Perjalanan sebuah bangsa menuju kemakmuran dan status negara maju memerlukan peta jalan yang terstruktur, visioner, dan adaptif terhadap dinamika global. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) memegang peranan sentral dalam merumuskan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN), sebuah dokumen strategis yang memandu langkah-langkah pembangunan selama dua dekade. Setelah menuntaskan fase awal penguatan fundamental, Indonesia kini memasuki fase krusial berikutnya—fase kedua pembangunan jangka panjang—yang berfokus pada akselerasi transformasi struktural, peningkatan daya saing, dan penciptaan nilai tambah berkelanjutan.
Fase kedua ini bukan sekadar kelanjutan, melainkan sebuah lompatan kuantum yang harus memastikan bahwa Indonesia mampu keluar dari jebakan pendapatan menengah (*middle income trap*). Mandat utama Bappenas dalam periode ini adalah menyusun arsitektur kebijakan yang menghubungkan visi makro 2045 dengan implementasi program mikro, memastikan setiap rupiah investasi pemerintah, baik pusat maupun daerah, memiliki dampak multiplikasi yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi inklusif dan berkualitas. Fokus utama beralih dari sekadar pertumbuhan angka Produk Domestik Bruto (PDB) menjadi peningkatan kompleksitas ekonomi, penguatan kapabilitas teknologi domestik, dan jaminan keberlanjutan lingkungan bagi generasi mendatang. Ini adalah era di mana perencanaan harus berkarakter adaptif, prediktif, dan terintegrasi secara horizontal maupun vertikal antar-sektor.
Transformasi yang diusung dalam fase kedua pembangunan berlandaskan pada tiga pilar strategis yang saling menguatkan. Bappenas memandang bahwa keberhasilan mencapai Indonesia Emas 2045 hanya mungkin tercapai jika intervensi kebijakan dilakukan secara simultan dan terkoordinasi pada area-area berikut, yang mencerminkan upaya maksimal untuk membangun fondasi ekonomi baru yang lebih resilien, berorientasi masa depan, dan minim risiko eksternal.
Pilar ini diakui sebagai kunci utama. Indonesia tidak hanya membutuhkan tenaga kerja yang banyak, tetapi juga angkatan kerja yang adaptif, inovatif, dan terampil dalam bidang teknologi mutakhir. Strategi Bappenas menekankan pada perubahan paradigma pendidikan dan pelatihan vokasi, dari sistem yang berorientasi penawaran (supply-driven) menjadi sistem yang didorong oleh kebutuhan pasar dan industri (demand-driven). Ini melibatkan reformasi kurikulum yang masif, integrasi teknologi kecerdasan buatan (AI) dan Internet of Things (IoT) ke dalam materi ajar, serta kemitraan yang mendalam antara institusi pendidikan tinggi dengan sektor industri unggulan.
Upaya spesifik dalam penguatan modal manusia meliputi: **Akselerasi Inovasi Kesehatan**, di mana Bappenas mendorong integrasi layanan kesehatan primer dengan sistem informasi digital nasional, guna meningkatkan kualitas pencegahan stunting dan penyakit tidak menular. Selain itu, investasi pada riset dan pengembangan (R&D) harus ditingkatkan secara eksponensial, mencapai target persentase PDB yang setara dengan negara-negara G20. Bappenas berperan sebagai orkestrator yang memastikan dana R&D tidak terfragmentasi, melainkan terfokus pada bidang-bidang prioritas seperti energi terbarukan, bioteknologi, dan material maju.
Fase kedua menuntut pergeseran radikal dari ekonomi berbasis komoditas dan sumber daya alam mentah menuju ekonomi manufaktur dan jasa bernilai tinggi. Bappenas merancang strategi industrialisasi yang selektif dan terarah, dikenal sebagai Strategi Transformasi Ekonomi Terstruktur, yang menargetkan sektor-sektor dengan potensi daya saing global, seperti kendaraan listrik, industri semikonduktor, dan pusat data regional. Ini memerlukan dukungan infrastruktur digital yang sangat robust dan kebijakan fiskal yang menarik bagi investasi asing langsung (FDI) berkualitas.
