Akhir Sang Khalifah: Detik-Detik Wafatnya Ali bin Abi Thalib

Prolog Tragis: Kufah dalam Bayangan Konflik

Kisah akhir hayat Khalifah Ali bin Abi Thalib merupakan epilog yang kelam bagi era kekhalifahan yang dikenal sebagai Khulafa'ur Rasyidin. Setelah melalui badai fitnah besar, yang memuncak pada peristiwa Jamal dan Siffin, kekuasaan Ali yang berpusat di Kufah tidak pernah benar-benar damai. Wilayah kekhalifahan terbagi, dan tantangan yang paling membahayakan bukan hanya datang dari Mu'awiyah di Syam, melainkan dari kelompok yang pernah menjadi pendukung setianya: kaum Khawarij.

Khalifah Ali, sepupu sekaligus menantu Nabi Muhammad, adalah sosok yang dihormati karena integritasnya, kedalaman ilmunya, dan keberaniannya yang legendaris. Namun, masa kepemimpinannya dipenuhi dengan pergolakan politik dan teologis yang tak terhindarkan. Kekuatan internal yang paling merusak adalah lahirnya Khawarij, sebuah faksi yang menolak arbitrase (tahkim) setelah Pertempuran Siffin. Mereka menganggap Ali telah berdosa karena menyerahkan keputusan manusia atas perkara yang, menurut mereka, hanya milik Allah semata.

Prinsip “La hukma illa lillah” (Tiada hukum kecuali milik Allah) menjadi teriakan perang Khawarij. Ali telah mencoba berdialog, mengirim utusan, dan menjelaskan kompleksitas situasi politik, namun Khawarij tetap teguh dalam pendirian ekstrem mereka. Mereka memandang bahwa siapa pun yang tidak sepakat dengan ideologi murni mereka—termasuk Ali, Mu'awiyah, dan semua Muslim lainnya—adalah kafir dan pantas dibunuh. Pertempuran Nahrawan, di mana Ali terpaksa menghadapi dan mengalahkan Khawarij, meskipun mengurangi jumlah mereka, justru menanam benih dendam yang mendalam dan permanen di hati para penyintas ekstremis tersebut.

Simbol Kufah dan Kekhalifahan Ilustrasi simbolis Kufah sebagai pusat kekhalifahan Ali, dikelilingi oleh konflik. KUFAH

Kufah, ibu kota kekhalifahan Ali, yang saat itu menjadi pusat ketidakstabilan dan intrik politik.

Benih Kebencian: Rencana Tiga Pembunuh

Tragedi yang menimpa Khalifah Ali tidak terjadi secara spontan, melainkan hasil dari perencanaan yang matang dan berdarah dingin. Para Khawarij yang selamat dari Nahrawan tidak bubar; sebaliknya, mereka mengorganisir diri dalam kelompok-kelompok kecil yang bersembunyi di Mekah, Madinah, dan Kufah, menunggu saat yang tepat untuk membalas dendam dan, menurut pandangan mereka, 'membersihkan' umat dari pemimpin yang dianggap sesat.

Inti dari plot pembunuhan ini berkumpul di Mekah. Tiga individu yang paling fanatik dan teguh dalam keyakinan Khawarij bertemu dan menyusun sumpah yang mengerikan. Ketiga orang tersebut adalah:

  1. Abdurrahman bin Muljam Al-Muradi: Bertanggung jawab membunuh Ali bin Abi Thalib di Kufah.
  2. Al-Burak bin Abdillah: Bertugas membunuh Mu'awiyah bin Abi Sufyan di Syam.
  3. Amr bin Bakr At-Tamimi: Bertugas membunuh Amr bin Ash di Mesir.

Malam pertemuan tersebut, mereka menetapkan satu tujuan tunggal: membunuh tiga tokoh kunci yang mereka yakini telah merusak ajaran agama dan menyebabkan perpecahan umat. Mereka berpandangan bahwa jika ketiga poros kekuasaan ini—Ali (pusat kekhalifahan yang sah), Mu'awiyah (penentang di Syam), dan Amr bin Ash (otak politik di Mesir)—dilenyapkan, maka umat Islam dapat kembali kepada prinsip-prinsip murni yang mereka anut. Mereka bersumpah demi Allah untuk melaksanakan misi ini tanpa rasa takut, atau mati dalam upaya tersebut.

