Ali bin Abi Thalib: Pilar Sejarah, Akar Syiah, dan Dramatika Perpecahan Umat

Cahaya Pengetahuan Ali

I. Pengantar: Kedudukan Ali yang Tak Tertandingi dalam Sejarah Islam

Sejarah Islam tidak dapat dipisahkan dari figur Ali bin Abi Thalib, sepupu, menantu, dan sahabat terdekat Nabi Muhammad ﷺ. Dalam pandangan semua mazhab, Ali adalah pahlawan tanpa tanding, seorang ulama yang mendalam ilmunya, dan pemimpin yang disegani. Namun, ironisnya, ia juga merupakan titik sentral di mana perpecahan fundamental umat Islam berakar dan tumbuh. Lahirnya *Syiah*—secara harfiah berarti ‘pengikut’ atau ‘faksi’—bermula dari loyalitas absolut terhadap klaim spiritual dan politik Ali atas kepemimpinan umat setelah wafatnya Rasulullah.

Analisis terhadap Ali dan faksi pendukungnya, Syiah, bukanlah sekadar meninjau peristiwa sejarah belaka. Ia adalah studi mendalam mengenai bagaimana perbedaan sudut pandang tentang suksesi politik dapat bertransformasi menjadi perbedaan fundamental dalam akidah dan yurisprudensi. Perbedaan pandangan mengenai hak Ali untuk menjadi pemimpin segera setelah Nabi, yang dikenal sebagai masalah Imamah (kepemimpinan spiritual dan politik), menjadi doktrin pembeda utama yang memisahkan Syiah dari arus utama Sunni. Untuk memahami dinamika Syiah, kita harus kembali ke Madinah pada abad pertama Hijriah, saat isu legitimasi politik berkobar, dan melihat bagaimana karisma serta tragedi yang melekat pada Ali membentuk identitas kelompok yang hingga kini menjadi salah satu pilar utama dunia Islam.

Kajian ini akan menguraikan secara rinci biografi Ali, kontroversi yang melingkupi suksesi, kronik kekhalifahannya yang sarat pergolakan, hingga bagaimana faksi politik yang mendukungnya kemudian mengkristal menjadi aliran teologis yang terstruktur. Kita akan menelusuri bagaimana konsep Syiah tentang kepemimpinan yang ditunjuk secara Ilahi (nass) berbenturan dengan konsep suksesi berdasarkan musyawarah (shura) yang diyakini Sunni, dan bagaimana warisan intelektual Ali terus mempengaruhi kedua belah pihak hingga saat ini.

II. Ali bin Abi Thalib: Sang Panglima dan Penjaga Ilmu

Ali dilahirkan di Makkah beberapa tahun sebelum kenabian, dan ia menjadi salah satu individu pertama yang memeluk Islam, sering disebut sebagai anak laki-laki pertama yang beriman. Dibesarkan di rumah Rasulullah sejak usia muda, Ali memiliki kedekatan fisik, emosional, dan spiritual yang tak tertandingi. Hubungan ini diperkuat ketika ia menikahi Fatimah az-Zahra, putri tercinta Nabi, dan menjadi ayah dari Hasan dan Husain, yang kelak dikenal sebagai ‘pemimpin pemuda di Surga’.

Peran Kunci dalam Periode Awal Islam

Kontribusi Ali terhadap Islam awal sangat monumental. Pada malam Hijrah (migrasi ke Madinah), ia mempertaruhkan nyawanya dengan tidur di tempat tidur Nabi untuk mengelabui kaum Quraisy, memungkinkan Nabi untuk melarikan diri dengan aman. Di medan perang, ia adalah singa Allah. Keterlibatannya dalam Badr, Uhud, dan terutama Khandaq (di mana ia berhasil mengalahkan jagoan musyrik, Amr bin Abdu Wud) menunjukkan keberanian dan kemampuan tempur yang luar biasa. Puncaknya adalah Perang Khaibar, di mana ia memimpin penyerangan dan berhasil merobohkan benteng Yahudi, sebuah prestasi yang disabdakan oleh Nabi: “Besok bendera akan kuserahkan kepada orang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya, dan dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya.”

