Kitab Amos, salah satu nabi minor dalam Perjanjian Lama, menyampaikan pesan yang kuat dan menggugah tentang keadilan, moralitas, dan tanggung jawab umat Allah. Bagian-bagian krusial dalam pasal 4, 5, dan 6 kitab ini menyajikan teguran keras terhadap bangsa Israel pada masanya, yang telah jatuh ke dalam kemerosotan rohani dan ketidakadilan sosial yang parah.
Dalam pasal 4, Amos memulai dengan sebuah sindiran yang tajam terhadap para wanita kaya di Samaria, yang ia juluki "sapi Basan". Ia menggambarkan mereka sebagai orang-orang yang hidup dalam kemewahan, menindas orang miskin, dan menuntut lebih banyak hiburan dari suami mereka. Ironi ini menyoroti betapa jauhnya mereka dari nilai-nilai kebenaran dan belas kasih yang seharusnya dijunjung tinggi.
Amos kemudian merinci berbagai bencana dan hukuman yang telah Tuhan kirimkan kepada mereka, seperti kelaparan, kekeringan, penyakit sampar, dan perang. Namun, alih-alih bertobat, mereka justru terus tenggelam dalam dosa mereka. "Tetapi kamu tidak berbalik kepada-Ku," firman TUHAN (Amos 4:8). Seruan untuk berbalik kepada Tuhan diulang-ulang, namun selalu diabaikan. Kegagalan mereka untuk merespons hukuman-hukuman ini dengan pertobatan menunjukkan betapa kerasnya hati mereka dan betapa dalamnya mereka telah menyimpang dari jalan Tuhan.
Pasal ini diakhiri dengan pengumuman hukuman yang lebih besar lagi: penghancuran dan pembuangan. Tuhan menyatakan bahwa Ia akan datang melawan umat-Nya dengan kekuatan yang dahsyat, dan mereka harus bersiap menghadapi perjumpaan dengan Allah mereka. Ini adalah peringatan terakhir sebelum penghakiman yang tak terhindarkan.
Pasal 5 dimulai dengan ratapan Amos atas kehancuran Israel. Gambaran kehancuran ini begitu nyata dan menyedihkan, menunjukkan besarnya dosa mereka yang mengundang murka Tuhan. Amos menegaskan bahwa Israel akan jatuh dan tidak akan bangkit lagi.
Di tengah gambaran kesuraman, Amos menyisipkan panggilan yang jelas untuk mencari Tuhan. Ia mendorong mereka untuk mencari TUHAN dan hidup (Amos 5:4, 6). Ini bukan sekadar panggilan untuk beribadah, melainkan ajakan untuk hidup sesuai dengan kehendak-Nya, yang berarti menjunjung keadilan dan kebenaran. "Bencilah yang jahat dan cintailah yang baik, serta tegakkanlah keadilan di pintu gerbang," serunya (Amos 5:15).
Namun, Amos juga dengan tegas menyatakan bahwa persembahan dan ibadah mereka tidak akan diterima jika tidak disertai dengan kehidupan yang benar. Tuhan membenci kemunafikan. Ibadah yang dilakukan oleh orang-orang yang menindas sesama dan tidak menjunjung keadilan adalah kekejian di mata Tuhan. Ia merindukan keadilan yang mengalir seperti air dan kebenaran yang tak pernah kering (Amos 5:24).
Pasal 6 memberikan teguran yang lebih spesifik kepada mereka yang menikmati kemakmuran semu sambil mengabaikan kebenaran dan penderitaan sesama. Amos mengutuk mereka yang "merasa aman di Sion" dan "tenang di gunung Samaria," mereka yang berbaring di atas ranjang mewah, makan dengan hidangan terbaik, dan bersenang-senang dalam kehidupan tanpa memikirkan akibatnya.
Mereka merasa kebal dari malapetaka karena kekayaan dan kekuasaan mereka. Namun, Amos memperingatkan bahwa kemakmuran ini hanyalah ilusi. Tuhan akan mendatangkan malapetaka atas mereka yang berpesta pora dalam dosa. Mereka akan menjadi yang pertama dibuang ke pembuangan (Amos 6:7). Nubuat ini akhirnya tergenapi ketika bangsa Asiria menghancurkan Samaria dan membuang penduduknya.
Pesan utama dalam Amos 4-5-6 adalah bahwa Tuhan menuntut lebih dari sekadar ritual keagamaan. Ia menuntut hati yang tulus, kehidupan yang saleh, dan keadilan yang nyata bagi semua orang. Kemakmuran dan keamanan yang dibangun di atas penindasan dan ketidakadilan tidak akan bertahan lama. Seruan pertobatan dan keadilan yang disampaikan Amos masih relevan hingga hari ini, mengingatkan kita akan pentingnya hidup dengan integritas, belas kasih, dan tanggung jawab sosial sebagai bagian tak terpisahkan dari iman.