Timbangan spiritual, melambangkan ketidakstabilan harapan yang diletakkan pada entitas fana.
Sayyidina Ali bin Abi Thalib Karramallahu Wajhah, gerbang ilmu kota pengetahuan Nabi Muhammad ﷺ, meninggalkan warisan hikmah yang tak terhingga, terangkum dalam berbagai ucapan dan suratnya. Di antara ajaran spiritual dan etika sosialnya yang paling mendalam adalah peringatan keras terhadap praktik meletakkan harapan, ketergantungan, dan keinginan mutlak kepada sesama manusia. Dalam pandangan Sang Singa Allah, ketergantungan pada manusia adalah jalan menuju kehinaan, kekecewaan yang tak terhindarkan, dan pengalihan fokus dari sumber rezeki dan kekuasaan yang hakiki.
Peringatan ini bukan sekadar nasihat moral, melainkan fondasi bagi konsep spiritual yang lebih besar dalam Islam: Tawakkul (penyerahan total kepada Allah) dan Isti'ghna (kekayaan batin yang membuat seseorang merasa cukup dan tidak membutuhkan makhluk). Artikel ini akan menggali secara komprehensif ajaran Sayyidina Ali tentang mengapa harapan kepada manusia selalu berakhir sia-sia dan bagaimana caranya membangun kemandirian spiritual yang sesungguhnya.
Ali bin Abi Thalib mengajarkan bahwa ketika seseorang bergantung pada makhluk, ia telah merendahkan martabatnya sendiri. Manusia, pada hakikatnya, adalah entitas yang lemah, fana, dan tunduk pada keterbatasan. Berharap kepada mereka sama saja dengan menanam benih di tanah yang kering dan rapuh, menunggu buah yang mustahil tumbuh. Ketergantungan ini menciptakan rantai perbudakan spiritual dan emosional.
Manusia memiliki batasan yang jelas dalam hal kekayaan, waktu, kekuasaan, dan bahkan kemauan. Apa yang hari ini mereka miliki, besok mungkin hilang. Sayyidina Ali menekankan bahwa orang yang Anda harap akan memberikan manfaat, adalah orang yang sama yang mungkin besok membutuhkan bantuan Anda. Dengan kata lain, mengapa mencari pertolongan pada sumber yang kekuatannya bersyarat dan terbatas?
Ketergantungan ini membawa dua risiko utama: Pertama, risiko penolakan. Manusia bisa menolak membantu karena kikir, ketidakmampuan, atau perubahan hati. Kedua, risiko penghinaan. Ketika seseorang membutuhkan sesuatu dari orang lain, ia sering kali harus menundukkan kepalanya, mengorbankan kehormatan diri demi mendapatkan sedikit kebaikan fana. Ali bin Abi Thalib melihat kehormatan diri (‘Izzatun Nafs) sebagai harta yang jauh lebih berharga daripada apa pun yang bisa diberikan oleh manusia.
Harapan yang diletakkan pada manusia sangat rentan terhadap kegagalan emosional, yaitu kekecewaan. Kekecewaan ini tidak hanya merusak hubungan antar individu, tetapi juga melukai jiwa. Ali mengajarkan bahwa kekecewaan adalah hasil langsung dari kesalahan dalam penempatan harapan. Jika harapan diletakkan pada Yang Maha Kekal, maka kekecewaan tidak akan pernah datang, karena janji-Nya pasti. Sebaliknya, manusia sering kali melupakan janji, mengubah pikiran, atau digagalkan oleh takdir itu sendiri.
Ketergantungan pada manusia juga menciptakan penyakit hati yang disebut Tamanni (berangan-angan kosong), yang membuat seseorang pasif. Mereka berhenti berusaha dan bekerja, karena mereka menunggu 'uluran tangan' dari pihak lain. Ini bertentangan dengan semangat Islam yang mendorong usaha maksimal sambil menyerahkan hasil sepenuhnya kepada Allah (Tawakkul).
Solusi yang ditawarkan oleh Sayyidina Ali atas bahaya ketergantungan pada manusia bukanlah isolasi sosial, melainkan transformasi batin menuju Isti'ghna—kekayaan spiritual dan rasa cukup. Ini adalah kondisi di mana hati seseorang dipenuhi keyakinan kepada Allah sehingga ia tidak merasa butuh untuk merendahkan diri di hadapan makhluk.
