Strategi Larvasida sebagai Kunci Utama Pencegahan Demam Berdarah Dengue
Ilustrasi visualisasi kontrol nyamuk Aedes aegypti, vektor utama DBD.
Demam Berdarah Dengue atau yang dikenal sebagai DBD, adalah salah satu masalah kesehatan masyarakat yang paling kronis dan persisten di wilayah tropis dan subtropis, termasuk Indonesia. Penyakit ini disebabkan oleh virus Dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk betina dari spesies Aedes aegypti dan, pada tingkat lebih rendah, Aedes albopictus. Siklus penularan yang cepat, ditambah dengan mobilitas penduduk yang tinggi dan kondisi lingkungan yang mendukung perkembangbiakan nyamuk, menjadikan DBD ancaman musiman yang membutuhkan intervensi berkelanjutan dan terstruktur. Dalam konteks pencegahan, fokus utama strategi pengendalian adalah pada pemutusan rantai kehidupan nyamuk, khususnya pada tahap larva. Di sinilah peran vital Abate muncul sebagai garda terdepan.
Intervensi pencegahan DBD tidak hanya berorientasi pada pengobatan penderita, namun harus secara holistik mencakup pengendalian vektor (nyamuk) di lingkungannya. Salah satu metode yang terbukti sangat efektif, ekonomis, dan diterapkan secara luas dalam program kesehatan masyarakat adalah penggunaan larvasida. Larvasida adalah zat kimia yang dirancang khusus untuk membunuh larva nyamuk sebelum mereka mencapai fase dewasa yang mampu terbang dan menularkan penyakit. Di antara berbagai larvasida yang tersedia, Abate (nama dagang untuk Temephos) telah menjadi sinonim dengan upaya pencegahan DBD di Indonesia selama beberapa dekade. Kemampuannya untuk bertahan dalam penampungan air dan toksisitasnya yang rendah terhadap mamalia membuatnya menjadi pilihan strategis yang tak tergantikan dalam kampanye 3M Plus.
Artikel ini akan mengupas tuntas mengapa Abate begitu krusial, bagaimana mekanisme kerjanya secara ilmiah, bagaimana penerapannya dalam skala rumah tangga dan komunitas, serta bagaimana strategi larvasida ini berintegrasi dengan pendekatan pencegahan DBD yang lebih luas dan berkelanjutan. Pemahaman mendalam tentang Abate adalah langkah penting bagi setiap individu dan otoritas kesehatan untuk memastikan lingkungan bebas dari risiko penularan DBD, memastikan kesehatan komunitas terlindungi secara maksimal dari ancaman fatal ini.
Abate adalah nama dagang yang paling umum dikenal untuk senyawa kimia Temephos (O,O,O',O'-tetramethyl O,O'-thiodi-p-phenylene bis(phosphorothioate)). Secara kimia, Temephos termasuk dalam kelompok organofosfat, namun dirancang untuk memiliki toksisitas yang sangat tinggi terhadap serangga (khususnya larva nyamuk) dan toksisitas yang rendah terhadap mamalia, burung, dan ikan pada dosis yang direkomendasikan untuk aplikasi air minum atau penampungan air domestik. Inilah yang membedakannya dari organofosfat lain yang mungkin jauh lebih berbahaya bagi lingkungan dan manusia.
Tujuan utama penggunaan Abate adalah untuk membersihkan tempat-tempat penampungan air yang menjadi habitat favorit bagi nyamuk Aedes aegypti untuk bertelur dan berkembang biak. Larva nyamuk Aedes dikenal sebagai nyamuk "rumah" karena mereka senang berkembang biak di wadah buatan manusia yang bersih, seperti bak mandi, drum air, vas bunga, tempat minum burung, atau tampungan air AC. Karena sulit untuk mengeringkan semua wadah penampungan air (terutama di daerah yang mengalami kekurangan air), maka intervensi kimiawi melalui larvasida menjadi solusi paling praktis dan efektif.
Sebagai senyawa organofosfat, mekanisme kerja Temephos (Abate) adalah sebagai penghambat enzim asetilkolinesterase. Enzim ini sangat vital dalam sistem saraf serangga, karena bertanggung jawab untuk memecah neurotransmitter asetilkolin. Ketika larva nyamuk menelan partikel Abate yang terlarut di air, Temephos akan secara ireversibel berikatan dengan asetilkolinesterase.