Ali sebagai Sumber Ilmu Pengetahuan

Selain keberanian fisiknya, Ali dikenal karena kedalaman ilmunya. Nabi Muhammad bersabda, “Aku adalah kota ilmu, dan Ali adalah gerbangnya.” Pernyataan ini menjadi landasan teologis bagi Syiah untuk mengklaim bahwa setelah Nabi, Ali adalah otoritas spiritual dan hukum tertinggi. Pengetahuannya meliputi tafsir Al-Qur'an, yurisprudensi (fiqh), dan sastra. Kontribusi terpentingnya diyakini adalah dalam meletakkan dasar tata bahasa Arab (Nahwu) untuk melindungi Al-Qur'an dari kesalahan pengucapan oleh non-Arab yang baru masuk Islam.

Selama masa kekhalifahan Abu Bakar, Umar, dan Utsman, meskipun Ali tidak memegang posisi kepemimpinan tertinggi, ia sering kali berfungsi sebagai penasihat utama dan rujukan yurisprudensi. Banyak kasus hukum yang sulit diselesaikan hanya setelah Ali memberikan fatwanya. Hal ini menunjukkan bahwa pengakuannya sebagai sumber ilmu adalah universal di kalangan sahabat, terlepas dari perbedaan pandangan politik tentang suksesi.

III. Kontroversi Saqifah dan Pijakan Awal Syiah

Titik balik yang menentukan dalam sejarah Islam, dan saat Syiah mulai mengambil bentuk definitif, terjadi segera setelah wafatnya Nabi Muhammad pada hari Senin. Sementara jenazah Nabi belum dikebumikan, sekelompok sahabat berkumpul di sebuah lokasi yang disebut Saqifah Bani Sa'idah untuk membahas masalah suksesi kepemimpinan. Ini adalah momen krisis politik dan teologis terbesar yang pernah dihadapi komunitas Muslim.

Argumen di Saqifah

Pertemuan di Saqifah didominasi oleh perdebatan antara kaum Anshar (penduduk asli Madinah) dan kaum Muhajirin (imigran dari Makkah). Kaum Anshar berpendapat bahwa karena merekalah yang melindungi dan mendukung Nabi, pemimpin (khalifah) harus berasal dari mereka, atau setidaknya kepemimpinan harus dibagi. Kaum Muhajirin, yang diwakili oleh Umar bin Khattab dan Abu Bakar ash-Shiddiq, berargumen bahwa kepemimpinan harus tetap berada di tangan suku Nabi, Quraisy, untuk menjaga persatuan dan otoritas Arab.

Pada akhirnya, dalam suasana yang penuh ketegangan, Abu Bakar dibaiat sebagai khalifah pertama. Ali, bersama beberapa tokoh terkemuka lain seperti Zubair bin Awwam dan Miqdad bin Aswad, tidak hadir dalam baiat tersebut. Mereka saat itu sedang sibuk mengurus pemakaman Nabi.

Ali dan Konsep Wasiyyah (Penunjukan)

Penolakan Ali dan para pengikut awalnya terhadap baiat di Saqifah bukanlah penolakan terhadap pribadi Abu Bakar, melainkan penolakan terhadap metode suksesi itu sendiri. Dalam pandangan kelompok yang kelak menjadi Syiah, kepemimpinan umat (Imamah) bukanlah masalah politik yang dapat diselesaikan melalui musyawarah atau pemilihan manusia (shura), melainkan sebuah penunjukan Ilahi (nass atau wasiyyah) yang telah ditetapkan oleh Nabi atas perintah Allah.

Syiah meyakini bahwa penunjukan Ali ini telah diisyaratkan pada berbagai kesempatan, yang paling penting adalah peristiwa Ghadir Khum. Dalam perjalanan pulang dari haji terakhir, Nabi berhenti di sebuah mata air dan, sambil memegang tangan Ali, beliau bersabda: “Barang siapa menjadikan aku Maulanya, maka Ali adalah Maulanya.” Meskipun interpretasi kata ‘Maula’ menjadi perbedaan besar antara Sunni (mengartikannya sebagai ‘sahabat yang dicintai’) dan Syiah (mengartikannya sebagai ‘pemimpin’ atau ‘otoritas yang ditunjuk’), bagi Syiah, Ghadir Khum adalah pengumuman resmi kepemimpinan Ali.

