Kitab Amos, salah satu nabi dari Perjanjian Lama, menyampaikan pesan kenabian yang kuat dan seringkali penuh teguran. Dalam pasal 5, ayat 1 hingga 15, Amos menyoroti kondisi sosial dan spiritual umat Allah pada masanya. Pesan ini tidak hanya relevan pada zamannya, tetapi juga terus bergema hingga kini, mengajak kita untuk merefleksikan komitmen kita terhadap keadilan dan ibadah yang sejati.
Ayat-ayat pembuka dalam Amos 5:1-3 memberikan gambaran suram tentang keadaan Israel. Amos memulai dengan menyatakan, "Dengarlah ratapan ini, yang aku nyanyikan, hai kaum Israel: Sudah jatuh, tidak bangkit lagi, perawan Israel!" (Amos 5:1-2). Ungkapan "sudah jatuh, tidak bangkit lagi" menyiratkan kehancuran yang mendalam, baik secara moral, spiritual, maupun potensial. Ini bukan sekadar kegagalan sementara, melainkan sebuah kemerosotan yang terasa permanen jika tidak ada perubahan.
Nabi Amos melanjutkan dengan deskripsi kota-kota Israel yang pada akhirnya akan ditinggalkan. "Sebab beginilah firman TUHAN kepada kaum Israel: Carilah Aku, maka kamu akan hidup! Janganlah kamu mencari Betel, janganlah mendatangi Gilgal, janganlah ziarah ke Bersyeba, sebab Gilgal pasti akan dibawa ke pembuangan dan Betel akan menjadi kesia-siaan." (Amos 5:4-5). Peringatan ini sangat signifikan. Betel, Gilgal, dan Bersyeba adalah tempat-tempat ibadah penting yang sarat dengan sejarah dan makna teologis bagi bangsa Israel. Namun, di mata Tuhan, ibadah yang tidak disertai dengan hati yang benar dan tindakan keadilan menjadi tidak berarti, bahkan hanya akan membawa malapetaka.
Pesan ini menyingkapkan bahwa penyembahan tanpa integritas adalah ibadah yang palsu. Israel mungkin saja tetap melakukan ritual keagamaan mereka, mempersembahkan korban, dan mengunjungi tempat-tempat suci, namun hati mereka jauh dari Tuhan. Ketidakadilan yang merajalela, penindasan terhadap kaum miskin, dan korupsi di kalangan penguasa membuat ibadah lahiriah mereka menjadi kemunafikan yang mengerikan di hadapan Tuhan yang Mahakudus.
Amos kemudian memberikan kontras yang tajam dengan panggilan untuk mencari Tuhan yang benar. "Carilah TUHAN, maka kamu akan hidup! Jika tidak, Ia akan menerjang kaum Yusuf seperti api, dan api itu akan memakan habis Betel, dan tidak ada yang akan memadamkannya." (Amos 5:6-7). Ancaman api ini mengingatkan akan murka Tuhan terhadap dosa yang tidak diakui dan tidak diperbaiki. Api melambangkan penghakiman yang menghancurkan.
Namun, di tengah peringatan yang keras, Amos juga menyajikan harapan bagi mereka yang mau bertobat. Ia menyerukan, "Carilah Dia yang menjadikan bintang Pleiades dan Orion, yang mengubah lembah gelap menjadi pagi, dan yang menggelapkan siang menjadi malam; Dialah yang memanggil air laut lalu menumpahkannya ke atas muka bumi; TUHAN ialah Nama-Nya." (Amos 5:8). Panggilan untuk mencari Tuhan ini bukan sekadar ritual, melainkan pengenalan akan pribadi Tuhan yang Mahakuasa, Sang Pencipta yang mengatur alam semesta. Dia adalah sumber kehidupan dan keadilan.
Inti dari pesan keadilan Amos tersirat dalam ayat berikutnya. "Dia memberi kekuatan kepada yang tertindas, hingga ia mendapat kemenangan atas yang kuat." (Amos 5:10). Tuhan berpihak pada mereka yang lemah dan tertindas. Dia melihat ketidakadilan yang dilakukan oleh orang-orang kaya dan berkuasa terhadap orang miskin.
