Ilustrasi simbolis tempat peristiwa penyerangan terhadap Ali bin Abi Thalib di Mihrab Masjid Kufah.
Kisah wafatnya Ali bin Abi Thalib, Amirul Mukminin keempat dan menantu Rasulullah ﷺ, adalah sebuah epilog yang tragis bagi era keemasan Khulafaur Rasyidin. Kematiannya bukan sekadar akhir dari hidup seorang pemimpin besar, melainkan titik kulminasi dari perselisihan, fitnah, dan gejolak politik yang melanda komunitas Muslim sejak akhir masa Utsman bin Affan. Peristiwa ini menandai berakhirnya kepemimpinan yang berlandaskan prinsip musyawarah dan integritas moral yang tinggi, sekaligus membuka babak baru dalam sejarah Islam, ditandai dengan monarki dinasti yang berpusat pada kekuasaan. Memahami tragedi ini memerlukan penelusuran mendalam terhadap akar konflik, ideologi ekstrem yang melahirkannya, dan wasiat terakhir sang khalifah yang penuh kebijaksanaan dan kesedihan.
Untuk memahami mengapa Ali bin Abi Thalib menjadi target, kita harus kembali ke masa-masa Fitnah Kubra, perselisihan besar yang membelah umat. Pemerintahan Ali, sejak awal, dihadapkan pada tantangan yang luar biasa. Ia mewarisi kekhalifahan di tengah badai kemarahan atas terbunuhnya Utsman, sebuah tragedi yang menuntut pertanggungjawaban yang kompleks. Tuntutan Ali untuk menstabilkan negara terlebih dahulu sebelum menindak pembunuh Utsman berhadapan dengan tuntutan segera dari pihak lain, khususnya Mu'awiyah bin Abi Sufyan di Syam.
Konflik politik ini dengan cepat berubah menjadi konflik militer. Perang Jamal dan Perang Shiffin adalah saksi bisu betapa parahnya keretakan di tubuh umat. Meskipun Ali hampir memenangkan Shiffin, ia menerima tawaran arbitrase (tahkim) untuk menghindari pertumpahan darah lebih lanjut. Keputusan arbitrase inilah yang menjadi bumerang paling mematikan bagi kekhalifahannya, bukan dari pihak lawannya, melainkan dari internal pasukannya sendiri.
Sebagian besar pasukan Ali merasa dikhianati oleh penerimaan arbitrase tersebut. Mereka berpendapat bahwa hanya Allah SWT yang berhak memutuskan (La hukma illa lillah – Tidak ada hukum kecuali hukum Allah). Bagi mereka, menerima keputusan manusia dalam konflik yang mereka yakini sebagai perang antara kebenaran dan kebatilan adalah dosa besar. Kelompok inilah yang dikenal sebagai Khawarij, atau 'mereka yang keluar'.
Khawarij adalah faksi yang sangat radikal dan ideologis. Mereka tidak hanya keluar dari barisan Ali, tetapi juga mengkafirkan Ali, Mu'awiyah, dan semua pihak yang terlibat dalam arbitrase. Mereka memandang bahwa siapa pun yang tidak sejalan dengan interpretasi agama mereka yang sempit dan ekstrem adalah kafir yang wajib diperangi. Ali telah mencoba menasihati mereka dan bahkan memerangi mereka di Nahrawan setelah mereka melakukan kekejaman terhadap Muslim lainnya. Meskipun Ali memenangkan Nahrawan, sisa-sisa Khawarij yang lolos dari pembantaian itu menyimpan dendam yang membara dan keinginan yang kuat untuk membalas dendam, meyakini bahwa membunuh para pemimpin yang mereka anggap murtad adalah jalan menuju surga.
Dendam Khawarij mencapai puncaknya melalui sebuah konspirasi yang terjadi jauh dari medan perang, disepakati di Mekah. Kelompok Khawarij yang masih hidup meyakini bahwa akar semua masalah yang menimpa umat terletak pada tiga individu utama yang mereka anggap sebagai pemimpin kesesatan:
Tiga orang dari Khawarij bersumpah untuk mengakhiri nyawa ketiga pemimpin ini secara serentak pada satu malam yang telah ditentukan, sebagai upaya untuk membersihkan umat dari apa yang mereka anggap sebagai kepemimpinan yang korup dan menyimpang. Malam yang dipilih adalah fajar di bulan suci Ramadhan, saat umat Muslim sibuk beribadah, menjadikan serangan mereka terkesan sebagai tindakan suci yang didorong oleh semangat keagamaan yang menyimpang.