Dampak Penolakan Awal

Ali pada akhirnya memberikan baiat kepada Abu Bakar, tetapi ini terjadi setelah enam bulan, setelah wafatnya Fatimah. Meskipun Ali menjauhkan diri dari arena politik selama periode tiga khalifah pertama, sikapnya menciptakan celah teologis dan ideologis. Mereka yang percaya bahwa Ali adalah pewaris sah, berdasarkan penunjukan Ilahi, mulai mengorganisasi diri secara diam-diam. Kelompok inilah yang dikenal sebagai Shi’at Ali, faksi atau partai Ali. Pada tahap ini, mereka masih merupakan fraksi minoritas politik yang percaya pada prioritas hak Ali, namun belum sepenuhnya terpisah secara doktrinal.

Periode ini meletakkan landasan bagi dua narasi historis yang kontras: narasi Sunni yang mengesahkan suksesi berdasarkan musyawarah dan kemampuan politik terbaik, dan narasi Syiah yang menuntut otoritas yang ditunjuk secara transenden, yang memandang suksesi pertama sebagai perampasan hak Ali.

IV. Kekhalifahan Ali dan Puncak Perpecahan: Era Fitnah Kubra

Setelah terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan pada akhir masa kekhalifahannya, terjadi kevakuman kekuasaan yang parah. Pada tahun keenam kekhalifahan (35 H), Ali didesak oleh mayoritas penduduk Madinah, termasuk para pemberontak yang membunuh Utsman, untuk menerima baiat. Ali akhirnya menerima, tetapi ia mewarisi sebuah kekhalifahan yang terfragmentasi dan penuh kekacauan. Kekhalifahannya (35–40 H) adalah masa yang singkat namun paling traumatis dan berdarah dalam sejarah Islam awal, yang dikenal sebagai Fitnah Kubra (Perpecahan Besar).

Kebijakan Restoratif yang Kontroversial

Ali segera mengambil langkah untuk mengembalikan otoritas pusat dan prinsip-prinsip keadilan yang ia yakini telah terkikis. Tindakan pertamanya adalah memecat gubernur-gubernur yang diangkat oleh Utsman, termasuk Muawiyah bin Abi Sufyan, gubernur Suriah yang kuat dan berpengaruh. Ali berpendapat bahwa pejabat yang berkuasa harus disingkirkan untuk membersihkan pemerintahan. Tindakan ini, meskipun berlandaskan pada prinsip, segera memicu oposisi bersenjata.

Perang Jamal (Unta)

Penentangan pertama datang dari tokoh-tokoh terkemuka: Zubair bin Awwam, Thalhah bin Ubaidillah, dan yang paling menonjol, Aisyah, istri Nabi Muhammad. Mereka menuntut agar Ali segera menghukum para pembunuh Utsman. Ali menjawab bahwa stabilitas harus dipulihkan terlebih dahulu sebelum keadilan dapat ditegakkan. Perbedaan pandangan ini memuncak dalam Perang Jamal dekat Basrah. Ini adalah perang pertama di mana Muslim bertempur melawan Muslim. Ali menang, tetapi perpecahan politik telah menjadi nyata dan berdarah.

Perang Siffin dan Lahirnya Khawarij

Ancaman terbesar Ali datang dari Muawiyah, yang menolak melepaskan jabatannya dan menggunakan baju Utsman yang berlumuran darah sebagai alat propaganda untuk menuntut pembalasan. Pasukan Ali dan Muawiyah bertemu di Siffin (sekarang di Suriah) pada tahun 37 H. Setelah kebuntuan pertempuran sengit yang hampir dimenangkan oleh Ali, pasukan Muawiyah mengangkat mushaf Al-Qur'an di ujung tombak, menyerukan arbitrase berdasarkan Kitabullah.

