Abi Zaki: Pilar Intelektual dan Spiritual Peradaban Islam

Penelusuran Mendalam Terhadap Jasa dan Warisan Syaikh Abu Zakariyya Yahya bin Muhammad

Simbol Hikmah dan Ilmu
Simbol Ilmu dan Kearifan yang Dipancarkan oleh Pemikiran Abi Zaki

I. Mukadimah: Menentukan Kedudukan Syaikh Abu Zakariyya

Dalam lintasan sejarah peradaban Islam yang kaya akan tokoh-tokoh pembaharu (mujaddid), nama Syaikh Abu Zakariyya Yahya bin Muhammad—yang lebih dikenal secara luas dan akrab sebagai Abi Zaki—muncul sebagai mercusuar pemikiran yang kompleks dan multidimensi. Abi Zaki bukan hanya seorang figur yang cemerlang di masanya, namun merupakan titik persimpangan di mana dua aliran besar intelektual Islam, yaitu Fiqh yang rasionalistik dan Tasawwuf yang intuitif, bertemu dalam harmoni yang jarang dicapai oleh ulama sezamannya. Pengaruhnya membentang luas, mulai dari kurikulum madrasah di wilayah Timur Tengah hingga sistem peradilan di kawasan Maghribi, sebuah bukti nyata akan kedalaman dan keberlanjutan warisan yang ia tinggalkan.

Menganalisis kehidupan dan karya Abi Zaki memerlukan pemahaman yang mendalam terhadap konteks sosio-politik tempat ia berkiprah. Lahir pada periode kritis yang ditandai oleh pergeseran kekuasaan dinasti dan gejolak intelektual antar mazhab, Abi Zaki memiliki keunggulan komparatif: ia tidak hanya menguasai literatur klasik, namun juga mampu menyintesiskan pandangan-pandangan yang tampak kontradiktif, menawarkan solusi yang praktis dan sekaligus menjangkau dimensi spiritual. Keahliannya dalam ilmu usul al-fiqh (prinsip-prinsip yurisprudensi) memungkinkan dirinya untuk melakukan ijtihad (penalaran independen) yang melampaui kerangka dogmatis sempit, sementara penguasaan tasawwufnya memberikan kedalaman etis pada setiap fatwa dan pandangannya.

Tujuan dari penelusuran ini adalah untuk membongkar lapisan-lapisan pemikiran Abi Zaki, mengidentifikasi kontribusi spesifiknya dalam disiplin ilmu yang berbeda, serta menjejaki bagaimana warisannya tidak hanya bertahan, tetapi terus membentuk diskursus keilmuan hingga hari ini. Kita akan melihat bagaimana ia mendefinisikan kembali konsep *Masalih Mursalah* (kebaikan umum yang tidak diatur secara eksplisit) dan bagaimana ia mengintegrasikan konsep *Mujahadah* (perjuangan spiritual) ke dalam praktik fiqh sehari-hari.

Warisan Abi Zaki dapat dibagi menjadi tiga area utama yang saling terkait erat: pertama, penyempurnaan metodologi fiqh yang fleksibel; kedua, perumusan tasawwuf yang berorientasi pada syariat dan tindakan nyata; dan ketiga, pembangunan jembatan antara teologi skolastik (Ilmu Kalam) dan pengalaman spiritual. Melalui karya agungnya, *Al-Manhaj al-Kamil li-Tafhim al-Haqiqah* (Metodologi Lengkap untuk Memahami Kebenaran), ia memberikan cetak biru bagi generasi ulama berikutnya untuk menjadi ahli syariat sekaligus ahli hakikat.

II. Latar Belakang dan Genealogi Intelektual Abi Zaki

II.1. Masa Kecil dan Lingkungan Formatif

Syaikh Abu Zakariyya Yahya bin Muhammad dilahirkan di kota Marw, sebuah pusat intelektual yang strategis pada masanya, yang menjadi jalur utama perdagangan dan pertukaran ide. Wilayah ini, yang berada di bawah pengaruh berbagai kekuatan politik yang silih berganti, memaksa masyarakatnya untuk memiliki toleransi dan keterbukaan terhadap berbagai mazhab pemikiran. Ayahnya, Muhammad bin Idris, adalah seorang saudagar terpelajar yang memiliki kecintaan mendalam terhadap ilmu hadits, sementara ibunya berasal dari keluarga yang dikenal memiliki tradisi sufi kuat, memberikan Abi Zaki fondasi yang seimbang sejak usia dini.

