Nasr Hamid Abu Zayd, seorang pemikir Mesir yang karyanya mengguncang fondasi ortodoksi keagamaan, berdiri sebagai salah satu tokoh paling berpengaruh namun paling kontroversial dalam Studi Islam modern. Ia bukan sekadar penafsir teks, melainkan seorang ahli hermeneutika yang berani menerapkan metodologi kritik Barat—khususnya semiotika dan strukturalisme—untuk menganalisis Al-Qur'an dan warisan tafsir Islam klasik. Tujuannya tunggal: membebaskan Teks Suci dari pembekuan dogmatis dan menunjukkan sifatnya yang dinamis, kultural, dan historis.
Pemikiran Abi Zaid menawarkan pergeseran paradigma radikal dari tradisi ushul al-fiqh yang kaku. Bagi Abi Zaid, memahami Teks tidak hanya memerlukan penguasaan bahasa Arab klasik, tetapi juga pengakuan bahwa Teks tersebut, begitu diturunkan, telah memasuki ranah kebudayaan dan sejarah. Konsekuensinya, ia menjadi subjek interpretasi manusia yang tidak pernah bebas dari ideologi dan konteks sosial-politik penafsir. Kontroversi yang menyelimuti hidupnya, termasuk tuduhan murtad dan pengasingan diri dari Mesir, hanyalah cerminan betapa tajamnya kritik yang ia lontarkan terhadap institusi keagamaan yang mapan.
Lahir di desa kecil Qūhāfa, Mesir, Abi Zaid menempuh pendidikan yang menggabungkan tradisi keislaman yang kuat dengan wacana sekuler modern. Ia belajar filsafat, sastra, dan bahasa, yang kemudian membawanya ke Eropa untuk mendalami studi strukturalisme dan semiotika. Pengalaman ini menjadi titik balik penting. Abi Zaid menyadari adanya kekosongan metodologis dalam Studi Islam tradisional yang cenderung memperlakukan Teks sebagai entitas transenden yang statis, terlepas dari konteks linguistik dan sosialnya.
Pengaruh utama dalam pembentukan metodologinya adalah linguistik struktural yang dipelopori oleh Ferdinand de Saussure, serta kritik sastra yang dikembangkan oleh Roland Barthes. Saussure membedakan antara langue (sistem bahasa) dan parole (penggunaan bahasa), menunjukkan bahwa makna timbul dari relasi dan perbedaan di dalam sistem tanda. Abi Zaid melihat potensi luar biasa dalam kerangka kerja ini untuk membongkar Teks Al-Qur'an—bukan sebagai firman abadi dalam bentuk absolut—tetapi sebagai wacana yang berfungsi dalam sistem bahasa Arab tertentu pada waktu tertentu.
Abu Zayd berargumen bahwa, setelah wahyu selesai diturunkan, Al-Qur'an secara ontologis berubah status dari kalam ilahi (firman Tuhan) menjadi naṣṣ (teks budaya). Perubahan ini adalah inti dari seluruh argumentasinya. Sebagai teks budaya, ia tunduk pada hukum-hukum bahasa, tata bahasa, dan retorika yang dikenal oleh masyarakat Arab abad ketujuh. Ini memungkinkan dan bahkan mengharuskan kita untuk menganalisis Teks dengan alat yang sama yang kita gunakan untuk menganalisis teks sastra atau sejarah lainnya, tanpa mengurangi kesucian asal-usulnya.
Metode Abi Zaid dapat diringkas dalam tiga fokus utama yang saling berhubungan, yang bertujuan untuk mendekonstruksi interpretasi tradisional yang sarat kekuasaan:
Karya paling monumental Abi Zaid, Mafhūm al-Naṣṣ: Dirāsa fī ‘Ulūm al-Qur’ān (Konsep Teks: Sebuah Studi dalam Ilmu-ilmu Al-Qur'an), adalah landasan bagi seluruh proyek intelektualnya. Dalam buku ini, ia secara eksplisit menggunakan kerangka semiotik dan hermeneutika untuk merombak disiplin ilmu-ilmu Al-Qur'an tradisional. Ia berpendapat bahwa selama Teks diperlakukan sebagai entitas yang maknanya terisolasi dan tidak berubah, maka ia akan selalu menjadi alat legitimasi bagi kekuasaan politik dan agama.
Abu Zaid sangat hati-hati membedakan dua tahap eksistensi wahyu. Tahap pertama adalah wujud ilahi, yang tidak dapat diakses oleh manusia. Tahap kedua dimulai saat wahyu diungkapkan melalui bahasa Arab; pada titik ini, ia menjadi teks. Proses komunikasi ini mengubah hakikat wahyu menjadi produk linguistik-budaya. Dalam konteks ini, Teks adalah komunikasi antara Tuhan dan manusia melalui bahasa yang telah ada dan dipahami oleh penerimanya (orang Arab). Jika Tuhan ingin pesannya dipahami, Ia harus tunduk pada aturan tata bahasa dan gaya bahasa yang berlaku.