Ali enggan, tetapi di bawah tekanan besar dari pasukannya, ia setuju untuk mengirim perwakilan (Abu Musa al-Asy'ari) untuk berunding dengan perwakilan Muawiyah (Amr bin Ash). Keputusan Ali untuk menerima arbitrase adalah bencana. Sebagian dari pasukannya, yang berpendapat bahwa "Hukum hanyalah milik Allah" (La Hukma Illa Lillah), meninggalkan Ali dan menolak arbitrase manusia. Kelompok radikal ini dikenal sebagai Khawarij (mereka yang keluar).

Perang Nahrawan dan Tragisnya Akhir

Ali harus memerangi Khawarij dalam Perang Nahrawan. Meskipun ia berhasil menumpas mereka, benih-benih ekstremisme telah tertanam. Ironisnya, Ali akhirnya gugur di tangan seorang Khawarij yang selamat, Abdurrahman bin Muljam, di Kufah saat memimpin salat subuh. Kematian Ali pada tahun 40 H (661 M) mengakhiri kekhalifahan yang berusaha keras mengembalikan prinsip-prinsip awal Islam, tetapi justru menjadi korban dari perpecahan yang tak terhindarkan.

Kematian Ali secara efektif menyerahkan kekuasaan politik kepada Muawiyah, yang kemudian mendirikan Dinasti Umayyah. Bagi Syiah, kematian Ali menandai berakhirnya era Khulafaur Rasyidin yang sejati dan dimulainya era penindasan terhadap keluarga Nabi, atau Ahlul Bait.

Perpecahan Jalan Umat Imamah Khilafah

V. Evolusi Shi'at Ali: Dari Faksi Politik Menuju Doktrin Teologis

Setelah kematian Ali, Syiah tidak hilang. Sebaliknya, mereka mulai mengkristal dari kelompok pendukung politik menjadi identitas keagamaan yang berbeda. Putra Ali, Hasan, sempat dibaiat, namun ia segera membuat perjanjian damai dengan Muawiyah, menyerahkan kekhalifahan demi menghindari pertumpahan darah lebih lanjut. Perjanjian ini, meskipun dipandang Syiah sebagai pengkhianatan atau pengorbanan yang diperlukan, memindahkan fokus spiritual Syiah ke Husain, adik Hasan.

Tragedi Karbala: Katalis Utama

Peristiwa yang secara permanen mematri Syiah sebagai entitas keagamaan yang terpisah adalah pembantaian Husain, cucu Nabi, dan keluarganya di Karbala pada tahun 61 H. Pembantaian yang dilakukan oleh pasukan Khalifah Yazid (putra Muawiyah) ini memberikan Syiah narasi martir yang kuat, yang menjadi inti dari teologi mereka. Karbala mengajarkan bahwa Ahlul Bait—keluarga Nabi—adalah korban pengkhianatan dan penindasan yang berkelanjutan. Kepatuhan kepada Imam (pemimpin spiritual dari garis keturunan Ali dan Fatimah) dipandang sebagai perlawanan suci terhadap tirani politik (Khilafah Umayyah).

Konsep Imamah (Kepemimpinan Ilahi)

Doktrin inti Syiah yang membedakannya secara fundamental dari Sunni adalah Imamah. Bagi Syiah, Imam bukan hanya pemimpin politik, tetapi juga pengganti spiritual dan pewaris otoritas ajaran Nabi. Konsep Imamah memiliki beberapa aspek sentral:

  1. Nass (Penunjukan): Imam harus ditunjuk secara spesifik oleh Imam sebelumnya, yang akarnya kembali pada penunjukan Ali oleh Nabi. Kepemimpinan bukan hasil pilihan umat.
  2. Ismah (Kema'suman/Infallibility): Imam adalah maksum, suci dari dosa dan kesalahan, baik yang disengaja maupun tidak disengaja. Kema'suman ini memastikan bahwa ajaran mereka adalah otentik dan benar, setara dengan sunnah Nabi.
  3. Ilmu Ladunni (Pengetahuan Khusus): Imam memiliki pengetahuan khusus yang diwariskan secara Ilahi (berbeda dari ilmu yang diperoleh melalui belajar). Mereka adalah penjaga interpretasi batin (batin) Al-Qur'an.
  4. Waris Ahlul Bait: Imamah secara eksklusif berada dalam garis keturunan Ali dan Fatimah. Ini membedakan mereka dari konsep Sunni tentang Khilafah, di mana pemimpin dapat berasal dari suku Quraisy mana pun yang memenuhi syarat.

