak ada ancaman biokonsentrasi, dan metode ini berkelanjutan selama populasi ikan pemangsa jentik dipertahankan. Inisiatif pemerintah dan komunitas dapat mendorong program pemeliharaan ikan larvivora di tempat-tempat yang cocok, mengurangi kebutuhan akan aplikasi Abate secara drastis.
Pendekatan yang paling mendasar dan paling efektif dalam jangka panjang adalah sumber reduksi melalui program 3M Plus: Menguras, Menutup, dan Mendaur Ulang/Memanfaatkan kembali, ditambah dengan upaya pencegahan lainnya. Fokus utama 3M Plus adalah menghilangkan tempat perkembangbiakan nyamuk sebelum larva sempat muncul, sehingga tidak ada kebutuhan untuk menggunakan larvisida kimia seperti Abate.
Pendekatan ini sepenuhnya menghilangkan risiko pencemaran Abate ke lingkungan perairan. Investasi pada edukasi dan kesadaran masyarakat tentang pentingnya kebersihan lingkungan air akan memberikan dividen ganda: mengurangi penyakit menular dan melindungi kehidupan akuatik secara keseluruhan, sebuah solusi yang memitigasi bahwa Abate berbahaya untuk ikan.
Untuk memahami sepenuhnya mengapa Abate (temefos) diklasifikasikan sebagai ancaman serius, perlu diperluas pemahaman mengenai dampak sublethal yang sering terabaikan dan efek jangka panjangnya terhadap struktur komunitas akuatik.
Penelitian modern menunjukkan bahwa temefos tidak hanya neurotoksik, tetapi juga berpotensi menjadi Pengganggu Endokrin (Endocrine Disrupting Chemical/EDC). EDC adalah zat kimia yang dapat meniru atau menghambat aksi hormon alami, mengganggu sistem reproduksi, perkembangan, dan imunologi ikan. Pada ikan, sistem endokrin sangat penting dalam menentukan jenis kelamin, kematangan seksual, dan pelepasan gamet.
Paparan subletal Abate dapat mengganggu sintesis atau pelepasan hormon steroid seks (seperti estrogen dan androgen). Hal ini dapat menyebabkan feminisasi pada ikan jantan atau maskulinisasi pada ikan betina, kondisi yang dikenal sebagai intersex. Jika proporsi jenis kelamin dalam suatu populasi terdistorsi, kemampuan populasi tersebut untuk bereproduksi secara efektif akan menurun drastis, berujung pada penurunan populasi yang signifikan dalam beberapa generasi, bahkan jika ikan dewasa tampak sehat pada awalnya.
Stres yang diakibatkan oleh paparan racun, seperti Abate, menekan sistem kekebalan tubuh ikan. Ketika energi dialokasikan untuk mengatasi stres kimiawi dan detoksifikasi, kemampuan ikan untuk melawan patogen menurun. Ikan yang terpapar temefos lebih rentan terhadap infeksi bakteri, virus, dan parasit. Fenomena ini sangat relevan dalam konteks budidaya, di mana kepadatan tinggi sudah meningkatkan risiko penyebaran penyakit.
Sistem imun yang tertekan ini berarti bahwa kolam atau danau yang terkontaminasi tidak hanya berisiko mengalami keracunan langsung, tetapi juga berisiko tinggi mengalami wabah penyakit ikan. Dalam konteks ekologi, hal ini memperburuk dampak lingkungan, mengubah struktur komunitas mikroba dan parasit dalam air, menciptakan lingkungan yang tidak sehat bagi seluruh biota.
Dampak Abate bersifat diferensial; artinya, beberapa spesies lebih sensitif daripada yang lain. Ikan yang memiliki pertukaran gas yang lebih aktif atau yang sensitif terhadap perubahan lingkungan (misalnya, ikan tertentu yang membutuhkan air sangat bersih) akan mati terlebih dahulu. Sebaliknya, spesies yang lebih toleran (misalnya, beberapa jenis ikan dasar yang kuat) mungkin bertahan hidup.
Paparan temefos yang berulang menyebabkan hilangnya spesies yang sensitif, yang pada akhirnya mengurangi keanekaragaman hayati (biodiversitas) ekosistem air. Ekosistem dengan keanekaragaman rendah kurang tangguh terhadap perubahan lingkungan di masa depan. Misalnya, jika ikan pemangsa spesifik yang sensitif terhadap Abate musnah, populasi ikan kecil yang menjadi mangsa mereka mungkin meledak tak terkendali, atau sebaliknya, spesies invasif yang lebih toleran mengambil alih, mengubah komposisi dan fungsi ekosistem secara permanen. Penggunaan Abate berbahaya untuk ikan karena ia mengikis fondasi ekologis komunitas perairan.
