Wilayah Banyumas, sering disebut juga sebagai Banyumas Raya, merupakan jantung kebudayaan Jawa Tengah bagian barat yang memiliki identitas sangat kuat dan unik, berbeda secara signifikan dari kebudayaan keraton di Jawa Tengah bagian timur (Surakarta dan Yogyakarta). Keunikan ini terutama terletak pada penggunaan bahasanya yang khas, dikenal sebagai Basa Ngapak, serta warisan seni pertunjukan rakyat yang hidup subur. Artikel ini akan membawa pembaca dalam perjalanan mendalam, mengungkap lapisan-lapisan sejarah, keunikan bahasa, kekayaan seni, hingga pesona kuliner yang hanya dapat ditemukan di Banyumas.
Secara geografis, Banyumas terletak strategis di lereng selatan Gunung Slamet, menjadikannya daerah yang subur dan memiliki bentang alam yang indah. Kota Purwokerto, yang kini menjadi pusat aktivitas modern, merupakan bagian integral dari Banyumas, meskipun secara historis pusat pemerintahan lama berada di Kota Banyumas itu sendiri. Eksistensi dua pusat ini, yang lama dan yang baru, telah membentuk dinamika sosial dan budaya yang kompleks yang terus berkembang hingga hari ini.
Identitas masyarakat di Banyumas dibentuk oleh semangat kerakyatan yang egaliter, jauh dari struktur feodal yang kaku. Sifat jujur, blak-blakan, dan humoris sering dikaitkan dengan karakter ‘Ngapak’ yang menjadi ciri khas mereka. Memahami Banyumas berarti memahami bagaimana geografi, sejarah, dan bahasa telah berinteraksi untuk menciptakan sebuah identitas regional yang tangguh dan penuh warna. Dari hutan pinus Baturraden hingga hiruk pikuk pasar tradisional, setiap sudut di Banyumas menyimpan cerita yang layak untuk digali lebih jauh.
Peta dan kontur geografis wilayah Banyumas, dikelilingi Gunung Slamet dan dialiri Sungai Serayu.
Sejarah Kabupaten Banyumas adalah narasi tentang perpindahan kekuasaan dan adaptasi terhadap perubahan zaman. Wilayah ini secara resmi berdiri sebagai kadipaten pada pertengahan abad ke-17. Kisah pendiriannya erat kaitannya dengan figur Raden Adipati Mrapat atau dikenal juga sebagai Raden Jaka Kahiman, yang diyakini sebagai cikal bakal bupati pertama di Banyumas.
Pada awalnya, pusat pemerintahan di Banyumas berada di Kota Lama Banyumas. Lokasi ini dipilih karena letaknya yang strategis di tepi Sungai Serayu, yang kala itu menjadi jalur transportasi vital. Namun, lokasi di tepi sungai juga membawa risiko, terutama bencana banjir. Perpindahan pusat pemerintahan menjadi tema berulang dalam sejarah daerah ini, mencerminkan upaya untuk mencari stabilitas dan kemakmuran.
Pada masa kolonial Belanda, peran strategis Banyumas sebagai lumbung pangan dan jalur penghubung antara Jawa Barat dan Jawa Tengah menjadi sangat penting. Pengaruh Mataram, meskipun ada, tidak sekuat di wilayah timur, memberikan ruang bagi kebudayaan lokal untuk berkembang dengan karakteristiknya sendiri. Kadipaten di Banyumas dikenal memiliki hubungan yang dinamis, kadang harmonis, kadang pula konfrontatif, dengan kekuasaan pusat, baik itu Mataram maupun VOC/Hindia Belanda.
Peristiwa penting yang mengubah wajah administrasi dan sosial di Banyumas adalah perpindahan pusat kekuasaan ke Purwokerto. Perpindahan ini dipicu oleh berbagai faktor, termasuk letak geografis Banyumas Kota yang rawan banjir serta perkembangan infrastruktur kolonial, khususnya pembangunan jalur kereta api. Purwokerto, yang saat itu hanyalah sebuah desa kecil, berkembang pesat seiring dengan dibangunnya stasiun dan fasilitas perdagangan, menjadikannya lebih mudah diakses dan lebih aman dari bencana alam.