Akibat dari penghambatan ini, asetilkolin akan menumpuk di sinapsis saraf larva. Penumpukan asetilkolin menyebabkan stimulasi saraf yang berlebihan dan terus-menerus (overstimulasi), yang pada gilirannya mengganggu fungsi motorik, pernapasan, dan koordinasi larva. Larva akan menunjukkan gejala kejang, diikuti oleh kelumpuhan, dan akhirnya, kematian. Keunikan Abate adalah daya racunnya yang spesifik terhadap larva, yang memiliki paparan langsung dan terus-menerus terhadap zat tersebut dalam air tempat mereka hidup, menjadikan kontrol DBD sangat fokus pada fase air ini.
Visualisasi penggunaan Abate untuk membersihkan penampungan air dari larva nyamuk.
Keberhasilan larvasida Abate sangat bergantung pada dosis yang benar. Dosis yang terlalu rendah mungkin tidak efektif membunuh larva, sementara dosis yang terlalu tinggi, meskipun umumnya aman bagi manusia, bisa menjadi pemborosan dan meningkatkan kekhawatiran publik. Standar aplikasi Abate 1% SG yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan biasanya adalah 1 gram per 10 liter air.
Untuk wadah rumah tangga yang umum:
Penting untuk dicatat bahwa Abate tidak boleh ditaburkan di sungai, danau, atau badan air besar, karena efektivitasnya akan hilang dan aplikasinya tidak efisien. Target utama adalah Tempat Penampungan Air (TPA) yang dibuat oleh manusia di sekitar permukiman, karena inilah habitat spesifik Aedes aegypti.
Penggunaan Abate bukanlah solusi tunggal, melainkan merupakan komponen integral dari strategi pencegahan 3M Plus (Menguras, Menutup, Mendaur Ulang, dan Plus). Strategi Plus inilah yang mencakup penggunaan larvasida, pengasapan (fogging), serta penanaman tanaman pengusir nyamuk.
Dalam situasi wabah DBD, penggunaan Abate seringkali diintensifkan melalui program distribusi massal yang dilakukan oleh Puskesmas atau kader kesehatan setempat (Jumantik), memastikan cakupan larvasidasi yang tinggi di seluruh area risiko. Cakupan larvasidasi yang optimal sangat penting untuk menekan kepadatan populasi larva nyamuk Aedes secara keseluruhan.
Program Jumantik, yang melibatkan partisipasi masyarakat aktif dalam pemantauan larva, adalah tulang punggung keberhasilan program Abate. Jumantik bertugas mendata dan memeriksa TPA di setiap rumah. Jika ditemukan jentik (larva), mereka akan memberikan bubuk Abate dan edukasi kepada pemilik rumah. Tingkat bebas jentik (ABJ) menjadi indikator keberhasilan pencegahan DBD. Area dengan ABJ di bawah 95% dianggap berisiko tinggi penularan DBD.
Untuk memahami mengapa Abate (DBD kontrol) sangat efektif, kita harus melihat siklus hidup Aedes aegypti. Siklus ini terdiri dari empat tahap: telur, larva (jentik), pupa (kepompong), dan dewasa (nyamuk). Seluruh fase non-dewasa terjadi di air, yang memakan waktu sekitar 7 hingga 10 hari tergantung suhu lingkungan.
Nyamuk Aedes aegypti betina meletakkan telur di atas permukaan air atau di dinding wadah air tepat di garis air. Telur dapat bertahan kering selama berbulan-bulan (disebut diapause), menunggu kondisi basah yang optimal. Setelah telur terendam air, larva menetas. Tahap larva berlangsung selama 4 instar (tahap pertumbuhan), di mana mereka memakan materi organik kecil di air.
Tahap larva adalah titik paling rentan dalam siklus hidup nyamuk terhadap larvasida seperti Abate. Karena larva hidup di air dan memakan partikel air, mereka terpapar secara terus-menerus dan mengonsumsi butiran Temephos yang mengendap. Sebaliknya, telur dan pupa kurang rentan. Pupa tidak makan sama sekali, dan telur terlindungi oleh cangkang. Oleh karena itu, larvasida harus diaplikasikan secara teratur (setiap 2-3 bulan) untuk mengatasi larva baru yang menetas dari telur yang bertahan.
Seringkali terjadi kesalahpahaman bahwa pengasapan (fogging) adalah solusi utama untuk DBD. Padahal, fogging (menggunakan insektisida dewasa seperti Malathion atau Deltamethrin) hanya efektif membunuh nyamuk dewasa yang terbang pada saat pengasapan dan yang terpapar langsung oleh asap.