Tugas membunuh Ali jatuh pada Abdurrahman bin Muljam al-Muradi, seorang Khawarij dari Mesir yang dikenal sangat taat dalam ibadah lahiriahnya, namun hatinya dipenuhi dengan kebencian dan keyakinan ekstremis yang berbahaya. Ibnu Muljam bertemu dengan seorang wanita bernama Qutam binti Syijnah di Kufah, yang kehilangan ayahnya dan saudaranya dalam pertempuran Nahrawan. Qutam berjanji akan menikahinya dengan syarat Ibnu Muljam membawa mas kawin berupa tiga ribu dirham, seorang budak laki-laki, seorang budak perempuan, dan yang terpenting, kepala Ali bin Abi Thalib.
Motivasi Ibnu Muljam, dengan demikian, adalah perpaduan antara ideologi agama yang salah arah dan dorongan pribadi yang didasari nafsu serta dendam. Ia melihat pembunuhan Ali bukan hanya sebagai kewajiban ideologis yang didorong oleh doktrin Khawarij, tetapi juga sebagai jalan untuk memenangkan hati wanita yang dicintainya dan memenuhi sumpah sucinya. Ibnu Muljam kemudian bergabung dengan dua orang lainnya dari Khawarij di Kufah, Syabib bin Bajrah dan Wardan bin Mujalid, untuk melaksanakan rencana keji ini.
Mereka mempersiapkan pedang mereka dan merendamnya dalam racun yang paling mematikan selama beberapa hari, memastikan bahwa satu goresan pun sudah cukup untuk menjamin kematian. Rencana tersebut dibuat matang, memanfaatkan rutinitas Ali yang tidak pernah absen memimpin salat Subuh di Masjid Agung Kufah, sebuah kebiasaan yang penuh kerendahan hati dan spiritualitas, namun ironisnya, menjadi titik kelemahan fisik sang Khalifah.
Fajar menjelang Subuh di hari yang ditentukan, kota Kufah masih diselimuti kegelapan dan keheningan. Ali bin Abi Thalib, yang dikenal selalu bangun pagi untuk membangunkan umat Muslim dan memastikan mereka siap untuk salat berjamaah, berjalan menuju Masjid Agung Kufah. Diriwayatkan bahwa Ali sudah merasakan firasat tentang ajalnya. Ia sering merenungkan kesyahidan para pendahulunya dan seolah-olah menyadari bahwa nasib serupa menantinya, sebagai pemegang amanah terakhir dari Khulafaur Rasyidin yang menghadapi fitnah tiada akhir.
Seperti biasa, Ali melangkah ke mihrab. Ia adalah sosok yang tidak gentar menghadapi musuh di medan perang, namun ia juga seorang pemimpin yang tidak memiliki pengawal pribadi yang ketat di masjid, mengutamakan kedekatan dengan rakyatnya, bahkan di tengah ancaman yang sudah diketahuinya. Ibnu Muljam dan dua rekannya telah menyamar dan bersembunyi di sudut masjid, menunggu saat yang tepat.
Ketika Ali baru saja memulai salat atau sedang dalam proses membangunkan jamaah yang tertidur, terdengar seruan Ali yang masyhur, yang sering ia ucapkan saat fajar:
"Salat! Salat! Wahai manusia, salat! Salat adalah tiang agama."
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa serangan terjadi saat Ali sedang sujud atau baru saja mengangkat kepala dari sujud. Ibnu Muljam, dengan pedang beracunnya yang mematikan, melompat maju dari kegelapan dan mengayunkan pedang tersebut ke kepala Ali, tepat di ubun-ubun. Luka itu sangat parah, dan racun mulai bekerja seketika. Dua Khawarij lainnya gagal melaksanakan misi mereka; Syabib melarikan diri dan ditangkap, sementara Wardan melarikan diri namun kemudian dihukum mati oleh salah satu kerabatnya.
Meskipun terluka parah dan darah membanjiri wajahnya, Ali tetap teguh. Ia sempat berseru, "Demi Tuhan Ka'bah, aku telah berhasil!"—sebuah kalimat yang diinterpretasikan oleh sejarawan sebagai kegembiraan karena ia mencapai kesyahidan yang selalu diidamkannya, mengikuti jejak Rasulullah dan para sahabat mulia sebelumnya. Ia kemudian jatuh pingsan di mihrab. Umat Muslim yang terkejut segera berlarian, beberapa bergegas menolong Ali, sementara yang lain berhasil menangkap Ibnu Muljam.