Sejak saat itu, meskipun nama administratif kabupaten tetap Banyumas, Purwokerto menjadi pusat kegiatan ekonomi, pendidikan, dan pemerintahan. Dualisme ini memberikan kekayaan tersendiri bagi kawasan ini; Banyumas Kota mempertahankan nuansa sejarah dan arsitektur kuno, sementara Purwokerto menjadi simbol modernitas dan kemajuan di Banyumas Raya. Perkembangan ini menegaskan bahwa identitas Banyumas tidak hanya melekat pada satu titik geografis, melainkan pada keseluruhan kawasan dengan karakteristik budaya yang sama.
Peran Banyumas dalam perjuangan kemerdekaan juga sangat signifikan. Tokoh-tokoh nasional dari daerah ini banyak berkontribusi, dan semangat perjuangan rakyat Ngapak dikenal militan. Setelah kemerdekaan, Banyumas menjadi salah satu daerah yang giat dalam pembangunan, memanfaatkan potensi pertanian dan sumber daya alam di lereng Gunung Slamet. Kisah tentang Raden Adipati Mrapat, yang konon membagi wilayahnya, selalu menjadi pengingat tentang asal-usul dan pentingnya kepemimpinan yang adil di Banyumas.
Penelusuran sejarah menunjukkan bahwa setiap perpindahan ibu kota selalu diiringi oleh ritual dan simbolisme yang kuat, menunjukkan betapa masyarakat di Banyumas menghargai tata krama dan kesinambungan tradisi, bahkan di tengah modernisasi yang tak terhindarkan. Sejarah di Banyumas adalah fondasi mengapa identitas budaya Ngapak begitu mengakar kuat dan bertahan hingga generasi sekarang.
Dari catatan-catatan kuno, terlihat bahwa struktur sosial di Banyumas cenderung lebih egaliter dibandingkan dengan daerah pusat kerajaan. Hal ini memengaruhi bagaimana seni dan budaya berkembang, di mana kesenian rakyat mendapatkan tempat yang lebih utama dan tidak terlalu terikat pada aturan-aturan istana. Para sejarawan lokal sering menunjuk pada karakter ‘wong ngapak’ yang apa adanya sebagai refleksi langsung dari sejarah yang tidak terlalu terbebani oleh hirarki feodal yang ketat. Ketiadaan istana besar atau keraton di Banyumas memungkinkan masyarakat untuk mendefinisikan budayanya sendiri, menghasilkan kesenian yang murni dari akar pedesaan.
Faktor lain yang tidak boleh diabaikan dalam sejarah di Banyumas adalah peran Sungai Serayu. Sebagai urat nadi kehidupan, Serayu tidak hanya berfungsi sebagai jalur perdagangan, tetapi juga sebagai batas kultural. Wilayah di sebelah barat sungai cenderung memiliki dialek dan tradisi yang sedikit berbeda, namun secara umum tetap terangkum dalam payung besar budaya Banyumasan atau Ngapak. Analisis toponimi (nama tempat) di Banyumas sering mengungkap kisah-kisah kuno, seperti keberadaan hutan-hutan keramat atau petilasan yang diyakini merupakan jejak tokoh-tokoh penting di masa lampau. Pemahaman mendalam tentang sejarah ini adalah kunci untuk mengapresiasi keunikan yang dimiliki oleh masyarakat modern di Banyumas.
Tidak mungkin membicarakan Banyumas tanpa menempatkan Basa Ngapak sebagai inti dari identitas kolektif mereka. Ngapak adalah dialek Jawa yang digunakan di Banyumas Raya dan sekitarnya (termasuk Purbalingga, Cilacap, dan Banjarnegara). Karakteristik utamanya yang paling menonjol adalah konsistensi pelafalan huruf ‘A’ di akhir kata yang, dalam bahasa Jawa standar (Jawa Baku/Krama), diucapkan sebagai ‘O’.
