Prinsip Kasih Sayang, Keadilan, dan Pengendalian Diri di Tengah Konflik
Dalam lanskap sejarah Islam yang sarat pergolakan, sosok Ali bin Abi Thalib, sepupu sekaligus menantu Nabi Muhammad SAW, berdiri sebagai mercusuar kebijaksanaan, keberanian, dan yang paling utama, kasih sayang yang melampaui batas-batas permusuhan. Ajaran dan kehidupan beliau memberikan pedoman universal, khususnya mengenai bagaimana seorang pemimpin atau individu harus berinteraksi dengan dunia yang penuh kontradiksi.
Salah satu pesan moral paling krusial dan berulang dari warisan beliau, yang relevan hingga masa kini, adalah penegasan untuk 'jangan membenci siapapun'. Ini bukan sekadar anjuran moral yang lunak, melainkan fondasi kokoh bagi keadilan sosial dan kedamaian batin. Dalam menghadapi musuh yang paling keras sekalipun, Ali mengajarkan bahwa kebencian adalah racun yang pertama-tama merusak jiwa pembawa kebencian itu sendiri, sebelum merusak targetnya.
Konteks kehidupan Ali adalah konteks peperangan, konflik politik, dan fitnah. Beliau menyaksikan pengkhianatan, pertumpahan darah, dan ketidakadilan yang luar biasa. Justru dalam situasi ekstrem inilah, prinsip untuk menolak kebencian menjadi ujian terberat dan bukti autentikasi dari kemurnian jiwanya. Baginya, kebencian bukanlah senjata, melainkan kelemahan moral yang harus diperangi dengan kesabaran, keadilan, dan hikmah.
Artikel ini akan menelusuri secara mendalam mengapa ajaran anti-kebencian ini begitu sentral dalam filsafat hidup Ali bin Abi Thalib, bagaimana ia mempraktikkannya, dan bagaimana pandangan ini menjadi penawar bagi jiwa yang terpecah-belah oleh dendam dan permusuhan abadi.
Ali bin Abi Thalib sering menekankan bahwa musuh terbesar manusia bukanlah yang berada di luar dirinya, melainkan nafs (diri/ego) yang dibimbing oleh emosi destruktif. Kebencian (al-hiqd) dilihat sebagai penyakit batin yang mengikis iman dan kejernihan pikiran. Ketika kebencian menguasai hati, ia memutarbalikkan persepsi tentang keadilan, membuat seseorang cenderung membalas dendam daripada mencari solusi yang berkelanjutan.
Dalam pandangan Ali, seorang pemimpin atau pribadi yang adil tidak boleh bertindak atas dasar emosi pribadi, apalagi kebencian yang mendalam. Kebencian mendorong bias, sementara keadilan menuntut objektivitas sempurna. Kekuatan yang sejati, menurut beliau, adalah kemampuan untuk mengendalikan api kemarahan dan kebencian saat berada di puncak kekuasaan atau kemenangan.
Beliau mengajarkan bahwa jika kita membiarkan kebencian terhadap seseorang tumbuh, energi spiritual kita akan terkuras habis untuk memelihara dendam, bukannya digunakan untuk membangun kebaikan atau melakukan introspeksi diri. Hati yang dipenuhi kebencian adalah hati yang sempit, tidak mampu menerima cahaya kebijaksanaan dan rahmat.
Prinsip keadilan adalah pilar utama ajaran Ali. Definisi keadilannya sangat luas, meliputi keadilan terhadap diri sendiri, sesama Muslim, bahkan terhadap musuh. Seringkali, manusia memahami keadilan sebagai balasan yang setimpal. Ali menaikkan standar keadilan menjadi sesuatu yang bersifat Ilahiah: menjamin hak setiap individu, bahkan jika individu tersebut adalah pihak yang zalim atau memusuhi kita.