Konsekuensi dari pandangan ini sangat besar. Ini berarti bahwa ayat-ayat yang berhubungan dengan hukum sosial, seperti warisan, pernikahan, atau hukuman, harus dibaca sebagai respons historis terhadap kondisi sosial spesifik di Madinah abad ketujuh. Ayat-ayat ini memberikan solusi terbaik pada masanya, tetapi tidak secara otomatis mengikat masyarakat modern dengan literalitasnya tanpa melalui proses mediasi hermeneutik yang mendalam.
Abi Zaid mengeksplorasi secara rinci bagaimana mekanisme bahasa Arab itu sendiri membentuk makna. Ia menunjukkan bahwa Teks menggunakan perangkat retorika seperti metafora (majāz), alegori (isti'āra), dan personifikasi, yang semuanya merupakan bagian dari sistem bahasa yang bersifat kultural. Mengabaikan aspek sastra dan linguistik ini demi makna literal yang beku adalah kesalahan fatal yang telah dilakukan oleh mazhab-mazhab tekstualis sepanjang sejarah Islam.
Dalam tinjauannya terhadap sejarah tafsir, Abi Zaid menemukan bahwa perbedaan antara tafsir (penjelasan literal) dan ta'wīl (interpretasi alegoris/mendalam) seringkali kabur dan digunakan secara politis. Ia menuduh bahwa banyak tafsir, terutama yang didominasi oleh pendekatan hukum (fiqh) dan teologi (kalam), bertujuan untuk memproduksi ideologi, bukan untuk memahami pesan inti Teks. Mereka menjadikan Teks sebagai alat untuk membenarkan struktur kekuasaan dan menekan perbedaan pendapat.
Misalnya, penafsiran terhadap ayat-ayat tentang kepemimpinan (imamah) atau peran wanita, menurut Abi Zaid, seringkali dibentuk oleh kebutuhan sosio-politik dinasti yang berkuasa atau oleh patriarki yang dominan. Para penafsir melihat diri mereka sebagai otoritas yang menentukan ‘makna tunggal’ Teks, padahal yang mereka lakukan hanyalah memaksakan pemahaman mereka yang terikat konteks ke atas Teks, kemudian mengklaim bahwa pemahaman itu abadi dan transenden.
“Teks (Al-Qur'an), begitu ia diturunkan, bukan lagi firman Tuhan yang mutlak, tetapi telah menjadi teks manusiawi yang terikat oleh batasan bahasa, sejarah, dan budaya. Tugas kita adalah membaca sifat kemanusiaan ini.”
Untuk membebaskan makna, Abi Zaid mengusulkan sebuah metodologi yang berfokus pada hubungan dialektis antara Teks (sebagai tanda), realitas (sebagai konteks), dan pembaca (sebagai penafsir). Pembaca modern tidak boleh berpura-pura menjadi pembaca abad ketujuh, tetapi harus mengakui jarak historis tersebut. Interpretasi yang sah adalah yang secara sadar mengakui ideologinya sendiri dan berupaya mencapai pemahaman yang lebih etis dan humanis, sejalan dengan semangat dasar Islam.
Meskipun pemikiran Abi Zaid sangat akademis dan berbasis linguistik, dampaknya di Mesir awal 1990-an adalah ledakan sosial dan hukum. Puncak kontroversi terjadi ketika ia dinominasikan untuk promosi menjadi profesor penuh di Universitas Kairo. Komite akademik, yang didominasi oleh pemikir konservatif, menolak promosinya, mengutip karya-karyanya, terutama Naqd al-Khiṭāb al-Dīnī (Kritik Wacana Keagamaan), sebagai bukti kemurtadan.
Kasus Abi Zaid tidak hanya berhenti pada penolakan akademik. Kelompok fundamentalis Mesir mengajukan gugatan ke pengadilan pribadi (ḥisbah) yang menuduhnya sebagai murtad (apostate) berdasarkan pemikirannya yang dianggap merusak fondasi Islam. Mereka berargumen bahwa karena ia telah murtad, perkawinannya dengan Ibtihal Younis, seorang muslimah, menjadi tidak sah. Ini adalah salah satu kasus paling dramatis tentang intervensi negara dan kelompok agama dalam kehidupan pribadi seorang akademisi berdasarkan pandangan teologis.
