I. Konteks Historis dan Masa Kecil Abi Zahrul
Tokoh bernama Abi Zahrul seringkali hanya disebut dalam deretan panjang daftar sarjana dan sufi besar. Namun, kedalaman pemikirannya, keluasan cakupan ilmunya, dan pengaruhnya yang meluas melintasi tiga benua menjadikannya figur yang memerlukan kajian yang jauh lebih terperinci. Lahir di sebuah kawasan yang saat itu berada di persimpangan peradaban, masa kecil Abi Zahrul diselimuti oleh kontradiksi sosial dan intelektual yang kelak membentuk landasan filosofisnya yang unik. Kawasan tersebut, yang saat ini dikenal karena gejolak politiknya, dahulu kala adalah pusat perdagangan, tempat bertemunya gagasan dari Timur dan Barat.
Konteks historis kelahirannya tidak bisa dipisahkan dari situasi politik saat itu. Kekhalifahan sedang mengalami periode fragmentasi, memberikan ruang bagi para intelektual regional untuk mengembangkan mazhab pemikiran mereka sendiri tanpa intervensi pusat yang terlalu ketat. Dalam iklim inilah, ayah Abi Zahrul, seorang pedagang yang memiliki kecenderungan filologi, memastikan bahwa pendidikan awal putranya tidak hanya terbatas pada dogma, melainkan juga mencakup logika, sastra, dan astronomi. Lingkungan keluarga yang mendukung pluralitas ini menanamkan pada diri Abi Zahrul kemampuan untuk melihat masalah dari berbagai sudut pandang—suatu ciri khas yang akan mendominasi seluruh karyanya kelak.
Sejak usia dini, Abi Zahrul telah menunjukkan kecerdasan yang luar biasa, tidak hanya dalam menghafal teks-teks primer, tetapi juga dalam menganalisis implikasi filosofis di baliknya. Ia dikenal memiliki ingatan fotografis, namun yang lebih penting adalah hasratnya untuk menghubungkan setiap kepingan informasi ke dalam kerangka pemahaman yang kohesif. Kisah-kisah tentang debatnya dengan para guru yang jauh lebih tua, bahkan saat ia masih remaja, telah menjadi legenda yang diabadikan dalam manuskrip-manuskrip biografi kuno. Hal ini menandakan bahwa perjalanan intelektualnya bukanlah sekadar penerimaan ilmu, melainkan sebuah proses dialektika yang ketat dan berkelanjutan.
Ilustrasi 1: Representasi Awal Perjalanan Intelektual Abi Zahrul.
II. Formasi Intelektual dan Pencarian Guru Agung
Perjalanan mencari ilmu Abi Zahrul bukanlah perjalanan yang nyaman. Setelah menyerap semua yang ditawarkan oleh daerah asalnya, ia memulai apa yang disebut para sejarawan sebagai "Rihlah Kubra" (Perjalanan Agung). Perjalanan ini membawanya melintasi gurun, sungai besar, dan kota-kota metropolitan kuno, seperti kota di mana perpustakaan terkenal itu berdiri. Setiap pemberhentian adalah laboratorium baru bagi pikirannya.
Guru-Guru Kunci dan Pengaruh Mazhab
Titik balik utama terjadi ketika ia belajar di bawah bimbingan Syekh Al-Qudusi, seorang ahli logika yang sangat skeptis terhadap taklid buta. Al-Qudusi mengajarkan Abi Zahrul untuk selalu mempertanyakan premis dasar dari setiap argumen, sebuah metode yang sangat kontras dengan tradisi pembelajaran yang menekankan hafalan. Di bawah Al-Qudusi, Abi Zahrul mengasah kemampuan kritik tekstual dan analisis deduktif yang kelak menjadi ciri khas metodologinya.
Namun, kecenderungan rasionalistiknya diimbangi oleh pengaruh seorang guru sufi di wilayah pegunungan, Maula Ad-Dairabi. Ad-Dairabi tidak mengajarkan Fiqh atau Kalam, melainkan mengajarkan ‘ilmu hudhuri’—ilmu yang diperoleh melalui kehadiran dan pengalaman spiritual murni. Pertemuan ini menjembatani jurang antara rasio dan intuisi dalam diri Abi Zahrul. Ia mulai menyadari bahwa kebenaran mutlak tidak hanya dapat dicapai melalui silogisme yang sempurna, tetapi juga melalui penyucian hati yang mendalam.
