Ilustrasi: Simbol Kebenaran dan Kerahasiaan
Kitab Amsal merupakan harta karun hikmat yang tak ternilai harganya, menawarkan panduan praktis untuk menjalani kehidupan yang berkenan kepada Tuhan dan membawa kesejahteraan. Di antara banyak ajaran bijak yang terkandung di dalamnya, Amsal 10:18 menyoroti perbedaan krusial antara perkataan yang jujur dan yang penuh tipu daya, serta konsekuensi yang menyertainya.
Ayat ini memaparkan dua aspek negatif dari komunikasi: menyembunyikan kebencian dan menyebar fitnah. Mari kita pecah satu per satu.
Frasa "menyembunyikan kebencian" menggambarkan tindakan menyimpan rasa dendam, ketidaksukaan, atau permusuhan di dalam hati. Namun, alih-alih menyelesaikannya secara terbuka dan jujur, orang tersebut memilih untuk menutupinya dengan kata-kata yang tidak sesuai dengan perasaannya yang sebenarnya. Ini adalah bentuk kebohongan verbal, di mana senyum dan pujian palsu digunakan untuk menutupi kebencian yang terpendam.
Mengapa seseorang melakukan ini? Mungkin karena takut konfrontasi, ingin menjaga citra sosial, atau bahkan memiliki agenda tersembunyi. Namun, Kitab Amsal dengan tegas menyatakan bahwa ini adalah tindakan yang berkaitan dengan "bibir dusta". Kebohongan, sekecil apapun atau ditujukan untuk menutupi hal negatif, tetaplah kebohongan. Hati yang dipenuhi kebencian dan diluapi oleh perkataan dusta adalah jalan menuju kehancuran.
Yesus sendiri dalam Matius 23:27-28 menyebut orang Farisi seperti "kubur yang dilabur putih," yang tampak indah di luar tetapi di dalamnya penuh tulang belulang orang mati dan segala kenajisan. Gambaran ini sangat relevan dengan konsep menyembunyikan kebencian. Penampilan luar yang baik tidak bisa menutupi kebusukan di dalam. Ketidakjujuran dalam perkataan, yang digunakan untuk menyembunyikan emosi negatif, pada akhirnya akan terungkap dan mendatangkan malapetaka.
Bagian kedua dari ayat ini berbicara tentang "menyebar fitnah". Fitnah adalah perkataan buruk yang tidak benar dan merusak reputasi seseorang. Ini bisa berupa gosip, tuduhan palsu, atau penyebaran informasi yang menyesatkan dengan tujuan menjatuhkan orang lain. Tindakan ini seringkali lahir dari kejahatan hati, iri hati, atau sekadar kesenangan melihat orang lain menderita.
Amsal secara gamblang melabeli pelaku fitnah sebagai "orang bodoh". Kebodohan di sini bukan hanya kurangnya kecerdasan, tetapi lebih kepada ketidakmampuan untuk memahami konsekuensi jangka panjang dari tindakan mereka. Menyebarkan fitnah mungkin memberikan kepuasan sesaat, atau bahkan keuntungan sementara, tetapi pada akhirnya, tindakan ini akan merusak diri sendiri dan orang lain.
Orang yang bijak memahami bahwa integritas dan kepercayaan adalah aset yang paling berharga. Menyebarkan fitnah menghancurkan kepercayaan, merusak hubungan, dan menciptakan lingkungan yang tidak sehat. Sebaliknya, orang yang bodoh tidak melihat bahwa perkataan mereka yang merusak akan kembali menghantui mereka. Ketenaran yang diperoleh dari fitnah adalah ketenaran yang buruk, dan kehancuran yang ditimbulkannya seringkali tak terhindarkan.
Amsal 10:18 memberikan pelajaran penting bagi kita dalam berkomunikasi. Pertama, kita didorong untuk menghadapi emosi negatif seperti kebencian dengan jujur, meskipun itu sulit. Lebih baik mencari cara yang sehat untuk menyelesaikan konflik daripada menyembunyikannya di balik kebohongan. Komunikasi yang terbuka dan jujur, meskipun kadang menyakitkan, adalah fondasi hubungan yang kuat.
Kedua, kita harus berhati-hati terhadap perkataan kita. Hindari menyebarkan rumor, gosip, atau informasi yang belum terverifikasi. Jagalah lidah kita dari menjadi alat perusak reputasi orang lain. Sebaliknya, kita dipanggil untuk membangun dan menguatkan, bukan menjatuhkan.
Perkataan memiliki kekuatan luar biasa. Bisa membangun, bisa menghancurkan. Amsal 10:18 mengingatkan kita bahwa kejujuran dalam perkataan, meskipun mungkin menantang, adalah jalan orang bijak. Sebaliknya, kebohongan dan fitnah adalah jejak orang bodoh yang menuju kehancuran.