Inti dari tuduhan kemurtadan adalah interpretasi Abi Zaid tentang sifat Al-Qur'an. Dengan bersikeras bahwa Teks telah menjadi "produk budaya" dan tunduk pada kritik sastra dan sejarah, para penentangnya menuduhnya meniadakan sifat abadi dan transenden dari Kalam Ilahi. Mereka melihat metodologi semiotiknya sebagai upaya sekularisasi Teks Suci, mereduksinya menjadi dokumen historis biasa.
Pengadilan banding akhirnya memenangkan gugatan tersebut pada tahun 1995, membatalkan perkawinan Abi Zaid dan Younis secara efektif. Keputusan ini memicu protes internasional dari akademisi dan aktivis hak asasi manusia, tetapi otoritas Mesir membiarkannya. Merasa terancam keselamatan fisiknya, Abi Zaid dan istrinya terpaksa meninggalkan Mesir dan mencari suaka akademik di Belanda, di mana ia menghabiskan sisa hidupnya sebagai dosen dan pemikir di Universitas Leiden.
Pengalaman pahit ini diabadikan dalam karyanya, Dā'irat al-Khawf: Qirā’ah fī Khiṭāb al-Mar’ah (Lingkaran Ketakutan: Membaca Wacana Perempuan), di mana ia merenungkan bagaimana ketakutan (terhadap perubahan, terhadap interpretasi baru, terhadap Barat) telah membekukan pemikiran Islam dan bagaimana Teks sering dimanipulasi untuk menindas perempuan demi menjaga stabilitas sosial konservatif. Kasusnya menjadi simbol bagaimana konservatisme agama menggunakan mekanisme hukum untuk membungkam intelektual kritis.
Abi Zaid tidak hanya menganalisis Teks, ia juga secara frontal menyerang wacana keagamaan kontemporer yang ia anggap gagal. Dalam Naqd al-Khiṭāb al-Dīnī, ia mengkritik tren ideologis di Mesir—dari fundamentalisme politik hingga revivalisme konservatif—yang menurutnya hanya mereproduksi struktur kekuasaan lama dan gagal menghadapi tantangan modernitas, termasuk demokrasi, hak asasi manusia, dan pluralisme.
Salah satu kritik utamanya adalah kegagalan wacana keagamaan modern untuk mengadopsi rasionalitas kritis yang sejati. Ia berpendapat bahwa revivalis modern, meskipun mengklaim kembali kepada sumber-sumber, sebenarnya hanya memilih bagian-bagian tertentu dari tradisi untuk membenarkan agenda politik mereka, tanpa melakukan kritik historis terhadap formasi tradisi itu sendiri. Mereka menolak hermeneutika modern yang mampu menjelaskan kompleksitas makna, sebaliknya memilih literalitas yang mudah dimobilisasi secara politik.
Abi Zaid menekankan bahwa modernitas bukan hanya seperangkat teknologi atau sistem politik, tetapi sebuah epistemologi—cara kita mengetahui dan memahami dunia. Islam, menurutnya, harus mampu berdialog dengan epistemologi ini tanpa kehilangan intinya. Hal ini hanya mungkin jika Teks dibebaskan dari ikatan interpretasi tunggal yang didorong oleh kepentingan ideologis.
Ia mencontohkan bagaimana wacana Islamis modern sering terjebak dalam dikotomi yang merusak: Islam versus Barat, Teks versus Rasio, Masa Lalu versus Masa Kini. Abi Zaid berusaha melampaui dikotomi ini dengan menunjukkan bahwa Teks sendiri, melalui penggunaan bahasanya, mengundang dialog rasional dan bahwa Islam historis telah lama terlibat dalam pemikiran filosofis dan ilmiah.
Untuk memahami kedalaman metodologi Abi Zaid, kita perlu mendalami aplikasinya atas semiotika. Semiotika adalah studi tentang tanda dan sistem tanda. Dalam konteks Al-Qur'an, ini berarti melihat bagaimana kata-kata, narasi, dan simbol berfungsi untuk menyampaikan makna, yang seringkali berbeda dari arti leksikalnya yang lugas.
Abi Zaid menggunakan strukturalisme untuk mengidentifikasi pola mendasar (struktur) yang mengatur Teks. Jika makna tidak melekat pada kata itu sendiri (signifier), tetapi pada hubungannya dengan kata lain dalam sistem (system of signs), maka makna sebuah ayat harus dicari dalam kaitannya dengan ayat-ayat lain dan konteks sosial-linguistik saat wahyu diturunkan.
