Ilustrasi perbandingan antara kekayaan yang rapuh dan stabilitas yang kokoh.
Kitab Amsal dikenal sebagai gudang hikmat praktis yang ditujukan untuk membimbing individu dalam menjalani kehidupan yang benar dan bijaksana. Di antara ribuan ayat nasihatnya, Amsal 10:15 menawarkan sebuah perbandingan yang tajam dan bermakna tentang bagaimana kekayaan dan kemiskinan dilihat dari sudut pandang ilahi dan kebijaksanaan yang sejati. Ayat ini berbunyi:
"Harta orang kaya adalah kota bentengnya, tetapi kebinasaan orang yang melarat ialah kemiskinannya." (Amsal 10:15)
Pada pandangan pertama, ayat ini mungkin terdengar sederhana, bahkan mungkin menyiratkan bahwa kekayaan itu baik dan kemiskinan itu buruk. Namun, pemahaman yang lebih mendalam akan mengungkapkan nuansa yang jauh lebih kaya. Sang penulis Amsal, yang diyakini adalah Raja Salomo, tidak hanya berbicara tentang kondisi materi semata, tetapi juga tentang sifat, sumber, dan konsekuensi dari kekayaan dan kemiskinan tersebut. Kata "kota benteng" yang digunakan untuk menggambarkan kekayaan orang kaya menyiratkan sebuah perlindungan, keamanan, dan kekuatan. Kekayaan yang didapat dan dikelola dengan benar dapat menjadi fondasi yang kuat bagi seseorang dan keluarganya, memungkinkan mereka untuk menghadapi badai kehidupan, memberikan peluang, dan bahkan menjadi berkat bagi orang lain. Ini bukan sekadar tumpukan uang, melainkan sumber daya yang bisa dimanfaatkan untuk kebaikan yang lebih luas.
Namun, penting untuk diingat bahwa Amsal sering kali mengkontraskan jalan orang benar dengan jalan orang fasik. Kekayaan yang menjadi "kota benteng" di sini kemungkinan besar merujuk pada kekayaan yang diperoleh melalui kerja keras, kejujuran, dan hikmat. Harta yang dikumpulkan dengan cara-cara yang tidak benar, yang diperoleh melalui penipuan atau eksploitasi, pada akhirnya akan membawa kehancuran, bukan perlindungan. Sebaliknya, frasa "kebinasaan orang yang melarat ialah kemiskinannya" juga perlu dianalisis dengan hati-hati. Ayat ini tidak serta-merta mengutuk orang miskin. Sebaliknya, ia bisa menyiratkan bahwa kemiskinan yang bersifat destruktif adalah ketika ia merusak semangat, menghilangkan harapan, dan mendorong seseorang untuk melakukan tindakan yang tidak bijak demi bertahan hidup. Kemiskinan yang menjadi "kebinasaan" adalah ketika ia menjadi sumber keputusasaan yang ekstrem, yang membuat seseorang rentan terhadap godaan dan jalan yang salah.
Dalam konteks yang lebih luas dalam Kitab Amsal, sering kali ditemukan bahwa hikmat dan takut akan Tuhan jauh lebih berharga daripada kekayaan materi. Amsal 3:13-14 menyatakan, "Berbahagialah manusia yang mendapat hikmat, dan manusia yang memperoleh pengertian, karena memperolehnya lebih baik dari pada memperoleh perak, dan keuntungan dari padanya lebih baik dari pada emas murni." Ayat Amsal 10:15 ini dapat dilihat sebagai pengingat bahwa meskipun kekayaan bisa menjadi sumber keamanan, kekayaan yang sesungguhnya terletak pada kepemilikan hikmat. Orang yang memiliki hikmat akan tahu cara mengelola kekayaannya, memanfaatkannya untuk tujuan yang benar, dan tidak menjadikannya satu-satunya sumber identitas atau keamanan.
Sebaliknya, orang yang miskin tetapi memiliki hikmat, takut akan Tuhan, dan integritas, jauh lebih unggul di mata Tuhan daripada orang kaya yang jahat atau bodoh. Kemiskinan mereka mungkin membawa tantangan, tetapi tidak menghancurkan jiwa atau moralitas mereka. Mereka tetap dapat hidup dalam kebenaran dan mencari jalan Tuhan. Kitab Amsal sering kali memuji orang miskin yang hidup jujur, seperti yang terlihat dalam Amsal 19:1, "Lebih baik orang miskin yang hidup dengan tulus ikhlas daripada orang yang serong bibirnya dan bodoh."
Oleh karena itu, Amsal 10:15 mengajak kita untuk melihat kekayaan dan kemiskinan bukan hanya dari segi kuantitas materi, tetapi dari segi kualitas hidup dan moralitas. Kekayaan yang menjadi benteng adalah kekayaan yang dikelola dengan hikmat dan integritas. Sementara kemiskinan yang membawa kebinasaan adalah kemiskinan yang merusak karakter dan mendorong seseorang menjauhi Tuhan. Ini adalah pengingat abadi bahwa nilai sejati seseorang tidak diukur dari hartanya, melainkan dari hubungan mereka dengan Tuhan dan cara mereka menjalani hidup sesuai dengan kehendak-Nya.
Memahami ayat ini membantu kita untuk tidak terjebak dalam obsesi terhadap harta benda semata, maupun larut dalam keputusasaan akibat kekurangan materi. Sebaliknya, ia mendorong kita untuk mencari kekayaan yang abadi: hikmat, kebenaran, dan takut akan Tuhan, yang akan menjadi benteng sejati di sepanjang kehidupan, baik dalam kelimpahan maupun kekurangan.