Di samping itu, penguatan rantai pasok domestik dan global menjadi agenda utama. Bappenas fokus pada deregulasi yang mempermudah investasi pada hilirisasi sumber daya alam, tetapi dengan syarat ketat: hilirisasi harus ramah lingkungan dan terintegrasi dengan pengembangan talenta lokal. Target utamanya adalah peningkatan signifikan dalam kompleksitas ekspor non-migas, sehingga Indonesia tidak lagi rentan terhadap fluktuasi harga komoditas global. Ini melibatkan pembentukan kawasan ekonomi khusus (KEK) yang spesifik dan terintegrasi dengan universitas serta pusat riset regional.
Salah satu tantangan terbesar yang diidentifikasi Bappenas adalah diskrepansi antara perencanaan pusat (RPJPN) dengan perencanaan daerah (RPJPD). Fase kedua menekankan pada mekanisme sinkronisasi baru, menggunakan sistem pemantauan digital terpadu. Hal ini memastikan bahwa proyek-proyek strategis nasional dapat diakselerasi di tingkat daerah tanpa hambatan birokrasi, sekaligus menjamin alokasi Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Transfer Umum (DTU) benar-benar sejalan dengan target transformasi ekonomi nasional.
Pilar ini merupakan respon terhadap tantangan perubahan iklim global dan komitmen Indonesia terhadap penurunan emisi. Bappenas menempatkan Ekonomi Hijau sebagai mesin pertumbuhan baru, bukan hanya sebagai biaya. Strategi ini mencakup transisi energi dari bahan bakar fosil ke energi terbarukan (EBT) dengan target ambisius, serta pengembangan industri yang mendukung dekarbonisasi, seperti produksi baterai dan pengelolaan limbah modern.
Peran Bappenas di sini adalah memastikan perencanaan infrastruktur (seperti pembangunan bendungan, jaringan transmisi EBT, dan sistem transportasi publik) memiliki dimensi keberlanjutan yang kuat. Ini termasuk pengembangan pasar karbon domestik yang kredibel, penerapan pajak karbon yang efektif, dan investasi besar dalam restorasi lahan gambut dan hutan mangrove. Keberlanjutan tidak hanya dilihat dari aspek lingkungan, tetapi juga fiskal; Bappenas mendorong penggunaan instrumen pembiayaan inovatif, seperti Green Sukuk dan obligasi hijau, untuk mendanai proyek-proyek berkelanjutan.
Penyusunan dokumen perencanaan oleh Bappenas tidak berhenti pada perumusan visi makro, tetapi diperluas hingga mendetailkan mekanisme implementasi yang efektif, memastikan setiap sektor memiliki panduan operasional yang jelas dan terukur. Akselerasi di fase kedua menuntut lompatan capaian, bukan lagi kenaikan linier.
Infrastruktur digital adalah darah yang mengalir dalam transformasi ekonomi modern. Bappenas menggarisbawahi pentingnya pemerataan akses internet berkecepatan tinggi, tidak hanya di kota-kota besar tetapi juga di daerah 3T (Terdepan, Terluar, Tertinggal). Strategi mencakup pembangunan ekosistem pusat data regional yang terintegrasi, serta jaminan keamanan siber yang ketat untuk mendukung sektor jasa keuangan digital dan e-Government.
Dalam konteks infrastruktur digital, Bappenas mendorong sinergi antara Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan sektor swasta dalam investasi serat optik dan satelit orbit rendah (LEO). Selain itu, percepatan regulasi terkait penggunaan spektrum frekuensi untuk teknologi 5G dan pengembangan teknologi 6G menjadi fokus perencanaan jangka menengah. Tujuannya adalah memastikan bahwa pada akhir fase kedua, Indonesia memiliki konektivitas digital yang setara dengan negara-negara maju, menjadi prasyarat mutlak bagi pertumbuhan ekonomi berbasis layanan dan inovasi.
Ketahanan pangan tetap menjadi prioritas strategis, namun pendekatannya diubah total. Bappenas mempromosikan Pertanian Presisi (Precision Agriculture) yang memanfaatkan data besar (Big Data), sensor, dan AI untuk meningkatkan produktivitas per hektar sambil meminimalkan penggunaan air dan pupuk kimia. Ini melibatkan investasi dalam teknologi irigasi cerdas, pengembangan varietas unggul yang tahan iklim ekstrem, dan penguatan rantai nilai pangan dari hulu ke hilir.
