Sejarah awal pemerintahan Islam diwarnai oleh sosok-sosok administrator ulung yang tidak hanya piawai di medan perang, namun juga cakap dalam mengelola wilayah yang luas dan beragam. Di antara figur-figur sentral ini, nama Muawiyah bin Abu Sufyan menonjol secara signifikan, khususnya terkait dengan masa jabatannya yang panjang dan transformatif sebagai gubernur Syam (Suriah Raya).
Jauh sebelum ia memimpin kekhalifahan yang dikenal sebagai Daulah Umayyah, periode ketika Muawiyah bin Abu Sufyan pernah menjabat menjadi gubernur merupakan landasan krusial yang membentuk visi politik, kemampuan administratif, dan basis militer yang kelak akan ia gunakan untuk menghadapi tantangan internal terbesar dalam sejarah komunitas Muslim. Penunjukan ini bukanlah kebetulan; ia adalah hasil dari strategi politik yang matang dari para khalifah awal, yang menyadari pentingnya menempatkan individu yang kuat di perbatasan yang paling rentan terhadap serangan Kekaisaran Romawi Timur (Bizantium).
Pengalaman sebagai gubernur di Damaskus selama kurang lebih dua dekade memberinya waktu yang cukup untuk memahami struktur sosial, ekonomi, dan geopolitik wilayah tersebut, sebuah pemahaman mendalam yang tidak dimiliki oleh para pesaing politiknya di kemudian hari. Kepemimpinannya di Syam tidak hanya sekadar mengisi jabatan administratif; ia adalah pembentuk peradaban baru di wilayah tersebut, yang berhasil mengubah provinsi perbatasan yang baru ditaklukkan menjadi pusat kekuatan militer dan politik yang tak tertandingi.
Kajian mengenai masa jabatan ini memerlukan pemahaman mendalam tentang tiga periode utama: masa kekhalifahan Umar bin Khattab, di mana ia pertama kali ditunjuk dan mulai membangun fondasi; masa kekhalifahan Utsman bin Affan, di mana kekuasaannya diperluas dan diinstitusionalkan; dan periode transisi yang penuh gejolak yang mengarah pada konflik sipil besar, di mana Syam berfungsi sebagai markas besarnya yang tak tergoyahkan.
Muawiyah menghadapi tantangan unik. Syam adalah wilayah yang kaya, namun sarat dengan elemen Bizantium yang kuat dan populasi Kristen yang besar. Mengelola keragaman ini sambil secara simultan mempertahankan perbatasan yang berhadapan langsung dengan kekuatan super kontemporer, Bizantium, membutuhkan kecerdasan strategis, ketenangan, dan kemampuan adaptasi yang luar biasa. Inilah yang diukir oleh Muawiyah selama masa jabatannya sebagai gubernur, menjadikannya salah satu administrator paling berpengaruh dalam sejarah Islam awal.
Penunjukan Muawiyah sebagai gubernur tidak terjadi dalam satu langkah tunggal, melainkan merupakan proses bertahap yang mencerminkan pragmatisme Khalifah Umar bin Khattab dalam manajemen personel. Awalnya, wilayah Syam dibagi-bagi di bawah komando berbagai jenderal, termasuk Yazid bin Abu Sufyan, saudara Muawiyah. Setelah Yazid meninggal dunia akibat wabah, Umar memutuskan untuk menunjuk Muawiyah sebagai penerusnya. Keputusan ini menunjukkan kepercayaan Umar terhadap kemampuan Muawiyah, meskipun ia berasal dari klan Bani Umayyah yang memiliki sejarah ketegangan dengan kelompok Islam awal lainnya.
Alasan penunjukan ini bersifat multifaset. Pertama, Muawiyah memiliki latar belakang keluarga yang berpengaruh, yang memberinya legitimasi di antara para pemimpin Quraisy. Kedua, dan yang lebih penting, ia terbukti memiliki kemampuan militer dan organisasional yang sangat dibutuhkan di Syam. Umar dikenal tegas dalam memilih pemimpin berdasarkan kemampuan, dan Syam adalah provinsi yang paling membutuhkan stabilitas dan keamanan militer yang tinggi. Wilayah ini berbatasan langsung dengan Anatolia, jantung kekuatan Bizantium yang masih terus melancarkan serangan balasan untuk merebut kembali wilayah yang hilang.
