Zakat, salah satu pilar utama dalam ajaran Islam, seringkali dipandang sebagai kewajiban ibadah semata. Namun, di balik dimensi spiritualnya, zakat menyimpan potensi luar biasa sebagai instrumen pemberdayaan ekonomi dan pembangunan sosial. Untuk menggali lebih dalam makna dan manfaatnya, kami berkesempatan melakukan wawancara mendalam dengan seorang pakar zakat terkemuka.
Pakar tersebut, yang akrab disapa Ustaz Ahmad, menjelaskan bahwa zakat bukan sekadar ritual. "Zakat adalah ibadah maliyah, ibadah harta. Ia adalah bentuk pembersihan diri dari sifat kikir dan serakah, sekaligus bentuk pengakuan bahwa segala rezeki yang kita miliki sejatinya adalah titipan Allah," ujarnya mengawali penjelasannya.
Menurut Ustaz Ahmad, zakat memiliki dua dimensi utama. Pertama, dimensi vertikal yang menghubungkan hamba dengan Tuhannya. Dengan menunaikan zakat, seorang Muslim menunjukkan ketaatan dan rasa syukur atas nikmat yang diberikan. Kedua, dimensi horizontal yang menghubungkan sesama manusia. Zakat menciptakan jembatan solidaritas antara mereka yang berkecukupan dengan mereka yang membutuhkan.
"Zakat adalah ibadah maliyah, ibadah harta. Ia adalah bentuk pembersihan diri dari sifat kikir dan serakah, sekaligus bentuk pengakuan bahwa segala rezeki yang kita miliki sejatinya adalah titipan Allah."
Salah satu aspek yang paling menarik dari zakat adalah potensinya dalam memerangi kemiskinan dan ketidaksetaraan ekonomi. Ustaz Ahmad menekankan bahwa zakat yang dikelola dengan baik dapat menjadi sumber pendanaan yang signifikan untuk program-program pemberdayaan.
"Dana zakat yang terkumpul dari muzakki (pembayar zakat) tidak semata-mata dibagikan kepada mustahik (penerima zakat) dalam bentuk bantuan konsumtif. Lebih dari itu, zakat bisa diinvestasikan dalam berbagai program produktif. Misalnya, memberikan modal usaha kepada pengusaha kecil yang membutuhkan, memberikan beasiswa pendidikan kepada anak-anak dari keluarga miskin, atau bahkan mendanai proyek-proyek infrastruktur sosial yang manfaatnya dirasakan oleh masyarakat luas," jelas Ustaz Ahmad.
Beliau menambahkan bahwa konsep 8 asnaf (golongan penerima zakat) yang disebutkan dalam Al-Qur'an memberikan ruang interpretasi yang luas untuk memaksimalkan pemanfaatan dana zakat. "Golongan 'amilin' (petugas zakat), 'muallaf' (orang yang dilunakkan hatinya), 'riqab' (budak), 'gharimin' (orang yang terlilit utang), 'fisabilillah' (orang yang berjuang di jalan Allah), dan 'ibnu sabil' (musafir) semuanya membuka peluang untuk berbagai macam intervensi yang bersifat pemberdayaan, bukan sekadar bantuan sesaat," katanya.
Meskipun memiliki potensi besar, pengelolaan zakat di lapangan masih menghadapi berbagai tantangan. Salah satunya adalah rendahnya kesadaran masyarakat akan kewajiban zakat, baik dari sisi muzakki maupun mustahik. Banyak individu atau badan usaha yang belum menyadari kewajiban zakat atas harta mereka.
"Kita perlu terus menerus melakukan edukasi dan sosialisasi. Kampanye zakat harus digencarkan, tidak hanya di bulan Ramadhan, tetapi sepanjang tahun. Peran lembaga amil zakat (LAZ) sangat krusial di sini, bagaimana mereka bisa menjadi garda terdepan dalam mengedukasi, mengumpulkan, dan mendistribusikan zakat secara profesional dan transparan," tutur Ustaz Ahmad.
Tantangan lain adalah masalah kepercayaan. Banyak calon muzakki ragu untuk menyalurkan zakatnya melalui lembaga tertentu karena kekhawatiran akan penyalahgunaan dana. "Oleh karena itu, transparansi dan akuntabilitas menjadi kunci. LAZ harus mampu menunjukkan laporan keuangan yang jelas, laporan program yang terukur, dan testimoni yang otentik dari para mustahik yang telah terbantu. Digitalisasi dalam pelaporan zakat juga dapat membantu meningkatkan kepercayaan publik," tambahnya.
Ustaz Ahmad memiliki optimisme tinggi terhadap masa depan zakat. Ia meyakini bahwa dengan pengelolaan yang tepat, zakat dapat menjadi salah satu solusi ampuh untuk mengatasi berbagai masalah sosial dan ekonomi umat.
"Bayangkan jika seluruh potensi zakat di dunia ini bisa dikelola secara optimal. Angka kemiskinan bisa ditekan secara drastis, akses pendidikan dan kesehatan meningkat, dan ekonomi umat akan tumbuh lebih kuat. Zakat bukan hanya tentang membantu orang miskin, tetapi tentang mendistribusikan kekayaan secara adil, menciptakan pemerataan, dan pada akhirnya membangun masyarakat yang sejahtera dan berkeadilan," pungkasnya dengan semangat.
Wawancara ini menegaskan kembali bahwa zakat lebih dari sekadar kewajiban ibadah. Ia adalah sebuah sistem ekonomi sosial yang komprehensif, sebuah amanah yang jika dijalankan dengan sungguh-sungguh, akan membawa keberkahan dan kesejahteraan tidak hanya bagi penerimanya, tetapi juga bagi seluruh masyarakat.