Mereka memilih waktu pelaksanaan yang spesifik: subuh hari ke-17 (atau 19) bulan suci Ramadan. Bulan Ramadan dipilih karena mereka menganggap tindakan ini sebagai ibadah tertinggi dan pengorbanan suci. Dengan perjanjian yang tertutup rapat, ketiganya berpisah menuju target masing-masing, membawa pedang yang telah mereka racuni agar jaminan kematian tercapai dengan pasti. Fokus utama cerita ini, tentu saja, adalah perjalanan dan tindakan Ibn Muljam di Kufah.

Ibn Muljam dan Motif Pribadi

Motivasi Ibn Muljam tidak hanya didorong oleh ideologi kolektif Khawarij, tetapi juga oleh faktor pribadi yang intens. Sebelum melaksanakan tugasnya, ia bertemu dengan seorang wanita bernama Qathami. Qathami adalah seorang Khawarij yang kehilangan ayah dan saudara laki-lakinya dalam Pertempuran Nahrawan, pertempuran di mana Ali memimpin pasukannya melawan Khawarij. Dendam Qathami kepada Ali sangat besar.

Ibn Muljam terpesona oleh kecantikan Qathami dan melamarnya. Qathami setuju, tetapi mengajukan mahar yang sangat besar: 3.000 dirham, seorang budak laki-laki, seorang pelayan wanita, dan yang terpenting, kepala Ali bin Abi Thalib. Permintaan terakhir ini, alih-alih mengejutkan Ibn Muljam, justru memperkuat tekadnya. Ia melihat ini sebagai takdir dan kesempatan ganda: memenuhi panggilan jihad Khawarij sekaligus memenangkan hati wanita yang dicintainya. Gabungan antara fanatisme teologis dan dorongan emosional ini menciptakan seorang pembunuh yang sangat berbahaya, yang siap mengorbankan segalanya demi 'tugas suci' tersebut.

Setelah persetujuan mahar yang berdarah itu, Qathami membantu Ibn Muljam mencari rekan tambahan di Kufah. Mereka berhasil merekrut dua orang Khawarij lainnya yang sama-sama membenci Ali: Syabib bin Bajrah dan Wardan bin Mujalid. Rencana telah matang; pedang telah diasah dan dilumuri racun mematikan. Mereka menunggu fajar Ramadan yang telah ditentukan.

Malam Penantian dan Firasat Sang Khalifah

Malam di Kufah terasa berat dan mencekam. Khalifah Ali terkenal dengan rutinitasnya yang ketat, terutama di bulan Ramadan. Beliau sering kali tidur sebentar di malam hari dan menghabiskan sebagian besar waktu dalam ibadah, mempersiapkan diri untuk memimpin salat subuh berjamaah di masjid agung Kufah. Ali adalah pemimpin yang sangat dekat dengan rakyatnya, dan ia berjalan menuju masjid tanpa pengawal yang ketat, sebuah kebiasaan yang ironisnya, membuka celah bagi musuhnya.

Beberapa riwayat mencatat bahwa Ali telah menerima beberapa peringatan, baik dalam bentuk mimpi maupun firasat. Beliau seolah-olah menyadari bahwa masa kepemimpinannya yang penuh gejolak telah mendekati akhir yang tragis. Malam sebelum penyerangan, Ali menghabiskan waktu bersama keluarganya. Ketika tiba waktunya untuk salat, Ali seperti biasa, keluar dari rumahnya di tengah kegelapan subuh sambil membangunkan orang-orang di sepanjang jalan, menyerukan mereka untuk salat:

"Ash-Shalah! Ash-Shalah! (Salat! Salat!)"

Pada hari itu, Ali sempat berinteraksi dengan angsa peliharaan yang konon sempat menangis dan menghalangi jalannya, seolah-olah binatang tersebut merasakan bahaya yang mengintai. Ali menyentuh angsa itu dengan lembut, lalu melanjutkan langkahnya, mengabaikan firasat buruk yang teramat jelas ini, karena baginya, takdir ilahi adalah kepastian yang harus dihadapi dengan ketenangan dan kepasrahan seorang mukmin sejati. Inilah detik-detik terakhir perjalanan seorang Khalifah menuju tempat ibadah yang akan menjadi tempat syahidnya.