Sebagai contoh, kata 'apa' dalam Ngapak tetap diucapkan 'apa', sementara di Jawa standar menjadi 'opo'. Konsistensi ini memberikan kesan tegas, lugas, dan apa adanya. Inilah yang kemudian dilekatkan pada karakter masyarakat di Banyumas: terbuka, tidak bertele-tele, dan jujur. Filosofi yang terkandung dalam Ngapak adalah kejujuran fonetis; apa yang dituliskan adalah apa yang diucapkan.
Basa Ngapak juga dikenal karena mempertahankan banyak kosakata kuno yang telah hilang atau jarang digunakan dalam bahasa Jawa standar yang dipengaruhi keraton. Hal ini menunjukkan bahwa dialek ini memiliki akar linguistik yang dalam, kemungkinan besar berasal dari bahasa Jawa Kuno yang minim pengaruh feodal. Keberadaan kosakata kuno ini menjadi harta karun bagi ahli bahasa yang mempelajari evolusi linguistik di Banyumas dan sekitarnya.
Dalam konteks sosial, penggunaan Ngapak seringkali menjadi simbol kebanggaan dan persatuan. Dahulu, dialek ini mungkin dipandang sebelah mata oleh penutur Jawa standar, namun kini, Ngapak telah direvitalisasi dan menjadi brand lokal yang kuat. Munculnya berbagai media, musik, dan komedi yang menggunakan Ngapak telah mengukuhkan posisinya sebagai identitas tak terpisahkan dari masyarakat di Banyumas. Bahkan, banyak acara resmi di Banyumas yang kini mulai menyisipkan Basa Ngapak untuk mendekatkan diri kepada masyarakat.
Salah satu perbedaan paling mendasar antara Ngapak dan Jawa standar adalah minimnya tingkatan bahasa (undha usuk) yang kompleks. Meskipun Ngapak masih mengenal tingkatan kasar (Ngoko) dan halus (Krama), struktur penggunaannya jauh lebih sederhana dan fleksibel dibandingkan dengan sistem Krama Inggil yang sangat ketat di Solo atau Jogja. Kesederhanaan ini mencerminkan struktur masyarakat di Banyumas yang lebih egaliter; komunikasi cenderung lebih langsung dan tidak dibatasi oleh hierarki status sosial yang kaku.
Sebagai contoh rinci, dalam Jawa standar, untuk bertanya "mau makan?" kepada orang yang dihormati, kita harus menggunakan gabungan kata: "Badhe dahar?" Dalam Ngapak di Banyumas, kalimat tersebut bisa disampaikan dengan lebih santai, seringkali menggunakan struktur yang lebih lugas. Penggunaan partikel penegas seperti 'lah', 'koh', atau 'yeh' juga sering ditemukan di akhir kalimat, menambah kesan spontan dan emosional dalam percakapan sehari-hari di Banyumas.
Para peneliti linguistik seringkali fokus pada bagaimana Basa Ngapak di Banyumas berfungsi sebagai 'jembatan' antara bahasa Jawa di timur dan bahasa Sunda di barat. Meskipun merupakan dialek Jawa, Ngapak memiliki beberapa kesamaan fonologis dan intonasi dengan bahasa Sunda, mengingat kedekatannya dengan perbatasan Jawa Barat. Interaksi budaya yang terjadi selama berabad-abad di perbatasan ini telah memperkaya Basa Ngapak, menjadikannya dialek yang unik dan tidak murni Jawa atau Sunda.
Pendidikan bahasa ibu di Banyumas kini juga memberikan perhatian khusus pada pelestarian Ngapak. Sekolah-sekolah dan sanggar budaya berupaya mengajarkan generasi muda untuk bangga menggunakan bahasa daerah mereka. Inisiatif ini penting untuk melawan arus globalisasi yang cenderung menyeragamkan bahasa. Kekuatan Basa Ngapak terletak pada kemampuannya untuk bertahan, menjadi benteng identitas yang membedakan masyarakat di Banyumas dari daerah lainnya di Jawa Tengah.