Pendidikan formalnya dimulai dengan menghafal Al-Qur'an dan mempelajari dasar-dasar bahasa Arab. Namun, yang membedakan masa kecilnya adalah keterpaparan langsung pada debat-debat sengit antara penganut mazhab Syafi'i dan Hanafi di pasar-pasar ilmu Marw. Perdebatan ini tidak membuatnya dogmatis, melainkan mendorongnya untuk mencari prinsip-prinsip yang mendasari perbedaan, bukan sekadar perbedaan itu sendiri. Kecenderungan untuk mencari akar permasalahan (ushul) ini menjadi ciri khas seluruh karya dewasanya.

II.2. Guru-Guru Utama dan Transmisi Ilmu

Jejak perjalanan ilmiah Abi Zaki adalah peta migrasi menuju pusat-pusat ilmu terbesar saat itu. Perjalanan pertamanya membawanya ke Baghdad, jantung kekhalifahan, di mana ia berguru kepada Al-Faqih Al-Akbar, yang mengajarkannya fiqh komparatif dan seluk-beluk administrasi kehakiman. Di sana, ia menyerap metode penalaran yang ketat dan sistematis. Namun, yang paling signifikan adalah perjalanannya ke Mesir.

Di Kairo, ia bertemu dengan dua tokoh yang membentuk pandangan dunianya: Syaikh Abdul Karim, seorang ahli usul al-fiqh yang terkenal karena keterampilannya dalam dialektika, dan Imam Basyir al-Mutawakkil, seorang sufi agung dari tarekat Qadiriyyah yang menekankan pentingnya *khuluwah* (isolasi spiritual) dan *dzikr* (mengingat Tuhan).

Dari Syaikh Abdul Karim, Abi Zaki mewarisi kecakapan untuk merumuskan ulang kaidah-kaidah lama agar relevan dengan zaman baru. Ia belajar bagaimana menyeimbangkan teks (nash) dengan nalar ('aql) tanpa jatuh ke dalam relativisme. Sementara itu, Imam Basyir mengajarkannya bahwa hukum Islam (syariat) hanyalah kerangka luar, dan tanpa penyucian hati (tazkiyatun nafs), pelaksanaan syariat akan kehilangan ruhnya.

Sintesis dari dua pengaruh ini—rasionalitas hukum yang keras dan kelembutan hati sufi—memungkinkan Abi Zaki untuk mengembangkan apa yang kemudian dikenal sebagai “Metodologi Integratif.” Ia berpendapat bahwa seorang faqih (ahli hukum) yang sejati harus mampu merasakan dampak spiritual dari keputusannya, sementara seorang sufi sejati harus mampu membumikan pengalamannya dalam kerangka hukum yang jelas.

III. Kontribusi Utama dalam Fiqh dan Usul Fiqh: Merumuskan Fleksibilitas

III.1. Kritik Terhadap Stagnasi Fiqh

Ketika Abi Zaki mulai aktif menulis dan mengajar, tradisi fiqh di banyak wilayah Islam cenderung mengalami stagnasi. Para ulama lebih memilih taklid (mengikuti buta) terhadap mazhab yang sudah ada, dan pintu ijtihad praktis dianggap tertutup bagi sebagian besar. Abi Zaki menganggap kecenderungan ini berbahaya bagi kelangsungan umat, terutama dalam menghadapi tantangan-tantangan baru dari perubahan sosial dan interaksi dengan peradaban lain.