Penyergapan di Masjid Agung Kufah

Ibn Muljam dan rekan-rekannya bersembunyi di balik tiang-tiang masjid agung Kufah. Mereka telah menunggu dengan sabar sejak malam hari, menyamar seolah-olah mereka adalah jamaah yang datang lebih awal. Pada saat itu, pencahayaan di masjid masih sangat minim, hanya mengandalkan beberapa lentera, menambah keunggulan bagi para penyerang.

Ketika Ali bin Abi Thalib melangkah masuk ke halaman masjid dan mulai membangunkan orang-orang yang mungkin tertidur, atau saat beliau sedang bersiap memimpin takbiratul ihram (riwayat sedikit berbeda mengenai momen tepatnya), Ibn Muljam melihat kesempatannya. Ali berada dalam posisi rentan dan fokus pada ibadah.

Tiba-tiba, Syabib bin Bajrah menyerang terlebih dahulu, namun serangannya meleset atau tidak mematikan. Detik berikutnya, Abdurrahman bin Muljam melompat keluar dari persembunyiannya sambil meneriakkan kata-kata Khawarij, "Hukum hanya milik Allah, wahai Ali, bukan milikmu dan bukan pula milik mereka yang membiarkanmu!" Ia mengayunkan pedangnya yang telah dilumuri racun dengan kekuatan penuh, menghantam kepala Ali di bagian ubun-ubun atau dahi, di area yang sebelumnya pernah terluka dalam peperangan pada masa Nabi.

Luka yang Mematikan dan Kekacauan Subuh

Serangan Pedang Beracun Ilustrasi simbolis pedang yang menyerang dan meninggalkan jejak racun, mewakili serangan terhadap Khalifah Ali.

Simbolisasi serangan pedang beracun yang mengakhiri hayat Khalifah Ali saat bersiap untuk salat.

Darah segera membasahi lantai masjid. Ali bin Abi Thalib tersungkur. Meskipun terluka parah, dalam kesadarannya yang terakhir di tempat kejadian, beliau tidak melupakan tugasnya sebagai pemimpin umat. Kata-kata pertama yang keluar dari mulutnya adalah ungkapan tauhid, diikuti dengan instruksi kepada jamaah: "Jangan biarkan salat terlewatkan!" Ali kemudian meminta putranya, Hasan, untuk menggantikannya memimpin salat subuh yang sudah tertunda.

Kekacauan pecah seketika. Syabib dan Wardan melarikan diri, namun Wardan berhasil ditangkap dan dibunuh. Sementara itu, Ibn Muljam, dalam upaya melarikan diri, dikejar oleh seorang penduduk Kufah bernama Al-Mughirah bin Naufal. Pengejaran berlangsung sengit, dan akhirnya Ibn Muljam berhasil dilumpuhkan dan ditawan sebelum ia sempat meninggalkan kota. Ia dibawa kembali ke masjid dalam keadaan terikat.

Khalifah Ali dibawa pulang ke rumahnya. Luka di kepalanya sangat dalam, tetapi yang lebih mengkhawatirkan adalah efek dari racun mematikan yang melapisi pedang Ibn Muljam. Racun itu bekerja cepat, menjalar ke seluruh sistem tubuhnya. Dokter segera dipanggil. Dokter utama saat itu adalah Athir bin Amr As-Salluli, yang berusaha sekuat tenaga, namun ia segera mengetahui bahwa luka itu tidak dapat disembuhkan. Ketika Athir memeriksa luka tersebut, ia berkata bahwa racun telah mencapai otak, dan prognosisnya sangat buruk.

Penerimaan Takdir dan Wasiat Terakhir

Meskipun dalam kesakitan yang luar biasa, Ali bin Abi Thalib menunjukkan ketenangan yang mencerminkan imannya. Dalam hari-hari terakhirnya yang singkat, beliau memanfaatkan waktu itu untuk memberikan wasiat kepada keluarganya, khususnya kepada kedua putranya, Hasan dan Husayn.

Wasiat Ali bukanlah tentang harta atau kekuasaan, tetapi tentang akhlak dan keadilan. Beliau menekankan pentingnya takut kepada Allah, menjaga kebenaran, dan bertindak adil kepada semua orang, termasuk musuh-musuhnya. Beliau juga mengeluarkan pernyataan yang sangat penting mengenai nasib pembunuhnya, Ibn Muljam.