Ibnu Muljam ditangkap dalam keadaan melawan. Bahkan setelah ditangkap dan diinterogasi, ia tidak menunjukkan penyesalan sedikit pun. Sebaliknya, ia menyatakan bahwa tindakannya adalah amal saleh terbaik yang pernah ia lakukan, sebuah bukti betapa kuatnya distorsi ideologi Khawarij yang menguasai pikirannya. Ibnu Muljam dibawa ke hadapan Ali yang terbaring lemah.
Ali bin Abi Thalib dibawa pulang ke kediamannya, sementara dokter dipanggil untuk mengobati luka parah tersebut. Ketika dokter memeriksa luka di kepalanya dan racun yang telah menyebar, ia menyatakan bahwa luka itu tidak dapat disembuhkan dan kematian hanya tinggal menunggu waktu. Kenyataan ini diterima Ali dengan ketenangan seorang mukmin sejati.
Ali menggunakan sisa waktu hidupnya untuk memberikan wasiat yang mendalam dan berharga, menunjukkan kebijaksanaan, keadilan, dan kepeduliannya terhadap masa depan umat, bahkan terhadap pembunuhnya sendiri.
Ketika Ibnu Muljam dibawa ke hadapannya dalam keadaan terikat, Ali meminta agar ia diperlakukan manusiawi, diberikan tempat tidur yang nyaman dan makanan yang baik. Wasiatnya tentang Ibnu Muljam adalah contoh tertinggi dari keadilan Islam, bahkan di ambang kematian:
"Jika aku meninggal dunia karena luka ini, bunuhlah dia (Ibnu Muljam) dengan satu pukulan, sebagai balasan atas perbuatannya, dan janganlah kamu mencincangnya atau menyiksanya. Jika aku bertahan hidup, aku sendiri yang akan memutuskan nasibnya."
Wasiat ini mencegah umat Muslim, yang saat itu berada dalam keadaan marah dan berduka, untuk bertindak berlebihan atau membalas dendam dengan cara yang tidak Islami. Ini adalah pelajaran abadi tentang batasan dalam penegakan hukuman (qisas), bahkan dalam kondisi provokasi yang paling ekstrem.
Ali memanggil putra-putranya, Hasan dan Husain, serta seluruh keluarganya. Wasiatnya mencakup inti dari ajaran Islam dan etika kepemimpinan. Ia menasihati mereka untuk selalu bertakwa kepada Allah, menjaga kebenaran, menolong yang tertindas, dan menghindari perpecahan. Pesannya adalah cerminan dari seluruh hidupnya yang didedikasikan untuk prinsip-prinsip syariah.
Ia menekankan pentingnya menjaga persatuan, sebuah ironi pahit mengingat ia wafat karena upaya ekstremis yang bertujuan memecah belah. Ali menasihati mereka untuk menjaga hak-hak anak yatim, berlaku adil dalam segala hal, dan tidak pernah lupa kepada Yang Maha Kuasa dalam setiap tarikan napas dan setiap langkah politik.
Wasiatnya juga mengandung pesan politik yang halus namun tegas. Ia tidak secara langsung menunjuk Hasan sebagai penggantinya, tetapi menasihati putra-putranya untuk melanjutkan perjuangan moral, meninggalkan keputusan kepemimpinan kepada umat, meskipun Hasan secara spiritual dan kualifikasi adalah penerus yang paling mungkin. Penolakan Ali untuk memaksakan suksesi merupakan penghormatan terakhirnya terhadap prinsip syura, meskipun kondisi politik saat itu telah membuatnya menjadi konsep yang hampir punah.
Selama dua hari berikutnya, Ali berjuang melawan racun yang menggerogoti tubuhnya. Setiap tarikan napasnya menjadi lebih berat, dan kekuatan fisiknya berkurang drastis, namun kecerahan mata dan ketajaman pikirannya tetap terjaga, memberikan nasihat kepada siapa pun yang datang menjenguknya. Kematian yang perlahan ini memberikan kesempatan bagi umat untuk mengucapkan salam perpisahan kepada salah satu pilar Islam yang paling agung.