Selain itu, untuk menjamin keberlanjutan pasokan, Bappenas merancang program pengembangan food estate berbasis komoditas spesifik di berbagai wilayah, namun dengan evaluasi dampak lingkungan yang ketat. Fokusnya bukan hanya pada beras, tetapi juga pada diversifikasi pangan, termasuk komoditas protein dan umbi-umbian yang memiliki potensi ekspor dan ketahanan gizi tinggi. Pendekatan ini juga mencakup reformasi kebijakan agraria untuk mengatasi fragmentasi lahan dan meningkatkan skala ekonomi petani melalui koperasi modern yang didukung teknologi.
Mengingat besarnya kebutuhan anggaran untuk transformasi struktural, terutama di bidang infrastruktur hijau dan SDM, Bappenas secara aktif merancang skema pembiayaan non-APBN yang inovatif. Ini mencakup peningkatan penggunaan Skema Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) dengan mitigasi risiko yang lebih baik, penerbitan instrumen keuangan tematik (seperti yang telah disebutkan, Green Sukuk), dan optimalisasi peran lembaga pembiayaan pembangunan (development banks) domestik.
Bappenas juga fokus pada peningkatan efektivitas dan efisiensi belanja publik melalui penganggaran berbasis kinerja (performance-based budgeting) yang lebih ketat. Setiap program kementerian/lembaga harus menunjukkan keterkaitan langsung dengan salah satu dari tiga pilar transformasi fase kedua. Transparansi dan akuntabilitas pengelolaan dana pembangunan ditingkatkan melalui sistem pelaporan digital terpadu yang dapat diakses publik, menjamin alokasi sumber daya finansial optimal dan meminimalkan kebocoran.
Lingkungan eksternal saat ini ditandai oleh ketidakpastian geopolitik, perlambatan ekonomi global, dan tantangan iklim yang semakin nyata. Bappenas menyadari bahwa rencana yang kaku akan cepat usang. Oleh karena itu, perencanaan fase kedua ini dirancang dengan mekanisme adaptif yang kuat, memungkinkan penyesuaian strategi di tengah jalan tanpa mengorbankan visi jangka panjang.
Untuk memitigasi risiko disrupsi rantai pasok global (yang telah terbukti rentan pasca-pandemi dan konflik), Bappenas mendorong diversifikasi mitra dagang dan investasi. Fokusnya adalah pada penguatan kerja sama regional di ASEAN dan kemitraan ekonomi komprehensif dengan negara-negara non-tradisional di Afrika dan Amerika Latin. Selain itu, kebijakan stok penyangga (buffer stock) untuk komoditas strategis, baik pangan maupun energi, diperkuat melalui sistem logistik terpadu yang modern.
Strategi dalam negeri berfokus pada peningkatan resiliensi manufaktur domestik. Ini berarti pengurangan ketergantungan pada impor komponen kunci, terutama di sektor teknologi tinggi dan kesehatan. Bappenas mengidentifikasi 100 komponen strategis yang harus diproduksi di dalam negeri dalam jangka waktu fase kedua, didukung oleh insentif pajak dan transfer teknologi wajib bagi investor asing yang bergerak di sektor tersebut.
Revolusi Industri 4.0 membawa peluang besar sekaligus risiko disrupsi pasar kerja. Bappenas merancang program upskilling dan reskilling massal yang ditargetkan, bekerja sama dengan perusahaan teknologi global dan lokal. Program ini tidak hanya melatih kemampuan teknis (hard skills) tetapi juga kemampuan kognitif dan sosial (soft skills) yang krusial di era AI, seperti kreativitas, pemikiran kritis, dan adaptasi cepat.
Selain itu, perencanaan infrastruktur sosial dan jaring pengaman (social safety nets) direvisi agar mampu menangani transisi pekerjaan yang disebabkan oleh otomatisasi. Bappenas memperkuat sistem perlindungan sosial berbasis data terintegrasi, memastikan bahwa pekerja yang terdampak disrupsi teknologi dapat segera menerima bantuan pelatihan dan penempatan kerja baru, meminimalkan potensi peningkatan ketimpangan sosial akibat percepatan teknologi.