Dalam karyanya, *Kitab al-Ittifaq wal-Ikhtilaf* (Buku tentang Kesepakatan dan Perbedaan), ia melakukan analisis mendalam terhadap kaidah-kaidah mazhab Maliki, Syafi'i, Hanafi, dan Hanbali. Ia menunjukkan bahwa banyak perbedaan yang ada bukanlah perbedaan fundamental dalam keyakinan, melainkan perbedaan dalam penerapan alat metodologi (seperti cara penggunaan *Qiyas* atau *Istihsan*).

Ia berargumen bahwa fokus harus dialihkan dari kepatuhan buta kepada pendapat seorang imam, menuju pemahaman yang kuat terhadap *maqashid al-syariah* (tujuan-tujuan syariah). Bagi Abi Zaki, tujuan utama hukum Islam adalah memelihara lima kebutuhan dasar manusia (agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta), dan setiap hukum harus diuji berdasarkan kemampuannya untuk mencapai tujuan tersebut dalam konteks yang spesifik.

III.2. Rekonstruksi Konsep Masalih Mursalah

Kontribusi Abi Zaki yang paling revolusioner dalam usul al-fiqh adalah rekonstruksinya terhadap konsep *Masalih Mursalah* (kepentingan publik yang tidak diatur secara eksplisit oleh wahyu, namun tidak bertentangan dengannya). Meskipun konsep ini sudah ada sejak zaman Imam Malik, Abi Zaki menyusunnya menjadi metodologi yang lebih terstruktur dan berani.

Ia menetapkan tiga kriteria ketat agar *Masalih Mursalah* dapat diterima sebagai sumber hukum:

  1. Dharuriyah (Esensial): Maslahah tersebut harus sangat penting dan mendasar bagi kelangsungan hidup atau kesejahteraan umat. Ia memisahkan antara kebutuhan (hajat) dan pelengkap (tahsiniyat), menegaskan bahwa *Masalih Mursalah* hanya berlaku untuk hal-hal yang esensial.
  2. Qath'iyyah (Definitif): Manfaat dari maslahah tersebut harus pasti dan terukur, bukan sekadar perkiraan atau spekulasi. Ini membatasi penggunaan konsep tersebut dari interpretasi subyektif yang berlebihan.
  3. Kulliyyah (Universal): Manfaatnya harus dirasakan oleh mayoritas umat, bukan hanya kelompok atau individu tertentu. Hal ini mencegah penggunaan kekuasaan kehakiman untuk mempromosikan kepentingan pribadi di bawah kedok kepentingan umum.

Pendekatan ini memungkinkan para hakim di bawah pengaruhnya untuk mengatasi masalah-masalah kompleks ekonomi dan administrasi yang belum pernah ada sebelumnya, seperti regulasi pasar uang baru dan hak cipta intelektual, yang dianggap oleh beberapa ulama konservatif sebagai bid'ah. Bagi Abi Zaki, kehati-hatian dalam mengambil keputusan fiqh harus diimbangi dengan keberanian untuk berinovasi demi kebaikan umat.

III.3. Analisis Mendalam terhadap *Kitab al-Manhaj al-Kamil*

Al-Manhaj al-Kamil li-Tafhim al-Haqiqah adalah mahakarya Abi Zaki. Kitab ini, yang terdiri dari tiga jilid besar, bukan sekadar buku fiqh, melainkan sebuah ensiklopedia yang merangkai fiqh, usul fiqh, etika, dan epistemologi. Di dalamnya, Abi Zaki membahas secara rinci bagaimana hati dan akal harus bekerja sama dalam proses ijtihad.

Dalam Jilid Pertama, ia menyajikan kritik terhadap para filosof yang meremehkan syariat dan para fuqaha yang menolak penalaran filosofis. Ia mengajukan tesis bahwa akal ('aql) yang sehat adalah bagian dari syariat, dan syariat yang benar tidak akan pernah bertentangan dengan akal yang murni. Namun, ia menekankan bahwa akal harus dipandu oleh *nur* (cahaya) spiritual yang berasal dari ketaatan (taqwa).

