Banyumas, sebuah kabupaten di bagian barat daya Provinsi Jawa Tengah, menyimpan kekayaan sejarah dan budaya yang unik, jauh dari hiruk pikuk ibukota provinsi. Di antara jajaran kecamatan yang membentuk wajah kabupaten ini, nama Sokaraja mencuat sebagai sebuah sentra penting. Sokaraja bukanlah sekadar titik geografis; ia adalah persimpangan peradaban, pusat kuliner legendaris, dan penopang tradisi Banyumasan yang otentik. Kawasan ini melambangkan semangat Ngapak—sebutan akrab bagi logat dan karakter masyarakat Banyumas—yang lugas, jujur, dan hangat.
Eksplorasi ini akan membawa kita menelusuri bagaimana Sokaraja berkembang dari sebuah desa persinggahan menjadi pusat ekonomi yang vital, melestarikan warisan seni seperti Ebeg dan Lengger, hingga mengukir namanya di peta kuliner Nusantara melalui hidangan ikonik seperti Soto Sokaraja dan Getuk Goreng. Memahami Sokaraja adalah memahami denyut nadi kebudayaan Banyumas seutuhnya.
Sejarah Kabupaten Banyumas, yang berdekatan erat dengan Purwokerto sebagai ibu kota, memiliki riwayat panjang yang terentang sejak era Kerajaan Mataram Islam. Wilayah ini secara tradisional dikenal sebagai Bumi Ngapak, sebuah kawasan yang memiliki identitas kultural yang berbeda dibandingkan wilayah Jawa Tengah bagian timur atau Yogyakarta.
Pembentukan wilayah administratif di Banyumas dimulai sekitar abad ke-16. Meskipun secara politik berada di bawah kekuasaan Mataram, jarak geografis yang cukup jauh dan kondisi alam yang spesifik memungkinkan lahirnya otonomi budaya yang kuat. Konon, nama Banyumas sendiri berasal dari peristiwa ditemukannya air yang sangat jernih (Banyu Emas atau Air Emas), meskipun interpretasi ini sering dikaitkan dengan narasi lokal yang puitis.
Sokaraja, dalam konteks sejarah awal, berfungsi sebagai titik transit penting. Berada di jalur penghubung antara pesisir selatan (seperti Cilacap dan Adipala) dengan wilayah pedalaman yang menuju ke Purwokerto dan lebih jauh lagi ke arah timur. Peran strategis ini menjadikannya cepat berkembang sebagai pusat perdagangan dan keramaian, bahkan sebelum perkembangan pesat Purwokerto modern.
Di bawah kekuasaan kolonial Hindia Belanda, Banyumas ditetapkan sebagai Karesidenan (Residentie Banyumas) yang membawahi beberapa kabupaten. Perkembangan infrastruktur, terutama pembangunan jalur kereta api pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, semakin memperkuat posisi Sokaraja.
Secara geografis, Sokaraja berada di dataran rendah yang subur, tidak jauh dari aliran vital Sungai Serayu. Serayu adalah urat nadi kehidupan di Banyumas. Kehadirannya tidak hanya menyediakan irigasi bagi sawah-sawah produktif di sekitar Sokaraja, tetapi juga memengaruhi cara hidup, mitologi, dan bahkan pola perdagangan masyarakat setempat.
Tanah yang gembur dan iklim tropis yang mendukung pertanian singkong menjadi alasan mengapa Sokaraja mampu melahirkan kuliner berbahan dasar singkong yang sangat terkenal, seperti Getuk Goreng. Ketersediaan bahan baku yang melimpah ini adalah dasar dari industri rumahan Sokaraja yang kini telah mendunia.
Kesenian dan bahasa adalah dua pilar utama yang membedakan Banyumas dari wilayah Jawa Tengah lainnya. Sokaraja menjadi salah satu kantung terkuat yang melestarikan tradisi ini. Kekhasan budaya Banyumasan dicirikan oleh keterusterangan dan nuansa humor yang kental.
Istilah Ngapak merujuk pada ciri linguistik utama bahasa Jawa dialek Banyumas, yaitu penggunaan bunyi konsonan /k/ di akhir kata yang tidak dilebur menjadi bunyi glottal stop (seperti pada bahasa Jawa standar/Solo/Yogya). Contoh paling terkenal adalah kata "makan" yang diucapkan mangan (Jawa Standar) vs. mangan k (Banyumas). Keunikan ini bukan hanya soal fonetik, melainkan cerminan karakter:
Sokaraja, seperti halnya Banyumas pada umumnya, adalah rumah bagi beberapa bentuk kesenian rakyat yang enerjik dan magis. Kesenian ini sering dipentaskan dalam acara hajatan, bersih desa, atau perayaan kemerdekaan.