Isti'ghna bukanlah berarti memiliki banyak harta duniawi, tetapi memiliki hati yang kaya. Ali menjelaskan bahwa kekayaan sejati adalah kekayaan jiwa, yang membebaskan seseorang dari rasa butuh. Ketika hati telah merasa cukup dengan apa yang ditetapkan Allah, maka ia tidak akan memandang remeh apa yang diberikan Allah kepada orang lain, dan ia juga tidak akan merengek meminta apa yang ada di tangan orang lain.
Ini adalah titik balik spiritual. Selama seseorang terus-menerus mencari pengakuan, dukungan finansial, atau pujian dari orang lain, ia akan terus menjadi budak pandangan dan harta mereka. Isti'ghna adalah pembebasan sejati dari rantai sosial dan material.
Beberapa orang mungkin salah memahami ajaran ini sebagai anjuran untuk tidak berinteraksi atau menolak bantuan. Sayyidina Ali tidak mengajarkan isolasi. Ia mengajarkan perbedaan mendasar antara: (a) Berinteraksi dan saling tolong-menolong sebagai kewajiban sosial, dan (b) Meletakkan harapan dan penyerahan mutlak di tangan makhluk.
Kita wajib berbuat baik, meminta bantuan dalam koridor syariat dan adab, dan menerima pemberian dengan rasa syukur. Namun, hati harus tetap tertambat pada kesadaran bahwa bantuan itu hanyalah perantara, dan Pemberi hakiki tetaplah Allah SWT. Jika bantuan datang, itu nikmat. Jika ditolak, itu bukan kerugian, karena rezeki sejati tidak pernah berada di tangan manusia.
Ali bin Abi Thalib menekankan bahwa sikap mental inilah yang membedakan seorang hamba yang merdeka dari seorang budak nafsu dan kebutuhan dunia. Seorang yang merdeka jiwanya tidak akan pernah takut kehilangan apa yang dipegang oleh manusia, karena ia tahu sumber tak terbatasnya.
Peringatan Sayyidina Ali mengenai bahaya berharap kepada manusia memiliki implikasi yang dalam pada kesehatan psikologis dan dinamika etika dalam masyarakat.
Ketika harapan berlebihan diletakkan pada suatu hubungan, hubungan itu cenderung gagal atau menjadi toksik. Pihak yang berharap akan selalu menuntut dan merasa tidak puas, sementara pihak yang diharap akan merasa terbebani dan tertekan. Harapan yang tidak realistis inilah yang menghancurkan persahabatan, kekeluargaan, dan bahkan kemitraan. Ali mengajarkan bahwa hubungan harus didasarkan pada cinta karena Allah dan kewajiban moral, bukan pada harapan manfaat duniawi.
Sebaliknya, jika kedua pihak menjalani interaksi dengan Isti'ghna, mereka dapat memberi tanpa mengharapkan balasan dan menerima tanpa merasa berhutang budi yang mengikat, kecuali kepada Pencipta. Ini menciptakan ruang bagi hubungan yang murni dan sehat.
Dalam konteks politik dan kepemimpinan, ajaran Ali sangat relevan. Ia seringkali menasihati umat untuk tidak menjadi penjilat atau orang yang mengharapkan hadiah dari penguasa yang zalim atau fana. Berharap pada kekuasaan manusia membuat seseorang rentan terhadap kompromi moral. Demi mendapatkan kedudukan atau kekayaan dari penguasa, seseorang bisa dengan mudah mengorbankan kebenaran dan keadilan.
Kemandirian dari harapan material adalah prasyarat bagi keberanian untuk mengatakan kebenaran. Seorang yang tidak butuh pada harta atau jabatan dari penguasa adalah satu-satunya yang mampu menjadi penasihat yang jujur, sebagaimana Sayyidina Ali sendiri menunjukkan dalam hidupnya.
Ali bin Abi Thalib tidak hanya memperingatkan bahaya, tetapi juga memberikan peta jalan menuju ketenangan melalui Tawakkul yang benar, yang merupakan kebalikan dari berharap pada manusia. Tawakkul adalah puncak dari keimanan yang membebaskan.
