Kitab Amsal merupakan kumpulan hikmat dan nasihat praktis yang berharga bagi kehidupan. Di dalamnya, terdapat banyak ayat yang memberikan panduan untuk menjalani kehidupan yang benar, bijaksana, dan berkenan di hadapan Tuhan. Salah satu ayat yang sering dikutip dan memiliki makna mendalam adalah Amsal 22 ayat 15. Ayat ini berbunyi:
Membaca ayat ini, mungkin sebagian dari kita merasa terkejut atau bahkan tidak nyaman. Konsep "didikan yang keras" dan "memukul dengan rotan" terdengar asing di telinga masyarakat modern yang lebih mengedepankan pendekatan yang lembut dan non-kekerasan dalam mendidik anak. Namun, penting untuk memahami konteks historis, budaya, dan teologis dari ayat ini agar dapat menangkap hikmat yang terkandung di dalamnya.
Kitab Amsal ditulis ribuan tahun yang lalu di budaya Timur Tengah. Dalam konteks tersebut, disiplin fisik sering kali menjadi bagian integral dari proses pendidikan. Namun, penting untuk tidak menyalahartikan ayat ini sebagai pembenaran untuk kekerasan semena-mena terhadap anak. Para ahli berpendapat bahwa "didikan yang keras" di sini merujuk pada disiplin yang tegas dan konsekuen, bukan kekerasan yang melukai secara fisik maupun emosional.
Tujuan utama dari disiplin semacam ini adalah untuk membentuk karakter, mengajarkan batasan, menanamkan rasa hormat, dan mencegah anak terjerumus ke dalam kebodohan dan dosa. Kebebalan, yang menjadi lawan dari hikmat, digambarkan sebagai akar dari banyak masalah dalam kehidupan.
Kebebalan dalam Amsal sering kali diartikan sebagai ketidakmauan untuk belajar, menolak nasihat, kekerasan hati, dan kecenderungan untuk bertindak sembrono tanpa memikirkan konsekuensi. Anak yang dibiarkan tumbuh tanpa batasan dan disiplin yang tepat berisiko besar untuk mengembangkan sifat-sifat kebal ini. Mereka mungkin tumbuh menjadi pribadi yang:
Amsal 22:15 mengingatkan kita bahwa membiarkan anak terus menerus dalam kebebalan sama saja dengan membiarkan mereka berjalan di jalan yang menuju kehancuran. Ayub 36:12 juga menyatakan, "Tetapi jika mereka mendengarkan dan bertobat, maka Ia akan menambahkan berkat dan pengetahuan kepada mereka." Ini menunjukkan bahwa respons terhadap teguran dan disiplin adalah kunci perubahan.
Ayat ini bukan berarti mendorong kekejaman atau kebrutalan. Sebaliknya, ia menekankan pentingnya tindakan tegas demi kebaikan jangka panjang anak. Disiplin yang bijaksana seharusnya selalu disertai dengan kasih, kesabaran, dan penjelasan. Tujuannya adalah untuk memperbaiki, bukan untuk menghancurkan. Kata-kata "ia tidak akan mati" menunjukkan bahwa disiplin yang benar tidak akan membunuh jiwa atau semangat anak, melainkan justru membentuk mereka menjadi pribadi yang lebih kuat dan bijaksana.
Inti dari pesan ini adalah bahwa kemalasan dalam mendisiplinkan anak adalah bentuk pengabaian yang berbahaya. Orang tua yang tidak mau repot untuk menegur dan mengoreksi anak yang berbuat salah, sebenarnya sedang membiarkan benih kebebalan bertumbuh subur. Seiring waktu, kebebalan ini akan menjadi sulit untuk diatasi.
Di era modern, kita dapat menginterpretasikan "didikan yang keras" tidak selalu berarti hukuman fisik. Ini bisa mencakup:
Mendidik anak adalah sebuah perjalanan yang membutuhkan keseimbangan antara kasih dan disiplin. Amsal 22:15 menjadi pengingat penting bahwa menolak memberikan didikan yang tegas kepada anak yang berperilaku buruk adalah sebuah kesalahan yang bisa berakibat fatal bagi perkembangan karakter mereka. Hikmat sejati terbit dari hati yang mau belajar, dan seringkali, pembelajaran tersebut memerlukan bimbingan yang kuat dan tegas di awal perjalanan hidup.
"Anak-anak yang dididik dengan kasih namun juga dengan ketegasan akan tumbuh menjadi pribadi yang bertanggung jawab, berkarakter kuat, dan mampu menghadapi tantangan hidup dengan bijaksana."
Oleh karena itu, marilah kita merenungkan Amsal 22:15 bukan sebagai ancaman, melainkan sebagai ajakan untuk mendidik anak-anak kita dengan penuh hikmat, kasih, dan ketegasan yang konstruktif, demi membentuk generasi yang tidak hanya cerdas secara akademis, tetapi juga bijaksana secara moral dan spiritual.