Dalam surat terkenal beliau kepada Malik al-Asytar, gubernur Mesir, Ali menekankan pentingnya memerintah dengan belas kasih dan tidak menggunakan kekuasaan untuk memuaskan kebencian lama. Beliau menulis, "Peliharalah dalam dirimu rasa belas kasihan, kasih sayang, dan kebaikan untuk rakyatmu. Janganlah kamu menjadi seperti binatang buas yang menganggap mereka sebagai mangsa yang enak dimakan." Pesan ini jelas menunjukkan bahwa kebencian adalah sifat hewani yang harus diatasi oleh rasio dan spiritualitas manusiawi.
Penolakan terhadap kebencian adalah konsekuensi langsung dari penerapan keadilan universal ini. Apabila kebencian diizinkan menjadi motivator tindakan, maka hukuman yang dijatuhkan tidak lagi bertujuan untuk memperbaiki atau menegakkan hukum, melainkan untuk memuaskan hasrat balas dendam yang destruktif. Kebencian merusak keseimbangan hukum yang seharusnya bersifat netral dan murni.
Perintah "jangan membenci siapapun" berakar pada konsep Rahmah (kasih sayang dan rahmat) yang merupakan esensi ajaran Islam. Ali memahami bahwa kasih sayang harus bersifat inklusif. Ketika beliau mengatakan "siapapun," beliau benar-benar merujuk pada semua manusia, terlepas dari keyakinan, status sosial, atau permusuhan historis. Ini adalah wujud ketaatan tertinggi.
Mengapa harus ada kasih sayang kepada musuh? Karena Ali menyadari sifat sementara dari konflik duniawi. Musuh hari ini mungkin adalah sahabat esok hari, atau setidaknya, mereka tetaplah ciptaan Tuhan. Memberikan belas kasihan dan menahan diri dari kebencian adalah investasi bagi masa depan kemanusiaan yang lebih baik, di mana rekonsiliasi selalu mungkin terjadi.
Apabila seseorang membenci orang lain, ia secara tidak langsung menganggap dirinya lebih unggul dan suci. Ali justru mengajarkan kerendahan hati: kita semua adalah manusia yang rentan terhadap kesalahan, dan hari penghakiman sejati adalah milik Tuhan, bukan milik kita. Oleh karena itu, kita harus menyerahkan penghakiman tertinggi kepada-Nya dan fokus pada perbaikan diri serta penyebaran kebaikan di dunia ini.
Kisah Ali yang paling sering dikutip untuk menggambarkan pengendalian diri dan penolakan kebencian terjadi di medan pertempuran. Diceritakan bahwa dalam sebuah duel sengit, Ali berhasil menjatuhkan musuhnya. Ketika hendak menghunus pedang untuk mengakhiri nyawa lawannya, musuh tersebut meludahinya. Ali seketika melepaskan musuhnya dan menjauh.
Musuh yang terkejut bertanya mengapa Ali membiarkannya hidup. Ali menjawab, "Aku datang untuk membunuhmu demi Tuhan (karena kamu melawan kebenaran), tetapi ketika kamu meludahiku, amarah pribadiku bangkit. Aku takut bahwa jika aku membunuhmu saat itu, aku akan membunuhmu demi diriku sendiri (demi kepuasan pribadi), dan bukan lagi demi Allah. Aku tidak ingin mencampuradukkan jihad dengan nafsu pribadi."
Momen ini adalah manifestasi paling murni dari prinsip 'jangan membenci siapapun'. Ali membedakan antara penegakan keadilan yang dilakukan berdasarkan prinsip murni, dengan tindakan balas dendam yang didorong oleh kemarahan dan kebencian. Pembunuhan yang didorong oleh kebencian adalah dosa. Tindakan ini menunjukkan bahwa bahkan dalam situasi hidup dan mati, kejernihan niat harus dijaga, dan kebencian pribadi harus ditiadakan.
Setelah berbagai konflik internal yang pahit, termasuk Perang Jamal dan Perang Siffin, Ali bin Abi Thalib menunjukkan kemurahan hati yang luar biasa kepada mereka yang kalah. Beliau tidak pernah melakukan pembersihan politik, tidak menjarah harta musuh yang kalah, dan tidak memperlakukan tawanan perang dengan kekejaman.