Ebeg adalah seni tari kuda lumping khas Banyumas. Meskipun memiliki kesamaan dasar dengan kuda lumping dari daerah lain, Ebeg Banyumas memiliki gerakan yang lebih dinamis, kostum yang khas, dan narasi yang seringkali berakar pada legenda lokal. Puncak dari pertunjukan Ebeg adalah sesi trance (mendem), di mana para penari menunjukkan kekebalan dan melakukan atraksi ekstrem. Ebeg bukan hanya hiburan; ia adalah ritual pembersihan dan penghormatan kepada arwah leluhur.
Lengger adalah seni tari rakyat yang sangat dihormati. Ciri khas Lengger Banyumas, terutama yang berkembang di sekitar Sokaraja dan Purwokerto, adalah kehadiran Lengger Lanang (Penari Laki-laki). Penari laki-laki ini berdandan layaknya perempuan, sebuah tradisi yang sudah ada sejak ratusan tahun. Lengger Lanang dianggap sebagai simbol kesuburan dan keseimbangan kosmos. Tarian ini diiringi oleh Gamelan Calung, menghasilkan irama yang ceria dan menghentak.
Filosofi di balik Lengger sangat dalam. Ia mewakili dualitas kehidupan (laki-laki dan perempuan, siang dan malam) dan berfungsi sebagai media komunikasi sosial, seringkali menyampaikan kritik halus melalui lirik lagu atau dialog yang dipertunjukkan.
Musik pengiring utama bagi Lengger dan Ebeg adalah Calung. Calung Banyumas berbeda dengan angklung Sunda karena menggunakan bilah bambu yang dipukul (mirip gambang), bukan digoyangkan. Nada-nada Calung menciptakan suasana yang riang dan sangat mudah dikenali. Instrumen ini adalah inti dari identitas musikal Sokaraja. Tanpa irama Calung yang khas, pertunjukan seni rakyat Banyumas kehilangan rohnya.
Sokaraja telah lama mendapatkan julukan sebagai pusat kuliner Banyumas. Kekuatan kuliner Sokaraja terletak pada penggunaan bahan lokal yang sederhana, diolah dengan teknik warisan yang menghasilkan cita rasa yang kaya dan khas. Dua hidangan utamanya, Soto dan Getuk Goreng, telah menjadi ikon nasional yang tak terpisahkan dari nama kecamatan ini.
Soto Sokaraja bukanlah sekadar soto biasa. Ia memiliki karakteristik yang membedakannya dari varian soto dari daerah Jawa lainnya. Keunikan ini terletak pada tiga elemen kunci: kuah kacang, kerupuk merah, dan bumbu yang lebih medok (kental).
Kuah Soto Sokaraja umumnya berbahan dasar kaldu ayam atau daging sapi yang dimasak dengan bumbu kuning kaya rempah. Namun, yang membuatnya unik adalah:
Soto Sokaraja berakar dari kebutuhan makanan cepat saji bagi para pelancong dan pekerja yang melintasi jalur perdagangan Sokaraja. Awalnya, soto ini dijual secara sederhana menggunakan pikulan. Seiring berjalannya waktu dan popularitasnya yang meningkat, para pedagang mulai mendirikan warung permanen. Evolusi ini memastikan resep tradisional tetap terjaga sambil mengikuti standar kebersihan dan kenyamanan modern.
Fenomena soto ini juga melahirkan berbagai varian, seperti soto daging sapi, soto ayam kampung, hingga soto jeroan, yang semuanya tetap menggunakan sambal kacang sebagai elemen pemersatu rasa khas Sokaraja. Warung-warung soto legendaris di Sokaraja kini menjadi destinasi wajib bagi wisatawan yang melintas di jalur tengah Jawa.
Jika Soto adalah identitas savour Sokaraja, maka Getuk Goreng adalah identitas manisan dan oleh-olehnya. Getuk Goreng lahir dari upaya masyarakat Sokaraja untuk mengawetkan getuk (olahan singkong kukus yang dihaluskan) agar tidak cepat basi. Penemuan brilian ini mengubah getuk yang biasa menjadi komoditas unggulan.