Ia menerapkan analisis ini pada konsep-konsep kunci seperti ‘kaum mukmin’ dan ‘kaum kafir’. Dalam pembacaan tradisional yang ideologis, perbedaan ini sering digunakan untuk memecah belah masyarakat modern. Namun, melalui lensa semiotika historis, Abi Zaid menunjukkan bahwa kategori-kategori ini adalah istilah operasional yang berfungsi dalam konteks konflik spesifik di Mekah dan Madinah. Mereka adalah tanda yang merujuk pada realitas sosial dan politik yang spesifik, dan memaksakannya pada realitas modern tanpa kritik hermeneutik adalah bentuk penyalahgunaan tanda.
Dengan kata lain, Abi Zaid menolak pandangan bahwa Teks berfungsi sebagai sebuah ensiklopedia hukum yang terpisah-pisah, melainkan sebagai sebuah jaringan tanda yang koheren, di mana bagian-bagiannya harus saling menjelaskan satu sama lain, dan di mana seluruh jaringan tersebut berinteraksi dengan realitas budaya di sekitarnya.
Salah satu aspek paling penting dari hermeneutika Abi Zaid adalah penekanannya pada majāz atau bahasa figuratif. Ia menentang penafsiran literal yang kaku terhadap ayat-ayat yang menggambarkan Tuhan (antropomorfisme) atau peristiwa akhir zaman. Abi Zaid, sejalan dengan tradisi Mu'tazilah, menegaskan bahwa banyak deskripsi ini harus dipahami secara metaforis. Kegagalan untuk mengakui fungsi metaforis dari bahasa Al-Qur'an telah menghasilkan teologi yang dangkal dan tereduksi.
Melalui analisis semiotik, Abi Zaid mengembalikan dimensi sastra dan estetika Al-Qur'an, yang telah lama diabaikan oleh para fuqaha (ahli hukum) yang fokus pada aspek normatif saja. Baginya, keindahan sastra Teks adalah bagian integral dari sifat wahyu, bukan sekadar hiasan. Kekuatan Teks untuk memengaruhi dan mengubah terletak pada kemampuan retorisnya, yang melampaui penyampaian informasi hukum semata.
Abi Zaid menegaskan bahwa pengakuan atas sifat metaforis dan retoris Teks membuka jalan bagi interpretasi yang humanis dan etis. Jika ayat-ayat tertentu dipahami secara harfiah, terutama yang berkaitan dengan kekerasan atau diskriminasi, maka hasilnya akan bertentangan dengan semangat universal keadilan dan belas kasih (raḥmah) yang menjadi inti pesan Islam.
Meskipun Abi Zaid diasingkan dari tanah kelahirannya, pemikirannya tidak pernah terbatasi oleh batas-batas geografis. Karyanya telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dan memberikan dampak signifikan pada Studi Islam di Eropa, Amerika Utara, dan, yang sangat penting, di Asia Tenggara, termasuk Indonesia dan Malaysia.
Di negara-negara yang berjuang dengan modernitas, interpretasi Teks, dan tekanan politik Islam, pemikiran Abi Zaid menyediakan kerangka kerja yang solid untuk melakukan reformasi intelektual dari dalam. Ia menawarkan metode yang memungkinkan para pemikir modern untuk tetap setia pada Teks sambil secara kritis mengatasi masalah sosial dan politik kontemporer.
Di Indonesia, khususnya, gagasan tentang Al-Qur'an sebagai teks budaya resonate dengan gerakan reformis yang mencari pemahaman Islam yang lebih inklusif dan progresif. Ide ini menjadi dasar bagi banyak akademisi untuk mendekonstruksi tafsir patriarkal dan mendukung hak-hak perempuan serta pluralisme. Metodologi kritisnya memberikan alat untuk membedah bagaimana kepentingan politik dan ekonomi telah membentuk tradisi hukum Islam (fiqh) selama berabad-abad.
Namun, resepsi ini bukannya tanpa perlawanan. Di banyak lingkaran konservatif, Abi Zaid tetap dianggap sebagai ancaman, pemikir yang terperangkap dalam bingkai pemikiran Barat. Kritik ini seringkali tidak fokus pada detail semiotik atau hermeneutiknya, tetapi pada kesimpulan politik dan sosial yang dihasilkan dari metodologinya—yaitu, pandangan yang lebih liberal dan sekuler tentang masyarakat Islam.
Warisan Abi Zaid mengajarkan kita bahwa Teks adalah entitas yang hidup melalui interpretasi. Ia adalah jembatan yang menghubungkan wahyu dengan sejarah manusia. Interpretasi yang benar, menurutnya, adalah proses yang tidak pernah selesai, sebuah dialog abadi antara wahyu yang turun di masa lalu dan kebutuhan etis manusia di masa kini. Dengan demikian, tugas seorang Muslim intelektual adalah menjadi pembaca yang bertanggung jawab, yang sadar akan sejarah Teks, sejarah tafsir, dan ideologi diri sendiri saat membaca.