Tawakkul bukanlah berarti meninggalkan usaha. Sayyidina Ali dengan tegas menolak gagasan fatalistik bahwa seseorang harus duduk diam menunggu rezeki. Ia menekankan pentingnya mengambil semua sarana (asbab) yang sah, bekerja keras, dan merencanakan dengan cerdas. Namun, setelah usaha maksimal dilakukan, hasilnya harus diserahkan sepenuhnya kepada Allah.
Perbedaan antara berharap pada manusia dan Tawakkul sejati terletak pada tempat hati berlabuh. Jika Anda berusaha keras untuk mendapatkan pekerjaan dari seorang direktur, tetapi hati Anda tahu bahwa rezeki itu datang dari Allah melalui perantara direktur itu, maka Anda telah bertawakkul. Jika hati Anda sepenuhnya tergantung pada keputusan direktur tersebut, maka Anda sedang berharap pada manusia.
Manusia secara fundamental adalah fakir (butuh). Tidak ada manusia yang bisa melepaskan diri dari rasa butuh. Kuncinya, menurut Ali, adalah mengalihkan rasa fakir ini dari makhluk kepada Al-Ghani (Yang Maha Kaya), yaitu Allah.
Ketika Anda merasa butuh uang, butuh dukungan, atau butuh kasih sayang, arahkan keluhan dan permintaan tersebut langsung kepada Allah. Dengan melakukan ini, Anda tidak hanya mematuhi perintah agama, tetapi Anda juga memilih sumber yang tidak terbatas, tidak pernah lelah, dan tidak pernah mengecewakan. Ini adalah perdagangan spiritual yang paling menguntungkan.
Sikap hati yang mandiri (Isti'ghna) membawa konsekuensi yang baik di dunia dan akhirat. Di dunia, ia membawa martabat, ketenangan, dan kekebalan dari permainan emosional manusia. Seseorang yang mandiri hatinya tidak akan panik ketika bantuan ditunda atau janji dibatalkan. Di akhirat, sikap ini adalah tanda keimanan yang kuat dan kualitas penyerahan diri yang tinggi.
Sayyidina Ali mengajarkan bahwa jika Anda ingin dicintai oleh manusia, tunjukkan sedikit kebutuhanmu kepada mereka (dalam batas wajar, bukan meminta-minta), dan jika Anda ingin mendapatkan kemuliaan abadi, tunjukkan semua kebutuhanmu hanya kepada Allah.
Jarak antara harapan dan objeknya: Ketergantungan pada manusia sering kali berakhir dengan meraih kekosongan atau ilusi.
Kumpulan ucapan Sayyidina Ali, Nahj al-Balaghah (Jalan Kefasihan), penuh dengan permata kebijaksanaan yang menegaskan bahaya meletakkan hati pada selain Sang Pencipta. Hikmah ini seringkali disampaikan dalam konteks nasihat tentang zuhud (asketisme) dan kemandirian moral.
Salah satu alasan kuat untuk tidak berharap pada manusia adalah sifat kikir (bukhul) yang melekat pada jiwa, terutama ketika seseorang memiliki kekuasaan atau harta. Ali menjelaskan bahwa ketika seseorang meminta kepada manusia, ia bergantung pada mood, kebaikan hati yang berubah-ubah, dan batas harta yang mereka miliki. Sifat kikir adalah perisai manusia yang sulit ditembus.
Sebaliknya, Allah adalah Al-Karim (Maha Pemurah) dan Al-Wahhab (Maha Pemberi) yang tidak akan pernah kehabisan harta-Nya dan tidak pernah kikir untuk mengabulkan doa hamba-Nya. Perbandingan antara kekikiran manusia dan Kemurahan Ilahi seharusnya cukup menjadi alasan untuk mengalihkan totalitas harapan.
Lebih jauh lagi, Sayyidina Ali mengajarkan bahwa semakin Anda menunjukkan kebutuhan Anda kepada manusia, semakin mereka meremehkan Anda. Ini adalah paradoks sosial yang harus dipahami oleh setiap pencari kehormatan: **Kehormatan diperoleh melalui keterbebasan, bukan melalui permintaan.** Ketika Anda berhenti berharap, manusia mulai menghormati Anda, karena mereka tidak lagi memiliki kuasa atas perasaan dan kebutuhan Anda.