Jilid Kedua didedikasikan sepenuhnya untuk Ushul Fiqh. Di sini, ia memperkenalkan metodologi "verifikasi silang sumber" (*tashih al-masadir*), yang mengharuskan seorang mujtahid untuk menguji sebuah hadits atau interpretasi fiqh melalui lensa moral dan spiritual Al-Qur'an secara keseluruhan, bukan hanya makna literalnya. Ia juga memberikan contoh-contoh praktis tentang bagaimana *istihsan* (preferensi hukum) dapat digunakan tanpa melanggar prinsip *qiyas* (analogi).

Jilid Ketiga yang paling unik, membahas "Fiqh Hati" (*Fiqh al-Qulub*). Ini adalah jembatan antara fiqh dan tasawwuf. Abi Zaki berpendapat bahwa setiap tindakan lahiriah (ibadah atau muamalah) memiliki implikasi hukum dan implikasi spiritual. Misalnya, ia tidak hanya membahas rukun shalat, tetapi juga membahas bagaimana konsentrasi (khusyu') dalam shalat membatalkan pahala shalat, meskipun secara hukum shalat tersebut sah. Baginya, Fiqh yang sempurna harus mengukur keabsahan formal dan keabsahan esensial (spiritual).

IV. Dimensi Spiritual: Abi Zaki dan Tasawwuf Praktis

IV.1. Menghidupkan Kembali Ruh Tasawwuf

Pada masa Abi Zaki, tasawwuf telah terpecah menjadi dua kubu ekstrem: tasawwuf filosofis yang terlalu tenggelam dalam metafisika abstrak (seringkali dituduh menyimpang), dan tasawwuf jalanan yang terlalu fokus pada ritual dan praktik mistis yang minim landasan syariat. Abi Zaki mengambil peran sebagai penyatu, atau lebih tepatnya, sebagai pemurni tasawwuf.

Ia menolak keras pandangan bahwa tasawwuf adalah disiplin yang independen dari syariat. Bagi Abi Zaki, syariat adalah tubuh, dan tasawwuf adalah ruhnya. Ia merumuskan apa yang disebut "Tasawwuf Amali" (Tasawwuf Praktis) atau "Tasawwuf Akhlaqi" (Tasawwuf Etis), yang fokus utamanya adalah penyucian diri (*tazkiyatun nafs*) sebagai prasyarat untuk menjadi hamba yang taat sepenuhnya.

Dalam karyanya yang berjudul *Riyadh al-Arifin fi Adab al-Syari'ah* (Taman Para Arif dalam Adab Syariat), Abi Zaki menjelaskan bahwa maqam (tingkatan spiritual) tertinggi tidak dapat dicapai melalui penolakan terhadap hukum-hukum formal, melainkan melalui pemenuhan hukum-hukum tersebut dengan kesempurnaan batin. Kekayaan spiritual bukan terletak pada keanehan ritual, melainkan pada keikhlasan yang terkandung dalam amal yang paling sederhana sekalipun.

IV.2. Konsep Ma'rifah dan Wajibul Wujud

Dalam ranah metafisika, Abi Zaki berhati-hati dalam menggunakan istilah-istilah yang berpotensi menimbulkan kontroversi, seperti *wahdatul wujud* (kesatuan eksistensi). Ia lebih memilih kerangka teologi Asy'ariyah yang moderat, namun menyuntikkannya dengan pengalaman spiritual yang mendalam.

Ia mendefinisikan *Ma'rifah* (pengetahuan intuitif tentang Tuhan) bukan sebagai peleburan eksistensial, melainkan sebagai tingkat kesadaran yang sangat tinggi di mana seseorang menyaksikan Kebenaran (al-Haqq) melalui manifestasi-Nya dalam alam semesta dan dalam hukum-hukum syariat. *Ma'rifah* baginya adalah kesempurnaan iman yang memengaruhi tindakan.

Abi Zaki menjelaskan bahwa Tuhan, sebagai *Wajibul Wujud* (Eksistensi yang Wajib Ada), memiliki sifat yang mutlak, dan tugas manusia adalah meneladani sifat-sifat tersebut (seperti Rahman dan Rahim) melalui etika sosial (muamalah). Dengan demikian, praktik tasawwuf tidak boleh mengisolasi sufi dari masyarakat; justru harus menjadi dorongan untuk berinteraksi dengan masyarakat secara adil dan penuh kasih.