Ali bin Abi Thalib menghembuskan napas terakhirnya pada tanggal 21 Ramadhan, sekitar dua hari setelah serangan yang kejam. Kesyahidan ini mengakhiri masa kekhalifahannya yang penuh gejolak dan hanya berlangsung sekitar lima tahun. Kematiannya menandai penutup babak Khulafaur Rasyidin yang agung, sebuah era yang dimulai dengan integritas Nabi Muhammad dan berakhir dengan darah di lantai masjid.
Putra-putranya, Hasan dan Husain, memandikan jenazah ayahnya dan melaksanakan salat jenazah. Mengingat kondisi politik yang tidak stabil dan banyaknya musuh yang ingin menodai makamnya, keputusan diambil untuk memakamkan Ali secara rahasia. Lokasi makamnya dirahasiakan selama beberapa generasi, baru kemudian diidentifikasi dan dihormati di tempat yang kini menjadi An-Najaf al-Asyraf di Irak. Keputusan pemakaman rahasia ini menyoroti betapa berbahayanya iklim politik saat itu, di mana bahkan jasad seorang khalifah yang saleh tidak aman dari permusuhan.
Setelah wafatnya Ali, tanggung jawab eksekusi Ibnu Muljam jatuh kepada Hasan bin Ali, sesuai dengan wasiat ayahnya. Ibnu Muljam dibawa untuk dihukum mati. Ia dieksekusi dengan satu pukulan, tanpa penyiksaan atau pencincangan (mutslah), mematuhi prinsip keadilan yang diajarkan Ali bahkan pada saat-saat terakhirnya. Dengan matinya Ibnu Muljam, Khawarij kehilangan salah satu alatnya, namun ideologi ekstrem mereka sayangnya tidak ikut terkubur bersamanya, melainkan terus hidup dan berkembang dalam sejarah sebagai sumber perpecahan.
Kematian Ali secara efektif menyingkirkan hambatan utama bagi Mu'awiyah bin Abi Sufyan untuk mengklaim kekuasaan atas seluruh wilayah Muslim. Mu'awiyah, yang lolos dari percobaan pembunuhan yang juga direncanakan oleh Khawarij (ia hanya terluka ringan), kini berada di posisi yang sangat kuat. Umat Islam di Kufah dengan segera membaiat Hasan bin Ali sebagai Khalifah, namun Hasan, menyadari kelemahan pasukannya, bahaya perang saudara yang berkepanjangan, dan keinginan ayahnya untuk menjaga persatuan, memilih untuk berdamai.
Perjanjian damai yang ditandatangani antara Hasan dan Mu'awiyah merupakan peristiwa penting. Hasan menyerahkan kekhalifahan kepada Mu'awiyah, dengan syarat kekuasaan harus dikembalikan ke prinsip syura setelah Mu'awiyah meninggal. Meskipun niat Hasan mulia—mengakhiri pertumpahan darah yang telah berlangsung bertahun-tahun—tindakan ini secara praktis mengakhiri sistem Khulafaur Rasyidin dan memulai era monarki dinasti di bawah Bani Umayyah.
Wafatnya Ali bin Abi Thalib merupakan salah satu titik balik paling krusial dalam sejarah Islam. Dampaknya tidak hanya terasa secara politik, tetapi juga secara teologis dan sosiologis, yang memunculkan polarisasi yang bertahan hingga hari ini.
Dengan berakhirnya kekuasaan Ali, berakhir pula era Khulafaur Rasyidin (Khalifah yang Dibimbing dengan Benar). Masa ini adalah masa di mana para pemimpin dipilih berdasarkan kualitas keimanan, kedekatan dengan Nabi, dan prinsip musyawarah, bukan karena garis keturunan atau kekuatan militer. Kekhalifahan setelah Ali beralih menjadi sistem dinasti yang lebih sekuler dan politis. Para sejarawan sepakat bahwa meskipun era Mu'awiyah membawa stabilitas dan ekspansi wilayah yang besar, ia juga membawa perubahan mendasar pada struktur pemerintahan Islam.
Kematian Ali mengkristalkan identitas kelompok yang kemudian dikenal sebagai Syi'ah (Pengikut Ali). Bagi Syi'ah, Ali adalah Imam pertama yang sah, dan kematiannya adalah kesyahidan yang menyakitkan, melambangkan pengkhianatan dan penindasan terhadap keluarga Nabi. Tragedi ini memperkuat keyakinan mereka tentang hak ilahi kepemimpinan (Imamah) yang hanya berhak dipegang oleh keturunan Ali dan Fatimah. Wafatnya Ali, diikuti oleh tragedi yang lebih besar menimpa putranya, Husain, di Karbala, membentuk fondasi narasi kesedihan dan perlawanan Syi'ah yang mendalam.