Fogging memiliki beberapa keterbatasan:
Sebaliknya, Abate, sebagai larvasida, bekerja pada akar masalah — mencegah nyamuk dewasa pembawa virus Dengue lahir. Ini adalah strategi pencegahan yang lebih berkelanjutan, efektif dari segi biaya, dan memiliki dampak lingkungan yang lebih terfokus. Oleh karena itu, program pencegahan DBD yang cerdas selalu memprioritaskan larvasidasi (Abate) dan sanitasi lingkungan daripada hanya mengandalkan fogging reaktif.
Meskipun Abate telah menjadi larvasida utama selama bertahun-tahun, kekhawatiran mengenai resistensi nyamuk Aedes aegypti terhadap Temephos mulai muncul di beberapa wilayah. Penggunaan insektisida secara terus-menerus dan tunggal memberikan tekanan seleksi yang memungkinkan nyamuk yang memiliki mekanisme detoksifikasi alami (genetik) untuk bertahan hidup dan mewariskan sifat resisten tersebut.
Untuk mengatasi masalah resistensi ini, WHO merekomendasikan manajemen resistensi terpadu, yang mencakup:
Salah satu alasan mengapa Abate sangat populer dalam program kesehatan masyarakat terkait DBD adalah profil keamanannya yang relatif baik. Temephos menunjukkan toksisitas yang rendah pada mamalia, terutama jika dibandingkan dengan organofosfat lain atau pestisida rumah tangga yang lebih umum. Dosis yang digunakan untuk larvasidasi (DBD control) berada jauh di bawah ambang batas yang dapat menyebabkan efek toksik pada manusia atau hewan peliharaan.
Namun, penting untuk diperhatikan bahwa keamanan ini tergantung pada kepatuhan terhadap dosis yang disarankan. Penyalahgunaan, seperti menggunakan konsentrasi yang jauh lebih tinggi dari yang diinstruksikan, harus dihindari. Dalam air minum, Temephos terdegradasi secara lambat. Organisasi Internasional telah menetapkan batasan paparan, memastikan bahwa konsentrasi residu Abate di air minum tidak akan menimbulkan risiko kesehatan kronis atau akut.
Meskipun Temephos relatif aman bagi ikan dan burung pada dosis larvasida yang rendah, ada kekhawatiran tentang dampaknya pada ekosistem akuatik non-target jika digunakan secara tidak tepat. Namun, karena Aedes aegypti berkembang biak di wadah air domestik yang terisolasi (bukan di habitat alamiah seperti sungai atau sawah), risiko dampak ekologis yang luas dapat diminimalkan. Kontrol DBD melalui Abate adalah contoh pengendalian vektor yang sangat bertarget.
Penyimpanan Abate harus dilakukan dengan hati-hati, jauh dari jangkauan anak-anak dan hewan peliharaan, serta tidak dicampur dengan zat kimia lain. Peningkatan kesadaran publik mengenai cara penanganan dan dosis yang benar menjadi tanggung jawab utama program kesehatan.
Meskipun Abate adalah alat pencegahan DBD yang unggul, implementasi program larvasida di lapangan menghadapi berbagai tantangan, mulai dari logistik hingga perilaku masyarakat. Mengatasi tantangan ini adalah kunci untuk mencapai penurunan kasus DBD yang signifikan.
Salah satu hambatan terbesar adalah rendahnya kepatuhan masyarakat terhadap penggunaan Abate. Beberapa mitos dan kekhawatiran yang sering muncul meliputi:
Untuk mengatasi hal ini, program kesehatan harus mengintensifkan edukasi, memberikan demonstrasi langsung, dan memastikan bahwa kader Jumantik memiliki informasi yang akurat dan kredibel mengenai keamanan Temephos. Edukasi harus selalu menekankan bahwa Abate adalah pelengkap, bukan pengganti, dari kegiatan Menguras.
Penyediaan Abate yang merata, terutama di daerah terpencil atau padat penduduk dengan mobilitas tinggi, merupakan tantangan logistik. Kekurangan pasokan saat musim hujan (puncak penularan DBD) dapat membatalkan upaya pencegahan yang telah dibangun. Pemerintah daerah harus memastikan buffer stock yang cukup dan sistem distribusi yang efisien, seringkali bekerja sama dengan Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW) untuk menyalurkan bubuk Abate secara rutin dan gratis kepada warga.