"Hukum yang tidak memiliki ruh keikhlasan adalah tubuh tanpa jiwa. Dan jiwa yang tidak terikat pada kerangka hukum adalah hantu yang tidak dapat menyentuh realitas." — Sebuah kutipan dari manuskrip yang diatribusikan kepada Abi Zaki.

V. Abi Zaki sebagai Filosof Teologis: Sintesis Akal dan Wahyu

V.1. Mediasi Ilmu Kalam dan Filsafat

Pada abad di mana Abi Zaki hidup, ketegangan antara ahli teologi (mutakallimun) dan ahli filsafat (falasifah) seringkali memuncak. Mutakallimun menuduh falasifah terlalu mengandalkan akal Yunani, sementara falasifah menganggap mutakallimun terlalu kaku dalam menerima konsep teologis tradisional.

Abi Zaki mengambil jalan tengah yang cerdas. Ia mengakui pentingnya logika Aristoteles (Mantiq) sebagai alat untuk mengorganisasi pemikiran dan mempertahankan akidah. Ia berpendapat bahwa logika adalah "timbangan emas" yang diperlukan untuk ijtihad dalam fiqh dan untuk mempertahankan teologi dari serangan skeptisisme. Namun, ia dengan tegas menolak kesimpulan filosofis tertentu, terutama yang berkaitan dengan keabadian alam semesta dan konsep kenabian yang meremehkan aspek mukjizat.

Ia menyusun *Risalah fi Tadbir al-Aql wal-Qalb* (Risalah tentang Manajemen Akal dan Hati), di mana ia memperkenalkan metodologi untuk menyelaraskan kebenaran yang dicapai melalui demonstrasi rasional (*burhan*) dengan kebenaran yang diwahyukan (*wahyu*). Baginya, akal hanyalah alat yang membantu manusia memahami batasan dirinya dan kebutuhan mutlaknya akan bimbingan ilahi. Jika ada kontradiksi antara akal dan wahyu, itu berarti akal belum mencapai tingkat pemurnian yang diperlukan, atau interpretasi teks yang dilakukan salah.

V.2. Teori Keadilan (Al-Adl) dan Etika Pemerintahan

Salah satu subjek yang paling banyak ia tulis adalah konsep keadilan ilahi (al-Adl) dan bagaimana keadilan tersebut harus tercermin dalam tata kelola pemerintahan (siyasah syar’iyyah). Dalam pandangan Abi Zaki, seorang penguasa (hakim atau khalifah) tidak hanya bertanggung jawab atas penegakan hukum (fiqh), tetapi juga bertanggung jawab atas kesejahteraan spiritual rakyatnya.

Ia mengembangkan teori "Keadilan Integral," yang mensyaratkan bahwa setiap kebijakan publik harus memenuhi tiga prasyarat:

Penekanannya pada Keadilan Moral sangat dipengaruhi oleh tasawwufnya, yang menyatakan bahwa kerusakan sosial selalu berakar pada kerusakan batin individu. Oleh karena itu, tugas seorang penguasa adalah menginspirasi rakyatnya, bukan hanya menghukum mereka.

VI. Disiplin Keilmuan dan Penyebaran Pengaruhnya

VI.1. Abi Zaki dan Pembentukan Mazhab "Mutawassit"

Meskipun Abi Zaki sendiri tidak pernah berniat mendirikan mazhab baru, murid-muridnya yang tersebar luas seringkali dikelompokkan di bawah label "Mutawassitun" (Kelompok Moderat) atau "Ashab Abi Zaki." Kelompok ini dicirikan oleh tiga hal: penolakan terhadap taklid total, penekanan pada sintesis akal dan hati, dan fokus pada tujuan hukum (maqashid) daripada detail harfiah.