Kepada Hasan, beliau berkata: "Wahai anakku, jika aku mati, hukum Ibn Muljam setimpal dengan apa yang dia lakukan. Janganlah kamu berbuat lebih dari satu pukulan saja, dan jangan menyiksa tubuhnya. Jika aku hidup, maka aku sendiri yang akan memutuskan nasibnya—mungkin aku akan memaafkannya, atau aku akan menghukumnya sesuai syariat." Wasiat ini menunjukkan prinsip keadilan Islam yang dijunjung tinggi oleh Ali, bahkan di ambang kematiannya. Beliau melarang balas dendam berlebihan (mutilasi atau penyiksaan), memastikan bahwa hukum qisas (pembalasan setimpal) diterapkan dengan ketat tanpa melewati batas.

Selama dua hari berikutnya, Ali bin Abi Thalib bertahan, tetapi kondisinya terus memburuk. Racun telah melakukan tugasnya dengan sempurna. Beliau meninggal dunia pada hari ke-21 bulan Ramadan, setelah memimpin umat Islam selama kurang lebih lima tahun, yang sebagian besarnya dihabiskan dalam upaya memulihkan persatuan yang retak.

Vakum Kekuasaan dan Akhir Kekhalifahan Rasyidah

Kematian Khalifah Ali bin Abi Thalib di Kufah menimbulkan gelombang kejutan yang masif di seluruh wilayah Islam. Ini bukan hanya berakhirnya hidup seorang pemimpin besar, tetapi juga berakhirnya sistem politik yang didirikan oleh Nabi Muhammad dan dilanjutkan oleh Abu Bakar, Umar, dan Utsman—sistem kekhalifahan berdasarkan konsensus dan kesalehan, yang kini dikenal sebagai Khulafa'ur Rasyidin (Khalifah yang Dibimbing dengan Benar).

Setelah wafatnya Ali, masyarakat Kufah segera membaiat putranya, Hasan bin Ali, sebagai Khalifah. Namun, kekhalifahan Hasan tidak bertahan lama. Hasan mewarisi negara yang terbelah, militer yang lelah, dan musuh kuat yang terorganisir di Syam. Mu'awiyah bin Abi Sufyan, yang telah lama menolak kekhalifahan Ali, kini melihat kesempatan emas untuk menyatukan seluruh kekuasaan di bawahnya.

Dalam menghadapi kekuatan Mu'awiyah, Hasan bin Ali dihadapkan pada pilihan sulit: melanjutkan perang saudara yang hanya akan menumpahkan lebih banyak darah Muslim, atau mencari solusi damai. Demi menjaga persatuan umat dan menghindari kehancuran total, Hasan mengambil keputusan bersejarah. Beliau bernegosiasi dengan Mu'awiyah dan menyerahkan kekhalifahan kepadanya dalam sebuah perjanjian yang dikenal sebagai Perjanjian Perdamaian Hasan–Mu'awiyah.

Peristiwa penyerahan kekuasaan ini secara resmi menandai berakhirnya era Khulafa'ur Rasyidin dan dimulainya Dinasti Umayyah. Mu'awiyah mengubah prinsip kepemimpinan dari sistem musyawarah menjadi sistem dinasti (kekuasaan turun-temurun), sebuah perubahan fundamental yang membentuk lintasan politik Islam di masa mendatang. Kematian Ali, yang diharapkan oleh Khawarij akan mengembalikan umat pada kemurnian, justru mempercepat transisi menuju kekuasaan monarki.

Nasib Sang Pembunuh: Qisas atas Ibn Muljam

Abdurrahman bin Muljam ditahan dan diinterogasi. Ia tidak menunjukkan penyesalan sedikit pun; sebaliknya, ia bersikeras bahwa tindakannya adalah pelaksanaan kehendak Tuhan dan bentuk ibadah. Setelah Ali wafat, Hasan bin Ali sebagai pemimpin yang baru, harus memutuskan nasibnya. Mengikuti wasiat ayahnya tentang keadilan dan larangan penyiksaan, Hasan memerintahkan eksekusi Ibn Muljam berdasarkan hukum qisas.

Ibn Muljam dieksekusi di hadapan publik Kufah. Meskipun banyak yang ingin melampiaskan kemarahan mereka terhadapnya, Hasan memastikan bahwa eksekusi tersebut dilakukan secara cepat dan sesuai syariat. Riwayat mencatat bahwa hukuman mati terhadap Ibn Muljam menjadi penutup yang dramatis bagi kisah tragis ini, sebuah pengingat bahwa ekstremisme dan kebencian hanya menghasilkan kehancuran, bahkan bagi mereka yang mengklaim bertindak demi agama.