Di bawah bimbingan Umar, Muawiyah mulai menerapkan prinsip-prinsip administrasi yang ketat. Ia tidak hanya menjadi pemimpin militer; ia adalah seorang diplomat, bendahara, dan hakim tertinggi di wilayahnya. Umar memberikan Muawiyah otonomi yang cukup besar, mengakui jarak geografis dan tantangan unik yang dihadapi Syam. Namun, otonomi ini juga disertai pengawasan yang ketat terhadap keuangan dan kebijakan publik, memastikan bahwa Muawiyah tetap berada dalam kerangka hukum Islam yang baru terbentuk.
Salah satu tugas terberat Muawiyah pada masa ini adalah menstabilkan administrasi sipil setelah gelombang penaklukan militer. Ia harus mengintegrasikan sistem birokrasi Bizantium yang sudah ada—yang sangat kompleks dan berbasis bahasa Yunani—dengan tuntutan tata kelola Islam. Ia dengan bijak mempertahankan banyak pejabat lokal dan struktur administratif yang sudah ada, sebuah praktik pragmatis yang memastikan kesinambungan pengumpulan pajak dan pemeliharaan ketertiban umum. Penggunaan aparat lokal ini adalah kunci keberhasilannya, memungkinkannya fokus pada pertahanan dan ekspansi militer.
Muawiyah harus membangun rantai pertahanan yang kuat di sepanjang perbatasan utara (disebut *Al-Awasim* atau wilayah perbatasan). Ini melibatkan pembangunan kembali benteng-benteng yang hancur, penempatan garnisun permanen yang dibayar dengan baik, dan pengembangan jaringan intelijen yang efektif untuk memantau gerakan Bizantium di Anatolia. Pendekatan militer Muawiyah adalah defensif-ofensif; ia memastikan perbatasan dilindungi dengan baik, tetapi juga secara teratur melancarkan serangan musiman (disebut *sawa’if* dan *shawati*) ke wilayah Bizantium untuk mencegah mereka mengorganisasi serangan besar-besaran.
Pengalaman masa jabatan Muawiyah bin Abu Sufyan pernah menjabat menjadi gubernur di bawah Umar adalah sebuah sekolah administrasi tingkat tinggi. Di sini, ia belajar seni menyeimbangkan kebutuhan militer dengan stabilitas ekonomi, dan tuntutan hukum Islam dengan realitas administrasi lokal yang kompleks. Stabilitas yang ia ciptakan di Syam pada masa ini kontras dengan ketidakstabilan yang terjadi di provinsi-provinsi lain, seperti Mesir dan Kufah, di kemudian hari.
Fondasi Administratif Muawiyah di Damaskus.
Momen paling penting yang menegaskan keunikan masa jabatan Muawiyah bin Abu Sufyan sebagai gubernur adalah upayanya membangun angkatan laut Muslim. Selama masa Khalifah Umar, gagasan untuk melancarkan serangan di laut ditolak keras karena kekhawatiran akan risiko yang inheren. Umar berpendapat bahwa laut adalah entitas yang tidak dapat dipercaya dan bahwa perang laut terlalu berbahaya bagi pasukan Muslim yang saat itu belum memiliki pengalaman di bidang maritim.
Namun, Muawiyah menyadari bahwa selama Bizantium menguasai Laut Mediterania, Syam akan selalu rentan. Kota-kota pesisir seperti Tyre, Acre, dan Tripoli terus-menerus terancam oleh armada Bizantium yang dapat menyerang dari Siprus, Rhodes, atau Konstantinopel. Untuk mengamankan Syam secara permanen, kekuasaan laut harus ditantang.
Ketika Utsman bin Affan menjadi khalifah, Muawiyah mengajukan proposalnya lagi, kali ini dengan argumen yang lebih kuat dan mendesak. Ia meyakinkan Utsman bahwa ancaman dari laut tidak dapat diabaikan dan bahwa penaklukan pulau-pulau di Mediterania timur adalah kunci untuk mengamankan garis pantai Muslim. Setelah pertimbangan panjang dan jaminan dari Muawiyah bahwa ia akan memastikan keamanan dan keselamatan para pelaut Muslim, Utsman akhirnya memberikan izin bersyarat. Izin tersebut mensyaratkan bahwa hanya sukarelawan yang boleh bergabung dalam ekspedisi laut, dan Muawiyah harus secara pribadi menjamin logistik dan dukungan.
Muawiyah segera memulai proyek pembangunan kapal. Ia memanfaatkan sumber daya kayu dari pegunungan Lebanon dan keahlian pelaut serta tukang kapal lokal yang mayoritas adalah Kristen dan sudah lama terbiasa dengan perdagangan maritim Mediterania. Ini adalah demonstrasi lain dari pragmatisme Muawiyah; ia mengabaikan batasan sosial demi mencapai tujuan strategis militer.