Ia memaksa kita untuk menerima bahwa keberagaman interpretasi (ikhtilāf) adalah hal yang tidak terhindarkan dan sah. Jika Teks bersifat multi-lapis dan retoris, maka ia secara inheren terbuka untuk berbagai pembacaan yang sah, asalkan pembacaan tersebut dilakukan dengan alat metodologis yang ketat dan bertujuan untuk menegakkan keadilan.
Untuk mencapai pemahaman komprehensif tentang proyek Abi Zaid, perlu diperdalam konsep historisitas mutlak Teks. Ini bukan hanya pengakuan bahwa Al-Qur'an diturunkan pada waktu tertentu, tetapi sebuah penegasan bahwa setiap bagian dari Al-Qur'an, terutama bagian normatif (hukum), terikat erat dengan kondisi sosial, ekonomi, dan bahasa di mana ia diucapkan.
Abi Zaid sering merujuk pada gagasan bahwa Al-Qur'an adalah 'teks yang berkomunikasi'. Komunikasi yang efektif membutuhkan bahasa yang dipahami oleh penerima. Oleh karena itu, semua elemen kebahasaan dalam Al-Qur'an, termasuk kosakata, idiom, dan referensi budaya, bersifat historis. Misalnya, ia menunjukkan bahwa rujukan pada perbudakan atau sistem suku tidak dapat dipahami secara transhistoris; mereka adalah respons terhadap institusi yang ada dan merupakan langkah menuju penghapusan atau reformasi dalam konteks tersebut.
Abi Zaid menentang pandangan Salafi/tradisionalis yang berusaha membekukan makna kata-kata Al-Qur'an menjadi interpretasi linguistik tunggal yang berlaku selama-lamanya (seolah-olah bahasa Arab abad ke-7 tidak pernah berevolusi). Baginya, bahasa adalah entitas yang cair dan dinamis. Tugas hermeneutik adalah merekonstruksi sistem tanda bahasa Arab pada saat wahyu, dan kemudian menafsirkan bagaimana sistem itu dapat diterjemahkan secara etis ke dalam sistem tanda modern.
Penerapan historisitas Abi Zaid memiliki implikasi revolusioner terhadap hukum Islam (Fiqh). Jika hukum-hukum sosial dalam Teks adalah respons historis, maka mereka tidak dapat dianggap sebagai hukum universal yang kaku. Sebaliknya, yang universal adalah tujuan etis di balik hukum tersebut (maqāṣid al-sharī’ah)—seperti keadilan, kesetaraan, dan martabat manusia.
Sebagai contoh, ketentuan hukum potong tangan untuk pencuri (sariqah) harus dipahami dalam konteks sistem ekonomi dan peradilan yang primitif pada saat itu. Memaksakan literalitas hukuman ini di tengah sistem peradilan modern yang kompleks adalah pelanggaran terhadap semangat universal keadilan yang lebih tinggi. Abi Zaid melihat ini sebagai kritik terhadap para fuqaha yang terlalu fokus pada bentuk literal (ẓāhir) daripada pada makna dan tujuan mendalam (bāṭin) Teks.
Fokus utama Abi Zaid adalah membongkar apa yang ia sebut Ideologi Tekstualisme. Ideologi ini terjadi ketika seseorang mengklaim bahwa ia hanya membaca Teks apa adanya (literalitas) tanpa mengakui adanya proses interpretasi dan penyaringan ideologis yang terlibat.
Abi Zaid berpendapat bahwa tekstualisme radikal selalu berakhir sebagai alat kekuasaan. Ketika makna Teks dibekukan dan diklaim sebagai satu-satunya yang benar dan abadi, interpretasi tersebut dapat digunakan oleh otoritas agama atau politik untuk menekan perbedaan pendapat, menjustifikasi kekerasan, atau menolak hak-hak minoritas dan perempuan.
Dalam pandangan Abi Zaid, klaim objektivitas dalam tafsir adalah mitos. Setiap pembaca membawa pra-pemahaman (Vorverständnis) yang dibentuk oleh latar belakang sosial, pendidikan, dan kepentingan pribadi. Pembaca yang jujur harus mengakui pra-pemahaman ini. Pembaca yang ideologis, sebaliknya, menyembunyikan pra-pemahamannya dan mengklaim bahwa interpretasinya adalah kebenaran Tuhan yang tak terbantahkan.
Proyeknya adalah bentuk Kritik Ideologi, mirip dengan apa yang dilakukan oleh Sekolah Frankfurt di Barat. Ia menggunakan semiotika bukan hanya untuk memahami Teks, tetapi untuk mengungkapkan bagaimana Teks telah disalahgunakan sebagai instrumen hegemoni kultural dan politik di sepanjang sejarah Islam.