Dengan adanya doktrin Imamah, Syiah tidak lagi hanya berfokus pada masalah politik suksesi Ali, tetapi pada hak prerogatif keturunan suci untuk memimpin umat secara spiritual dan esoterik. Ali bin Abi Thalib menjadi Imam Pertama, dan garis keturunan ini berlanjut hingga Imam ke-12 (bagi Syiah Dua Belas Imam/Itsna Asyariyah), Muhammad al-Mahdi, yang diyakini ghaib (tersembunyi) dan akan muncul kembali.

VI. Analisis Perbandingan Narasi Ali dalam Sunni dan Syiah

Meskipun Ali bin Abi Thalib dihormati secara universal dalam Islam, bagaimana ia dipersepsikan, dan terutama bagaimana peristiwa di sekitarnya diinterpretasikan, membentuk jurang yang lebar antara Sunni dan Syiah. Kedua narasi ini memandang Ali sebagai teladan, tetapi peran dan posisinya dalam struktur otoritas keagamaan sangat berbeda.

Ali dalam Narasi Sunni

Bagi Sunni, Ali adalah khalifah keempat yang saleh (Rasyidin), seorang sahabat yang mulia, dan salah satu dari sepuluh orang yang dijamin masuk surga. Mereka mengakui kedalaman ilmunya, keberaniannya, dan kedekatannya dengan Nabi.

Ali dalam Narasi Syiah

Bagi Syiah, Ali adalah manifestasi utama dari kepemimpinan Ilahi setelah Nabi. Ia bukan sekadar pemimpin politik, melainkan Imam Pertama yang maksum, yang seharusnya memimpin umat sejak awal. Sunni, menurut pandangan Syiah, telah mengalihkan kepemimpinan dari garis yang benar.

Implikasi Yurisprudensi

Perbedaan interpretasi ini memiliki konsekuensi besar pada hukum dan teologi. Syiah cenderung mengandalkan hadis yang diriwayatkan dari jalur Ahlul Bait, melalui Ali dan para Imam berikutnya. Sebaliknya, Sunni mendasarkan yurisprudensi pada hadis yang diriwayatkan dari berbagai sahabat, termasuk mereka yang menjadi lawan politik Ali. Ini menghasilkan perbedaan dalam detail hukum, praktik keagamaan, dan bahkan kalender ritual (misalnya, perayaan Asyura sebagai hari berkabung Syiah, versus hari puasa sunnah Sunni).

Inti dari perpecahan ini adalah pandangan mendasar tentang sifat otoritas dalam Islam: apakah itu otoritas yang dipilih oleh komunitas (Sunni), atau otoritas yang diturunkan melalui darah dan penunjukan Ilahi (Syiah).

VII. Warisan Abadi Ali bin Abi Thalib: Nahjul Balagha dan Spiritualitas

Terlepas dari konflik yang menyelimuti masa hidupnya, warisan Ali bin Abi Thalib jauh melampaui sengketa politik. Ia meninggalkan warisan intelektual dan spiritual yang tak ternilai, diakui dan dihormati oleh semua mazhab.

Nahjul Balagha: Puncak Retorika Arab

Kumpulan khotbah, surat, dan ucapan hikmah Ali, yang dikumpulkan oleh ulama Syiah, Sayyid Radhi, pada abad keempat Hijriah, dikenal sebagai Nahjul Balagha (Puncak Retorika). Karya ini dianggap sebagai mahakarya sastra Arab setelah Al-Qur'an dan hadis Nabi. Isi Nahjul Balagha mencakup filosofi kenegaraan, prinsip-prinsip keadilan, tafsir mistis tentang Tuhan, dan nasihat etika. Salah satu suratnya yang paling terkenal, ditujukan kepada Malik al-Asytar (Gubernur Mesir), dianggap sebagai piagam etika pemerintahan yang harus ditaati oleh pemimpin Muslim mana pun, menekankan pentingnya melindungi rakyat jelata dan keadilan tanpa pandang bulu.