Efektivitas program larvasida Abate harus terus dipantau. Indikator kunci meliputi:
Integrasi data monitoring DBD dan data aplikasi Abate memungkinkan respons cepat jika terjadi peningkatan populasi nyamuk. Data spasial (pemetaan geografis) sangat membantu dalam mengidentifikasi 'hotspots' yang membutuhkan perhatian ekstra larvasida.
Untuk menghindari masalah resistensi Temephos di masa depan, penelitian dan implementasi alternatif harus didorong. Salah satu alternatif yang semakin sering digunakan adalah larvasida biologis berbasis bakteri, khususnya Bacillus thuringiensis israelensis (BTI).
BTI adalah racun perut yang hanya aktif setelah dicerna oleh larva serangga tertentu, termasuk nyamuk. BTI memiliki keunggulan karena sangat spesifik dan dianggap jauh lebih aman bagi lingkungan non-target dan manusia, serta tidak menimbulkan resistensi silang dengan Abate. Dalam program pencegahan DBD modern, penggunaan Abate seringkali dirotasi atau dikombinasikan dengan BTI untuk manajemen resistensi yang efektif, memastikan kontrol larva tetap optimal. Kombinasi ini menjamin strategi yang tangguh terhadap perubahan biologis populasi nyamuk Aedes aegypti.
Dari perspektif ekonomi kesehatan publik, program larvasida menggunakan Abate umumnya dianggap sangat efektif biaya. Biaya pembelian dan distribusi larvasida per rumah tangga jauh lebih rendah dibandingkan biaya penanganan satu kasus DBD berat di rumah sakit (termasuk biaya pengobatan, hilangnya produktivitas, dan potensi kematian). Oleh karena itu, investasi yang konsisten dalam program Abate adalah investasi preventif yang menghasilkan penghematan besar dalam sistem kesehatan secara keseluruhan. Strategi preventif berbasis larvasida ini memastikan bahwa sumber daya kesehatan dialokasikan secara efisien untuk pencegahan DBD, jauh sebelum penularan masif terjadi.
Pengendalian DBD adalah ilmu yang terus berkembang, melibatkan berbagai disiplin ilmu mulai dari entomologi, epidemiologi, hingga ilmu sosial. Meskipun Abate merupakan pilar kimiawi, keberhasilannya sangat terkait dengan intervensi lain.
Fokus pada larvasida seperti Abate tidak boleh mengaburkan pentingnya pengendalian habitat fisik. Nyamuk Aedes dikenal sebagai nyamuk 'wadah', yang berarti mereka sangat bergantung pada wadah penampungan air buatan manusia. Jika wadah-wadah ini dapat dihilangkan atau dimodifikasi, kebutuhan akan Abate akan berkurang. Program 3M (Menguras, Menutup, Mendaur Ulang) adalah wujud dari pengendalian habitat ini. Kunci utama pengendalian DBD adalah mengurangi Tempat Perindukan Nyamuk (TPN). Ketiadaan TPN berarti nyamuk tidak memiliki tempat bertelur, sehingga secara otomatis memutus siklus hidup dan mengurangi kebutuhan akan intervensi kimiawi seperti Abate. Di kawasan perkotaan yang padat, tantangan ini semakin besar karena banyaknya TPN tersembunyi seperti genangan air di talang bocor, alas pot tanaman yang terlupakan, atau bekas ban yang menampung air hujan.
Pemeriksaan TPN harus dilakukan minimal seminggu sekali, mengingat siklus hidup Aedes yang berlangsung sekitar 7-10 hari. Jika TPN dibersihkan setiap minggu, bahkan telur nyamuk yang sudah ada di dinding wadah tidak akan sempat menetas dan berkembang menjadi dewasa yang menularkan DBD. Abate hadir sebagai asuransi ketika pembersihan fisik tidak memungkinkan, misalnya pada tandon air permanen yang sulit dikuras.
Temephos memiliki sifat stabilitas yang baik dalam air. Efek residu adalah salah satu alasan utama mengapa Abate 1% SG sangat efektif. Setelah butiran Temephos ditaburkan, zat aktif dilepaskan secara perlahan, menciptakan konsentrasi larvasida yang mematikan bagi larva nyamuk selama beberapa minggu. Dalam kondisi ideal (air tidak terlalu keruh dan tidak sering diganti total), satu kali aplikasi Abate dapat melindungi TPA selama 60 hingga 90 hari. Namun, durasi ini dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan:
Oleh karena itu, dalam program pengendalian DBD di daerah endemis, disarankan agar masyarakat mengaplikasikan ulang Abate setiap dua bulan (delapan minggu) atau segera setelah wadah air dikuras total dan diisi ulang, untuk memastikan tingkat perlindungan larvasida yang berkelanjutan dan memutus penularan DBD secara tuntas.