Terkadang, Allah menunda pemberian rezeki atau bantuan yang kita butuhkan, atau bahkan mengarahkannya melalui jalur yang tidak kita duga. Dalam pandangan Ali, penundaan ini bukanlah penolakan, melainkan ujian bagi hati. Apakah hati kita akan segera berbalik menyalahkan takdir, ataukah ia akan mencari pertolongan kepada makhluk, ataukah ia akan bersabar dan meningkatkan kualitas munajat kepada Sang Khalik?
Jika seseorang langsung berpaling kepada manusia setelah doanya seolah-olah tidak dikabulkan, ia menunjukkan bahwa imannya terhadap Kemahakuasaan Allah masih lemah. Tawakkul sejati menuntut kesabaran total, keyakinan bahwa Allah tahu waktu dan cara terbaik untuk memenuhi kebutuhan kita, bahkan jika cara itu tidak melibatkan intervensi manusia yang kita harapkan.
Ali bin Abi Thalib memberikan etika yang ketat dalam hal meminta. Ia membedakan antara meminta kepada Allah dan meminta kepada manusia:
Sayyidina Ali sering mengingatkan bahwa orang yang memberikan bantuan kepada Anda sebenarnya telah memberikan kehormatan besar kepada dirinya sendiri karena Allah telah memilih dia sebagai perantara kebaikan. Sebaliknya, orang yang meminta terlalu banyak dan seringkali akan kehilangan kehormatan yang ia miliki.
Untuk memahami sepenuhnya kedalaman ajaran Ali, kita perlu melihat konsekuensi jangka panjang dari kebiasaan berharap pada manusia, baik secara individu maupun kolektif.
Ketergantungan kronis membunuh inisiatif. Ketika seseorang yakin bahwa masalahnya akan diselesaikan oleh intervensi eksternal (orang tua, atasan, pemerintah, atau teman kaya), ia berhenti menggunakan kemampuan berpikirnya dan kreativitasnya. Padahal, Islam mendorong umatnya untuk menjadi orang yang mandiri, berdikari, dan proaktif dalam mencari solusi.
Ali bin Abi Thalib selalu mendorong penggunaan akal, perencanaan matang, dan kerja keras. Seseorang yang hatinya bergantung pada Allah justru akan menjadi lebih kreatif dan gigih dalam mencari solusi duniawi, karena ia tahu bahwa usahanya adalah bagian dari ibadahnya, sementara hasilnya dijamin oleh Yang Maha Menjaga.
Pada level teologis yang paling dalam, meletakkan harapan mutlak pada manusia adalah bentuk pelanggaran halus terhadap Tauhid (Keesaan Allah). Walaupun tindakan ini mungkin tidak mencapai batas syirik yang jelas (menyekutukan), ia merupakan bentuk syirik tersembunyi (syirk khafi) dalam hal Tauhid Rububiyah (Ketuhanan dalam hal penciptaan, pengurusan, dan pemberian rezeki).
Ketika Anda percaya bahwa kekayaan Anda bergantung pada persetujuan atasan Anda, atau masa depan Anda bergantung pada keputusan pasangan Anda, Anda secara tidak sadar telah memberikan atribut Rabb (Pengatur) kepada makhluk fana. Ali bin Abi Thalib, sebagai penjaga utama Tauhid setelah Rasulullah, melihat bahaya ini sebagai penyakit hati yang wajib disembuhkan dengan keyakinan penuh bahwa Tidak ada Daya dan Upaya kecuali dengan pertolongan Allah (La hawla wala quwwata illa billah).
Kekuatan Ali dalam menghadapi cobaan—dari kehilangan khalifah hingga pengkhianatan di medan perang—berasal dari keyakinan absolut ini. Hatinya terikat pada Yang Maha Kuasa, sehingga gejolak duniawi tidak mampu menggoyahkan jiwanya.