Meskipun ia menekankan historisitas, Abi Zaid tidak pernah menolak transendensi Teks. Ia mempertahankan bahwa Teks berasal dari Tuhan. Namun, ia bersikeras bahwa interaksi Tuhan dengan manusia harus terjadi dalam kerangka bahasa dan sejarah manusia. Transendensi terletak pada sumber Teks, sedangkan historisitas terletak pada manifestasi dan penerimaannya.
Kesalahpahaman utama para penentangnya adalah bahwa mereka mencampuradukkan kedua domain ini. Mereka menuntut agar Teks harus diperlakukan secara transenden bahkan dalam manifestasi linguistik dan hukumnya, yang menurut Abi Zaid, meniadakan sifat komunikatif wahyu itu sendiri.
Nasr Hamid Abu Zayd menawarkan hadiah metodologis yang tak ternilai bagi pemikir Muslim yang berusaha untuk merekonsiliasi iman dengan tuntutan modernitas, keadilan sosial, dan universalitas etis. Ia menunjukkan bahwa Teks Suci tidak perlu diisolasi dari ilmu pengetahuan manusia untuk mempertahankan kesuciannya; justru sebaliknya, Teks menjadi lebih kaya dan lebih relevan ketika dibaca melalui lensa kritik yang cermat.
Filosofi Abi Zaid adalah panggilan untuk keberanian intelektual—keberanian untuk mempertanyakan interpretasi yang diwariskan, keberanian untuk menghadapi Teks secara langsung dengan alat rasional modern, dan keberanian untuk menerima bahwa pemahaman kita terhadap wahyu akan selalu bersifat parsial dan terikat waktu. Ini adalah jalan menuju Islam yang humanis, inklusif, dan berkomitmen pada cita-cita keadilan sosial dalam arti yang paling mendalam dan universal.
Warisan Abi Zaid menantang setiap pembaca untuk keluar dari ‘Lingkaran Ketakutan’ dogmatis dan memasuki dunia interpretasi yang dinamis, di mana Teks dan Realitas terus-menerus bernegosiasi. Karyanya memastikan bahwa perdebatan tentang makna Teks Suci akan terus menjadi medan pertempuran utama bagi masa depan pemikiran Islam global.
Penggunaan semiotika sebagai alat kunci untuk menganalisis Al-Qur'an secara mendalam memungkinkan Abi Zaid untuk mengidentifikasi lapisan-lapisan makna yang tersembunyi di bawah permukaan literalitas. Proses ini memerlukan pemahaman yang kompleks tentang fungsi tanda dan sistem linguistik, yang melampaui sekadar terjemahan kata per kata. Abi Zaid memaksa pembaca untuk melihat Al-Qur'an bukan hanya sebagai kumpulan perintah, tetapi sebagai sebuah karya sastra yang kaya, yang tujuan utamanya adalah transformasi spiritual dan moral masyarakat, bukan pembekuan hukum sosial yang spesifik.
Perjuangan Abi Zaid melawan institusi konservatif dan pengadilan Mesir berfungsi sebagai pengingat abadi akan bahaya pemolisian interpretasi keagamaan. Kasusnya menyoroti bagaimana klaim atas otoritas Teks seringkali bersembunyi di balik keinginan untuk melanggengkan kekuasaan sosial dan politik. Dengan mengorbankan karier dan kehidupannya di tanah air, ia telah membuka jalan bagi generasi pemikir Muslim baru untuk mendekati Teks dengan kejujuran intelektual yang tak tergoyahkan dan komitmen pada keadilan rasional.
Analisis semiotik yang ia tawarkan, khususnya dalam konteks perbandingan antara Teks Qur’ani dengan teks-teks pre-Islam dan post-Islam, memungkinkan kita untuk menempatkan Teks dalam kontinum budaya yang benar. Ini adalah penolakan tegas terhadap isolasi Teks dari sejarahnya sendiri, yang merupakan praktik umum dalam upaya untuk mengklaim bahwa Teks berdiri di luar pengaruh waktu dan tempat. Tentu saja, aspek ini menjadi titik kritik utama dari penentangnya, yang berpendapat bahwa meletakkan Teks dalam kontinum sejarah merusak klaim keilahian dan keunikannya. Namun, Abi Zaid dengan gigih membela bahwa keunikan Teks justru terletak pada bagaimana ia berhasil menggunakan bahasa dan budaya yang ada untuk menyampaikan pesan transenden yang transformatif.