Selain larvasida kimiawi seperti Abate dan larvasida biologis seperti BTI, ada pula metode pengendalian biologis yang melibatkan predator alami larva nyamuk. Contoh paling umum adalah penggunaan ikan pemakan jentik, seperti ikan kepala timah (ikan cupang) atau ikan gapi. Ikan-ikan ini dapat ditempatkan di wadah air yang besar dan permanen (misalnya kolam hias atau bak penampungan besar) yang tidak digunakan untuk air minum. Penggunaan ikan predator adalah metode yang ramah lingkungan dan sangat berkelanjutan. Namun, metode ini memiliki keterbatasan karena tidak dapat diterapkan di semua jenis TPA (misalnya, vas bunga kecil atau tempat minum hewan peliharaan) dan tidak kompatibel dengan air yang sudah diberi Abate, karena Abate dapat membunuh ikan tersebut jika dosisnya terlalu tinggi.
Penting untuk menyadari bahwa upaya Indonesia dalam menggunakan Abate dan 3M Plus adalah bagian dari strategi pengendalian vektor global. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) secara konsisten mendukung pendekatan larvasida di daerah endemis. Selain Temephos, teknologi lain seperti nyamuk ber-Wolbachia juga sedang diuji coba. Wolbachia adalah bakteri alami yang, ketika dimasukkan ke dalam nyamuk Aedes, dapat mencegah penularan virus Dengue ke manusia. Namun, implementasi Wolbachia membutuhkan pelepasan nyamuk secara besar-besaran dan merupakan program yang sangat padat modal, sehingga penggunaan Abate yang cepat dan terjangkau tetap menjadi landasan utama respon cepat terhadap ancaman DBD di banyak negara berkembang.
Di Indonesia, peredaran dan penggunaan Abate (Temephos) diatur ketat oleh Kementerian Kesehatan dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Pengaturan ini mencakup standarisasi formulasi (memastikan konsentrasi 1% SG), pedoman dosis aplikasi, dan protokol distribusi massal. Program pemerintah seringkali membeli Temephos dalam jumlah besar yang sudah teruji kualitasnya untuk menghindari penggunaan produk palsu atau tidak standar yang mungkin tidak efektif atau bahkan berpotensi membahayakan. Standarisasi ini penting untuk memastikan bahwa setiap butir Abate yang didistribusikan kepada masyarakat benar-benar efektif dalam membunuh larva nyamuk Aedes aegypti dan memutus siklus DBD.
Ancaman DBD bersifat permanen di wilayah tropis. Oleh karena itu, program pengendalian vektor, termasuk penggunaan Abate, harus dilaksanakan secara berkelanjutan (sustained). Seringkali, saat kasus DBD menurun, kewaspadaan masyarakat dan otoritas kesehatan juga ikut menurun, yang menyebabkan peningkatan TPN dan kembalinya kasus dalam siklus berikutnya. Keberhasilan jangka panjang bergantung pada pengarusutamaan pencegahan DBD sebagai bagian dari gaya hidup bersih dan sehat masyarakat, di mana pemeriksaan TPN dan aplikasi Abate menjadi kebiasaan rutin, bukan hanya reaksi terhadap wabah.
Penggunaan Abate harus dilihat sebagai jembatan yang menghubungkan antara sanitasi lingkungan yang ideal dan realitas kondisi permukiman yang beragam, di mana eliminasi total semua TPN mungkin tidak praktis. Selama wadah penampungan air masih ada, larvasida Temephos akan terus memainkan peran kunci sebagai benteng pertahanan kimiawi paling andal melawan proliferasi nyamuk Aedes. Ini adalah strategi yang membutuhkan komitmen jangka panjang, melibatkan setiap elemen masyarakat, dari tingkat keluarga hingga pemerintah pusat, untuk memastikan ancaman DBD terkendali secara efektif.
Keberhasilan program penggunaan Abate dalam skala nasional sangat bergantung pada kebijakan yang kuat dan alokasi sumber daya yang memadai. Program pencegahan DBD harus terintegrasi dalam rencana pembangunan kesehatan daerah. Pemerintah daerah memiliki peran krusial dalam memastikan ketersediaan dana untuk pembelian larvasida, pelatihan kader, dan kampanye komunikasi publik yang efektif.