Ajaran Ali menuntut adanya integrasi antara kemandirian finansial dan kemandirian spiritual. Kedua kemandirian ini saling menguatkan. Seseorang yang lemah secara ekonomi lebih mudah tergoda untuk menjual kehormatannya demi bantuan, sementara seseorang yang lemah spiritualnya, meskipun kaya, tetap akan menjadi budak pujian dan pengakuan manusia.
Meskipun Ali dikenal sangat zuhud, ia juga menekankan pentingnya mengelola harta dengan bijaksana. Memiliki cadangan harta yang halal (tanpa menjadi budak harta) adalah salah satu bentuk asbab yang membantu seseorang mencapai Isti'ghna. Jika seseorang hidup dalam kemiskinan yang kronis dan tidak berusaha memperbaikinya, ia akan dipaksa untuk terus-menerus mengulurkan tangan kepada manusia, yang bertentangan dengan martabat yang ia ajarkan.
Tujuan dari pengelolaan harta bukanlah untuk kemewahan, melainkan untuk menjaga diri dari kebutuhan merendahkan diri kepada manusia. Harta menjadi alat untuk menjaga kehormatan (Iffah) dan membebaskan hati untuk fokus pada ibadah.
Nasihat Ali juga diarahkan kepada mereka yang berada dalam posisi memberi. Ia mengajarkan bahwa pemberi seharusnya memberi dengan tulus, tanpa mengharapkan balasan, dan tanpa merasa lebih tinggi daripada si penerima. Jika seorang pemberi memberi sambil berharap dihargai atau dipuji, maka ia juga termasuk dalam lingkaran ketergantungan pada manusia, yakni ketergantungan pada pengakuan sosial.
Memberi yang paling mulia adalah memberi dalam rahasia, di mana hanya Allah yang menjadi saksi. Ini memastikan bahwa baik si pemberi maupun si penerima terhindar dari bahaya saling mengikatkan hati pada objek fana, dan keduanya tetap terfokus pada Dzat Yang Maha Memberi rezeki.
Ali bin Abi Thalib seringkali berbicara tentang pentingnya Ghirah (rasa cemburu yang positif, harga diri, dan pertahanan kehormatan). Dalam konteks berharap pada manusia, Ghirah bertindak sebagai dinding spiritual yang mencegah kehinaan memasuki hati.
Martabat yang diajarkan oleh Ali bukanlah kesombongan, melainkan kesadaran akan nilai diri sebagai hamba Allah. Seorang hamba Allah tidak pantas untuk merendahkan diri di hadapan hamba yang lain demi mendapatkan sesuatu yang sudah dijamin oleh Allah. Rasa Izzah ini harus diperjuangkan setiap hari, terutama di saat-saat paling membutuhkan.
Ini mencakup menjauhi hal-hal yang dapat merusak kehormatan, seperti berbohong untuk mendapatkan keuntungan, atau menyanjung secara berlebihan (tamalluq). Menyanjung demi mendapatkan sesuatu adalah bentuk tawar-menawar harga diri yang paling buruk.
Jalan menuju kemandirian spiritual tidak mudah. Ia memerlukan kesabaran yang luar biasa, terutama ketika dihadapkan pada kesulitan ekonomi atau cobaan hidup. Ali mengajarkan bahwa kesabaran adalah separuh dari iman, dan dalam konteks Tawakkul, kesabaran adalah kemampuan untuk menahan diri dari godaan mencari jalan pintas melalui ketergantungan pada manusia.
Kesabaran menahan lisan agar tidak mengeluh dan menahan tangan agar tidak meminta adalah ibadah yang sangat tinggi nilainya. Di mata Sayyidina Ali, orang yang lapar tetapi menahan diri untuk tidak meminta kepada manusia adalah lebih mulia daripada orang yang kenyang berkat permintaan dan sanjungan kepada manusia.
Ajaran Sayyidina Ali bin Abi Thalib mengenai bahaya berharap pada manusia adalah sebuah revolusi batin yang fundamental. Ini adalah panggilan untuk membebaskan jiwa dari penjara keterbatasan makhluk menuju kebebasan absolut dalam Tauhid.