Abi Zaid juga sangat terpengaruh oleh hermeneutika filosofis, terutama dari tokoh seperti Hans-Georg Gadamer, meskipun ia selalu berusaha mengadaptasi kerangka ini agar sesuai dengan tradisi keilmuan Islam (Ulūm al-Qur’ān). Gadamer menekankan bahwa interpretasi selalu melibatkan peleburan horizon—horizon Teks dan horizon pembaca. Abi Zaid menerjemahkan ini ke dalam studi Islam dengan mengatakan bahwa pembaca modern tidak boleh menghilangkan dirinya sendiri; sebaliknya, ia harus jujur tentang posisi modernnya dan menggunakan horizon tersebut untuk mengajukan pertanyaan baru kepada Teks, sehingga Teks dapat berbicara relevan di masa kini.
Proyeknya tentang Ta'wīl (interpretasi) bukan hanya akademis, tetapi juga politis. Ketika ia mengkritik tafsir tradisional yang menghasilkan wacana anti-demokrasi atau misoginis, ia melakukannya dengan tujuan eksplisit untuk memperjuangkan masyarakat yang lebih adil. Ia percaya bahwa Teks, jika dibaca dengan benar (yaitu, dengan alat hermeneutika kritis), secara inheren mendukung nilai-nilai universal yang menghormati martabat manusia, terlepas dari jenis kelamin, agama, atau etnis.
Kajian mendalam tentang konsep Ummah (komunitas) dalam pandangan Abi Zaid juga mengungkapkan sifat progresifnya. Ia melihat Ummah awal bukan sebagai model sosial yang harus direplikasi secara kaku, tetapi sebagai komunitas ideal yang berjuang untuk keadilan dalam konteks historisnya. Oleh karena itu, bagi Abi Zaid, umat Islam modern harus menciptakan model Ummah mereka sendiri yang adil, yang didasarkan pada prinsip-prinsip etis universal yang digali dari Teks, bukan pada bentuk-bentuk sosial yang sudah kadaluarsa.
Sumbangsih Abi Zaid yang paling tahan lama adalah penegasannya bahwa otoritas tidak terletak pada interpretasi masa lalu, melainkan pada metodologi yang digunakan untuk berinteraksi dengan Teks di masa kini. Dengan menggeser fokus dari 'apa yang dikatakan ulama masa lalu' menjadi 'bagaimana kita harus membaca Teks hari ini', ia memberikan kekuatan interpretatif kembali kepada setiap pembaca yang berakal dan bertanggung jawab. Hal ini merupakan tantangan langsung terhadap monopoli keagamaan yang dipegang oleh ulama tradisionalis dan institusi keagamaan yang menentang perubahan.
Dalam studinya tentang bahasa Al-Qur'an, Abi Zaid memberikan perhatian khusus pada struktur naratif. Ia menganalisis kisah-kisah kenabian (qaṣaṣ al-anbiyā’) bukan hanya sebagai cerita sejarah, tetapi sebagai alat retoris yang berfungsi untuk mengajar dan meyakinkan. Setiap narasi dalam Al-Qur'an memiliki tujuan didaktis tertentu, dan makna narasi tersebut hanya dapat dipahami sepenuhnya ketika ditempatkan dalam kaitannya dengan keseluruhan pesan Teks.
Penerapannya terhadap semiotika juga sangat relevan dengan studi tentang simbolisme. Ia melihat bagaimana simbol-simbol seperti ‘cahaya’ (nūr), ‘kegelapan’ (ẓulumāt), dan ‘jalan lurus’ (ṣirāṭ al-mustaqīm) berfungsi sebagai tanda dalam sistem kosmik Al-Qur'an. Simbol-simbol ini tidak boleh diartikan secara literal; mereka adalah penanda yang menunjuk pada realitas spiritual dan moral yang lebih besar. Analisis mendalam terhadap simbolisme ini menjauhkan interpretasi dari kedangkalan tekstualis dan membawanya kembali ke kedalaman spiritual Teks.
Melalui semua karyanya, mulai dari kritik terhadap wacana keagamaan hingga studi mendalam tentang konsep Teks, Abi Zaid membangun sebuah jembatan yang kokoh antara studi Islam dan ilmu-ilmu humaniora modern. Ia membuktikan bahwa alat-alat kritik Barat, seperti strukturalisme dan hermeneutika, bukanlah musuh iman, melainkan alat yang diperlukan untuk menyelamatkan Teks Suci dari penyalahgunaan ideologis dan membuatnya relevan bagi dunia modern yang menantang.