Dalam ranah humor, Ngapak memiliki daya tarik yang luar biasa. Kekhasan logat dan intonasi yang datar seringkali memancing tawa, dan banyak seniman komedi di Banyumas yang memanfaatkan keunikan ini sebagai ciri khas utama mereka. Humor Ngapak seringkali bersifat sindiran sosial yang ringan, disampaikan tanpa tedeng aling-aling, yang sejalan dengan karakter masyarakatnya. Seluruh kekayaan linguistik ini menjadikan Basa Ngapak sebagai permata budaya yang tak ternilai harganya di Banyumas.
Kesenian di Banyumas didominasi oleh seni rakyat yang kuat, jauh dari pakem keraton. Kesenian ini lahir dari kehidupan petani, pedagang, dan masyarakat desa, menjadikannya lebih ekspresif dan otentik dalam merefleksikan kehidupan sehari-hari. Tiga pilar utama kesenian di Banyumas adalah Lengger, Ebeg, dan Wayang Kulit Gagrak Banyumasan.
Lengger adalah tari tradisional yang sangat terkenal di Banyumas. Keunikan utamanya adalah adanya Lengger Lanang (Penari Laki-laki). Di masa lalu, penari utama Lengger adalah laki-laki yang berdandan seperti perempuan. Fenomena ini bukan sekadar hiburan, tetapi memiliki makna ritualistik dan sosial yang dalam.
Tari Lengger tidak hanya menonjolkan gerakan, tetapi juga improvisasi dan interaksi dengan penonton. Gerakan tarian ini bersifat dinamis, lincah, dan penuh dengan aura mistis, terutama saat puncak pertunjukan berlangsung. Keberlanjutan tradisi Lengger di Banyumas menjadi bukti betapa masyarakatnya menghargai warisan leluhur dan tetap memelihara kesenian tersebut meskipun menghadapi tantangan modernisasi.
Ilustrasi penari Lengger khas Banyumas, merepresentasikan kekayaan seni pertunjukan.
Ebeg adalah seni kuda lumping versi Banyumasan. Meskipun serupa dengan Jathilan di wilayah lain, Ebeg memiliki corak dan irama musik yang sangat khas di Banyumas. Pertunjukan ini terkenal dengan adegan kesurupan (trance) yang melibatkan para penari, seringkali diikuti dengan atraksi memakan benda-benda aneh seperti pecahan kaca atau arang.
Ebeg merupakan cerminan dari kedekatan masyarakat di Banyumas dengan unsur-unsur mistis dan alam. Pertunjukan ini hampir selalu menarik keramaian dan menjadi hiburan utama dalam berbagai perayaan desa. Para penari Ebeg, yang biasanya berasal dari kalangan petani dan pekerja, menunjukkan dedikasi tinggi dalam melestarikan seni yang berisikan energi rakyat ini.
Wayang Kulit di Banyumas memiliki gaya atau 'gagrak' yang berbeda dengan gaya Surakarta atau Yogyakarta. Perbedaan ini terletak pada sabetan (gerakan wayang), irama pedalangan, dan yang paling mencolok, penggunaan bahasa Ngapak oleh para Punakawan (Semar, Gareng, Petruk, Bagong).
Kesenian ini membuktikan bahwa meskipun cerita Wayang berasal dari epos India, ia mampu diadaptasi dan diinternalisasi menjadi identitas lokal yang sangat kuat di Banyumas. Keberanian untuk menggunakan Ngapak dalam seni adiluhung seperti Wayang adalah penegasan identitas budaya yang sulit ditemukan di daerah lain.