Ekspedisi laut pertama yang signifikan diluncurkan ke Siprus. Penaklukan Siprus pada dasarnya adalah pukulan strategis ganda. Pertama, itu menghilangkan pangkalan Bizantium yang penting yang terletak dekat dengan garis pantai Syam. Kedua, itu berfungsi sebagai ‘kamp pelatihan’ yang sukses bagi angkatan laut Muslim yang baru lahir. Meskipun awalnya dibuat perjanjian damai di mana Siprus akan membayar upeti kepada Muslim dan Bizantium, ini membuktikan bahwa kekuatan Muslim mampu beroperasi dan menang di laut.
Keberhasilan di Siprus diikuti oleh serangkaian kemenangan laut penting lainnya, termasuk pertempuran Dhat as-Sawari (Pertempuran Tiang Kapal) di lepas pantai Lycia, yang sering dianggap sebagai pertempuran laut besar pertama dalam sejarah Islam. Meskipun detailnya diperdebatkan, pertempuran ini secara luas dipandang sebagai penanda berakhirnya dominasi laut absolut Bizantium di Mediterania Timur, sekaligus menegaskan bahwa periode Muawiyah bin Abu Sufyan pernah menjabat menjadi gubernur adalah periode kebangkitan kekuatan maritim.
Pembangunan angkatan laut ini memiliki konsekuensi jangka panjang yang masif. Bukan hanya melindungi Syam, tetapi juga membuka jalan bagi ekspansi ke Afrika Utara dan kemudian ke Andalusia (Spanyol) pada generasi berikutnya. Inilah warisan Muawiyah yang paling visioner: ia melihat kebutuhan strategis melampaui batas daratan, dan menggunakan sumber daya provinsinya untuk mengisi kekosongan militer ini.
Proyek maritim ini membutuhkan pendanaan besar dan logistik yang rumit. Muawiyah harus memastikan bahwa pelabuhan-pelabuhan seperti Acre dan Tyre diperkuat dan dilengkapi galangan kapal, gudang senjata, dan perbekalan air serta makanan untuk ekspedisi panjang. Seluruh sistem ekonomi dan administratif Syam diarahkan untuk mendukung upaya militer ini, menunjukkan betapa sentralnya perang dan pertahanan dalam manajemen provinsi Muawiyah.
Inovasi maritim Muawiyah di Mediterania.
Periode Muawiyah bin Abu Sufyan pernah menjabat menjadi gubernur di Syam adalah contoh klasik tata kelola yang efektif. Berbeda dengan provinsi lain yang sering bergejolak akibat ketidakpuasan tentara atau konflik antara pendatang Muslim dan penduduk asli, Syam dikenal karena kedamaian dan keteraturannya. Ini adalah cerminan langsung dari gaya kepemimpinan Muawiyah yang khas: *hilm* (kelembutan, kesabaran, dan kemampuan diplomasi).
Muawiyah terkenal dengan penggunaan kebijaksanaan dan persuasi, daripada paksaan dan kekerasan, dalam menyelesaikan masalah internal. Strategi *hilm* ini sangat efektif dalam mengelola Syam, yang dihuni oleh suku-suku Arab yang telah menetap lama di sana, tentara penakluk yang baru datang, dan mayoritas penduduk Kristen yang taat. Muawiyah memastikan bahwa hak-hak *ahl al-dzimmah* (non-Muslim yang dilindungi) dihormati sesuai perjanjian, asalkan mereka membayar *jizyah* (pajak perorangan) dan *kharaj* (pajak tanah).
Ia membangun hubungan pribadi yang kuat dengan para pemimpin suku di Syam, khususnya suku Kalb dari Yaman dan suku Qays dari utara. Melalui pernikahan politik dan aliansi yang cermat, ia mengikat kesetiaan mereka kepadanya secara pribadi, bukan hanya kepada otoritas pusat di Madinah. Kesetiaan pribadi ini terbukti menjadi aset paling berharga ketika krisis politik melanda kekhalifahan di masa Utsman.
Administrasi keuangan Muawiyah di Syam sangat terorganisir. Ia bertanggung jawab atas sistem perpajakan yang mengumpulkan pajak tanah (kharaj) dan pajak kepala (jizyah) secara efisien. Ia mempertahankan sistem *diwan* (kantor administrasi) yang diwarisi dari Bizantium, seringkali dengan menggunakan bahasa Yunani dalam dokumen resmi karena sebagian besar juru tulis lokal adalah orang Kristen yang fasih berbahasa Yunani.