Sebelum aplikasi Abate atau insektisida kimia lainnya dilakukan dalam skala besar, diperlukan Analisis Risiko Lingkungan (ARE) yang ketat. ARE harus mempertimbangkan tidak hanya efikasi pengendalian vektor, tetapi juga potensi perpindahan dan efek kumulatifnya pada ekosistem non-target, terutama perairan yang berdekatan.
ARE harus mencakup pemodelan matematika untuk memprediksi Konsentrasi Lingkungan Prediksi (Predicted Environmental Concentration/PEC) temefos di badan air terdekat setelah aplikasi di area perumahan. Hasil PEC ini kemudian harus dibandingkan dengan Konsentrasi yang Tidak Menimbulkan Efek (No Observed Effect Concentration/NOEC) untuk spesies akuatik paling sensitif.
Jika PEC melebihi NOEC untuk organisme sensitif, maka risiko lingkungan dianggap tinggi, dan tindakan mitigasi, atau penggantian metode pengendalian vektor, harus segera diterapkan. Sayangnya, pemodelan rinci ini sering diabaikan dalam program pengendalian vektor di tingkat lokal, yang menyebabkan penggunaan Abate secara reaktif tanpa mempertimbangkan dampak hilir.
Jika penggunaan Abate dianggap mutlak diperlukan (misalnya, dalam situasi wabah akut yang mengancam nyawa), langkah-langkah mitigasi harus diterapkan secara ketat:
Keterbatasan biodegradabilitas dan toksisitas akut temefos menuntut pendekatan yang sangat hati-hati. Pemahaman bahwa Abate berbahaya untuk ikan harus diintegrasikan dalam setiap keputusan manajemen kesehatan masyarakat dan lingkungan.
Meskipun Bti menawarkan alternatif yang baik, penelitian harus terus mencari larvisida baru yang bahkan lebih spesifik dan lebih cepat terdegradasi. Upaya penelitian saat ini berfokus pada:
Inovasi ini akan membantu memutus ketergantungan pada bahan kimia spektrum luas yang terbukti merusak lingkungan akuatik. Tujuan utamanya adalah mencapai pengendalian vektor yang efisien, sambil menjaga integritas ekosistem perairan dan memastikan keberlanjutan sektor perikanan. Kesadaran ilmiah yang mendalam tentang bagaimana Abate berbahaya untuk ikan adalah langkah pertama menuju kebijakan perlindungan lingkungan yang lebih efektif dan bertanggung jawab.
Abate, atau temefos, adalah insektisida organofosfat yang sangat efektif dalam membasmi jentik nyamuk dan memainkan peran penting dalam pengendalian penyakit DBD. Namun, toksisitasnya terhadap organisme non-target, khususnya ikan dan invertebrata air, menimbulkan risiko ekologis yang tidak dapat diabaikan. Mekanisme kerja neurotoksik, ditambah dengan potensi biokonsentrasi dan efek sublethal yang merusak sistem endokrin serta imunologi ikan, mengancam kelangsungan hidup populasi ikan air tawar di Indonesia dan di seluruh dunia.
Paparan Abate, bahkan pada konsentrasi yang sangat rendah, dapat menyebabkan kematian massal, gangguan reproduksi, kerusakan organ vital (hati dan insang), dan disrupsi seluruh rantai makanan akuatik. Risiko ini diperburuk oleh jalur paparan yang tak terhindarkan melalui runoff dari area domestik ke badan air alami.
Untuk mencapai keseimbangan antara perlindungan kesehatan masyarakat dan pelestarian lingkungan, perlu adanya adopsi strategi Pengendalian Vektor Terpadu yang memprioritaskan metode biologis (Bti dan ikan larvivora) dan sumber reduksi (3M Plus). Pengurangan ketergantungan pada Abate dan peningkatan kesadaran tentang dampak lingkungan adalah langkah krusial untuk memastikan bahwa upaya kita melindungi manusia tidak berakhir dengan merusak ekosistem akuatik yang merupakan sumber daya alam yang tak ternilai harganya. Keputusan bijak dalam pengelolaan vektor adalah kunci untuk masa depan yang sehat bagi manusia maupun biota perairan.