Penggunaan Abate harus selalu didukung oleh data epidemiologi yang akurat. Peningkatan kasus DBD di suatu wilayah harus segera diikuti dengan penyelidikan epidemiologi (PE), yang menentukan lokasi sumber penularan dan sebaran kasus. Jika PE mengidentifikasi kepadatan larva yang tinggi (jentik), maka intervensi Abate massal harus dilakukan segera di area fokus. Ini adalah respons cepat yang memadukan entomologi dan epidemiologi, memastikan bahwa pencegahan DBD dilakukan berdasarkan bukti ilmiah.
Untuk mengatasi masalah ketidakpatuhan, inovasi dalam komunikasi risiko diperlukan. Kampanye yang hanya berfokus pada ancaman DBD mungkin tidak cukup. Perlu adanya komunikasi yang menekankan jaminan keamanan Abate dan kemudahan penggunaannya, disajikan melalui berbagai media, termasuk media sosial dan komunikasi interpersonal melalui Jumantik. Komunikasi harus transparan mengenai efek residu Temephos dan kapan seharusnya Abate diaplikasikan ulang untuk memaksimalkan kontrol DBD.
Penggunaan Temephos (Abate) sebagai larvasida tidak hanya efektif dari sisi entomologi tetapi juga efisien secara logistik. Sebagai produk yang stabil dan mudah disimpan, Abate memungkinkan program kesehatan masyarakat untuk mencapai daerah yang sulit dijangkau, memberikan perlindungan larvasida jangka panjang dengan upaya minimal dibandingkan metode pengendalian vektor lain. Dengan terus menjaga kualitas distribusi dan meningkatkan edukasi, Abate akan tetap menjadi pilar utama dalam memerangi DBD dan mencegah morbiditas serta mortalitas yang disebabkan oleh penyakit ini. Kepatuhan komunitas dalam mengaplikasikan Abate adalah indikator keberhasilan paling nyata dari upaya kolektif ini. Dengan demikian, setiap rumah tangga adalah garis depan dalam perang melawan DBD, dan Abate adalah senjata yang telah terbukti dalam pertempuran ini.
Mengintegrasikan larvasida seperti Abate ke dalam strategi pengendalian DBD adalah sebuah keharusan. Temephos, dengan sifatnya yang residu dan target spesifiknya pada larva, menawarkan solusi yang efektif dan berkelanjutan untuk memutus siklus penularan. Namun, kesuksesan tidak terletak pada kimia itu sendiri, melainkan pada kemauan kolektif masyarakat dan pemerintah untuk menerapkan protokol 3M Plus secara disiplin. Kolaborasi yang erat antara Jumantik, Puskesmas, dan warga sipil adalah kunci untuk menjaga Angka Bebas Jentik tetap tinggi dan melindungi generasi mendatang dari ancaman DBD yang terus mengintai. Ini adalah upaya mitigasi risiko yang fundamental dalam kesehatan publik. Penguatan pemantauan resistensi Temephos di masa depan juga harus menjadi prioritas, memastikan bahwa alat pencegahan vital ini tetap ampuh dan relevan dalam menghadapi dinamika evolusi nyamuk Aedes aegypti.
Perubahan iklim global membawa tantangan baru bagi pengendalian DBD. Peningkatan suhu rata-rata dan pola curah hujan yang tidak menentu (banjir diikuti kekeringan) dapat memperluas jangkauan geografis nyamuk Aedes dan memperpendek siklus hidupnya, meningkatkan potensi penularan. Di sinilah peran Abate semakin krusial. Dalam periode banjir, genangan air baru menjadi TPN, sementara pada masa kekeringan, masyarakat cenderung menimbun air dalam wadah permanen, yang justru menjadi habitat ideal bagi larva. Penggunaan Abate dalam kondisi ekstrem ini menjadi intervensi penyelamat, memberikan perlindungan kimiawi yang cepat dan tahan lama di TPA yang sulit dikontrol secara fisik. Strategi ini memerlukan fleksibilitas dalam distribusi dan komunikasi, menyesuaikan dosis dan frekuensi aplikasi Abate dengan kondisi lingkungan yang berubah drastis akibat faktor iklim, memastikan kontrol DBD tetap adaptif dan efektif.