Prinsip beliau adalah bahwa permusuhan berakhir di medan perang. Begitu pertempuran usai, lawan kembali menjadi warga negara yang berhak atas perlakuan adil. Kebijakan ini merupakan bentuk kasih sayang praktis. Beliau menolak untuk memelihara siklus kebencian dan balas dendam yang akan merobek-robek masyarakat lebih lanjut.
Sikap ini sangat kontras dengan norma politik pada masa itu, di mana kemenangan sering kali diikuti oleh pembantaian dan perampasan. Ali, dengan tegas, memilih jalur rekonsiliasi yang didasari oleh prinsip keadilan dan penolakan kebencian pribadi. Beliau menyadari bahwa kebencian yang dipelihara oleh penguasa akan diturunkan kepada generasi berikutnya, menjamin konflik yang tak berkesudahan.
Kebencian terbesar yang dialami Ali adalah dari kelompok Khawarij, yang pada akhirnya membunuh beliau. Namun, bahkan dalam wasiat terakhirnya, saat beliau berada di ambang kematian akibat serangan beracun, Ali tetap menyerukan keadilan, bukan balas dendam.
Beliau memerintahkan agar si pembunuh, Abdurrahman bin Muljam, diperlakukan secara adil. Jika beliau hidup, beliau akan memutuskan hukumannya. Jika beliau wafat, maka sang pembunuh hanya boleh dihukum mati dengan satu kali tebasan pedang, tanpa penyiksaan, dan tanpa menyentuh orang lain atau keluarga bin Muljam yang tidak bersalah.
Wasiat ini adalah puncak ajaran anti-kebencian beliau. Meskipun menghadapi pengkhianatan dan kekejaman yang ekstrem, Ali menolak untuk membalas dengan kebencian massal. Keadilan harus tetap menjadi panduan, bahkan dalam momen paling menyakitkan. Ini adalah teladan universal tentang bagaimana menghadapi tragedi tanpa membiarkan tragedi tersebut mengubah kita menjadi monster yang kita benci.
Ali bin Abi Thalib melihat kebencian bukan hanya sebagai masalah pribadi, tetapi juga sebagai ancaman fundamental terhadap persatuan dan stabilitas sosial. Kebencian, ketika diinstitusionalisasikan atau dibiarkan tumbuh dalam kelompok, menghasilkan fitnah (perpecahan) yang tak tersembuhkan.
Beliau sering memperingatkan bahwa perselisihan dan kebencian adalah pintu masuk bagi syaitan untuk merusak komunitas. Ketika orang-orang berhenti melihat sesama manusia sebagai saudara atau setidaknya sebagai sesama ciptaan, dan mulai melihat mereka sebagai objek kebencian, maka dialog terhenti, dan kekerasan menjadi solusi satu-satunya.
Ali memahami siklus kebencian: kebencian melahirkan ketidakpercayaan, ketidakpercayaan melahirkan prasangka, prasangka melahirkan fitnah, dan fitnah melahirkan perang. Untuk memutus siklus ini, kita harus memotong akarnya, yaitu menolak memelihara kebencian di hati kita sejak awal. Kasih sayang dan dialog, meskipun sulit, adalah satu-satunya cara untuk membangun jembatan di atas jurang permusuhan yang diciptakan oleh kebencian.
Dalam konteks kepemimpinan, Ali mengajarkan bahwa kebencian adalah diskualifikasi moral. Seorang pemimpin yang membenci sekelompok rakyatnya tidak akan pernah mampu memberikan keadilan yang setara. Kebencian membuat pemimpin buta terhadap kebenaran dan rentan terhadap sanjungan dari kroni-kroni yang hanya memuaskan ego dan dendamnya.
Ali menekankan pentingnya memerintah dengan hati yang lapang (sadr al-wasii'). Hati yang lapang adalah hati yang mampu memaafkan, bersabar menghadapi kritik, dan berempati terhadap penderitaan orang lain, bahkan mereka yang salah arah. Kebencian, sebaliknya, membuat hati menjadi sempit dan kaku, tidak mampu menerima nasihat atau melihat perspektif yang berbeda.