Proses pembuatan Getuk Goreng sangat mengandalkan ketepatan. Singkong yang telah dikukus dan dihaluskan dicampur dengan gula merah (gula jawa) asli. Adonan ini kemudian dibentuk dan diistirahatkan sejenak. Tahap kuncinya adalah penggorengan. Penggorengan singkat pada suhu yang tepat menciptakan lapisan luar yang sedikit renyah dan karamelisasi, sementara bagian dalamnya tetap lembut dan kenyal.
Penggunaan gula merah asli dari petani lokal memberikan aroma khas dan warna coklat alami. Ini membedakannya dari getuk biasa yang sering berwarna putih atau diberi pewarna buatan. Popularitas Getuk Goreng menjadikannya oleh-oleh wajib bagi siapa pun yang melintasi Sokaraja. Industri rumahan Getuk Goreng di Sokaraja kini telah melibatkan ratusan pekerja dan menjadi motor ekonomi utama kecamatan.
Meskipun Getuk Goreng klasik tetap menjadi favorit, inovasi terus dilakukan. Saat ini, kita bisa menemukan varian Getuk Goreng dengan tambahan rasa, seperti nangka, durian, atau pandan. Namun, inti dari kelezatan penganan ini tetap pada tekstur singkong yang halus dan rasa gula merah yang mendalam.
Selain dua ikon utama tersebut, Sokaraja juga menghasilkan penganan lain yang patut dicatat, yang memperkaya khazanah kuliner Banyumas:
Kekayaan kuliner ini menunjukkan bahwa Sokaraja bukan hanya jalur transit, tetapi produsen makanan yang tangguh. Setiap hidangan mencerminkan ketersediaan sumber daya alam dan kreativitas masyarakatnya.
Peran Sokaraja sebagai simpul ekonomi semakin kuat seiring berjalannya waktu. Meskipun Purwokerto mengambil peran sebagai pusat pemerintahan dan pendidikan, Sokaraja tetap memegang kendali atas sektor industri rumahan, perdagangan kecil, dan pariwisata kuliner.
IKM di Sokaraja didominasi oleh dua sektor utama: pengolahan makanan (kuliner) dan kerajinan. Industri kuliner, terutama Getuk Goreng dan Soto instan/kemasan, telah menciptakan rantai pasok yang panjang, mulai dari petani singkong hingga pengemas dan distributor.
Selain itu, Sokaraja juga dikenal sebagai salah satu sentra kerajinan Batik Banyumas. Batik Banyumas memiliki corak yang lebih berani dan warna yang cenderung gelap atau solid, berbeda dari batik Solo/Yogya yang lebih lembut. Meskipun tidak sebesar Pekalongan, produksi batik di Sokaraja menjaga tradisi motif khas Banyumasan seperti motif lumbon (daun talas) dan motif yang terinspirasi dari fauna lokal.
| Kawasan | Fokus Ekonomi Utama | Produk Ikonik |
|---|---|---|
| Sokaraja | IKM Pangan, Perdagangan Transit, Kerajinan | Soto Sokaraja, Getuk Goreng, Batik Lumbon |
| Purwokerto | Pendidikan, Jasa, Pemerintahan, Kesehatan | Pusat Perbelanjaan Modern, Universitas |
| Purbalingga (Dekat) | Manufaktur, Bulu Mata Palsu, Wisata Alam | Wisata Gunung Slamet, Industri Wig |
Pasar tradisional di Sokaraja, khususnya Pasar Sokaraja, adalah jantung aktivitas harian. Pasar ini berfungsi sebagai tempat pertemuan para petani dari daerah pinggiran dengan para pedagang yang mendistribusikan barang ke Purwokerto atau kota lain. Peran pasar ini sangat vital dalam menjaga stabilitas harga komoditas pangan lokal, termasuk singkong, gula merah, dan hasil bumi lainnya yang menjadi bahan baku kuliner khas Sokaraja.
Di era digital, Sokaraja menghadapi tantangan dalam mempertahankan keaslian produknya sekaligus memenuhi permintaan pasar modern. Upaya digitalisasi UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah) di Sokaraja menjadi fokus penting. Para produsen Getuk Goreng kini banyak yang menjual produknya melalui platform daring, menjangkau konsumen di seluruh Indonesia tanpa menghilangkan resep warisan.