Muawiyah memastikan bahwa pendapatan dari Syam digunakan secara signifikan untuk pengembangan militer dan pertahanan wilayah tersebut, termasuk pembangunan galangan kapal dan pemeliharaan garnisun perbatasan. Meskipun ia adalah seorang penguasa yang kaya, ia dikenal adil dalam distribusi upah (atau *ata’*), yang memastikan kesetiaan tentara dan mencegah pemberontakan yang didorong oleh masalah ekonomi, seperti yang terjadi di Mesir dan Kufah.
Selain itu, Syam pada masa Muawiyah menjadi pusat pembangunan infrastruktur. Kota-kota seperti Damaskus, yang merupakan ibu kota de facto-nya, dan kota-kota pesisir mengalami pertumbuhan yang signifikan. Ia memperbaiki sistem air, jalan, dan benteng, yang semuanya berfungsi ganda sebagai pendukung logistik militer dan pendorong stabilitas ekonomi sipil.
Gubernur Muawiyah bin Abu Sufyan sangat piawai dalam mempromosikan citra stabilitas dan kekuatan. Hal ini tidak hanya menenangkan penduduk lokal tetapi juga mengirimkan pesan yang jelas kepada Bizantium: Syam adalah provinsi yang stabil dan tidak akan mudah direbut kembali. Kualitas ini sangat kontras dengan kepemimpinan yang bergejolak di Irak, di mana pergantian gubernur seringkali diikuti oleh kerusuhan dan ketidakdisiplinan militer.
Seiring berjalannya waktu, terutama di bawah kekhalifahan Utsman, Muawiyah diberikan otonomi yang semakin besar. Jarak geografis dan keberhasilan Muawiyah dalam mengamankan perbatasan membuat Utsman cenderung mengandalkannya dan membiarkannya mengatur Syam dengan caranya sendiri. Otonomi ini, ditambah dengan akumulasi kekayaan dan jaringan kesukuan yang kuat, pada akhirnya mengubah posisi gubernur menjadi kekuasaan yang hampir independen—sebuah basis kekuatan yang tak tertandingi di dunia Islam saat itu. Semua ini terjadi dalam periode Muawiyah bin Abu Sufyan pernah menjabat menjadi gubernur; ia membangun kerajaannya sebelum secara resmi menjadi raja.
Kondisi Syam yang damai ini memiliki dampak psikologis yang besar. Ketika krisis politik melanda Madinah dan menyebar ke Kufah dan Mesir pada akhir kekhalifahan Utsman, penduduk Syam tetap teguh di belakang Muawiyah. Mereka melihatnya sebagai penjaga ketertiban dan stabilitas, bukan sebagai bagian dari kekacauan yang terjadi di pusat kekhalifahan. Loyalitas ini kelak menjadi modal utamanya dalam menuntut pembalasan atas pembunuhan Utsman dan menantang kepemimpinan Ali bin Abi Thalib.
Masa kekhalifahan Utsman bin Affan menandai puncak kekuasaan Muawiyah sebagai gubernur. Selain mendapatkan izin untuk membangun angkatan laut, kekuasaan Muawiyah diperluas secara yurisdiksi. Pada titik tertentu, ia tidak hanya menguasai Damaskus dan wilayah sekitarnya, tetapi juga bertanggung jawab atas seluruh Syam Raya (termasuk Yordania, Palestina, dan Homs), menggantikan kerabatnya yang lain yang sebelumnya menjabat di sana. Penggabungan wilayah ini menjadikannya penguasa tunggal di salah satu provinsi terbesar dan terkaya dalam kekhalifahan.
Utsman, yang juga berasal dari Bani Umayyah, sering dikritik karena menunjuk kerabatnya ke jabatan penting. Namun, dalam kasus Muawiyah, keputusannya didasarkan pada rekam jejak yang terbukti dan stabilitas yang ditawarkannya, dibandingkan dengan pemberontakan yang sering terjadi di provinsi-provinsi Irak dan Mesir. Muawiyah adalah ‘orang yang tepat di tempat yang tepat’ dalam pandangan Utsman.
Ketika kekacauan mulai melanda pusat kekhalifahan, Muawiyah memainkan peran yang ambigu. Di satu sisi, ia adalah pendukung setia Khalifah Utsman dan sering memberinya nasihat. Di sisi lain, ia berhati-hati agar tidak melibatkan Syam dalam kekacauan yang terjadi di Madinah dan Mesir.