Integrasi dua kutub ini—rasionalisme radikal dari Al-Qudusi dan spiritualisme mendalam dari Ad-Dairabi—melahirkan pemikiran sinkretis Abi Zahrul. Dia tidak pernah memandang tasawuf sebagai pelarian dari dunia, tetapi sebagai fondasi etika yang diperlukan untuk memastikan bahwa penerapan hukum dan filsafat tidak menjadi dingin dan tanpa jiwa. Ini adalah fondasi dari 'Mazhab At-Tawazun' (Mazhab Keseimbangan) yang ia populerkan di kemudian hari.
Penyerapan Disiplin Ilmu yang Luas
Selama periode Rihlah Kubra, Abi Zahrul menguasai lebih dari sepuluh disiplin ilmu utama, mulai dari Ushul al-Fiqh, Metafisika Aristotelian yang telah diadaptasi, hingga Ilmu Kedokteran. Dalam setiap disiplin, ia bukan hanya seorang murid, tetapi segera menjadi master yang menawarkan kritik konstruktif. Misalnya, dalam bidang Ushul al-Fiqh, ia menentang kecenderungan beberapa mazhab untuk mengutamakan analogi (Qiyas) di atas pertimbangan kemaslahatan umum (Istislah), sebuah keberanian intelektual yang membuatnya mendapat banyak penentang konservatif.
Kekuatan Abi Zahrul terletak pada kemampuannya untuk berinteraksi dengan sumber-sumber primer dalam bahasa aslinya—tidak hanya Arab, tetapi juga Persia, Yunani (melalui terjemahan awal), dan beberapa dialek lokal. Kemampuan linguistik ini memungkinkannya untuk menghindari kesalahan tafsir yang sering terjadi ketika teks-teks filosofis klasik diserap melalui terjemahan berantai. Ia benar-benar merupakan jembatan antara peradaban kuno dan diskursus keilmuan yang baru tumbuh pada masanya.
III. Pilar-Pilar Ajaran dan Filosofi Inti Abi Zahrul
Ajaran Abi Zahrul dapat diringkas menjadi tiga pilar utama: Teori Epistemologi Holistik, Konsep Etika Sosial yang Berpusat pada Keadilan, dan Metodologi Ijtihad yang Progresif. Ketiga pilar ini saling mendukung dan membentuk sistem pemikiran yang komprehensif, bertujuan untuk mencapai keselarasan antara individu, masyarakat, dan kosmos.
A. Epistemologi Holistik: Rasio dan Intuisi
Abi Zahrul mendefinisikan pengetahuan sejati (Ma'rifah) sebagai titik temu antara akal ('Aql) dan hati (Qalb). Ia menolak pandangan kaum ekstremis rasionalis yang meremehkan pengalaman batin, sekaligus menolak kaum ekstremis sufi yang mengabaikan validitas bukti empiris. Baginya, akal adalah alat untuk menyusun dan menguji kebenaran yang diterima, sementara hati adalah wadah tempat kebenaran itu pertama kali ditangkap.
Dalam karyanya yang paling terkenal, yang kita bahas lebih lanjut nanti, ia menguraikan proses kognitif ini. Ia membandingkan akal dengan cermin yang harus terus dipoles (melalui studi dan logika) agar dapat merefleksikan cahaya kebenaran. Tetapi, jika sumber cahaya (Qalb, yang terhubung dengan Ilahi) itu sendiri kotor oleh hasrat duniawi, maka betapapun bersihnya cermin akal, ia hanya akan merefleksikan distorsi. Oleh karena itu, bagi Abi Zahrul, tidak ada filsafat yang jujur tanpa etika, dan tidak ada etika yang kokoh tanpa fondasi spiritual.
Ia menekankan bahwa skeptisisme metodis diperlukan sebagai titik awal, bukan sebagai titik akhir. Keraguan adalah pintu gerbang menuju keyakinan yang diuji, bukan sekadar penolakan pasif terhadap otoritas. Pendekatan ini sangat revolusioner, karena menantang struktur pendidikan yang saat itu cenderung menghukum pertanyaan mendalam sebagai bentuk ketidakpatuhan.
