Ilustrasi: Simbol Kata Bijak
Kitab Amsal dalam Alkitab merupakan gudang hikmat yang tak ternilai, khususnya dalam memberikan panduan mengenai bagaimana menjalani kehidupan yang benar dan berkenan. Salah satu area kehidupan yang sangat ditekankan dalam Amsal adalah mengenai perkataan. Kata-kata yang kita ucapkan memiliki kekuatan luar biasa, mampu membangun atau menghancurkan, menyembuhkan atau melukai. Oleh karena itu, memahami dan menerapkan ayat-ayat Amsal tentang perkataan adalah kunci untuk mengembangkan komunikasi yang bijak dan penuh kasih.
Amsal seringkali membandingkan kekuatan perkataan dengan kekuatan fisik. Perkataan yang tepat waktu dan penuh kebaikan dapat membawa kedamaian dan penyembuhan, sementara perkataan yang kasar atau sombong dapat menimbulkan luka yang mendalam. Firman Tuhan mengingatkan kita, "Perkataan yang lembut meredakan hati yang panas, tetapi perkataan yang pedas membangkitkan marah." (Amsal 15:1). Ini mengajarkan kita untuk memilih kata-kata kita dengan hati-hati, terutama ketika berhadapan dengan orang lain yang sedang emosi atau memiliki pandangan yang berbeda.
Lebih lanjut, Amsal juga menekankan bahwa lidah yang sehat adalah pohon kehidupan. "Lidah yang menyembuhkan adalah pohon kehidupan, tetapi lidah yang curang meremukkan jiwa." (Amsal 15:4). Lidah yang menyembuhkan bukan hanya tentang mengucapkan kata-kata positif, tetapi juga tentang kejujuran, kebaikan, dan membangun semangat orang lain. Sebaliknya, perkataan yang penuh kebohongan, fitnah, atau gosip dapat merusak hubungan dan bahkan menghancurkan semangat seseorang.
Kitab Amsal juga memberikan peringatan keras terhadap kesombongan dan kebodohan yang seringkali terwujud melalui perkataan. Orang yang sombong cenderung berbicara tanpa berpikir, meremehkan orang lain, dan membenarkan diri sendiri. Amsal berkata, "Sebelum kehancuran orang berjalan, dan sebelum kegagalan sombong mendahului semangatnya." (Amsal 16:18). Sifat sombong ini seringkali tercermin dalam cara mereka berbicara, baik dalam nada suara maupun isi perkataannya.
Selain kesombongan, kebodohan juga seringkali diidentifikasi melalui perkataan yang sembrono dan tidak bijaksana. "Orang bebal meluapkan perkataannya, tetapi orang berakal menjaga perkataannya dan menahannya." (Amsal 29:11). Orang yang bijak tahu kapan harus berbicara dan kapan harus diam. Mereka memikirkan dampak dari kata-kata mereka sebelum mengucapkannya. Sebaliknya, orang bebal cenderung berbicara terlalu banyak, seringkali tanpa substansi dan tanpa memikirkan konsekuensinya.
Yesus sendiri pernah berkata, "Baik atau jahat pohon itu, nyata dari buahnya." (Matius 12:33). Prinsip yang sama berlaku pada perkataan kita. Perkataan yang keluar dari mulut kita adalah cerminan dari apa yang ada di dalam hati kita. Kitab Amsal memperjelas hal ini: "Hati orang benar merenungkan apa yang akan dijawabnya, tetapi mulut orang fasik menyembur-nyemburkan kejahatan." (Amsal 15:28).
Ini berarti bahwa untuk memperbaiki perkataan kita, kita perlu terlebih dahulu memperbaiki hati kita. Jika hati kita dipenuhi dengan kasih, kebaikan, dan kebenaran, maka perkataan kita pun akan mencerminkannya. Sebaliknya, jika hati kita dipenuhi dengan kebencian, iri hati, atau kedengkian, maka perkataan kita akan menjadi racun bagi orang lain.
Amsal juga memberikan panduan mengenai pentingnya menjaga janji dan memberikan kesaksian yang benar. "Janganlah engkau bersaksi dusta terhadap sesamamu." (Amsal 14:5). Kebenaran adalah landasan utama dalam setiap komunikasi. Memberikan kesaksian palsu tidak hanya merusak reputasi orang lain, tetapi juga melanggar prinsip keadilan dan kebenaran ilahi.
Demikian pula, menjaga janji adalah bentuk integritas yang tercermin dalam perkataan kita. Ketika kita berjanji, kita mengikat diri kita dengan kata-kata kita. Amsal mengingatkan, "Lebih baik engkau tidak bernazar daripada bernazar tetapi tidak membayar nazarmu." (Pengkhotbah 5:5). Komitmen terhadap perkataan kita membangun kepercayaan dan rasa hormat.
Ayat-ayat Amsal tentang perkataan memberikan pelajaran yang mendalam dan praktis bagi kehidupan kita. Mulai dari kesadaran akan kekuatan destruktif dan konstruktif dari kata-kata, menjaga lisan dari kesombongan dan kebodohan, hingga pentingnya perkataan sebagai cerminan hati dan integritas dalam menjaga janji serta kebenaran. Dengan merenungkan dan mempraktikkan hikmat ini, kita dapat melatih diri untuk berbicara dengan lebih bijak, penuh kasih, dan membangun, sehingga perkataan kita benar-benar menjadi berkat bagi diri sendiri dan orang lain.