Salah satu kutipan yang paling dalam dari Ali menekankan bahwa kebijaksanaan sejati terletak pada pengendalian lidah dan hati: "Jadikan lidahmu lembut dan hatimu lembut, karena dengan itu kamu akan mendapatkan kasih sayang dari manusia." Kebencian adalah kebalikan dari kelembutan hati yang beliau serukan. Kebencian adalah kekerasan batin yang harus dihindari oleh mereka yang ingin memimpin dengan integritas.
Sering terjadi kesalahpahaman bahwa menolak membenci seseorang berarti kita harus menyetujui kesalahan atau dosa mereka. Ali mengajarkan pembedaan yang sangat penting: Kita diperintahkan untuk membenci kezaliman, ketidakadilan, dan dosa (al-munkar), tetapi tidak untuk membenci individu yang melakukannya. Individu tersebut mungkin adalah korban dari kebodohan, lingkungan yang buruk, atau hasutan.
Apabila kita membenci dosa (perbuatan), kita akan berusaha memperbaiki situasi dan menegakkan hukum. Apabila kita membenci pelaku dosa (orangnya), kita cenderung merendahkan martabat kemanusiaannya dan menutup pintu bagi pertobatan dan rehabilitasi.
Dalam pandangan Ali, setiap manusia memiliki potensi untuk kebaikan. Tugas kita sebagai sesama manusia adalah menargetkan perbuatan buruk sambil mempertahankan harapan akan perbaikan bagi pelakunya. Kebencian mematikan harapan ini, sementara kasih sayang, meskipun tetap tegas dalam menegakkan keadilan, mempertahankan ruang untuk Rahmah Ilahi bekerja dalam diri individu tersebut.
Inti dari perintah Ali "jangan membenci siapapun" adalah pengakuan mendasar akan kesamaan esensial kemanusiaan. Dalam Surat kepada Malik al-Asytar, beliau secara eksplisit mengajarkan: "Ingatlah Malik, bahwa orang-orang itu ada dua macam: Mereka adalah saudaramu dalam agama, atau sesamamu dalam penciptaan."
Deklarasi ini adalah salah satu pernyataan hak asasi manusia yang paling awal dan paling inklusif dalam sejarah politik. Ini menghancurkan batas-batas kebencian yang didasarkan pada perbedaan suku, agama, atau afiliasi politik. Jika seseorang bukan saudaramu seiman, ia tetaplah sesamamu yang diciptakan oleh Tuhan yang sama, dan karena itu, berhak atas martabat dan perlakuan adil.
Prinsip ini secara otomatis meniadakan validitas kebencian sektarian, etnis, atau agama. Kebencian yang didasari oleh prasangka kelompok adalah bentuk kebodohan kolektif yang bertentangan dengan ajaran universal Ali. Bagi Ali, empati harus bersifat universal; kemampuan untuk merasakan penderitaan orang lain, bahkan musuh, adalah tanda kedewasaan spiritual.
Kebencian dan hikmah (kebijaksanaan) tidak dapat hidup berdampingan. Kebencian selalu menghasilkan reaksi yang tergesa-gesa, keputusan yang tidak bijaksana, dan kekerasan yang tidak perlu. Hikmah, sebaliknya, menuntut kesabaran, refleksi, dan pandangan jauh ke depan mengenai konsekuensi dari setiap tindakan.
Ali sering menekankan perlunya kesabaran (sabr) sebagai benteng pertahanan melawan godaan kebencian. Sabar bukan berarti pasif, melainkan kemampuan untuk menunda reaksi emosional, memberi ruang bagi akal untuk berpikir, dan membiarkan amarah berlalu sebelum mengambil keputusan. Hanya dalam keadaan tenang, yang bebas dari asap kebencian, seseorang dapat melihat situasi dengan jelas dan bertindak adil.