Meskipun pelaku utama dihukum, ideologi Khawarij tentang pengkafiran (takfir) terhadap pemimpin yang tidak memenuhi standar kesalehan ekstrem mereka terus bertahan. Filosofi Khawarij, yang mengutamakan interpretasi harfiah yang kaku atas teks suci dan menolak mediasi manusia, menjadi sumber konflik berkelanjutan dalam sejarah Islam, mewakili bahaya ekstremisme ideologis yang muncul dari pemahaman agama yang sempit dan tanpa rahmat.
Peristiwa ini mengajarkan umat bahwa fitnah politik, ketika dibumbui dengan fanatisme agama, dapat melahirkan monster ideologi yang menyerang inti komunitas itu sendiri. Khawarij mengajukan pertanyaan filosofis yang sulit: apa batasan antara dosa besar dan kekufuran? Dan siapa yang berhak menghakimi iman seseorang? Jawaban mereka yang kejam menghasilkan pertumpahan darah, bahkan terhadap sosok seperti Ali, yang dikenal karena keilmuan, kesalehan, dan keberaniannya.
Meskipun wafatnya Ali bin Abi Thalib merupakan tragedi besar, warisan intelektual dan spiritualnya tetap abadi. Ia dikenal sebagai 'Gerbang Kota Ilmu' (seperti sabda Nabi), dan kepemimpinannya, meskipun singkat dan penuh badai, menjadi tolok ukur keadilan bagi generasi setelahnya.
Selama masa kekhalifahannya, Ali berjuang keras untuk mengembalikan prinsip kesetaraan yang diterapkan oleh Abu Bakar dan Umar. Ia menolak sistem yang membedakan tunjangan berdasarkan senioritas keislaman atau suku, dan bersikeras bahwa semua Muslim berhak mendapatkan bagian yang sama dari kekayaan negara (baitul mal). Kesederhanaan Ali sangat legendaris. Meskipun seorang Khalifah, ia hidup miskin, mengenakan pakaian kasar, dan sering kali bekerja sendiri untuk mencari nafkah keluarganya, menolak menikmati kemewahan yang mudah didapat dari jabatannya. Kekejaman Khawarij terhadapnya menjadi ironi, karena mereka membunuh pemimpin yang paling mendekati ideal kesalehan dan keadilan yang mereka tuntut.
Kumpulan khotbah, surat, dan aforisma Ali yang dikenal sebagai Nahjul Balaghah (Puncak Retorika) merupakan salah satu karya sastra dan kebijaksanaan paling penting dalam sejarah Islam. Karya ini memuat petuah-petuah tentang filosofi pemerintahan, keadilan sosial, metafisika, dan etika pribadi. Di dalamnya tergambar jelas sosok Ali sebagai seorang filsuf, orator, dan ahli hukum yang tak tertandingi, yang berusaha menyelaraskan spiritualitas mendalam dengan realitas politik yang keras.
Salah satu nasihatnya yang paling terkenal mengenai kewajiban pemimpin kepada rakyat adalah sebuah manifesto yang menjunjung tinggi etika kekuasaan, menekankan bahwa seorang pemimpin harus menjadi pelayan rakyatnya, menjauhi keangkuhan, dan mengutamakan kesejahteraan umum di atas kepentingan pribadi. Prinsip-prinsip ini, yang diucapkan di tengah badai perang saudara, menunjukkan fokusnya yang tidak goyah pada nilai-nilai yang lebih tinggi.
Pemahaman mendalam tentang Khawarij bukan hanya konteks historis bagi pembunuhan Ali, tetapi juga studi kasus tentang bagaimana dogma agama dapat menjadi alat penghancur. Khawarij adalah produk dari kekecewaan politik yang dipadukan dengan pemahaman teologis yang naif namun keras. Mereka menolak konsep bahwa ketaatan luar dan ritual bisa disandingkan dengan komitmen terhadap keadilan politik.
Doktrin utama Khawarij berpusat pada 'janji dan ancaman' (al-wa’d wa al-wa’id). Mereka percaya bahwa orang yang melakukan dosa besar (seperti dalam kasus mereka, menerima arbitrase) secara otomatis keluar dari lingkaran Islam (kafir). Bagi mereka, Ali dan Mu'awiyah sama-sama bersalah. Ketika Ali menyerang mereka di Nahrawan, ia tidak hanya memerangi sekelompok pemberontak politik; ia memerangi sebuah ideologi yang mengancam kohesi masyarakat Muslim secara fundamental. Ia tahu bahwa membiarkan ideologi ini berkembang akan mengakibatkan terorisme internal yang tak berkesudahan.