Namun, eksekusi ketiga konspirator tidak sepenuhnya berhasil menghilangkan bahaya. Sementara Ibn Muljam berhasil membunuh Ali, dua rekannya gagal. Al-Burak bin Abdillah menyerang Mu'awiyah di Syam, namun Mu'awiyah hanya terluka parah dan berhasil selamat. Amr bin Bakr juga menyerang Amr bin Ash di Mesir, tetapi ia salah sasaran dan membunuh pengganti Amr bin Ash yang kebetulan memimpin salat pada hari itu, sementara Amr bin Ash sendiri sedang sakit di rumah. Kegagalan ini memastikan bahwa poros kekuasaan Umayyah tetap utuh, bahkan menjadi semakin kuat setelah kepergian Ali.

Analisis Mendalam: Kematian Ali dan Perpecahan Permanen

Wafatnya Ali bin Abi Thalib tidak hanya merupakan peristiwa politik, tetapi juga titik balik teologis dan sosiologis yang mendefinisikan perpecahan dalam umat Islam. Kehilangan Ali, yang merupakan Khalifah terakhir dari generasi sahabat dekat Nabi dan tokoh sentral dalam sejarah Islam awal, memperjelas bahwa era ideal telah berakhir dan konflik tidak terhindarkan.

Kematian beliau mengukuhkan tiga faksi utama yang akan bersaing selama berabad-abad:

  1. Kaum Sunni: Yang menerima kekhalifahan Mu'awiyah (Dinasti Umayyah) sebagai realitas politik demi persatuan, dan memandang Ali sebagai salah satu dari empat Khalifah Rasyidin yang agung.
  2. Kaum Syiah: Pengikut Ali (Shi'at Ali) yang melihat kematiannya sebagai puncak ketidakadilan dan pengkhianatan umat. Bagi mereka, Ali dan keturunannya adalah satu-satunya penerus spiritual dan politik yang sah. Tragedi ini memperkuat doktrin Imamah dan kesyahidan.
  3. Kaum Khawarij: Meskipun Ibn Muljam dieksekusi, ideologi Khawarij tentang pengkafiran (takfir) terhadap penguasa yang mereka anggap zalim tetap hidup. Kelompok ini terus memberontak, meskipun dalam skala yang lebih kecil, menentang Umayyah dan semua penguasa berikutnya, menjadi sumber konflik berkelanjutan dalam sejarah Islam.

Tragedi ini menjadi bukti nyata bahwa perselisihan politik yang didasari oleh penafsiran agama yang kaku dapat menyebabkan kekerasan dan perpecahan yang tak tersembuhkan. Ali, yang sepanjang hidupnya berjuang untuk menegakkan keadilan dan persatuan, harus membayar harga tertinggi karena menolak menyerahkan umat kepada anarki ekstremisme Khawarij dan ambisi politik Mu'awiyah.

Ketegasan Ali dalam Menghadapi Ekstremisme

Pilihan Ali untuk menghadapi Khawarij di Nahrawan—sebelum kematiannya—adalah hal yang sering diperdebatkan. Namun, tindakan tersebut menunjukkan prinsip Ali: ia mampu menoleransi perbedaan politik dengan Mu'awiyah, tetapi ia tidak dapat mentoleransi ideologi yang mengancam struktur sosial dan agama dengan menyatakan kafir seluruh umat yang tidak sependapat. Khawarij menciptakan kekacauan teologis yang lebih berbahaya daripada sengketa kepemimpinan. Dengan membunuh Ali, mereka membuktikan bahwa mereka benar-benar musuh bagi stabilitas umat, menegaskan pembenaran tindakan Ali di Nahrawan.

Ali bin Abi Thalib meninggal sebagai seorang syuhada, seorang korban dari pertentangan internal yang tak terhindarkan dalam kekhalifahan. Dalam pandangan banyak sejarawan, kematiannya adalah penutup tirai bagi masa keemasan Islam awal, sebuah periode yang idealisme politiknya tidak pernah dapat dicapai lagi. Kehidupan dan kematiannya menjadi simbol keadilan yang terancam, dan warisannya terus diperdebatkan dan dihormati oleh miliaran Muslim hingga hari ini.