Para pengikut kebencian cenderung hanya melihat keburukan. Orang yang berhikmah, seperti Ali, akan melihat gambaran yang lebih besar: potensi perbaikan, sebab-akibat kezaliman, dan jalan keluar yang tidak melibatkan kehancuran total pihak lain. Hikmah selalu mencari penyelesaian yang menguntungkan semua pihak dalam jangka panjang, sedangkan kebencian hanya mencari pemuasan instan.
Salah satu alasan terkuat Ali untuk menolak kebencian adalah dampaknya terhadap warisan moral. Jika kita mengajarkan generasi kita untuk membenci, kita mewariskan perang yang tidak pernah berakhir. Kebencian bersifat menular dan abadi; ia diteruskan melalui cerita, trauma, dan dendam historis.
Dengan memutus rantai kebencian—melalui pengampunan, keadilan yang tidak memihak, dan perlakuan yang bermartabat terhadap musuh yang kalah—Ali berusaha memastikan bahwa negara yang ia pimpin tidak akan terjebak dalam siklus kekerasan tanpa akhir. Meskipun upayanya menghadapi tantangan besar pada masanya, prinsip ini tetap menjadi cetak biru bagi masyarakat yang ingin mencapai perdamaian berkelanjutan.
Menciptakan ruang untuk pengampunan bukan berarti melupakan kesalahan, tetapi membebaskan masa depan dari beban masa lalu. Kebencian adalah beban terberat yang dapat dipikul oleh suatu masyarakat, dan Ali mengajarkan bahwa kebebasan sejati dimulai ketika kita menolak beban emosional tersebut.
Dalam ajaran spiritual Ali, kebencian seringkali dipandang sebagai bisikan iblis yang memanfaatkan kelemahan manusiawi, terutama rasa bangga dan keinginan untuk membalas dendam. Melawan kebencian adalah bentuk jihad terbesar, jihad an-nafs (perjuangan melawan diri sendiri).
Ali mengajarkan bahwa ketika kita merasa kebencian mulai muncul, kita harus segera mencari perlindungan spiritual dan melakukan introspeksi mendalam. Apakah kebencian ini valid dari sisi keadilan Ilahi, ataukah ia hanya didorong oleh ego yang terluka? Jawaban yang benar hampir selalu menunjuk pada yang terakhir.
Perlawanan batin ini menuntut kejujuran radikal terhadap diri sendiri. Seseorang harus mampu mengakui bahwa meskipun orang lain mungkin telah berbuat salah, kita tidak berhak menduduki takhta kebencian. Kita harus memilih untuk menjadi pembawa rahmat dan pengampunan, mencontoh sifat-sifat Tuhan yang Maha Pengasih, daripada menjadi instrumen dendam dan amarah. Ini adalah tugas spiritual yang tidak pernah berakhir.
Ali bin Abi Thalib sering mengingatkan tentang sifat sementara dari kehidupan duniawi dan pentingnya memikirkan konsekuensi abadi dari tindakan kita. Kebencian yang kita pelihara hari ini dapat menghasilkan penyesalan abadi di Hari Akhir. Jika kita bertindak kejam terhadap seseorang yang didasari kebencian, bahkan jika kita merasa dibenarkan secara duniawi, kita telah mengambil hak Tuhan untuk memberikan pengampunan dan rahmat.
Dengan menahan diri dari kebencian, kita menjaga peluang bagi diri kita sendiri untuk menerima ampunan. Jika kita tidak mampu mengampuni sesama manusia yang lemah, bagaimana kita bisa berharap Tuhan Yang Maha Kuasa akan mengampuni kelemahan dan kesalahan kita?
Pengampunan bukanlah tanda kelemahan, melainkan tanda kekuatan spiritual yang luar biasa, kemampuan untuk melihat melampaui kesalahan masa lalu dan mengizinkan masa depan yang lebih baik. Hanya mereka yang kuat secara moral yang mampu menanggalkan hak untuk membenci dan membalas dendam.