Ironisnya, Ali telah memperingatkan Khawarij tentang konsekuensi dari keyakinan mereka. Dalam salah satu khotbahnya sebelum Nahrawan, ia berkata bahwa mereka akan menjadi panah yang ditembakkan oleh Setan, menusuk jantung umat Islam. Kematian Ali oleh tangan Ibnu Muljam membuktikan nubuat tragis ini. Sangat penting untuk ditekankan bahwa Ibnu Muljam melakukan pembunuhan itu di saat ia sedang melakukan ritual ibadah, yaitu menunggu salat Subuh, yang menunjukkan bagaimana keyakinan ekstremis telah menyucikan tindakan yang paling keji di mata pelakunya.
Kufah, kota yang didirikan sebagai markas militer dan kemudian menjadi ibu kota kekhalifahan Ali, memiliki peran penting. Kufah adalah kota yang selalu bergolak, dihuni oleh campuran suku dan kepentingan yang kompleks. Di sinilah Ali berupaya menanamkan keadilan, tetapi di sinilah juga ia menghadapi perlawanan paling sengit, baik dari mereka yang tidak puas dengan pembagian harta maupun dari ideolog fanatik. Kufah menjadi saksi bahwa reformasi moral dan keadilan yang dibawa oleh Ali sering kali berbenturan dengan kepentingan pragmatis dan egois dari sebagian elit dan masyarakatnya sendiri.
Kisah wafatnya Ali di Kufah adalah pelajaran tentang rapuhnya kepemimpinan moral di hadapan kekuatan politik yang terorganisir dan ideologi fanatik yang tidak mengenal kompromi. Ia adalah korban dari kebajikan yang ia pegang teguh—yaitu keengganannya untuk menggunakan kekerasan berlebihan dan komitmennya pada musyawarah, yang dilihat oleh Khawarij sebagai kelemahan iman.
Terlepas dari kekalahan politiknya yang berujung pada kesyahidan, dimensi spiritual Ali bin Abi Thalib tetap menjadi sumber inspirasi tak terbatas. Bagi sebagian besar Muslim, ia adalah simbol keberanian, keilmuan, dan asketisme. Ia adalah khalifah terakhir yang benar-benar mewakili perpaduan utuh antara seorang pejuang di medan perang dan seorang ahli ibadah di mihrab.
Dalam tradisi Sufisme, Ali memiliki posisi yang sangat penting. Hampir semua jalur tarekat Sufi menelusuri rantai otoritas spiritual mereka kembali kepadanya. Ia dianggap sebagai pewaris rahasia batin (sirr) dari Nabi Muhammad. Penekanan Ali pada pengetahuan yang mendalam (ma’rifah) dan hidup sederhana adalah model bagi para sufi. Kematiannya, yang terjadi di tengah ibadah, semakin memperkuat citranya sebagai Shahid (Syuhada) dan Aarif Billah (yang mengenal Allah). Peristiwa penyerangan itu seolah-olah menggarisbawahi kontras antara dunia politik yang penuh kekotoran dan kebersihan spiritual yang dipegang teguh olehnya hingga akhir hayat.
Bahkan wasiat-wasiatnya mengenai urusan moneter dan keuangan negara terus diperdebatkan sebagai model etika publik. Ali bersikeras bahwa kekayaan yang didapatkan dari penaklukan tidak boleh menjadi hak eksklusif segelintir orang atau kelompok tertentu, melainkan harus dibagikan secara adil. Kebijakannya ini, meskipun memicu kemarahan dari para elit suku yang terbiasa dengan keistimewaan, menegaskan prinsip bahwa kekuasaan Khalifah harus tunduk pada hukum moral dan syariah, bukan pada praktik-praktik oligarki. Tragedi kematiannya adalah pengorbanan yang dilakukan demi tegaknya keadilan ini.
Ali bin Abi Thalib tidak hanya meninggalkan jejak sebagai panglima perang yang legendaris, tetapi juga sebagai sumber ilmu tafsir, hadis, dan yurisprudensi. Kehadirannya di samping Nabi selama dua puluh tiga tahun masa kenabian memberinya otoritas keilmuan yang tak tertandingi, yang ia gunakan untuk mencoba membimbing umat yang kacau kembali ke jalan yang benar. Kegagalan umat untuk menerima bimbingan penuhnya, yang berujung pada pembunuhan, adalah hukuman yang mahal yang dibayar oleh sejarah Islam.