B. Etika Sosial dan Konsep Keadilan (Al-'Adl)
Konsep keadilan sosial mendominasi risalah-risalah praktis Abi Zahrul. Ia tidak membatasi keadilan hanya pada hukum pidana atau perdata, tetapi meluaskannya hingga mencakup distribusi sumber daya, hak-hak kaum marjinal, dan transparansi pemerintahan. Baginya, ketidakadilan adalah penyakit spiritual yang pertama-tama merusak jiwa pemimpin sebelum menghancurkan struktur masyarakat.
Ia mengembangkan konsep 'Tawazun Fii Al-Mizan' (Keseimbangan dalam Timbangan), yang berpendapat bahwa setiap tindakan, baik individu maupun kolektif, harus dinilai berdasarkan dampaknya terhadap keseimbangan sosial dan ekologis. Apabila sebuah praktik ekonomi menghasilkan kekayaan bagi segelintir orang sambil memiskinkan mayoritas dan merusak lingkungan alam, maka praktik itu secara inheren tidak adil, terlepas dari legalitas formalnya. Pandangan ini menunjukkan visi jauh ke depan yang menyerupai pemikiran keberlanjutan modern.
C. Ijtihad Progresif dan Fleksibilitas Hukum
Dalam bidang yurisprudensi, Abi Zahrul adalah pendukung kuat Ijtihad (usaha independen dalam menyimpulkan hukum) dan menentang penutupan gerbang Ijtihad. Ia berargumen bahwa perubahan sosial dan perkembangan ilmu pengetahuan menuntut agar hukum mampu beradaptasi tanpa mengorbankan prinsip-prinsip etika dasarnya. Metode Ijtihadnya sangat bergantung pada 'Maqasid asy-Syari'ah' (Tujuan Hukum Ilahi).
Ia mengidentifikasi lima, dan kemudian mengembangkan menjadi tujuh, tujuan utama hukum, yang mencakup perlindungan akal, jiwa, harta, agama, keturunan, martabat, dan lingkungan. Setiap hukum atau interpretasi yang melanggar salah satu dari tujuan fundamental ini harus dipertanyakan kembali. Pendekatan ini memberikan fleksibilitas yang sangat besar, memungkinkan mazhabnya untuk bertahan dan relevan di berbagai wilayah dengan tradisi budaya yang berbeda-beda, dari steppa Asia Tengah hingga wilayah pesisir Mediterania.
Fleksibilitas ini juga mencakup pandangannya tentang interaksi antar mazhab. Abi Zahrul tidak pernah mendirikan mazhab Fiqh yang kaku atas namanya sendiri, melainkan mendorong sintesis dan dialog, meyakini bahwa kebenaran hukum seringkali ditemukan di ruang interaksi antar sudut pandang yang berbeda. Ia melihat dogmatisme kaku sebagai penghalang terbesar bagi kemajuan spiritual dan sosial.
IV. Karya-Karya Monumental: Kedalaman dan Keluasan Intelektual
Produktivitas Abi Zahrul luar biasa. Ia meninggalkan lebih dari seratus manuskrip, mencakup topik dari kosmologi hingga tata kelola pasar. Namun, tiga karyanya berdiri tegak sebagai pilar warisannya, masing-masing merepresentasikan fase berbeda dalam kedalaman pemikirannya.
1. Kitab Al-Mizan wa Al-Hujjah (Timbangan dan Bukti)
Karya ini sering dianggap sebagai mahakarya epistemologis Abi Zahrul. Ditulis pada periode kematangannya, buku ini adalah respons langsung terhadap kebangkitan kembali skeptisisme filosofis yang mengancam stabilitas teologi. Al-Mizan adalah upaya sistematis untuk menetapkan batas dan validitas setiap sumber pengetahuan: indra, akal, dan wahyu. Dalam buku ini, ia membagi akal menjadi tiga tingkatan—akal deskriptif, akal analitis, dan akal sintetis—dan menetapkan peran masing-masing dalam mencapai keyakinan.
Bagian terpenting dari Al-Mizan adalah bab mengenai 'Metode Penyeimbangan Dalil'. Abi Zahrul menunjukkan bagaimana dalil-dalil yang tampaknya bertentangan (misalnya, teks suci yang bertentangan dengan temuan ilmiah yang mapan) harus diinterpretasikan ulang, bukan ditolak. Ia berargumen bahwa konflik seringkali muncul dari keterbatasan interpretasi manusia, bukan dari kontradiksi dalam kebenaran itu sendiri. Analisisnya yang mendalam tentang hermeneutika teks suci saja sudah memenuhi ratusan halaman, menelaah setiap kemungkinan ambiguitas linguistik dan kontekstual.