Tujuan utama dari semua ajaran etika dan spiritual Ali adalah pencapaian qalb salim, hati yang bersih dan sehat. Hati yang bersih tidak mengandung kebencian, iri hati, atau dendam. Kebencian adalah racun yang menghancurkan kebersihan ini, menjadikannya hati yang sakit dan terpisah dari Tuhan.
Menjaga hati dari kebencian memerlukan latihan disiplin yang konstan: memaafkan kesalahan kecil, memandang kekurangan orang lain dengan belas kasih, dan selalu mencari alasan yang baik di balik tindakan orang lain, meskipun tindakan itu menyakitkan. Latihan ini adalah kunci untuk hidup tenang, damai, dan memiliki fokus spiritual yang tidak terganggu oleh kekacauan emosi duniawi.
Sebaliknya, Ali menekankan, mereka yang memelihara kebencian akan hidup dalam siksaan abadi yang mereka ciptakan sendiri. Kebahagiaan sejati tidak mungkin ditemukan dalam hati yang terkunci oleh permusuhan. Kebahagiaan lahir dari kebebasan untuk mencintai dan memberi, bahkan kepada mereka yang tidak pantas menerimanya menurut standar duniawi.
Di era digital, di mana interaksi seringkali anonim dan diwarnai oleh "budaya batal" (cancel culture) dan kebencian daring (online hatred), ajaran Ali bin Abi Thalib menjadi semakin mendesak. Media sosial telah menjadi wadah yang subur bagi kebencian, di mana prasangka dan fitnah menyebar dengan kecepatan kilat, merusak reputasi dan memicu polarisasi ekstrem.
Prinsip Ali untuk "jangan membenci siapapun" menuntut kita untuk menerapkan filter moral pada setiap kata yang kita ucapkan atau ketik. Apakah komentar kita didorong oleh keinginan untuk memperbaiki kezaliman, ataukah didorong oleh kebencian pribadi dan kebutuhan untuk menjatuhkan orang lain? Jika motivasinya adalah kebencian, maka tindakan itu, menurut standar moral Ali, adalah kezaliman baru.
Ali mengajarkan pentingnya verifikasi dan kehati-hatian dalam menerima berita, sebuah prinsip yang sangat vital melawan disinformasi. Kebencian seringkali dipicu oleh informasi palsu. Dengan menolak kebencian, kita dipaksa untuk mencari kebenaran, menanyakan mengapa seseorang bertindak seperti itu, dan menahan diri dari menghakimi secara gegabah berdasarkan asumsi yang belum terverifikasi.
Ajaran Ali tentang keadilan universal dan pengakuan terhadap "sesama dalam penciptaan" adalah landasan bagi toleransi beragama yang sejati. Di masa ketika perbedaan keyakinan sering digunakan sebagai pembenaran untuk kebencian dan kekerasan, Ali menawarkan model koeksistensi yang didasarkan pada martabat manusia.
Beliau memastikan hak-hak warga negara non-Muslim dilindungi sepenuhnya di bawah pemerintahannya, bahkan memberikan mereka perlindungan sosial. Sikap ini menegaskan bahwa keadilan dan kasih sayang tidak terbatas pada batas-batas agama. Jika kita mampu menahan kebencian terhadap mereka yang berjuang melawan kita secara fisik, kita tentu harus mampu menahan kebencian terhadap mereka yang hanya berbeda pandangan spiritual dengan kita.
Dialog dan pemahaman adalah musuh alami kebencian. Ali mengajarkan bahwa kekuatan argumen yang adil jauh lebih unggul daripada kekuatan pedang yang didorong oleh kebencian. Dengan membuka diri pada dialog, kita melihat humanitas di balik perbedaan, dan ini adalah langkah pertama untuk meniadakan kebencian yang bersifat stereotip.
Pada akhirnya, ajaran Ali bin Abi Thalib ini adalah panggilan untuk mewujudkan potensi kemanusiaan kita yang paling tinggi. Manusia diciptakan dengan kemampuan untuk mencintai, berempati, dan memilih kebaikan. Kebencian adalah kemunduran ke kondisi yang lebih primitif, meniadakan kemampuan kita untuk bertindak secara sadar dan bermartabat.