Kisah wafatnya Ali bin Abi Thalib adalah cermin yang memperlihatkan kelemahan fundamental dalam masyarakat manusia: kerentanan kebenaran di hadapan nafsu kekuasaan dan fanatisme yang membutakan. Ali, yang seluruh hidupnya merupakan dedikasi untuk membersihkan Islam dari praktik-praktik jahiliyah, pada akhirnya menjadi korban dari manifestasi baru kefanatikan yang lahir dari misinterpretasi terhadap ajaran yang sama.
Jika kita merenungkan malam-malam terakhir Ali, kita menemukan ketabahan yang luar biasa. Ia tidak menggunakan posisinya untuk menumpuk pengawal atau membangun benteng pelindung. Ia memilih untuk berjalan sendirian ke masjid, menghadapi risiko yang ia tahu mengintai, karena ia percaya bahwa nasibnya berada di tangan Allah semata. Tindakan ini adalah manifestasi tertinggi dari tawakkul (penyerahan diri).
Pembunuhan yang terjadi di bulan Ramadhan, di tempat ibadah suci, oleh tangan seorang yang mengaku taat beragama, menyajikan pelajaran yang keras: bahwa niat baik, jika didorong oleh ideologi yang salah dan kebencian, dapat menghasilkan kejahatan terbesar. Ini adalah peringatan historis tentang pentingnya moderasi (wasatiyyah) dan bahaya eksklusivitas dalam pemahaman agama.
Perpisahan dengan Ali adalah perpisahan dengan idealisme murni dari sistem Khilafah Rasyidah. Setelahnya, sejarah Islam memasuki fase yang berbeda, ditandai dengan perjuangan yang berkelanjutan antara prinsip-prinsip syura dan realitas kekuasaan dinasti. Warisan Ali tetap menjadi seruan yang tak terucapkan bagi umat Islam untuk selalu kembali kepada keadilan, keilmuan yang mendalam, dan persatuan, pelajaran yang terus bergema melintasi waktu, menawarkan pedoman moral di tengah setiap krisis dan perpecahan.
Kesyahidan Ali bin Abi Thalib adalah pengingat bahwa bahkan mereka yang paling dekat dengan sumber kebenaran pun tidak luput dari konflik dan pengorbanan yang dituntut oleh jalan kebenaran. Kematiannya menutup babak yang mulia dan membuka era yang penuh tantangan, meninggalkan umat Islam dengan warisan kebijaksanaan yang luas, keadilan yang tak terkompromikan, dan teladan spiritual yang abadi.
Ia adalah singa Allah, Khalifah keempat, yang mati di mihrab, menukarkan mahkota duniawi dengan mahkota kesyahidan, mengakhiri hidupnya dengan seruan untuk keadilan dan takwa. Tragedi ini bukan akhir, melainkan awal dari garis keturunan yang terus menjadi sumber kekuatan spiritual dan tuntunan moral bagi miliaran manusia. Mempelajari detail wafatnya Ali adalah mempelajari inti dari kompleksitas sejarah politik dan teologis Islam. Setiap aspek dari penderitaannya, mulai dari fitnah yang mendahului hingga racun yang mengakhiri hidupnya, adalah pelajaran yang mendalam tentang biaya kepemimpinan yang berprinsip.
Kematian Ali menjerumuskan Kufah dan seluruh wilayah Muslim ke dalam kekosongan kekuasaan yang segera diisi oleh dinamika baru. Masa depan yang ia ramalkan—sebuah masa di mana kekuasaan akan diperebutkan berdasarkan kekuatan, bukan integritas—segera terwujud. Wafatnya Ali tidak hanya menciptakan jurang politik antara Syam dan Hijaz, tetapi juga jurang ideologis antara mereka yang mencari legitimasi berdasarkan keturunan dan mereka yang mencari legitimasi berdasarkan kekuasaan militer, serta kaum Khawarij yang mencari legitimasi berdasarkan puritanisme ekstrem.