Ketika pengepungan terhadap rumah Utsman terjadi, Utsman dilaporkan memohon bantuan dari Muawiyah. Muawiyah mengirimkan pasukan dari Syam untuk membantu Utsman, tetapi pasukan ini bergerak lambat atau mungkin diinstruksikan untuk tidak tiba tepat waktu untuk menghindari konflik langsung di Madinah, atau karena Muawiyah menilai bahwa campur tangan langsung di pusat kekuasaan akan menjadi bumerang. Versi sejarah mana pun yang dipilih, fakta bahwa pasukan Syam adalah satu-satunya pasukan provinsi yang dikirim untuk membantu khalifah yang terkepung menunjukkan tingkat kesetiaan provinsi tersebut kepadanya.
Namun, kegagalan untuk menyelamatkan Utsman memiliki dampak dramatis pada posisi Muawiyah. Setelah Utsman terbunuh, Muawiyah, yang kini memiliki provinsi yang stabil, tentara yang loyal, dan angkatan laut yang kuat, secara moral dan politik merasa bertanggung jawab untuk menuntut balas atas darah kerabatnya. Pembunuhan Utsman mengubah Muawiyah dari sekadar gubernur provinsi yang berhasil menjadi penuntut kekuasaan yang sah. Tragedi di Madinah melegitimasi ambisi politik yang telah lama ia persiapkan melalui masa jabatannya yang panjang dan berkuasa di Syam.
Jika Muawiyah bin Abu Sufyan pernah menjabat menjadi gubernur dalam waktu singkat, ia mungkin tidak akan memiliki otoritas militer dan moral yang cukup untuk menantang Ali bin Abi Thalib. Namun, durasi dan kesuksesan periodenya di Syam memberinya semua sumber daya yang dibutuhkan: pasukan profesional, harta yang cukup, dukungan suku, dan narasi moral yang kuat—pembalasan atas khalifah yang sah.
Kematian Utsman bin Affan dan pengangkatan Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah berikutnya menandai titik balik paling tajam dalam karier Muawiyah. Periode jabatannya sebagai gubernur Syam yang sebelumnya adalah demonstrasi efisiensi administrasi, kini bertransformasi menjadi pangkalan militer untuk melawan otoritas pusat yang baru.
Muawiyah menolak untuk memberikan baiat (sumpah setia) kepada Ali, dengan syarat Ali harus menyerahkan para pembunuh Utsman terlebih dahulu. Penolakan ini adalah deklarasi terselubung bahwa ia tidak mengakui legitimasi Ali. Muawiyah menggunakan peninggalan Utsman—termasuk pakaiannya yang berlumuran darah—yang dipamerkan di mimbar masjid Damaskus, untuk menggalang sentimen publik di Syam. Ini adalah manuver politik yang cerdas, yang berhasil menyatukan seluruh penduduk Syam di bawah bendera tuntutan pembalasan.
Penduduk Syam, yang telah menikmati stabilitas dan kemakmuran di bawah Muawiyah selama bertahun-tahun, dengan mudah diyakinkan bahwa Ali gagal melindungi khalifah dan, oleh karena itu, Ali adalah wakil dari kekacauan, sementara Muawiyah adalah pelindung ketertiban.
Keunggulan utama Muawiyah dalam Perang Saudara Pertama (Fitna Pertama) adalah kualitas pasukannya. Pasukan Syam bukanlah milisi baru; mereka adalah veteran perbatasan yang terlatih dalam perang melawan Bizantium, disubsidi dengan baik, dan sangat loyal kepada komandan mereka. Muawiyah telah memastikan bahwa para prajurit ini merasa terikat secara pribadi dengannya, bukan sekadar entitas abstrak kekhalifahan di Madinah.
Saat perselisihan meningkat, Muawiyah mampu memobilisasi pasukan Syam untuk menghadapi Ali di Siffin. Pertempuran Siffin bukanlah sekadar bentrokan militer; itu adalah bentrokan antara dua model pemerintahan. Di satu sisi, ada Ali, mewakili model kesalehan awal dan pemerintahan pusat yang rapuh; di sisi lain, ada Muawiyah, mewakili model pemerintahan provinsi yang kuat, terorganisir, dan berfokus pada efisiensi militer, hasil dari masa jabatannya yang panjang sebagai gubernur.
Bahkan setelah pertempuran berakhir dengan arbitrase yang kontroversial, Muawiyah tetap memegang kendali penuh atas Syam dan Mesir, yang berhasil ia rebut dari tangan Ali. Pada titik ini, peran Muawiyah bin Abu Sufyan pernah menjabat menjadi gubernur sudah sepenuhnya terhapus, digantikan oleh peran sebagai penguasa independen dan saingan khalifah yang sah.