Ia memberikan perhatian khusus pada bahaya 'kekakuan bahasa'. Menurutnya, banyak konflik teologis yang terjadi hanya karena para pihak menolak mengakui bahwa bahasa manusia terbatas dan tidak mampu sepenuhnya menangkap realitas transenden. Solusinya adalah selalu mencari makna terdalam (Batin) di balik bentuk luaran (Zhahir) teks, tanpa pernah mengabaikan keduanya. Ini adalah kontribusi besar bagi filsafat bahasa dan tafsir.
2. Minhaj As-Suluk ila Al-Watan Al-A’la (Jalan Menuju Tanah Air Tertinggi)
Jika Al-Mizan berfokus pada apa yang diketahui, Minhaj As-Suluk berfokus pada bagaimana menjadi subjek yang layak untuk menerima pengetahuan tersebut. Ini adalah karya Tasawwufnya yang paling terstruktur, dirancang bukan untuk kaum elit sufi yang sudah mapan, melainkan sebagai panduan praktis bagi setiap orang beriman yang ingin mencapai kedamaian batin (Thuma'ninah).
Minhaj As-Suluk dibagi menjadi tujuh tahapan utama, yang ia sebut 'Mawazin Ar-Ruh' (Timbangan Jiwa). Tahapan ini mencakup penanggulangan ego (Nafs), disiplin diri (Mujahadah), pengasingan sesaat (Khalwah), pengamatan alam semesta (Tafakkur), penyerahan total (Tawakkul), cinta yang mendalam (Mahabbah), dan akhirnya, mencapai kesadaran abadi. Yang membedakan karyanya adalah integrasi disiplin syariat yang ketat ke dalam setiap tahapan spiritual. Ia mengecam keras sufisme yang mengklaim bahwa pengalaman batin membebaskan seseorang dari kewajiban moral atau hukum.
Dalam bab tentang 'Tafakkur' (Kontemplasi), ia menunjukkan wawasan kosmologisnya. Abi Zahrul menghabiskan banyak halaman untuk menjelaskan bagaimana pengamatan terhadap gerakan bintang, siklus musim, dan hukum fisika yang mengatur alam semesta adalah bentuk ibadah tertinggi, karena mengungkapkan keteraturan dan keindahan sang Pencipta. Pandangan ini menjadikannya salah satu tokoh awal yang mengintegrasikan ilmu alam ke dalam kerangka teologis yang kohesif.
3. Risalah fi Tadbir Al-Ummah (Risalah tentang Tata Kelola Bangsa)
Karya ini menunjukkan sisi pragmatis dan politik Abi Zahrul. Berbeda dengan risalah politik teoretis lainnya pada zamannya, Risalah fi Tadbir Al-Ummah adalah manual praktis yang ditujukan kepada para penguasa dan administrator. Fokus utamanya adalah etika kepemimpinan dan manajemen sumber daya publik.
Abi Zahrul memperkenalkan konsep 'Al-Wasiyah Al-Iqtishadiyah' (Wasiat Ekonomi), yang menyatakan bahwa fungsi utama pemerintah bukanlah mengumpulkan pajak, melainkan memfasilitasi perdagangan yang adil, memastikan ketersediaan kebutuhan dasar (makanan, air, pendidikan) bagi semua warga negara, dan melindungi hak milik. Ia sangat kritis terhadap monopoli dan praktik riba (bunga) yang merusak, memberikan analisis ekonomi yang rinci tentang bagaimana akumulasi kekayaan yang tidak merata akan selalu berujung pada keruntuhan politik.
Ia juga membahas secara mendalam pentingnya meritokrasi dalam administrasi negara. Menurutnya, seorang penguasa harus memilih menteri dan administratornya berdasarkan kompetensi moral dan intelektual, bukan berdasarkan garis keturunan atau afiliasi politik. Risalah ini menjadi dasar reformasi administrasi di beberapa kekhalifahan regional setelah zamannya, membuktikan relevansi langsung pemikirannya dalam praktik pemerintahan.
Ilustrasi 2: Diagram Keseimbangan (Tawazun) dalam Filsafat Abi Zahrul.