Koordinasi antara kebijakan fiskal yang diatur oleh pemerintah (terutama Bappenas dan Kementerian Keuangan) dan kebijakan moneter oleh Bank Indonesia menjadi lebih penting di fase kedua. Bappenas memastikan bahwa target inflasi, nilai tukar, dan suku bunga yang ditetapkan oleh otoritas moneter terintegrasi ke dalam asumsi makro RPJPN. Hal ini krusial untuk menjaga stabilitas ekonomi di tengah upaya akselerasi pertumbuhan yang agresif. Bappenas berperan sebagai fasilitator utama dalam forum koordinasi kebijakan makroekonomi, memastikan sinergi antara stabilitas jangka pendek dan pertumbuhan jangka panjang.
Detail perencanaan fiskal mencakup peta jalan pengurangan subsidi yang tidak tepat sasaran, penguatan penerimaan perpajakan melalui digitalisasi administrasi pajak, dan reformasi belanja pemerintah. Penguatan ini bertujuan untuk menciptakan ruang fiskal (fiscal space) yang cukup untuk mendanai investasi prioritas fase kedua, seperti R&D dan infrastruktur hijau, tanpa menimbulkan beban utang yang berlebihan bagi generasi mendatang.
Sebuah rencana strategis, seberapa pun cemerlangnya, tidak akan efektif tanpa sistem Monitoring dan Evaluasi (M&E) yang kuat dan objektif. Bappenas menetapkan standar baru dalam M&E fase kedua, berpindah dari pengukuran output sederhana ke pengukuran dampak dan hasil (outcome) nyata terhadap kesejahteraan masyarakat dan kompleksitas ekonomi. Ini adalah perubahan filosofis yang menuntut transparansi dan akuntabilitas yang jauh lebih tinggi.
Sistem M&E baru yang dikembangkan Bappenas memanfaatkan teknologi Big Data Analytics dan kecerdasan buatan untuk mengolah data kinerja secara real-time. Indikator Kinerja Utama (IKU) tidak hanya mencakup angka makroekonomi (PDB, inflasi) tetapi juga IKU struktural yang mengukur kualitas pembangunan, seperti indeks inovasi global, tingkat emisi per PDB, dan skor PISA pendidikan. Setiap kementerian/lembaga (K/L) diwajibkan menyusun IKU yang terikat langsung dengan IKU RPJPN Bappenas, menciptakan rantai akuntabilitas yang tidak terputus dari level nasional hingga operasional unit kerja.
Penggunaan dashboard kinerja digital terpusat memungkinkan Bappenas untuk mengidentifikasi hambatan implementasi (bottlenecks) secara cepat, seringkali sebelum masalah tersebut menjadi krisis. Misalnya, jika terlihat perlambatan dalam penyerapan anggaran untuk proyek energi terbarukan di suatu wilayah, sistem akan secara otomatis memicu notifikasi kepada K/L terkait dan tim koordinasi lintas sektor Bappenas untuk segera melakukan intervensi korektif. Mekanisme ini memastikan bahwa eksekusi program tetap berada pada jalurnya yang agresif.
Berbeda dengan periode sebelumnya, Bappenas menerapkan mekanisme review tengah periode yang sangat ketat dan berbasis bukti. Review ini melibatkan auditor independen dan pakar pembangunan internasional untuk menilai capaian strategis dan efektivitas alokasi sumber daya. Hasil review ini akan digunakan untuk melakukan penyesuaian drastis terhadap RPJMN lima tahunan berikutnya (yang merupakan bagian dari fase kedua RPJPN), memastikan bahwa perencanaan selalu relevan dengan kondisi ekonomi dan sosial yang berubah cepat.
Review ini tidak hanya menilai kinerja K/L, tetapi juga kinerja pemerintah daerah. Bappenas akan menggunakan hasil evaluasi ini sebagai dasar penetapan insentif dan disinsentif fiskal. Daerah yang menunjukkan kinerja unggul dalam implementasi program prioritas nasional (seperti penanganan stunting, investasi hijau, atau peningkatan kualitas SDM) akan menerima insentif fiskal tambahan, sementara daerah yang tertinggal akan diwajibkan menyusun rencana aksi perbaikan yang diawasi langsung oleh tim teknis Bappenas, menjamin adanya standar minimum kualitas eksekusi pembangunan di seluruh wilayah negara kesatuan.