Beberapa muridnya menduduki posisi qadhi (hakim) penting di Isfahan dan Kairouan, memastikan bahwa metodologi *Masalih Mursalah* yang fleksibel diterapkan dalam sistem peradilan praktis. Ini membantu stabilitas hukum di wilayah-wilayah yang menghadapi pluralitas budaya dan ekonomi yang cepat berubah.

Penyebaran ajarannya juga terjadi melalui jaringan sufistik. Karena ia adalah seorang sufi yang taat pada syariat, banyak tarekat sufi yang awalnya skeptis terhadap ulama fiqh mulai menerima ajaran fiqh-nya karena adanya legitimasi spiritual yang kuat. Ajaran spiritualnya tentang *mujahadah* menjadi bagian standar dari kurikulum tarekat di Andalusia dan Asia Tengah.

VI.2. Analisis Kontemporer terhadap Epistemologi Abi Zaki

Di era modern, pemikiran Abi Zaki kembali menarik perhatian para sarjana hukum Islam dan filsafat karena relevansinya yang abadi. Epistemologi yang ia usulkan—yang memandang pengetahuan sebagai produk dari tiga sumber yang saling melengkapi (Wahyu, Akal, dan Pengalaman Batin)—menawarkan kerangka kerja untuk mengatasi tantangan modernitas.

Sarjana-sarjana kontemporer menyoroti bagaimana Abi Zaki dapat menjadi solusi terhadap dikotomi antara fundamentalisme tekstualis dan sekularisme rasionalis. Baginya, teks agama adalah mutlak, tetapi pemahaman teks itu bersifat dinamis dan harus dipandu oleh tujuan etis tertinggi, yaitu pencapaian keadilan dan kedekatan dengan Tuhan.

Metode interpretasi Abi Zaki, yang menuntut integrasi antara hukum publik (fiqh muamalat) dan hukum pribadi (fiqh ibadat), menyiratkan bahwa reformasi sosial yang sukses harus dimulai dari reformasi diri. Warisannya adalah seruan bagi umat untuk menjadi ahli fiqh yang spiritual dan seorang sufi yang berorientasi hukum.

VII. Kedalaman Warisan Abi Zaki: Studi Kasus Spesifik

VII.1. Reformasi dalam Hukum Kontrak (Muamalat)

Salah satu area fiqh di mana Abi Zaki meninggalkan jejak yang sangat spesifik adalah hukum kontrak dan transaksi finansial. Pada masanya, muncul bentuk-bentuk kemitraan dagang baru yang melibatkan pembagian risiko yang lebih kompleks, melampaui kerangka *mudarabah* (bagi hasil) dan *musyarakah* (kemitraan) tradisional.

Dalam karyanya *Tafhim al-Uqud* (Pemahaman Kontrak), ia mengadvokasi penggunaan prinsip *ghabn* (ketidakadilan/kerugian yang nyata) sebagai dasar untuk membatalkan kontrak, bahkan jika kontrak tersebut secara formal memenuhi semua syarat rukun fiqh. Ini adalah contoh klasik dari bagaimana tasawwuf (penekanan pada etika dan keadilan batin) memengaruhi fiqh (hukum formal).

Ia berpendapat bahwa tujuan dari hukum transaksi adalah memastikan keadilan yang menyeluruh, bukan sekadar menghindari riba yang eksplisit. Jika sebuah kontrak, meskipun tidak mengandung unsur riba yang jelas, menyebabkan kerugian besar dan ketidakadilan (ghabn fahiysy) pada salah satu pihak karena kurangnya informasi atau posisi tawar yang tidak setara, maka kontrak itu harus direvisi atau dibatalkan berdasarkan prinsip *Masalih Mursalah* yang bertujuan memelihara harta dan keadilan sosial.

VII.2. Pengaruh pada Pendidikan Islam (Tarbiyah)

Lebih dari sekadar seorang mujtahid hukum, Abi Zaki adalah seorang pendidik ulung. Kurikulum yang ia rancang untuk madrasahnya (yang kemudian menjadi model bagi banyak institusi) menekankan integrasi ilmu-ilmu *naqli* (transmisi, seperti hadits dan fiqh) dan *aqli* (rasional, seperti logika dan filsafat).