Warisan dan Tempat Peristirahatan

Atas permintaan Ali sendiri sebelum wafat, tempat pemakamannya dirahasiakan untuk mencegah Khawarij dan musuh lainnya melakukan perusakan terhadap makamnya. Hanya beberapa orang terdekat yang mengetahui lokasinya. Kerahasiaan ini berlangsung selama beberapa waktu.

Akhirnya, makam beliau diyakini berada di tempat yang kini dikenal sebagai Najaf, di Irak. Situs tersebut kini menjadi salah satu tempat ziarah paling suci dan penting bagi umat Islam, terutama bagi kaum Syiah. Kubah emas dan kemegahan kompleks makam tersebut menjadi pengingat abadi akan jasa besar dan pengorbanan tragis Khalifah keempat, Ali bin Abi Thalib, yang menutup era Khulafa'ur Rasyidin dengan darahnya sendiri di mihrab masjid Kufah.

Kisah kematian Ali bin Abi Thalib berfungsi sebagai pelajaran sejarah yang mendalam tentang bahaya fanatisme, pentingnya keadilan, dan harga mahal dari perpecahan internal. Meskipun beliau gagal menyatukan kembali kekhalifahan secara politik, integritas moralnya dan sumbangsihnya terhadap ilmu pengetahuan dan spiritualitas tetap menjadi pilar dalam tradisi Islam.

Perluasan narasi ini menunjukkan betapa kompleksnya situasi politik dan teologis pada saat itu. Kehidupan Ali dipenuhi upaya mediasi dan penegakan keadilan, namun berakhir di tangan mereka yang paling ekstrem dalam menuntut 'kemurnian'. Setiap detail dari wasiatnya, reaksi keluarganya, dan nasib para konspirator, semuanya membentuk mozaik sejarah yang rumit dan penuh makna.

Dampak dari peristiwa subuh Ramadan itu jauh melampaui batas kota Kufah. Ia mematri perpisahan antara visi kepemimpinan spiritual yang dianut Ali dan visi kekuasaan duniawi yang diwakili Mu'awiyah, perbedaan yang mendasari konflik Syiah-Sunni. Setiap darah yang tertumpah di masjid Kufah adalah simpul yang mengikat takdir sejarah umat Islam, menjadikan wafatnya Ali bin Abi Thalib sebagai salah satu episode paling kritis dan paling menyedihkan dalam sejarah peradaban Islam.

Ali, seorang tokoh yang disebut Nabi sebagai 'Gerbang Ilmu', akhirnya menjadi korban dari pedang yang diyakini pembawanya sebagai alat untuk melaksanakan kehendak ilahi yang salah tafsir. Kekejaman ini bukan hanya merenggut nyawa Khalifah, tetapi juga merenggut sisa-sisa harapan akan persatuan politik dan spiritual yang utuh bagi umat Nabi Muhammad.

Setelah penguburan Ali secara rahasia, kekuasaan yang berpindah ke tangan Mu'awiyah menuntut stabilitas, tetapi ingatan akan Ali dan perjuangan politiknya diwariskan oleh Hasan dan Husayn, yang kemudian memainkan peran sentral dalam menentukan identitas Syiah. Oleh karena itu, kematian Ali adalah benih bagi revolusi spiritual dan politik yang berlangsung selama beberapa dekade setelahnya.

Jauh sebelum serangan di masjid, Ali telah menunjukkan tanda-tanda kelelahan dan kesadaran akan nasibnya. Ia sering kali mengeluhkan perpecahan di antara pengikutnya, terutama di Kufah, yang terkenal karena ketidaksetiaan politik dan mudah berubah pikiran. Rasa frustrasi Ali terhadap masyarakatnya sendiri, yang kadang mendukungnya, kadang meninggalkannya, menambah dimensi kesendirian pada perjuangan yang dihadapinya.

Momen kritis di Nahrawan, yang menghasilkan ribuan korban dari Khawarij, adalah keputusan yang sangat menyakitkan bagi Ali. Ia merasa terpaksa melakukannya untuk mencegah mereka membunuh Muslim yang tidak bersalah. Namun, pembantaian ini—meskipun dilakukan atas dasar pertahanan diri—justru menjadi bahan bakar bagi kebencian pribadi dan teologis Ibn Muljam dan Qathami. Ali tahu bahwa dengan menghadapi ekstremis, ia menciptakan musuh yang tidak akan pernah bisa ditenangkan dengan negosiasi atau akal sehat.