Aspek partisipasi publik dalam proses M&E diperkuat. Bappenas berkomitmen untuk mempublikasikan data kinerja pembangunan secara terbuka melalui portal data nasional. Keterbukaan ini memungkinkan masyarakat sipil, akademisi, dan sektor swasta untuk turut serta memantau dan memberikan masukan yang konstruktif terhadap implementasi RPJPN. Mekanisme ini membangun rasa kepemilikan kolektif terhadap agenda pembangunan nasional dan meningkatkan tekanan akuntabilitas terhadap birokrasi yang melaksanakan program.
Pengembangan sistem mekanisme umpan balik (feedback mechanism) digital juga menjadi prioritas. Melalui aplikasi dan platform digital, masyarakat dapat melaporkan secara langsung efektivitas proyek infrastruktur, kualitas layanan publik, dan hambatan birokrasi yang mereka temui. Data umpan balik ini, setelah diverifikasi, akan diintegrasikan sebagai salah satu input utama dalam evaluasi kinerja triwulanan yang dilakukan oleh Bappenas. Ini adalah langkah maju menuju perencanaan yang benar-benar responsif terhadap kebutuhan riil di lapangan.
Visi transformasi Bappenas di fase kedua memerlukan penghapusan sekat-sekat sektoral (silo mentality) yang sering menghambat efektivitas kebijakan di masa lalu. Integrasi kebijakan pembangunan kini menjadi syarat mutlak, tidak hanya dalam dokumen perencanaan, tetapi juga dalam struktur kelembagaan dan mekanisme kerja sehari-hari.
Bappenas mendorong integrasi yang lebih ketat antara Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dengan Rencana Pembangunan Ekonomi. Pembangunan infrastruktur besar, seperti pelabuhan laut dalam, bandara internasional, atau kawasan industri, harus didahului oleh perencanaan tata ruang yang memastikan ketersediaan lahan, mitigasi dampak lingkungan, dan konektivitas logistik yang efisien. Kebijakan ini bertujuan untuk mencegah pemborosan anggaran dan konflik penggunaan lahan yang menghambat investasi strategis.
Fokus regional Bappenas di fase kedua berpusat pada pengembangan koridor ekonomi yang spesifik, memaksimalkan potensi keunggulan komparatif masing-masing pulau. Misalnya, pengembangan Sumatera sebagai hub energi dan agribisnis berkelanjutan, Jawa sebagai pusat manufaktur teknologi tinggi dan jasa, dan Kalimantan/Sulawesi sebagai pusat industri hijau dan pertambangan berteknologi. Setiap koridor memiliki target IKU ekonomi dan lingkungan yang berbeda, yang semuanya dikoordinasikan di bawah payung besar RPJPN Bappenas.
Implementasi program pembangunan tidak lagi dapat diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah. Bappenas secara aktif mempromosikan pendekatan pentahelix (akademisi, bisnis, pemerintah, masyarakat, dan media) dalam seluruh tahap siklus kebijakan. Institusi akademis didorong untuk menjadi mitra strategis dalam riset kebijakan dan penyediaan talenta R&D. Sektor swasta diundang untuk berinvestasi dalam proyek-proyek strategis melalui skema KPBU yang lebih menarik dan transparan.
Peran Bappenas di sini adalah menjadi konduktor transformasi, yang memastikan setiap elemen pentahelix bekerja selaras mencapai tujuan nasional. Ini mencakup pembentukan forum-forum dialog reguler dengan Kamar Dagang dan Industri (KADIN), asosiasi profesional, dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang memiliki keahlian di bidang keberlanjutan dan tata kelola yang baik. Dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan, risiko resistensi terhadap perubahan kebijakan dapat diminimalkan, dan inovasi dapat diserap lebih cepat.
Transformasi yang diinisiasi Bappenas dalam fase kedua pembangunan jangka panjang merupakan upaya holistik yang mencakup aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan secara simultan. Tidak ada satupun pilar yang dapat berjalan sendiri. Keberhasilan pembangunan SDM menentukan kualitas inovasi, yang pada gilirannya akan mendukung transformasi ekonomi berbasis nilai tambah, dan semua ini harus diwadahi dalam kerangka keberlanjutan hijau yang ketat. Kunci suksesnya terletak pada koordinasi sempurna, data yang akurat, dan komitmen politik yang tak tergoyahkan untuk melaksanakan rencana yang telah disusun dengan cermat dan berorientasi jangka panjang.