Ia bersikeras bahwa sebelum seorang murid diizinkan untuk mendalami studi usul al-fiqh, mereka harus terlebih dahulu melewati periode pelatihan spiritual yang ketat, yang dikenal sebagai *Tarbiyatul Salik* (Pelatihan Pejalan Spiritual). Tujuannya adalah memastikan bahwa alat ijtihad yang kuat (akal) tidak digunakan untuk kepentingan egois atau penafsiran yang menyimpang, melainkan untuk melayani tujuan syariat.

Periode pelatihan ini mencakup:

Model pendidikan ini menghasilkan ulama yang tidak hanya pandai berdebat, tetapi juga memiliki kedalaman moral yang diperlukan untuk menegakkan keadilan.

VII.3. Fiqh Lingkungan (Figh al-Biah) Menurut Abi Zaki

Meskipun istilah "fiqh lingkungan" adalah istilah modern, Abi Zaki memiliki pandangan yang sangat maju mengenai hak-hak alam dan pengelolaan sumber daya. Dalam konteks zamannya, di mana urbanisasi dan masalah irigasi menjadi isu krusial, ia membahas secara rinci kewajiban manusia terhadap alam.

Ia menggunakan prinsip *istihsan* (preferensi hukum yang lebih baik) untuk menyatakan bahwa eksploitasi berlebihan terhadap hutan atau sumber air adalah haram, meskipun tidak ada larangan eksplisit yang detail dalam Al-Qur'an atau Hadits. Argumennya berpusat pada dua pilar: pertama, *Hifdz al-Nafs* (Memelihara Jiwa), karena lingkungan yang rusak membahayakan kehidupan; dan kedua, *Hifdz al-Mal* (Memelihara Harta), karena sumber daya alam adalah kekayaan umum yang harus diwariskan kepada generasi mendatang.

Ia mengeluarkan fatwa yang sangat terkenal yang membatasi hak kepemilikan individu atas sumber air yang vital, menyatakan bahwa air adalah milik publik (*milkiyah 'ammah*), dan penggunaannya harus tunduk pada kaidah *la dharara wa la dhirar* (tidak boleh merugikan diri sendiri maupun orang lain). Pandangan ini menunjukkan kemampuannya menggunakan usul al-fiqh untuk mengatasi masalah ekologis yang bersifat jangka panjang.

VIII. Keberlanjutan Warisan dan Posisi Historis Abi Zaki

VIII.1. Abi Zaki sebagai Jembatan Antar Zaman

Abi Zaki dapat dianggap sebagai figur transisi. Ia menutup era kejayaan ulama klasik yang terfokus pada kodifikasi dan memulai era baru yang berfokus pada aplikasi kontekstual dan integrasi disiplin ilmu. Ia hidup pada puncak intelektual, namun melihat tanda-tanda kemerosotan akibat rigiditas berpikir.

Warisan terbesarnya bukanlah kumpulan fatwa yang harus diikuti secara harfiah, tetapi sebuah kerangka metodologis yang memungkinkan umat Islam untuk menghadapi tantangan tanpa mengorbankan prinsip-prinsip abadi syariat. Ia menunjukkan bahwa ijtihad sejati bukan hanya kecakapan intelektual, tetapi juga hasil dari kesucian hati.

Di zaman modern yang menuntut adanya etika global, keberlanjutan, dan keadilan sosial, pemikiran Abi Zaki tentang Keadilan Integral dan rekonstruksi *Masalih Mursalah* menawarkan panduan yang relevan. Ia mengajarkan bahwa hukum Islam adalah sistem yang hidup dan bernapas, yang tujuannya adalah menciptakan kebahagiaan sejati di dunia dan akhirat, yang hanya dapat dicapai melalui kombinasi ketakwaan, rasionalitas, dan kearifan spiritual.

Pemikiran Abi Zaki terus menjadi inspirasi bagi mereka yang mencari harmoni antara hukum dan spiritualitas.

🏠 Homepage