Kesimpulan utamanya adalah bahwa pembaharuan (tajdīd) dalam Islam harus dimulai dengan pembaharuan metodologi. Tanpa metodologi baru yang kritis dan historis, upaya reformasi akan selalu jatuh kembali ke dalam pola-pola tradisional yang kaku. Abi Zaid memberikan cetak biru metodologis tersebut, yang merupakan warisan intelektualnya yang paling berharga dan sekaligus paling memberatkan.
Keputusan pengadilan yang memaksanya mengasingkan diri hanya memperkuat tesisnya tentang Lingkaran Ketakutan: ketakutan terhadap akal, ketakutan terhadap interpretasi yang berbeda, dan ketakutan terhadap Teks yang dibebaskan dari rantai dogmatisme. Namun, perannya sebagai pemikir di pengasingan memungkinkan pemikirannya menyebar ke arena global tanpa dibatasi oleh sensor atau tekanan politik Mesir.
Pada akhirnya, Nasr Hamid Abu Zayd tidak hanya seorang akademisi; ia adalah seorang martir intelektual bagi kebebasan berpikir dalam tradisi Islam modern. Ia menuntut agar umat Islam kembali menjadi produsen makna, bukan sekadar konsumen makna yang telah diwariskan. Ia mewariskan sebuah proyek yang tak terhindarkan: menghadapi Teks Suci dengan akal yang tajam dan hati yang terbuka, mengakui batas historis Teks, sembari merangkul janji universalitas etisnya. Kontinuitas dalam membaca Abi Zaid adalah kontinuitas dalam perjuangan untuk rasionalitas dan humanisme dalam Studi Islam kontemporer.
Setiap pembahasan mengenai hermeneutika Abi Zaid akan selalu kembali pada pembedaan krusial antara Teks (naṣṣ) dan Wahyu (waḥy). Wahyu adalah momen penerimaan, murni dan absolut, yang berada di luar jangkauan analisis manusia. Teks adalah produk dari momen komunikasi tersebut, yang telah mewujud dalam bahasa dan budaya. Inilah yang memungkinkan Teks untuk dianalisis, dikritik, dan diinterpretasi ulang.
Ia mencontohkan secara rinci bagaimana pemahaman terhadap struktur semiotik ayat-ayat tentang jihād harus dipahami secara kontekstual, sebagai sebuah perlawanan historis yang terikat pada konteks peperangan defensif yang spesifik. Mengeluarkan ayat-ayat ini dari konteks naratif dan historisnya, dan menjadikannya pembenaran universal untuk kekerasan di era modern, adalah penyalahgunaan Teks secara ideologis yang paling berbahaya. Abi Zaid menawarkan alat untuk membongkar penyalahgunaan ini, menuntut tanggung jawab etis dari setiap pembaca.
Penting untuk dicatat bahwa metode Abi Zaid sangat bergantung pada disiplin Ilmu-ilmu Al-Qur'an tradisional, seperti asbāb al-nuzūl (sebab-sebab turunnya wahyu) dan nāsikh wa mansūkh (ayat yang menghapus dan yang dihapus), tetapi ia memberikannya interpretasi yang radikal. Bagi Abi Zaid, asbāb al-nuzūl bukan sekadar catatan anekdotal, tetapi merupakan bukti tak terbantahkan tentang historisitas Teks. Ini adalah kunci untuk memahami bahwa Teks adalah respons terhadap situasi nyata, yang kemudian harus diperluas maknanya secara analogis (qiyās) ke situasi modern, bukan dipertahankan secara literal.
Dalam kritik terhadap diskursus keagamaan, ia sering menyinggung fenomena ketidakmampuan para ulama tradisional untuk berdialog dengan dunia ilmiah. Abi Zaid melihat ini sebagai hasil dari pembekuan metodologi. Ketika interpretasi Teks menolak alat-alat rasional yang digunakan di bidang lain (seperti sejarah, linguistik, dan sosiologi), ia secara otomatis mengisolasi dirinya dari kemajuan peradaban. Oleh karena itu, bagi Abi Zaid, pembaruan Islam adalah sinonim dengan pembaruan intelektual yang melibatkan adaptasi dan penggunaan metode ilmiah yang ketat dalam kajian Teks Suci.
Akhirnya, karya Abi Zaid menempatkan humanisme di pusat interpretasi Islam. Tujuannya adalah untuk mengungkap pesan inti Teks yang berfokus pada pembebasan, keadilan, dan belas kasih, yang ia yakini telah disembunyikan di bawah lapisan-lapisan interpretasi ideologis yang berfokus pada hukum dan kekuasaan. Melalui lensa hermeneutika semiotik, ia mengundang umat Islam untuk sekali lagi menjadi agen aktif dalam pencarian makna, bukan sekadar pengikut pasif dari otoritas yang diwariskan. Ini adalah perjuangan yang berlanjut, jauh setelah kepergiannya.