Yang membedakan Muawiyah dari para pesaingnya bukanlah hanya militer, tetapi juga pengalaman administratifnya. Sebagai gubernur, ia telah membangun sistem yang mandiri, tahan terhadap kekacauan dari luar. Ia tahu cara mengumpulkan pajak, mengelola logistik, dan menunjuk pejabat yang kompeten. Pengetahuan ini memberinya keunggulan luar biasa dibandingkan Ali, yang harus berjuang dengan pemberontakan di Irak dan ketidaksetiaan di Mesir.
Setelah Ali dibunuh, dan putra Ali, Hasan, melepaskan klaimnya atas kekhalifahan, Muawiyah akhirnya diakui sebagai khalifah. Transisi ini adalah puncak dari dua dekade lebih kerja kerasnya sebagai gubernur, di mana ia secara sistematis membangun basis ekonomi, militer, dan politik yang memungkinkan transfer kekuasaan yang mulus (baginya) dari provinsi ke kekhalifahan.
Periode ketika Muawiyah bin Abu Sufyan pernah menjabat menjadi gubernur Syam adalah cetak biru untuk Kekhalifahan Umayyah yang ia dirikan. Warisan ini dapat dianalisis dalam beberapa dimensi utama, yang semuanya menyoroti bagaimana seorang administrator provinsi dapat membentuk sejarah dunia Islam secara permanen.
Yang paling jelas, Muawiyah menjadikan Syam, khususnya Damaskus, pusat gravitasi dunia Islam. Sebelum Muawiyah, pusat kekuasaan adalah Madinah. Dengan keberhasilannya sebagai gubernur, ia memindahkan pusat kekuasaan dari Semenanjung Arab ke Mediterania Timur. Pemindahan ini tidak hanya bersifat geografis; itu adalah pergeseran filosofis dari model pemerintahan kesukuan yang sederhana ke model pemerintahan kekaisaran yang terorganisir, yang mengambil banyak pelajaran dari sistem Bizantium yang pernah ia kelola.
Stabilitas yang ia tanamkan di Syam memungkinkan wilayah tersebut menjadi basis yang aman bagi seluruh kerajaan Umayyah, tempat para gubernur dan jenderal dilatih dan dikirim ke seluruh penjuru kekhalifahan, membawa serta praktik administrasi Muawiyah.
Masa jabatannya sebagai gubernur adalah masa militerisasi yang intens. Keharusan untuk menghadapi Bizantium memaksa Muawiyah untuk mengembangkan tentara yang profesional, berbeda dengan milisi yang lebih bersifat sukarela di provinsi-provinsi lain. Tentara Syam dikenal karena disiplinnya dan ketaatannya kepada komandan. Model militer profesional ini menjadi ciri khas Kekhalifahan Umayyah.
Di bidang birokrasi, Muawiyah adalah pelopor dalam mempertahankan struktur administratif lokal. Ia memahami bahwa mengubah segalanya secara radikal akan menyebabkan kekacauan. Sebaliknya, ia secara bertahap mengislamkan dan mengarabkan birokrasi, sebuah proses yang memakan waktu beberapa dekade. Kebijakan ini, yang dimulai ketika ia adalah gubernur, memungkinkan kekaisaran Umayyah mengelola wilayah yang luas tanpa harus menciptakan seluruh sistem tata kelola dari nol.
Muawiyah menyempurnakan konsep kepemimpinan politik yang pragmatis, yang kemudian dikenal sebagai *siyasah* (kebijakan). Ia menunjukkan bahwa kekuatan politik tidak hanya berasal dari kesalehan agama semata, tetapi juga dari kemampuan mengatur, menahan diri (*hilm*), dan mengakumulasi kekuatan militer dan ekonomi. Periodenya sebagai gubernur mengajarkan kepadanya bahwa politik adalah seni mengelola manusia dan sumber daya, sebuah pelajaran yang hilang dari para khalifah awal yang berfokus lebih pada spiritualitas dan kurang pada manajemen kekaisaran yang sedang berkembang.
Bahkan penunjukan putranya, Yazid, sebagai penerus—tindakan yang mengubah kekhalifahan dari sistem konsultatif menjadi monarki turun-temurun—dapat dilihat sebagai perpanjangan dari praktik gubernur. Muawiyah telah lama mengatur Syam seolah-olah itu adalah milik pribadinya dan keluarganya, dan ia hanya memperluas model kepemilikan provinsi ini ke seluruh kekhalifahan.