Jika kita merangkum inti dari nasihatnya, kita menemukan mandat spiritual yang jelas:
Penerapan ajaran ini tidak berarti menutup diri dari masyarakat, tetapi menjalani kehidupan sosial dengan hati yang terlepas. Kita berinteraksi, memberi, dan menerima dengan adab yang baik, tetapi kita tidak membiarkan nasib kita ditentukan oleh kebaikan atau keburukan manusia. Kita menjadikan Allah sebagai satu-satunya sandaran dan satu-satunya yang patut ditakuti dan diharap.
Hanya dengan demikian, jiwa akan menemukan kedamaian sejati, bebas dari siklus abadi kekecewaan yang ditimbulkan oleh sifat fana dan terbatasnya manusia.
***
Setiap langkah yang kita ambil dalam hidup, setiap rencana yang kita susun, haruslah diletakkan di bawah payung kesadaran ilahi ini. Ketika kita meminta, kita meminta kepada Dia Yang memiliki segala kunci. Ketika kita menghadapi kesulitan, kita mengadu kepada Dia Yang paling mendengar. Dan ketika kita berhasil, kita tahu bahwa keberhasilan itu bukanlah karena kepintaran kita atau bantuan manusia semata, melainkan manifestasi kasih sayang dan ketetapan dari Yang Maha Pemberi.
Kebijaksanaan Ali bin Abi Thalib ini adalah warisan abadi bagi umat Islam: sebuah formula untuk mencapai kemuliaan di dunia dan keselamatan di akhirat, yang intinya adalah kebebasan total dari penghambaan kepada makhluk dan penyerahan total kepada Sang Khalik.
Seorang yang telah mencapai tingkat Isti'ghna yang diajarkan oleh Sayyidina Ali akan melihat dunia sebagai tempat persinggahan, di mana semua orang—termasuk dirinya sendiri dan orang yang ia harap—hanyalah pelakon sementara yang sedang menunggu giliran untuk kembali kepada Pemilik sebenarnya. Dengan kesadaran ini, ia tidak akan pernah merasa kehilangan martabat atau kekecewaan, karena ia tidak pernah meletakkan harta hatinya di tempat yang fana dan rapuh.
Kemandirian spiritual adalah puncak dari ketakwaan, dan ini adalah pelajaran yang ditekankan oleh Ali bin Abi Thalib dengan penuh kekuatan dan ketegasan. Itu adalah jaminan martabat diri yang tidak terhanyut oleh arus pujian, cacian, pemberian, atau penolakan dari manusia. Sebuah harta yang tidak ternilai harganya, melebihi seluruh perbendaharaan dunia.
***
Dalam konteks praktis kehidupan sehari-hari, bagaimana seorang Muslim dapat terus menjaga kemandirian hati ini di tengah kebutuhan mendesak? Ali bin Abi Thalib mengajarkan bahwa ini adalah perjuangan abadi melawan nafsu dan bisikan syaitan. Syaitan akan selalu berusaha meyakinkan kita bahwa ‘jalan pintas’ melalui koneksi manusia lebih efektif daripada ketulusan do’a. Di sinilah letak ujian keimanan sejati.
Ketika Anda merasa tertekan untuk meminta kenaikan jabatan dari atasan dengan cara yang tidak etis, ingatlah bahwa atasan itu hanyalah perantara. Rezeki Anda telah diukur oleh Dzat yang tidak pernah salah ukur. Ketika Anda merasa harus berhutang budi secara berlebihan kepada seseorang yang telah membantu Anda secara finansial, ingatlah bahwa hutang budi sejati hanya kepada Allah, Yang memampukan orang tersebut untuk membantu.
Kemampuan untuk mengatakan 'Tidak' pada kehinaan, meskipun konsekuensinya adalah kesulitan sesaat, adalah inti dari ajaran Ali ini. Kesulitan fisik atau finansial yang dihadapi dengan martabat dan penyerahan kepada Allah jauh lebih ringan daripada kemudahan yang diperoleh melalui hilangnya kehormatan diri di hadapan manusia.
Oleh karena itu, marilah kita jadikan ucapan Sayyidina Ali bin Abi Thalib sebagai panduan batin: Fokuskan kebutuhan, harapan, dan ketakutan kita hanya kepada Allah, sehingga kita dapat berjalan di muka bumi ini sebagai hamba yang merdeka, tidak terikat oleh rantaian ketergantungan pada entitas fana.