Kini, saat fajar Ramadan terbit dan Ali terbaring sekarat, ia menghadapi Ibn Muljam dengan belas kasih dan keadilan. Permintaan Ali agar Ibn Muljam diperlakukan adil, bahkan setelah ia meninggal, adalah puncak dari karakter etisnya. Ini adalah kontras tajam dengan ideologi Khawarij yang ingin menumpahkan darah demi kemurnian doktrin. Ali menunjukkan bahwa keadilan harus tetap ditegakkan, bahkan ketika menghadapi pelaku kejahatan yang paling keji, membedakannya secara fundamental dari para fanatik yang mengklaim bertindak atas nama agama.

Wasiat Ali kepada Hasan dan Husayn tidak hanya berfokus pada keadilan hukum, tetapi juga pada moralitas kepemimpinan. Beliau menasihati mereka untuk menjaga hubungan baik, membantu orang miskin, dan tidak pernah membiarkan duniawi merusak fokus mereka pada akhirat. Pesan-pesan ini melampaui politik praktis, menjadi panduan etika bagi semua Muslim.

Kesyahidan Ali juga menjadi momen penting dalam historiografi Islam tentang konsep syahid. Ali adalah pemimpin yang syahid di tempat ibadah, dibunuh oleh sesama Muslim, sebuah ironi tragis yang menunjukkan kedalaman krisis yang melanda umat pada waktu itu. Kisah ini mengajarkan bahwa ancaman terbesar terhadap komunitas sering kali datang dari dalam, dari interpretasi sempit dan keras kepala terhadap ajaran suci.

Kufah, kota yang menjadi pusat kekhalifahannya, segera merasakan dampak politik dari kehilangan besar ini. Dengan kepergian Ali, tidak ada lagi kekuatan moral yang mampu menandingi Mu'awiyah. Upaya Hasan untuk mempertahankan kekhalifahan terhambat oleh kurangnya dukungan militer dan keinginan yang kuat dari masyarakat untuk mengakhiri perang saudara. Keputusan Hasan untuk berdamai, meskipun dilihat sebagai kekalahan politik oleh sebagian orang, merupakan kemenangan moral yang didasarkan pada prinsip yang diwarisi dari ayahnya: mencegah pertumpahan darah lebih lanjut atas nama kekuasaan.

Namun, perdamaian ini hanyalah jeda sementara. Warisan perpecahan yang ditinggalkan oleh Khawarij dan persaingan politik antara Umayyah dan keluarga Ali terus membayangi. Kurang dari dua puluh tahun setelah serangan Ibn Muljam, anak Ali, Husayn, akan menghadapi tragedi yang sama, atau bahkan lebih besar, di Karbala, sebuah peristiwa yang secara definitif memisahkan jalan Syiah dari jalan mayoritas Sunni.

Setiap aspek dari penyerangan Ali—persiapan yang cermat oleh para Khawarij, kegagalan mereka di dua target lain, kepasrahan Ali, dan wasiatnya yang penuh keadilan—semuanya menyatu untuk membentuk sebuah narasi yang tak lekang oleh waktu. Ini adalah kisah tentang bagaimana integritas seorang pemimpin besar diuji hingga batas terakhir oleh gelombang fanatisme dan ambisi yang tak terkendali.

Pada akhirnya, sejarah mencatat Ali bin Abi Thalib bukan hanya sebagai pahlawan perang dan negarawan, tetapi juga sebagai martir perdamaian. Kehidupannya yang dihabiskan untuk melayani agama dan rakyat, dan kematiannya yang tragis, menegaskan kembali prinsip bahwa kekuasaan sejati tidak terletak pada kekuatan fisik, tetapi pada kemampuan untuk mempertahankan keadilan dan belas kasihan, bahkan ketika pedang beracun telah dihunuskan.

Pembunuhan Ali adalah pengingat abadi bahwa perjuangan untuk mempertahankan moderasi dan kebijaksanaan di tengah ideologi ekstrem adalah perjuangan yang tak pernah berakhir, dan bahwa warisan seorang pemimpin sering kali diukur bukan dari berapa lama ia berkuasa, melainkan dari cara ia menghadapi kematian.

Jalan yang Berpisah Ilustrasi simbolis jalur yang terbagi, mewakili perpecahan abadi umat Islam setelah wafatnya Ali. Syiah Sunni

Kematian Ali bin Abi Thalib menandai akhir dari persatuan politik dan awal perpecahan ideologis dalam Islam.

🏠 Homepage