Ringkasnya, peran Muawiyah bin Abu Sufyan pernah menjabat menjadi gubernur di Syam adalah lebih dari sekadar karir politik yang panjang; itu adalah laboratorium di mana prinsip-prinsip tata kelola kekaisaran Islam yang pertama kali diuji, disempurnakan, dan akhirnya diterapkan pada skala global. Tanpa fondasi yang kuat, stabil, dan otonom di Syam, Kekhalifahan Umayyah tidak akan pernah terwujud, dan sejarah Timur Tengah akan mengambil jalur yang sama sekali berbeda.
Muawiyah berhasil menciptakan keseimbangan fiskal yang memungkinkan Syam makmur meskipun berada dalam status siaga perang terus-menerus melawan Bizantium. Ia menginvestasikan secara besar-besaran untuk pelabuhan dan jalan militer. Kota-kota pesisir yang tadinya hanya berfungsi sebagai benteng pertahanan, dihidupkan kembali sebagai pusat perdagangan dan logistik. Hal ini penting, karena perdagangan laut adalah tulang punggung ekonomi Bizantium, dan dengan mengendalikan rute-rute utama, Muawiyah tidak hanya mengamankan jalur militer tetapi juga mengalirkan kekayaan ke Damaskus.
Perlakuan terhadap populasi non-Muslim di Syam juga patut diperhatikan. Berbeda dengan pandangan simplistis bahwa penaklukan selalu diikuti dengan penindasan, Muawiyah menunjukkan toleransi pragmatis. Ia mempertahankan pegawai sipil Kristen di jajaran administrasi, bahkan pada posisi penting. Contoh paling terkenal adalah Sergius, yang menjabat sebagai bendahara kekhalifahan (Diwan) di Damaskus, seorang Kristen yang keluarganya melayani Muawiyah dan kemudian anaknya, Yazid. Ketergantungan pada keahlian lokal ini menunjukkan bahwa Muawiyah memprioritaskan kompetensi administratif di atas pertimbangan sektarian, selama loyalitas politik terjamin. Inilah kunci mengapa Syam tetap stabil ketika Mesir dan Irak meletus dalam pemberontakan.
Hubungan antara Muawiyah dan suku-suku Arab lokal juga semakin menguatkan stabilitas. Melalui kebijakan *istimalah* (meraih hati), ia memberikan jabatan, hadiah, dan hak-hak istimewa kepada para pemimpin suku yang loyal. Ini memastikan bahwa struktur sosial Syam menjadi pendukung aktif rezimnya, sebuah model yang sangat berbeda dari sistem *’ata’* (tunjangan) yang lebih egaliter namun kurang terikat secara personal di Kufah dan Basra. Struktur kesetiaan suku yang dibangunnya di Syam ini memberinya kekuatan cadangan yang luar biasa ketika ia membutuhkan dukungan militer yang cepat dan tanpa syarat.
Untuk benar-benar memahami kehebatan masa jabatannya, perlu membandingkan Syam dengan provinsi-provinsi kunci lainnya pada masa itu. Kufah dan Basra di Irak, meskipun kaya dan strategis, adalah sarang intrik politik, permusuhan antar suku (terutama antara Arab Utara dan Selatan), dan ketidakpuasan tentara yang merasa bayaran mereka tidak adil. Para gubernur di Irak sering diganti, dan mereka harus berjuang keras untuk menegakkan otoritas pusat. Mesir juga mengalami turbulensi yang sama, yang berpuncak pada pembunuhan Khalifah Utsman yang didorong oleh pemberontak Mesir.
Sementara kekacauan melanda wilayah lain, Syam tetap menjadi pulau stabilitas. Muawiyah bertindak sebagai penyangga antara kekhalifahan yang rapuh dan dunia luar yang bermusuhan, sekaligus melindungi dirinya dari kekacauan internal. Kemampuannya untuk mempertahankan ketertiban di Syam selama puluhan tahun di tengah gejolak politik dan ancaman eksternal adalah bukti tak terbantahkan dari kecakapan politik dan administratifnya. Stabilitas ini memungkinkan akumulasi sumber daya yang diperlukan untuk mendanai militerisasi maritim dan perluasan perbatasan utara.
Oleh karena itu, ketika krisis Fitna Pertama meletus, Muawiyah tidak memulai dari posisi yang lemah. Ia sudah memiliki negara mini yang berfungsi penuh di tangannya, lengkap dengan tentara pribadi, kas yang sehat, dan birokrasi yang loyal. Ini memberinya landasan yang kokoh untuk menuntut kekhalifahan, bukan sebagai pemberontak yang putus asa, melainkan sebagai penjaga ketertiban yang sah.