Bagi Syiah, Nahjul Balagha adalah bukti nyata dari ilmu *Ladunni* Ali. Bagi Sunni, ini adalah koleksi kebijaksanaan dari salah satu Khulafaur Rasyidin yang paling cerdas, yang menunjukkan kedalaman spiritualitas dan komitmennya terhadap pemerintahan yang adil.

Pengaruh Terhadap Sufisme dan Mistikisme

Peran Ali dalam perkembangan spiritual Islam, khususnya Sufisme (Tasawuf), sangat penting. Hampir semua tarekat Sufi (misalnya, Qadiriyah, Suhrawardiyah, Naqsyabandiyah) melacak rantai silsilah (silsilah) spiritual mereka kembali kepada Nabi melalui Ali bin Abi Thalib. Ini menunjukkan bahwa di ranah esoterik, Ali berfungsi sebagai jembatan yang menyatukan seluruh umat Islam.

Ali dikenal sebagai ‘Abu Turab’ (Bapak Tanah), gelar yang diberikan Nabi, dan ia memiliki kedalaman pemahaman mistis tentang realitas. Ucapan-ucapannya tentang asketisme, tawakal (ketergantungan pada Tuhan), dan hakikat kemanusiaan sangat mendasar dalam literatur Tasawuf awal. Ini menggarisbawahi paradoks: meskipun Ali adalah sumber perpecahan politik terbesar, ia juga merupakan sumber persatuan spiritual terbesar.

Ali dan Yurisprudensi Islam

Di bidang fiqh (yurisprudensi), Ali adalah salah satu dari empat ulama utama di antara sahabat yang fatwanya paling sering dirujuk. Pemikirannya sangat mempengaruhi madzhab Hanafi, yang merupakan madzhab fiqh terbesar di dunia Sunni. Pengaruh Ali menunjukkan bahwa, meskipun ada perbedaan teologis antara Syiah dan Sunni, pada tingkat praktis dan intelektual, kedua mazhab ini berbagi akar yang sama dalam ajaran Ali.

VIII. Penguatan Institusional Doktrin Syiah Pasca-Ali

Setelah Ali dan tragedi Karbala, faksi Syiah semakin terpisah dari Sunni secara struktural dan doktrinal. Proses ini berlangsung selama beberapa abad berikutnya, dipimpin oleh para Imam dari garis keturunan Ali.

Fase Keterasingan dan Pembentukan Sekolah

Di bawah pemerintahan Dinasti Umayyah dan Abbasiyah, para Imam Syiah sering kali diasingkan, dipenjara, atau dibunuh. Ini memaksa Syiah untuk mengembangkan doktrin ketidaktaatan politik yang keras terhadap otoritas yang mereka anggap tidak sah. Mereka mengembangkan konsep Taqiyyah (penyembunyian keyakinan dalam situasi bahaya) sebagai mekanisme bertahan hidup.

Pusat-pusat ilmu Syiah, seperti di Kufah dan kemudian Qom, mulai berkembang. Imam kelima, Muhammad al-Baqir, dan Imam keenam, Ja'far ash-Shadiq, dianggap sebagai pendiri sejati madzhab Syiah dalam hal hukum (yang dikenal sebagai madzhab Ja'fari). Mereka mengajarkan fiqh dan teologi kepada ribuan murid, mengkodifikasi ajaran yang membedakan mereka dari empat madzhab fiqh Sunni.

Perpecahan Internal dalam Syiah

Dalam proses institusionalisasi, Syiah itu sendiri terpecah. Meskipun semua cabang Syiah menghormati Ali sebagai Imam Pertama, mereka berbeda pandangan mengenai garis keturunan yang benar setelah Imam tertentu. Perpecahan utama terjadi setelah Imam keempat, Imam kelima, dan khususnya setelah Imam keenam.

Ali bin Abi Thalib, sebagai sumber fondasi, diakui oleh semua cabang ini. Namun, dinamika pasca-Ali—termasuk masalah penunjukan, kemartiran, dan kema'suman—menentukan bagaimana setiap cabang membangun struktur hierarki keagamaan mereka.