Peluang terbesar Sokaraja adalah memperkuat branding sebagai Pusat Kuliner Warisan. Pemerintah daerah aktif mempromosikan Sokaraja sebagai gerbang utama bagi wisatawan yang mencari pengalaman rasa otentik Banyumas sebelum melanjutkan perjalanan ke destinasi wisata alam di kaki Gunung Slamet atau pantai selatan.
Untuk memahami Sokaraja sepenuhnya, perlu ditelusuri lebih dalam mengenai filosofi yang membentuk karakter masyarakatnya. Karakteristik ini seringkali disebut sebagai "Jawa Ngapak," yang memiliki prinsip-prinsip hidup yang lugas dan sangat terikat pada komunitas.
Prinsip utama karakter Ngapak adalah kejujuran dan keterusterangan. Berbeda dengan stereotip Jawa priyayi yang dikenal halus dan penuh basa-basi, masyarakat Sokaraja dan Banyumas secara umum lebih suka berbicara langsung ke intinya. Logat Ngapak yang terdengar keras (karena mempertahankan bunyi /k/ di akhir kata) sering disalahartikan sebagai kasar, padahal ini adalah representasi dari sikap apa adanya.
Dalam konteks sosial, kejujuran ini membangun kepercayaan yang kuat di antara para pedagang di Pasar Sokaraja. Kesepakatan seringkali dilakukan berdasarkan ucapan lisan yang terikat, bukan hanya kontrak tertulis. Hubungan interpersonal yang erat ini sangat menunjang kelangsungan IKM dan bisnis warisan.
Meskipun Sokaraja kini dikenal sebagai pusat perdagangan, akarnya tetap pada pertanian. Kearifan lokal terkait pengelolaan air, sistem tanam, dan konservasi tanah, terutama di sekitar aliran Serayu, masih dipegang teguh. Sistem irigasi tradisional dan gotong royong dalam bercocok tanam (sambatan) adalah praktik yang masih terlihat, memastikan hasil bumi seperti singkong dan padi tetap melimpah sebagai bahan baku kuliner mereka.
Sokaraja menunjukkan komitmen kuat terhadap pelestarian seni tradisional. Kesenian seperti Ebeg, Lengger, dan Calung tidak hanya dipandang sebagai hiburan masa lalu, melainkan sebagai bagian integral dari identitas komunal yang harus diwariskan. Sekolah-sekolah lokal dan sanggar seni di Sokaraja secara aktif mengajarkan Basa Banyumasan dan kesenian tradisi kepada generasi muda. Ini adalah upaya sadar untuk melawan homogenisasi budaya yang dibawa oleh media modern.
Irama Calung bukan hanya terdengar saat pentas Ebeg; ia juga meresap ke dalam irama kerja sehari-hari. Musik ini sering diputar di warung-warung makan atau bengkel, menciptakan latar suara khas Banyumas. Musik Calung yang dominan pentatonis dan memiliki ritme yang cepat, menyimbolkan energi kerja keras dan optimisme masyarakat Sokaraja.
Kedekatan Sokaraja dengan Purwokerto, yang merupakan pusat pendidikan tinggi (termasuk UNSOED dan berbagai institut lainnya), memberikan dampak positif. Para akademisi dan peneliti sering melakukan studi mendalam mengenai kekayaan dialek Ngapak, kuliner Sokaraja, dan seni tradisional. Kolaborasi ini membantu mengangkat nilai budaya lokal ke tingkat nasional dan internasional, memberikan landasan ilmiah bagi praktik warisan yang selama ini hanya diwariskan secara lisan.
Contohnya, studi mengenai fermentasi singkong untuk Getuk Goreng atau analisis bumbu rempah pada Soto Sokaraja memastikan bahwa produk lokal tidak hanya dikenal karena rasa, tetapi juga karena nilai gizi dan sejarahnya.
Keberhasilan Soto Sokaraja sebagai ikon kuliner adalah kombinasi sempurna dari tekstur dan kontras rasa. Kuah kaldu dasar yang bening dan gurih berfungsi sebagai kanvas, sementara bumbu kacang yang kental menjadi lapisan rasa utama. Perbandingan Soto Sokaraja dengan Soto dari wilayah lain (misalnya Soto Kudus, Soto Lamongan) menunjukkan perbedaan filosofis dalam pengolahan kuah.