Bahkan dalam penderitaan terakhirnya, Ali menunjukkan kemuliaan jiwa. Ia bisa saja menggunakan racun dendam untuk membalas Ibnu Muljam dengan penyiksaan yang mengerikan, namun ia memilih jalur yang lebih tinggi, mematuhi batasan hukum Islam, dan menunjukkan belas kasihan dalam keadilan. Sikap ini adalah kontras tajam terhadap kebrutalan ideologi yang membunuhnya, sebuah pelajaran yang mendemonstrasikan bahwa bahkan di tengah ketidakadilan, etika harus tetap tegak.
Bagi mereka yang mempelajari sejarah, kisah kesyahidan Ali merupakan puncak dari rangkaian peristiwa yang dimulai sejak kematian Nabi. Kekhalifahan, yang dimaksudkan sebagai penerusan spiritual dan politik, terus menerus diguncang oleh masalah suksesi, harta, dan interpretasi. Ali, yang mencoba menyatukan kembali umat di bawah panji keadilan yang ketat, akhirnya membayar harga tertinggi untuk idealisme tersebut. Ia adalah jembatan terakhir menuju era kenabian, dan ketika jembatan itu runtuh, umat terbagi menjadi aliran-aliran yang berbeda, masing-masing membawa serta interpretasinya sendiri tentang siapa Ali, dan apa yang seharusnya menjadi masa depan Islam.
Warisan Ali diakui lintas mazhab. Sunni menghormatinya sebagai salah satu dari Empat Khalifah yang Dibimbing Benar dan salah satu sepuluh sahabat yang dijamin surga. Syi'ah menghormatinya sebagai Imam dan Wali Allah yang tak tergantikan. Bahkan mereka yang menentangnya dalam politik tidak bisa menafikan kehebatan pribadinya sebagai seorang mujahid, qadi (hakim), dan orator. Oleh karena itu, wafatnya Ali tidak hanya merupakan tragedi bagi keluarganya dan rakyatnya, tetapi juga kehilangan besar bagi seluruh sejarah peradaban Islam, menghilangkan kehadiran fisik dari salah satu manifestasi paling sempurna dari keadilan dan ketaatan kepada Allah setelah era Nabi Muhammad.
Detail-detail di sekitar kematiannya, seperti perdebatan apakah ia harus dibunuh dengan racun atau tidak, dan bagaimana racun itu dipersiapkan selama berhari-hari, menunjukkan tingkat perencanaan dan kedalaman kebencian Khawarij. Mereka tidak hanya ingin membunuhnya; mereka ingin memastikan bahwa tidak ada harapan untuknya bertahan hidup. Upaya ini, yang didasarkan pada keyakinan bahwa darah Ali adalah darah yang dihalalkan karena dianggap murtad, adalah representasi purba dari terorisme yang dimotivasi agama, sebuah fenomena yang terus menghantui masyarakat hingga kini.
Dengan wafatnya Ali, pusat kekuasaan bergeser secara permanen dari Kufah ke Syam, di bawah kendali Mu'awiyah. Pergeseran geografis ini juga mencerminkan pergeseran ideologis, di mana sistem administrasi yang lebih terpusat dan efisien, meskipun kurang idealis secara moral, mengambil alih. Ali telah meninggalkan segalanya demi mempertahankan cita-cita kekhalifahan yang sederhana dan adil, dan pengorbanannya menjadi standar moral yang diangkat tinggi oleh mereka yang menolak kompromi demi kekuasaan mutlak.
Pengaruh Ali tidak berakhir pada malam itu. Ajaran, surat, dan putusannya terus menjadi sumber hukum dan spiritualitas. Kisah tentang bagaimana ia dengan tenang menghadapi kematian, bahkan setelah terkena pedang beracun yang mematikan, memberikan contoh ketenangan seorang mukmin sejati yang telah menyelesaikan tugasnya di dunia. Kematiannya bukan kekalahan, melainkan sebuah konfirmasi akan statusnya yang diimpikan: kesyahidan di jalan Allah. Keseluruhan narasi ini, dari gejolak Shiffin hingga bilah pedang di mihrab Kufah, melukiskan potret yang menyedihkan namun agung tentang penutup era yang paling suci dalam sejarah Islam.
Setiap umat yang membaca kembali kisah wafatnya Ali bin Abi Thalib diingatkan akan harga mahal persatuan dan konsekuensi tragis dari perpecahan dan ekstremisme. Ia adalah pahlawan yang dikalahkan oleh faksionalisme internal, namun kemenangannya di akhirat adalah kemenangan moral yang tak terbantahkan. Warisan kebijaksanaannya dan pengorbanan darahnya di masjid tetap menjadi penanda penting bagi peradaban yang ia bantu bangun.