Ajaran "jangan membenci siapapun" adalah cerminan dari keyakinan mendalam bahwa setiap jiwa berharga. Bahkan ketika kita harus menegakkan keadilan dengan keras, niat di baliknya haruslah keadilan itu sendiri, bukan pemuasan hasrat pribadi untuk melihat orang lain menderita. Tindakan yang dimotivasi oleh kebencian, bahkan jika berhasil secara politis, selalu gagal secara spiritual.
Untuk menjalani hidup yang bermakna dan berkontribusi pada perdamaian dunia, kita harus terlebih dahulu memenangkan peperangan batin melawan kebencian. Kita harus memilih untuk bersikap lembut hati, adil, dan murah hati. Warisan Ali adalah panduan praktis untuk mencapai kemenangan spiritual ini, sebuah kemenangan yang mengubah musuh menjadi sesama, dan mengubah hati yang gelap menjadi mercusuar cahaya.
Kehidupan Ali bin Abi Thalib adalah sebuah tes parameter moral yang luar biasa. Di tengah pusaran kekuasaan, pengkhianatan, dan konflik, beliau berhasil mempertahankan inti spiritualitasnya dengan memegang teguh prinsip anti-kebencian.
Perintah beliau untuk 'jangan membenci siapapun' bukanlah sebuah idealisme yang naif, melainkan sebuah strategi bertahan hidup spiritual yang fundamental. Kebencian adalah beban yang kita pikul, yang menghambat kemajuan spiritual dan merusak kemampuan kita untuk memimpin atau hidup secara adil.
Setiap individu memiliki pilihan setiap hari: apakah kita akan memelihara kebencian dan membiarkan diri kita diracuni, ataukah kita akan memilih jalur yang lebih sulit namun lebih mulia, yaitu pengampunan, kasih sayang, dan keadilan yang tidak memihak, seperti yang dicontohkan oleh Ali. Hanya dengan menolak kebencian, kita dapat berharap membangun masyarakat yang sejati-jatinya damai, baik di dalam maupun di luar diri kita.
Warisan ajaran beliau tentang pengendalian diri dan kasih sayang universal terus bergema melintasi zaman, menantang kita semua untuk mengatasi godaan amarah dan memeluk kemanusiaan kita secara penuh, dengan hati yang lapang dan bebas dari segala bentuk dendam.
Kita menutup renungan ini dengan mengingat kembali hakikat sejati dari kekuatan: kekuatan yang sejati terletak pada kemampuan untuk mengalahkan musuh dalam diri—yaitu kebencian—sebelum kita berhadapan dengan musuh di luar.
***
Penolakan terhadap kebencian adalah tugas yang membutuhkan latihan terus-menerus. Ia membutuhkan kita untuk menghadapi prasangka terdalam kita dan melepaskan hak kita untuk membalas dendam yang menyakitkan. Kebencian adalah mata rantai yang menghubungkan kita dengan kejahatan masa lalu; pengampunan adalah pemutusan mata rantai tersebut.
Dalam konteks modern, di mana dunia terasa semakin terfragmentasi oleh perbedaan ideologi dan kebencian kolektif, kita harus kembali pada ajaran dasar ini. Setiap kali kita merasa marah, setiap kali kita tergoda untuk menghakimi dan membenci, kita harus mengingat kisah Ali di medan perang—bagaimana ia memilih keadilan Ilahi di atas kepuasan ego yang fana.
Kasih sayang yang diajarkan Ali bukan berarti kelemahan; ia adalah keadilan yang paling tinggi. Keadilan yang mampu memberikan hak kepada yang pantas menerimanya, sambil tetap menjaga martabat dan ruang untuk pertobatan bagi yang bersalah. Ini adalah jalan yang sulit, tetapi ini adalah satu-satunya jalan menuju kedamaian sejati, sebuah kedamaian yang dimulai dari kedalaman hati yang memilih untuk tidak membenci siapapun.