IX. Kesinambungan dan Tantangan Kontemporer Warisan Ali

Hingga saat ini, Ali bin Abi Thalib tetap menjadi figur sentral yang memberikan resonansi besar dalam politik dan spiritualitas dunia Islam. Warisan Ali adalah pengingat konstan akan pentingnya keadilan, ilmu pengetahuan, dan bahaya dari kompromi politik yang mengorbankan prinsip.

Ali dan Keadilan Sosial

Dalam dunia modern, baik Sunni maupun Syiah sering merujuk pada kekhalifahan Ali sebagai model ideal bagi pemerintahan yang adil. Ali dikenal karena keputusannya yang tidak memihak, bahkan kepada keluarganya sendiri, dan penolakannya terhadap pengumpulan kekayaan oleh elit. Suratnya kepada Malik al-Asytar tetap menjadi manual bagi para aktivis dan teolog yang memperjuangkan keadilan sosial. Hal ini menunjukkan bahwa, terlepas dari perbedaan doktrinal mengenai siapa yang seharusnya menjadi pemimpin, semua Muslim merayakan Ali sebagai simbol keadilan absolut.

Perpecahan yang Belum Tersembuhkan

Meskipun ada upaya dialog antar-mazhab, jurang antara Sunni dan Syiah yang berakar pada masalah suksesi Ali tetap menjadi tantangan geopolitik. Kebangkitan politik Syiah di beberapa wilayah pada abad ke-20 dan ke-21 telah memperbaharui perdebatan lama tentang Imamah versus Khilafah. Bagi banyak ulama Sunni garis keras, konsep Syiah tentang kema'suman para Imam dan penolakan terhadap legitimasi tiga khalifah pertama masih dipandang sebagai penyimpangan yang signifikan.

Sebaliknya, bagi Syiah, Ali dan keturunannya adalah korban sejarah, dan tragedi yang menimpa mereka (terutama Karbala) adalah motivasi yang terus-menerus untuk melawan penindasan modern. Perspektif ini memperkuat identitas Syiah dan menegaskan kembali pentingnya Ali bukan hanya sebagai pendiri garis keturunan Imam, tetapi sebagai martir pertama dari perjuangan abadi untuk kepemimpinan yang benar.

Dengan demikian, Ali bin Abi Thalib adalah figur yang kompleks. Ia adalah panglima Islam yang mempersatukan, namun juga merupakan pintu gerbang teologis menuju perpecahan terbesar. Ia adalah sumber ilmu bagi semua, tetapi interpretasi terhadap ilmu dan otoritasnya menjadi pembeda utama antara dua arus utama dalam umat Islam.

X. Kesimpulan

Kisah Ali bin Abi Thalib dan kelahiran faksi Syiah adalah narasi tentang bagaimana sejarah suksesi politik dapat membentuk doktrin teologis yang mendalam. Syiah, yang bermula dari ‘partai’ yang mendukung hak Ali atas kepemimpinan pasca-Nabi (berdasarkan penunjukan Ilahi), mengkristal menjadi aliran yang berpusat pada doktrin Imamah, kema'suman, dan martir. Mereka melihat Ali sebagai Imam Pertama yang haknya dirampas, sebuah pandangan yang kontras dengan pandangan Sunni yang memandang Ali sebagai Khalifah yang sah setelah melalui proses musyawarah yang dipimpin oleh para sahabat.

Warisan Ali, yang tertuang dalam kebijaksanaan Nahjul Balagha dan keberaniannya di medan perang, adalah milik seluruh umat Islam. Namun, interpretasi atas peristiwa Saqifah, Ghadir Khum, dan Fitnah Kubra berfungsi sebagai cermin yang memantulkan perbedaan mendasar dalam memahami sifat otoritas keagamaan. Perjuangan Ali untuk mempertahankan prinsip keadilan dan kepemimpinan yang berlandaskan wahyu, meskipun berakhir tragis, memastikan bahwa perdebatan tentang suksesi dan otoritas akan terus berlanjut sepanjang sejarah Islam, menjadikan Ali bin Abi Thalib bukan hanya tokoh sejarah, tetapi juga simbol abadi dari persimpangan jalan teologis umat.

🏠 Homepage