Selain tiga pilar tersebut, ada pula kesenian tradisional lain di Banyumas seperti Calung (musik bambu), yang juga menggunakan laras Banyumasan dan seringkali dipadukan dengan tarian Lengger. Calung, dengan alat musik bambu yang sederhana, melambangkan kesederhanaan dan kedekatan masyarakat di Banyumas dengan alam. Keberadaan berbagai macam kesenian rakyat ini menunjukkan betapa kayanya khazanah budaya yang terus dijaga kelestariannya oleh generasi penerus di Banyumas.
Banyumas, yang berada di kaki Gunung Slamet, dianugerahi dengan keindahan alam yang memukau. Sektor pariwisata di Banyumas sangat mengandalkan ekowisata dan wisata alam pegunungan yang sejuk. Tentu saja, destinasi utamanya terpusat di kawasan utara, dekat dengan Purwokerto.
Baturraden adalah kawasan wisata paling ikonik di Banyumas. Terletak sekitar 14 km di utara Purwokerto, Baturraden menawarkan udara sejuk, pemandangan yang indah, dan berbagai fasilitas rekreasi. Nama Baturraden sendiri berasal dari legenda rakyat tentang cinta yang tak kesampaian antara seorang pembantu (Batur) dan seorang bangsawan (Raden).
Kehadiran Baturraden sebagai pusat rekreasi telah mendorong pertumbuhan ekonomi lokal yang signifikan di Banyumas. Hotel, restoran, dan pedagang suvenir mendapatkan manfaat besar dari tingginya kunjungan wisatawan, baik domestik maupun mancanegara.
Karena topografi pegunungan, di Banyumas terdapat banyak air terjun (curug) yang menawan. Masing-masing curug memiliki keunikan dan tingkat kesulitan akses yang berbeda, menarik minat para petualang dan pecinta alam.
Pengembangan pariwisata curug di Banyumas ini selalu mengedepankan prinsip ekowisata, memastikan bahwa keaslian alam tetap terjaga sambil memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat sekitar.
Bagi penggemar sejarah, Kota Lama Banyumas, yang merupakan ibu kota kadipaten di masa lampau, menawarkan situs-situs bersejarah yang kaya. Meskipun tidak lagi menjadi pusat pemerintahan, kota ini menyimpan peninggalan arsitektur kolonial dan tradisional Jawa yang menawan.
Wisata sejarah di Banyumas menjadi pelengkap bagi wisata alam, menawarkan perspektif yang lebih mendalam mengenai perkembangan sosio-politik wilayah ini dari masa ke masa. Perpaduan antara alam yang indah dan sejarah yang mendalam menjadikan Banyumas destinasi yang lengkap.
Potensi wisata di Banyumas terus digali, terutama dalam pengembangan desa-desa wisata berbasis komunitas. Desa-desa ini menawarkan pengalaman hidup Ngapak yang otentik, mulai dari belajar menari Ebeg, memasak makanan khas, hingga bertani di sawah terasering. Inisiatif semacam ini memastikan bahwa pariwisata tidak hanya berpusat pada situs-situs besar, tetapi juga memberikan kesempatan bagi masyarakat desa untuk berpartisipasi aktif dalam memperkenalkan kekayaan budaya di Banyumas.
Kuliner di Banyumas adalah perpaduan rasa yang khas: gurih, sedikit manis, dan seringkali pedas. Makanan khas daerah ini tidak hanya lezat tetapi juga memiliki nilai sejarah dan sosial yang kuat, menjadikannya bagian tak terpisahkan dari budaya Ngapak.
Tempe Mendoan adalah kuliner ikonik di Banyumas yang telah mendunia. Kata "mendo" dalam bahasa Ngapak berarti setengah matang atau lembek. Mendoan adalah tempe yang diiris tipis, dicelupkan ke dalam adonan tepung berbumbu (kencur, bawang putih, ketumbar), dan digoreng cepat dalam minyak yang sangat panas, sehingga hasilnya lembek dan tidak kering.