Muawiyah bin Abu Sufyan pernah menjabat menjadi gubernur dalam jangka waktu yang sangat lama, sehingga konsep gubernur yang kuat dan semi-independen menjadi preseden. Meskipun ia kemudian mengubah dirinya menjadi khalifah yang berpusat di Damaskus, model yang ia ciptakan (otoritas kuat di tangan seorang pemimpin provinsi yang dipercaya) akan terulang kembali dalam sejarah Islam di masa-masa berikutnya, seringkali menyebabkan fragmentasi kekuasaan atau munculnya dinasti-dinasti lokal yang kuat.
Lebih jauh lagi, melalui periode pemerintahannya di Syam, Muawiyah secara efektif meresmikan praktik politik yang disebut oleh para sejarawan sebagai *Malik* (kekuasaan raja), berbeda dengan *Khalifah* (pengganti) yang tradisional. Meskipun ia tetap menggunakan gelar Khalifah, ia memerintah dengan gaya raja Bizantium atau Sassania, menggunakan upacara, sistem birokrasi yang formal, dan yang terpenting, menetapkan suksesi turun-temurun. Dasar-dasar monarki Islam inilah yang diletakkan dan dipraktekkan terlebih dahulu di Damaskus selama masa jabatannya sebagai gubernur, sebelum diterapkan pada skala kekaisaran.
Keputusan Muawiyah untuk menunjuk Yazid sebagai penerus, yang kemudian menjadi ciri khas dinasti Umayyah, adalah klimaks alami dari pemerintahan pribadinya yang panjang di Syam. Ia telah melatih putranya dalam urusan militer dan administrasi Syam, dan ia memastikan bahwa basis kekuatan suku di Syam secara eksklusif bersekutu dengan garis keturunannya. Transisi yang mulus (meskipun kontroversial) ke kekhalifahan bagi putranya adalah bukti akhir dari kontrol absolut yang telah ia capai di Syam selama masa jabatannya sebagai gubernur.
Pada akhirnya, masa jabatan Muawiyah bin Abu Sufyan pernah menjabat menjadi gubernur adalah babak paling formatif dalam sejarah pribadinya dan sejarah kekhalifahan itu sendiri. Ia memasuki jabatan itu sebagai seorang administrator militer di bawah bimbingan Umar; ia keluar dari jabatan itu sebagai pendiri dinasti pertama dalam sejarah Islam yang berbasis kekaisaran, semuanya berkat stabilitas dan kekuatan yang ia ciptakan di tanah Syam.
Muawiyah bin Abu Sufyan pernah menjabat menjadi gubernur Syam untuk jangka waktu yang sangat panjang, mencakup sebagian besar masa kekhalifahan Rasyidin. Periode ini bukanlah sekadar jeda administratif, melainkan tahap pengembangan sistematis yang mengubah wajah geopolitik Timur Tengah. Dari seorang gubernur yang ditunjuk oleh Khalifah Umar untuk menjaga perbatasan yang rentan, Muawiyah bertransformasi menjadi seorang administrator visioner yang meluncurkan angkatan laut Islam, menstabilkan wilayah yang kompleks, dan membangun mesin politik yang tak terkalahkan.
Kesuksesan Muawiyah dalam mengelola Syam—ditandai oleh stabilitas internal, kemakmuran ekonomi, dan kekuatan militer maritim—memberinya legitimasi, sumber daya, dan tentara yang loyal. Ketika kekhalifahan pusat dilanda krisis, Muawiyah tidak perlu mencari kekuasaan; kekuasaan sudah berada di dalam genggamannya, terkonsentrasi di Damaskus, hasil dari puluhan tahun kepemimpinan yang bijaksana dan strategis.
Warisan masa jabatannya sebagai gubernur adalah Kekhalifahan Umayyah itu sendiri. Ia tidak hanya menjadi khalifah; ia mendirikan sebuah kekaisaran berdasarkan prinsip-prinsip administrasi dan militer yang ia kembangkan di Syam, menjadikan Damaskus sebagai ibu kota, dan memimpin dengan filosofi *hilm* yang ia asah dalam mengelola provinsi perbatasan yang beragam. Masa jabatannya membuktikan bahwa manajemen provinsi yang efektif adalah kunci untuk menguasai sebuah kekaisaran, dan dalam hal ini, Muawiyah adalah seorang ahli yang tak tertandingi.
Sehingga, kajian sejarah mengenai periode pemerintahan Islam awal tidak akan lengkap tanpa mengakui bahwa sebelum Muawiyah menjadi khalifah, ia telah lebih dahulu menjadi arsitek dan penguasa de facto dari seluruh wilayah Syam, sebuah fondasi yang memberinya kemenangan di panggung sejarah yang lebih besar.