Amos secara spesifik mengutuk praktik-praktik yang merusak tatanan sosial. "Oleh sebab itu, karena kamu menginjak-injak orang yang lemah dan membebani mereka dengan pajak gandum, kamu mendirikan rumah yang dibangun dengan batu pahat, tetapi kamu tidak akan mendiaminya; kamu mendirikan kebun-kebun anggur yang indah, tetapi tidak akan minum anggurnya." (Amos 5:11). Tuduhan ini menunjukkan bahwa kemakmuran mereka dibangun di atas penderitaan orang lain. Bangunan megah dan kebun yang subur menjadi simbol keserakahan dan ketidakadilan.
Nabi ini dengan tegas menyatakan, "Sebab Aku tahu, betapa banyak pelanggaranmu dan betapa berat dosamu; kamu menindas orang benar, kamu menerima sogok, dan kamu mengusir orang miskin di pintu gerbang." (Amos 5:12). Istilah "pintu gerbang" sering merujuk pada tempat di mana keputusan hukum dan keadilan dibuat. Fakta bahwa orang miskin diusir di sana menunjukkan betapa dalamnya korupsi telah merusak sistem.
Bagaimana seharusnya respons umat Allah? Amos memberikan arahan: "Oleh sebab itu orang yang berakal akan berdiam diri pada waktu seperti itu, sebab waktu itu adalah waktu celaka." (Amos 5:13). Frasa "berakal akan berdiam diri" mungkin terdengar pasif, namun dalam konteks ini, bisa diartikan sebagai kebijaksanaan untuk tidak membuang-buang tenaga pada hal yang sia-sia, atau menjaga diri dari ikut arus kejahatan.
Namun, inti dari "diam diri" di sini adalah untuk fokus pada hal yang benar. "Carilah yang baik dan jangan yang jahat, supaya kamu hidup, maka demikianlah TUHAN, Allah semesta alam, akan menyertai kamu, seperti yang kamu katakan." (Amos 5:14). Panggilan ini menekankan pentingnya memilih kebaikan dan menjauhi kejahatan. Keadilan bukanlah sekadar konsep abstrak, melainkan tindakan nyata yang mencerminkan karakter Tuhan.
Pesan ini mencapai puncaknya dengan seruan, "Bencilah yang jahat dan cintailah yang baik, serta tegakkanlah keadilan di pintu gerbang; mungkin TUHAN, Allah semesta alam, akan menunjukkan belas kasihan kepada sisa-sisa kaum Yusuf." (Amos 5:15). Amos membedakan dengan jelas antara kebencian terhadap kejahatan dan cinta terhadap kebaikan. Keadilan yang ditegakkan di gerbang kota, tempat pengadilan, adalah wujud nyata dari perubahan hati. Hanya melalui respons seperti inilah ada harapan untuk belas kasihan Tuhan bagi sisa-sisa bangsa.
Pesan Amos 5:1-15 mengingatkan kita bahwa ibadah yang sejati tidak dapat dipisahkan dari kehidupan moral dan sosial kita. Tuhan melihat hati kita, dan Dia peduli terhadap cara kita memperlakukan sesama, terutama mereka yang lemah dan rentan. Ketidakadilan, korupsi, dan penindasan adalah dosa di mata Tuhan, sama seperti perzinahan atau pencurian.
Kitab Amos mengajak kita untuk secara kritis mengevaluasi kehidupan kita. Apakah ibadah kita hanya sebatas ritual, ataukah ia tercermin dalam tindakan keadilan dan kasih kepada sesama? Apakah kita mencari keuntungan pribadi di atas penderitaan orang lain? Apakah kita berani berdiri teguh untuk kebenaran, meskipun itu berarti berlawanan dengan arus yang populer?
Panggilan untuk "mencari yang baik dan jangan yang jahat" serta "menegakkan keadilan di pintu gerbang" adalah seruan yang relevan bagi setiap individu dan masyarakat. Ini adalah pengingat bahwa Tuhan mengharapkan umat-Nya untuk menjadi agen keadilan dan kebaikan di dunia, sehingga kehidupan yang sejati dan belas kasihan Tuhan dapat terwujud.