Keunikan Mendoan terletak pada tekstur dan bumbunya. Kencur yang menjadi salah satu bumbu utama memberikan aroma dan rasa yang membedakannya dari tempe goreng biasa. Proses penggorengan yang singkat (mendo) juga menjadi kunci; jika digoreng kering, ia tidak lagi disebut Mendoan, tetapi Tempe Kemripik.
Getuk, makanan dari singkong, umum di Jawa, tetapi Getuk Goreng adalah penemuan khas dari Sokaraja, sebuah kecamatan yang juga merupakan bagian penting di Banyumas. Makanan ini pertama kali dibuat secara tidak sengaja oleh seorang penjual Getuk yang mencoba menggoreng sisa getuk yang tidak laku.
Getuk Goreng Sokaraja telah menjadi oleh-oleh wajib bagi siapa pun yang berkunjung di Banyumas. Industri Getuk Goreng ini menjadi salah satu pendorong ekonomi kreatif yang penting di sepanjang jalur utama yang melintasi di Banyumas.
Ilustrasi tempe mendoan khas Banyumas yang digoreng setengah matang, disajikan dengan sambal kecap.
Soto di Banyumas memiliki varian yang khas, terutama Soto Sokaraja. Berbeda dengan soto dari daerah lain yang menggunakan santan atau bening, Soto Sokaraja dikenal karena penggunaan bumbu kacang yang dicampurkan ke dalam kuah.
Selain Mendoan dan Getuk Goreng, kuliner di Banyumas juga mencakup Kraca (keong sawah yang dimasak pedas), Nasi Penggel (nasi kepal dengan lauk kikil dan sayur), serta Gethuk Lindri. Setiap sajian kuliner ini tidak hanya memuaskan selera, tetapi juga menceritakan sejarah pertanian dan kekayaan rempah-rempah yang subur di Banyumas.
Keanekaragaman kuliner di Banyumas mencerminkan daya adaptasi masyarakatnya. Bahan-bahan lokal seperti singkong, kedelai, dan gula kelapa diolah dengan cara yang unik dan khas, menghasilkan cita rasa yang tidak dapat ditiru di tempat lain. Bagi wisatawan, mencicipi kuliner khas adalah cara terbaik untuk merasakan jiwa sejati dari kehidupan masyarakat Ngapak di Banyumas.
Secara ekonomi, Banyumas adalah daerah yang seimbang antara sektor pertanian, industri kecil, dan jasa. Meskipun Purwokerto telah menjadi pusat urbanisasi yang cepat, sektor pedesaan tetap menjadi tulang punggung, terutama di sekitar lereng Gunung Slamet dan sepanjang aliran Sungai Serayu. Pertanian di Banyumas didominasi oleh padi, palawija, dan komoditas perkebunan seperti gula kelapa (gula aren).
Industri gula kelapa, atau gula jawa, adalah salah satu warisan ekonomi terpenting di Banyumas. Gula kelapa dari daerah ini dikenal memiliki kualitas tinggi dan aroma yang kuat. Proses pembuatannya yang masih tradisional dan padat karya memberikan mata pencaharian bagi ribuan keluarga. Pohon kelapa, yang tumbuh subur di wilayah dataran rendah di Banyumas, menjadi sumber daya alam yang vital. Pengolahan gula ini bukan hanya kegiatan ekonomi, melainkan juga bagian dari tradisi yang diwariskan turun-temurun, dari cara memanjat pohon hingga proses memasak nira menjadi gula cetak.
Purwokerto sebagai pusat Kabupaten Banyumas telah berkembang menjadi kota pendidikan yang signifikan. Keberadaan beberapa universitas besar menarik mahasiswa dari berbagai penjuru, yang pada gilirannya mendorong pertumbuhan sektor jasa, perumahan, dan kuliner. Urbanisasi ini membawa tantangan sekaligus peluang. Tantangan utamanya adalah menjaga keseimbangan antara modernisasi dan pelestarian budaya Ngapak yang otentik. Namun, keberadaan kaum terpelajar juga menjadi motor penggerak bagi inovasi sosial dan pelestarian bahasa serta seni tradisional di Banyumas.