Setiap detail perencanaan, mulai dari alokasi anggaran infrastruktur hingga insentif fiskal untuk R&D, dirancang untuk mendukung tujuan strategis utama: menjadikan Indonesia sebagai negara dengan pendapatan tinggi, berkeadilan, dan berkelanjutan sebelum tahun 2045. Ini menuntut bukan hanya kecepatan dalam eksekusi, tetapi juga ketepatan dalam pengambilan keputusan, yang semuanya diorkestrasi melalui peran strategis Bappenas sebagai inti dari perencanaan pembangunan nasional.
Dalam memastikan capaian tersebut, Bappenas juga menekankan pentingnya manajemen pengetahuan dan pembelajaran berkelanjutan. Setiap proyek strategis yang dilaksanakan harus didokumentasikan secara menyeluruh, termasuk pembelajaran dari kegagalan, sehingga pengetahuan institusional dapat terakumulasi. Hal ini untuk mencegah pengulangan kesalahan dan memastikan bahwa setiap fase pembangunan berikutnya dibangun di atas fondasi pengalaman yang solid dan teruji. Pendekatan ini mencerminkan komitmen terhadap kualitas perencanaan yang terus meningkat seiring berjalannya waktu, menjadikan Bappenas tidak hanya sebagai perencana, tetapi juga sebagai lembaga pembelajaran nasional.
Penekanan pada kualitas data dan metrik pengukuran dampak menjadi semakin vital. Bappenas terus berinvestasi dalam peningkatan kapasitas statistisi nasional dan integrasi sumber data non-tradisional, seperti data satelit dan data transaksional, untuk mendapatkan gambaran yang lebih akurat dan realistik mengenai kemajuan pembangunan di tingkat tapak. Akurasi data ini menjadi dasar pengambilan keputusan alokasi sumber daya yang adil dan efisien, menghindari bias kebijakan yang disebabkan oleh informasi yang tidak lengkap atau usang. Dengan demikian, perencanaan pembangunan menjadi lebih berbasis bukti (*evidence-based*) daripada sekadar berbasis asumsi normatif.
Aspek ketahanan sosial juga diintegrasikan secara mendalam. Pembangunan ekonomi harus diikuti dengan penguatan kohesi sosial dan pengurangan disparitas antar-wilayah. Bappenas merancang program-program yang secara eksplisit menargetkan pengentasan kemiskinan ekstrem di kantong-kantong termiskin dan peningkatan akses layanan dasar berkualitas (pendidikan dan kesehatan) di daerah perdesaan dan kepulauan terpencil. Indikator ketimpangan (Gini Ratio) dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) regional menjadi tolok ukur utama keberhasilan, setara pentingnya dengan pertumbuhan PDB, dalam evaluasi akhir fase kedua pembangunan.
Transformasi struktural yang diusung Bappenas juga memerlukan reformasi kelembagaan di tubuh birokrasi. Efisiensi, kecepatan, dan integritas dalam pelayanan publik adalah prasyarat keberhasilan investasi. Bappenas bekerja sama dengan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN-RB) untuk merancang birokrasi yang lebih ramping, digital, dan berorientasi hasil. Pengurangan prosedur yang rumit, penerapan tanda tangan digital, dan integrasi sistem perizinan adalah bagian integral dari peta jalan reformasi kelembagaan yang mendukung akselerasi transformasi ekonomi. Tujuan utamanya adalah menciptakan iklim investasi dan usaha yang sangat kompetitif secara global.
Dalam konteks pengembangan daerah, Bappenas tidak hanya fokus pada pertumbuhan ekonomi regional, tetapi juga pada daya dukung lingkungan (carrying capacity) setiap wilayah. Setiap rencana investasi di tingkat daerah harus melalui analisis risiko lingkungan dan sosial yang komprehensif. Pembangunan IKN Nusantara, sebagai contoh arsitektur perencanaan baru, menjadi laboratorium kebijakan untuk mengintegrasikan pembangunan kota cerdas, ekonomi hijau, dan manajemen keberlanjutan yang ketat, yang diharapkan menjadi model bagi pembangunan kota-kota metropolitan lainnya di Indonesia dalam fase kedua ini.