Penggunaan tauge pendek dan suwiran ayam kampung (atau irisan babat/daging sapi) memberikan elemen segar dan protein yang seimbang. Setiap sendok Soto Sokaraja adalah representasi dari karakter masyarakatnya: lugas dalam bumbu (tidak terlalu banyak asam atau manis yang dominan) namun kaya dan mengenyangkan.
Industri Getuk Goreng sangat bergantung pada kualitas singkong. Masyarakat Sokaraja memiliki pengetahuan mendalam tentang varietas singkong yang paling cocok untuk diolah menjadi getuk. Umumnya, singkong yang digunakan adalah varietas yang memiliki kadar pati tinggi dan tidak terlalu berserat. Penanganan pascapanen singkong juga sangat diperhatikan, karena singkong yang didiamkan terlalu lama dapat menjadi keras dan sulit dihaluskan.
Proses pemanenan singkong dilakukan secara bertahap sepanjang tahun untuk menjamin pasokan yang stabil. Para produsen besar Getuk Goreng di Sokaraja biasanya bekerja sama erat dengan petani di wilayah Kalibagor, Baturraden, atau daerah lain di pinggiran Banyumas, memastikan kualitas bahan baku tetap premium.
Gula merah yang digunakan bukan gula kelapa biasa. Seringkali, gula yang digunakan adalah gula kelapa dengan kualitas terbaik, yang memiliki aroma sangit (sedikit asap) yang kuat dan warna cokelat gelap alami. Kualitas gula ini sangat menentukan tekstur akhir Getuk Goreng yang harus lentur dan tidak mudah keras setelah didinginkan. Produsen Sokaraja sangat ketat dalam memilih gula merah dari perajin tradisional, mempertahankan keaslian rasa. Ini adalah salah satu rahasia di balik Getuk Goreng yang mampu bertahan lama tanpa bahan pengawet berlebihan.
Tempe Mendoan, meskipun sederhana, memiliki filosofi unik di Banyumas. Kata mendo berarti basah, lembek, atau belum matang sempurna. Ini mencerminkan sikap tidak terburu-buru, tetapi juga kesiapan untuk dinikmati saat itu juga. Berbeda dengan tempe goreng kering (kemripik) yang bertujuan sebagai lauk tahan lama, Mendoan adalah makanan yang harus disantap segera setelah diangkat dari wajan, ketika adonan tepungnya masih lembut dan minyaknya masih panas.
Di Sokaraja, mendoan disajikan dengan sambal kecap yang dicampur irisan cabai rawit hijau dan bawang merah. Rasa gurih adonan yang kaya kencur berpadu dengan pedas dan manisnya sambal menciptakan keseimbangan rasa yang adiktif, menjadi teman sempurna untuk kopi panas saat pagi atau sore hari.
Sebagai kawasan yang sangat strategis, Sokaraja terus berbenah diri untuk menghadapi arus modernisasi. Posisi geografisnya yang berada di jalur utama Trans-Jawa Selatan membuat Sokaraja tidak pernah sepi dari lalu lintas manusia dan barang. Ini menuntut pengembangan infrastruktur yang berkelanjutan.
Meskipun stasiun kereta api di Sokaraja kini hanya melayani kereta lokal, jalur jalan raya yang melintasi Sokaraja (yang menghubungkan Purwokerto dengan Klampok dan Banjarnegara) tetap menjadi urat nadi utama. Peningkatan kualitas jalan dan pembangunan fasilitas rest area yang terintegrasi dengan pusat oleh-oleh (terutama toko Getuk Goreng dan pusat Soto) menjadi prioritas untuk menampung volume kendaraan yang tinggi.
Mengingat Serayu adalah sumber air utama dan estetika alam Sokaraja, program konservasi lingkungan menjadi penting. Upaya pencegahan pencemaran air dan revitalisasi bantaran sungai bertujuan untuk menjaga keseimbangan ekosistem, yang pada gilirannya akan mendukung sektor pertanian dan pariwisata eko-kuliner di Sokaraja.
Masa depan Sokaraja terletak pada penguatan narasi warisan budayanya. Salah satu peluang besar adalah mengembangkan wisata edukasi kuliner. Program ini akan memungkinkan wisatawan tidak hanya mencicipi Soto atau Getuk Goreng, tetapi juga menyaksikan dan berpartisipasi dalam proses pembuatannya secara langsung. Hal ini akan menambah nilai ekonomi pada produk lokal dan memberikan pengalaman mendalam mengenai filosofi di balik makanan Banyumas.