Masyarakat di Banyumas dikenal memiliki etos kerja yang kuat dan sifat kekeluargaan yang erat. Semangat gotong royong, yang dalam Ngapak sering diistilahkan sebagai 'sambatan', masih sangat terasa di kehidupan desa. Sifat jujur dan terbuka yang diasosiasikan dengan Basa Ngapak juga diterjemahkan dalam dunia bisnis, menciptakan lingkungan yang relatif transparan dan mudah dipercaya.
Dalam beberapa dekade terakhir, sektor kerajinan tangan di Banyumas juga mulai mendapatkan perhatian. Kerajinan batik khas Banyumasan, meskipun tidak sepopuler batik Solo atau Jogja, memiliki motif dan pewarnaan yang unik, seringkali mengambil inspirasi dari alam sekitar, seperti motif Sungai Serayu atau Gunung Slamet. Pengembangan ekonomi kreatif ini menjadi salah satu fokus pemerintah daerah untuk diversifikasi pendapatan, selain dari sektor agraris tradisional.
Selain itu, peran transportasi sebagai jalur selatan Jawa Tengah juga sangat vital. Posisi strategis di Banyumas, yang dilewati jalur kereta api dan jalan raya utama antar provinsi, menjadikannya simpul logistik yang penting. Hal ini memfasilitasi perdagangan hasil bumi dan produk industri kecil dari di Banyumas ke wilayah lain, memperkuat posisi ekonomi regional.
Transformasi digital juga mulai merambah di Banyumas. Pengusaha-pengusaha muda memanfaatkan teknologi untuk memasarkan produk-produk Ngapak, mulai dari Getuk Goreng hingga pakaian dengan desain berlogat Ngapak. Ini menunjukkan bahwa masyarakat di Banyumas sangat adaptif terhadap perkembangan zaman, tanpa harus meninggalkan akar budaya mereka.
Banyumas adalah wilayah yang kaya dan kompleks, identitasnya dibentuk oleh kontradiksi harmonis antara sejarah kerakyatan yang egaliter dan geografi yang menantang. Dari dinginnya lereng Gunung Slamet hingga hangatnya sambal kecap Mendoan, setiap elemen kehidupan di Banyumas saling terkait dan memperkuat satu sama lain.
Kekuatan terbesar di Banyumas terletak pada jati diri yang dipegang teguh, yang diwujudkan melalui Basa Ngapak yang jujur dan blak-blakan. Seni Lengger dan Ebeg menjadi cerminan semangat kerakyatan yang dinamis dan ekspresif. Sementara itu, Purwokerto terus bertumbuh sebagai pusat modernisasi, tetap berakar pada tradisi yang berpusat di Banyumas Kota Lama.
Mengunjungi di Banyumas adalah sebuah pengalaman untuk menyelami Jawa yang berbeda—Jawa yang lebih terbuka, lebih santai, namun tetap kaya akan filosofi dan nilai-nilai luhur. Banyumas bukan sekadar titik pada peta, tetapi sebuah entitas budaya yang hidup, berkembang, dan bangga akan warisan Ngapak mereka.
Dalam konteks pelestarian budaya nasional, Banyumas memainkan peran krusial sebagai penyeimbang budaya Jawa Keraton, memastikan bahwa keberagaman dialek dan seni rakyat tetap diakui dan diapresiasi. Warisan yang ditinggalkan oleh para pendahulu di Banyumas, dari Raden Adipati Mrapat hingga seniman Lengger yang legendaris, adalah modal sosial yang tak ternilai harganya. Mereka menjaga agar semangat 'Ora Ngapak Ora Kepenak' (Tidak Ngapak Tidak Enak) tetap hidup di setiap generasi di Banyumas. Kehangatan sambutan yang diberikan oleh masyarakat, ditambah dengan kelezatan kuliner yang menggugah selera, menjadikan perjalanan ke di Banyumas selalu meninggalkan kesan yang mendalam dan keinginan untuk kembali.