Komitmen terhadap peningkatan daya saing global diwujudkan melalui perumusan kebijakan perdagangan dan investasi yang proaktif. Bappenas memetakan potensi pasar ekspor masa depan dan merancang insentif pajak yang terfokus pada perusahaan yang berinvestasi dalam teknologi baru dan pelatihan SDM. Negosiasi perjanjian perdagangan bebas (FTA) diperkuat dengan fokus pada akses pasar untuk produk manufaktur bernilai tinggi dan jasa digital, alih-alih hanya berfokus pada komoditas. Pendekatan ini memastikan bahwa transformasi domestik berjalan seiring dengan integrasi yang lebih strategis ke dalam ekonomi global.
Seluruh strategi yang terperinci ini menegaskan peran Bappenas sebagai motor penggerak dan koordinator utama yang tak tergantikan dalam memastikan Indonesia mencapai puncak visi 2045. Rencana fase kedua ini adalah deklarasi ambisi nasional, sebuah cetak biru yang dirancang untuk mengatasi kompleksitas modern, memanfaatkan peluang digital, dan membangun masa depan yang benar-benar berkelanjutan dan adil bagi seluruh rakyat Indonesia. Tugas implementasi kini berada di tangan seluruh elemen bangsa, dengan Bappenas yang terus memegang kendali navigasi, memastikan arah kapal pembangunan tetap lurus menuju cita-cita Indonesia Emas.
Pengelolaan utang publik dan risiko fiskal juga merupakan aspek vital dalam perencanaan jangka panjang Bappenas. Akselerasi pembangunan, meskipun diperlukan, tidak boleh mengorbankan stabilitas makroekonomi. Oleh karena itu, Bappenas menyusun kerangka fiskal jangka menengah yang membatasi rasio utang dan defisit anggaran dalam batas aman yang konservatif, sekaligus memastikan fleksibilitas untuk merespons guncangan ekonomi tak terduga. Instrumen lindung nilai (hedging) terhadap risiko mata uang dan suku bunga ditingkatkan, khususnya untuk pembiayaan proyek infrastruktur strategis yang didanai melalui pinjaman luar negeri, meminimalkan paparan risiko nilai tukar yang dapat membebani APBN di masa depan.
Di akhir fase kedua, Indonesia diproyeksikan telah memiliki ekosistem inovasi yang matang, di mana kolaborasi antara perguruan tinggi, lembaga riset, dan industri menjadi norma. Bappenas menargetkan bahwa pada titik ini, paten yang didaftarkan oleh peneliti dan perusahaan Indonesia memiliki persentase komersialisasi yang signifikan. Dana abadi riset dan inovasi yang dikelola secara profesional diperkuat untuk menyediakan dukungan finansial jangka panjang dan berkelanjutan bagi ilmuwan dan teknopreneur, menjadikan inovasi sebagai budaya, bukan sekadar program sementara.
Peran Bappenas juga diperluas dalam diplomasi pembangunan internasional. Indonesia tidak hanya menerima bantuan, tetapi juga menjadi pemain utama dalam berbagi pengalaman pembangunan, khususnya di kawasan Asia Tenggara dan Pasifik. Bappenas merancang program Kerja Sama Selatan-Selatan yang berfokus pada transfer pengetahuan di bidang ekonomi hijau, manajemen bencana, dan tata kelola digital, menegaskan posisi Indonesia sebagai kekuatan regional yang proaktif dan kontributif. Hal ini sekaligus membuka peluang untuk menarik investasi strategis dari negara-negara mitra.
Keseluruhan perencanaan fase kedua ini adalah manifestasi dari optimisme yang terukur. Dengan fokus yang jelas pada tiga pilar utama—SDM Unggul, Transformasi Ekonomi Bernilai Tinggi, dan Keberlanjutan Lingkungan—serta didukung oleh mekanisme M&E yang berbasis teknologi dan kerangka fiskal yang hati-hati, Bappenas meletakkan landasan yang kokoh bagi Indonesia untuk mewujudkan aspirasi menjadi kekuatan ekonomi global yang inklusif dan berkelanjutan, memastikan bahwa setiap kebijakan yang diambil saat ini akan memberikan manfaat optimal bagi generasi yang akan datang.