Misalnya, pembuatan demonstrasi pembuatan bumbu kacang tradisional untuk soto, atau workshop mengolah singkong menjadi adonan Getuk Goreng. Pendekatan ini mengubah Sokaraja dari sekadar tempat singgah menjadi destinasi belajar budaya yang aktif.
Keberlanjutan warisan Sokaraja sangat bergantung pada partisipasi generasi muda. Semangat kewirausahaan (entrepreneurship) yang diwariskan oleh para pedagang soto dan getuk terdahulu kini diadaptasi oleh anak muda untuk menciptakan inovasi. Mereka tidak hanya menjual Soto dan Getuk, tetapi juga mengemas cerita dan sejarah di baliknya, menjadikan produk mereka lebih bernilai dan relevan di pasar global.
Contohnya adalah munculnya kafe-kafe modern di Sokaraja yang menyajikan kopi dengan kudapan Mendoan atau Nopia, menggabungkan cita rasa tradisional dengan suasana kontemporer, yang menarik perhatian kaum milenial dari Purwokerto dan sekitarnya.
Sokaraja, dengan segala kompleksitas sejarahnya, kekayaan budayanya, dan keunggulan kulinernya, berdiri tegak sebagai pilar penting di Kabupaten Banyumas. Ia adalah perwujudan nyata dari karakter Ngapak yang lugas dan pekerja keras. Dari irama Calung yang menghentak, keindahan penari Lengger Lanang, hingga aroma gurih sambal kacang Soto yang melegenda, Sokaraja menawarkan sebuah pengalaman Jawa yang otentik, jauh dari kesan keraton yang formal.
Kawasan ini terus bertumbuh, menyeimbangkan antara pelestarian tradisi dan tuntutan modernisasi. Jalanan Sokaraja adalah saksi bisu ribuan perjalanan, baik perjalanan sejarah maupun perjalanan rasa. Siapa pun yang pernah singgah dan mencicipi Getuk Goreng atau Soto Sokaraja akan membawa pulang tidak hanya oleh-oleh, tetapi juga cerita tentang sebuah tempat yang berhasil mengabadikan warisan nenek moyang dalam setiap gigitan dan setiap nada.
Sokaraja akan terus menjadi titik temu, pusat inspirasi, dan rumah bagi mereka yang menghargai kejujuran rasa dan keindahan budaya yang sederhana namun mendalam.
Keberhasilan Sokaraja melampaui batas kecamatan. Ia telah menjadi studi kasus tentang bagaimana sebuah komunitas dapat membangun identitas ekonomi yang kuat berdasarkan makanan lokal yang sederhana. Ketika kita berbicara tentang Getuk Goreng, kita berbicara tentang resiliensi petani singkong. Ketika kita menikmati Soto Sokaraja, kita merayakan kearifan para pedagang jalanan yang mengubah persimpangan jalan menjadi pusat gastronomi yang tak tertandingi. Ini adalah warisan yang patut disyukuri, dijaga, dan terus diceritakan ke seluruh penjuru negeri.
Transformasi wilayah ini dari sebuah desa transit menjadi kawasan industri kecil yang disegani adalah bukti daya juang masyarakat Banyumas. Di tengah gempuran produk-produk global, Sokaraja berhasil mempertahankan dan bahkan meningkatkan popularitas produk-produk lokalnya. Ini menunjukkan kekuatan merek yang dibangun atas dasar keaslian (otentisitas) dan kualitas yang tidak pernah dikompromikan. Nilai-nilai ini—ketekunan, keaslian, dan keterbukaan (sebagaimana tercermin dalam karakter Ngapak)—adalah modal utama Sokaraja untuk menghadapi tantangan abad ini.
Maka, kunjungan ke Sokaraja bukan sekadar perjalanan fisik, melainkan perjalanan nostalgia ke masa lalu yang kental aroma gula merah, ditemani alunan gamelan calung yang riang, sebuah potret kehidupan Jawa Tengah yang penuh pesona dan cita rasa. Sokaraja adalah manifestasi dari semangat Ora Ngapak Ora Kepenak: Tidak Ngapak, Tidak Enak—sebuah ungkapan yang merangkum kebanggaan dan identitas yang tak terpisahkan.