Ajaran ini terus mengingatkan kita bahwa kita adalah makhluk yang saling terhubung. Rasa sakit yang kita timbulkan melalui kebencian pada akhirnya akan kembali pada diri kita sendiri. Sebaliknya, setiap tindakan kebaikan dan pengampunan yang kita tebar akan menjadi benih kedamaian yang berbuah manis bagi kita dan generasi yang akan datang. Dengan membebaskan diri dari kebencian, kita membebaskan jiwa kita untuk mencapai tujuan spiritualnya yang paling luhur: menjadi manifestasi rahmat di muka bumi.
Hanya dengan menanggalkan baju kebencian, kita dapat mengenakan jubah keadilan dan hikmah yang abadi. Ali bin Abi Thalib menunjukkan bahwa hal ini mungkin, bahkan di tengah badai permusuhan terhebat. Warisan kebijaksanaannya adalah undangan abadi untuk memilih cinta di atas benci, empati di atas dendam, dan keadilan di atas amarah pribadi.
***
Penegasan terhadap perlunya pengendalian diri ini adalah repetisi penting dalam warisan Ali. Dia memahami betul bahwa kekuasaan tanpa kendali diri adalah kehancuran. Kebencian adalah bentuk kekuasaan yang tak terkendali. Ia adalah nafsu yang menuntut pengorbanan, dan korbannya yang pertama adalah hati nurani. Oleh karena itu, bagi Ali, menolak kebencian adalah tindakan pertahanan diri spiritual yang paling esensial.
Dalam konteks menghadapi perbedaan pendapat yang tajam, Ali selalu mengajarkan dialog yang sopan. Ketika kebencian merasuki sebuah diskusi, ia mengubah dialog menjadi monolog yang tuli. Ia menciptakan dinding yang tidak dapat ditembus. Ajaran beliau mendorong kita untuk mendengar, bahkan jika kita tidak setuju, dan mencari titik temu kemanusiaan di balik perselisihan ideologis.
Sikap toleran yang dituntut Ali meluas hingga ke domain pribadi. Kita diperintahkan untuk tidak membenci mereka yang memiliki kebiasaan buruk, atau mereka yang membuat keputusan hidup yang kita anggap salah. Kebencian terhadap kebiasaan buruk orang lain hanya akan menjauhkan kita dari kemungkinan memberikan nasihat yang konstruktif atau membantu mereka mencari jalan perbaikan. Kasih sayang membuka pintu, kebencian menutupnya rapat-rapat.
Ali mengajarkan bahwa kita harus fokus pada kekurangan diri sendiri, bukan pada cacat orang lain. Kebencian seringkali adalah proyeksi ketidaknyamanan kita sendiri terhadap kekurangan yang kita lihat pada orang lain. Ketika kita disibukkan dengan memperbaiki batin kita sendiri, kita tidak punya waktu atau energi untuk memelihara kebencian terhadap siapapun.
Prinsip "jangan membenci siapapun" juga merupakan bentuk investasi sosial. Masyarakat yang didasarkan pada rasa saling menghormati, meskipun berbeda pandangan, akan jauh lebih tangguh dan stabil daripada masyarakat yang terbagi oleh kebencian abadi. Ali berusaha menciptakan masyarakat yang didukung oleh rahmat dan ketenangan batin, bukan oleh intimidasi atau rasa takut.
Kita harus selalu ingat bahwa kebencian memenjarakan jiwa kita sendiri dalam penjara yang dibuat oleh emosi negatif. Kebebasan sejati, yang dicari oleh para sufi dan filsuf, hanya dapat dicapai ketika hati kita terbebas dari rantai kebencian dan dendam. Kebebasan ini memungkinkan kita untuk melihat dunia dengan mata yang jernih, penuh harapan, dan kemampuan untuk bertindak dengan keadilan yang murni.
Demikianlah, melalui setiap ajarannya, melalui setiap tindakan politik dan pribadinya, Ali bin Abi Thalib memberikan penekanan yang tak tergoyahkan: Pilihlah kasih sayang. Pilihlah keadilan. Dan yang terpenting, jangan pernah, dalam keadaan apapun, membenci siapapun.