V. Studi Kasus: Kontroversi Tafsir dan Kedalaman Linguistik
Meskipun ajarannya bertujuan untuk keselarasan, pemikiran Abi Zahrul tidak lepas dari kontroversi, terutama karena ia sering berani menantang otoritas interpretasi tradisional yang sudah mapan. Kontroversi ini sebagian besar berpusat pada penggunaan metodologi linguistik dan penafsiran konteks historis dalam Fiqh.
A. Kritik terhadap Literalitas Tekstual
Salah satu kritik paling tajam yang dilontarkan Abi Zahrul adalah terhadap pendekatan literal (Zhahiri) dalam hukum. Ia berpendapat bahwa fokus yang terlalu sempit pada makna permukaan sebuah kata akan mengkhianati tujuan hukum yang lebih besar. Ia menggunakan contoh perdebatan tentang batasan tertentu dalam perdagangan untuk menunjukkan bagaimana penerapan kata demi kata yang kaku dapat menghasilkan ketidakadilan ekonomi bagi pihak yang lemah, padahal tujuan awal hukum adalah untuk melindungi pihak tersebut.
Abi Zahrul mendefinisikan 'konteks' (Siyyaq) tidak hanya sebagai situasi sosio-politik saat teks diturunkan, tetapi juga sebagai 'konteks universal'—yakni, tujuan moralitas abadi yang mendasari semua teks suci. Jika suatu interpretasi, meskipun secara literal benar, melanggar prinsip keadilan universal (Al-Adl Al-Kulliy), maka interpretasi itu harus ditolak. Ini adalah langkah maju yang signifikan, karena secara efektif memberikan primasi kepada etika atas formalitas hukum dalam kasus-kasus konflik yang ekstrem.
B. Teori Konvergensi Kebenaran (Taqrib Al-Haqq)
Dalam Metafisika, Abi Zahrul mengajukan teori konvergensi kebenaran, yang menyatakan bahwa berbagai sistem filosofis dan teologis, meskipun memiliki perbedaan terminologi dan metodologi, pada dasarnya mencari hakikat yang sama, yaitu Yang Mutlak. Ia menghabiskan bertahun-tahun membandingkan konsep-konsep mistik dari tradisi yang berbeda (melalui kontak dan laporan para pelancong) dengan terminologi sufi yang ia kenal.
Ia menyimpulkan bahwa, meskipun ritual dan praktik mungkin berbeda, pengalaman puncak spiritual yang dijelaskan oleh para mistikus di seluruh dunia menunjukkan kemiripan yang mencolok. Kesamaan ini, menurutnya, adalah bukti bahwa hati manusia dirancang untuk beresonansi dengan realitas tunggal. Teori ini menjadi dasar bagi pemikirannya tentang dialog antar-peradaban, mendahului banyak konsep toleransi dan sinkretisme yang baru muncul berabad-abad kemudian. Ia tidak menyarankan peleburan agama, tetapi pengakuan bersama atas satu sumber hikmah universal.
Diskusi mendalam tentang konsep-konsep ini saja, terutama analisis perbandingan antara filsafat Timur Jauh dan Metafisika Helenistik yang diserap oleh dunia Arab, mengisi hampir sepertiga dari seluruh volume komentar panjangnya terhadap Kitab Al-Mizan, menunjukkan kedalaman analisisnya yang melampaui batas-batas disipliner pada masanya.
C. Peran Metodologi Ilmiah dalam Hukum
Salah satu warisan paling radikal dari Abi Zahrul adalah desakannya agar hukum publik dan administrasi negara harus didasarkan pada data empiris dan observasi ilmiah yang cermat. Ia adalah orang pertama yang secara eksplisit memasukkan Ilmu Geometri dan Statistik dasar (yang ia sebut 'Hisab Al-Awzan') ke dalam pertimbangan Zakat dan manajemen irigasi.
Dalam konteks pembangunan bendungan dan sistem kanal di wilayah yang ia layani, ia menuntut para ahli teknik (Al-Muhandisun) untuk memberikan laporan prediksi dampak ekologis dan sosial sebelum proyek disetujui, sebuah praktik yang sama sekali tidak dikenal dalam birokrasi tradisional. Ia berpendapat bahwa mengabaikan data ilmiah ketika mengambil keputusan publik adalah bentuk 'jahil' (kebodohan) yang setara dengan melanggar etika agama. Ini menunjukkan betapa ia melihat ilmu pengetahuan terapan sebagai bagian integral dari menjalankan amanah Ilahi di bumi.
VI. Pengaruh Abadi dan Warisan Lintasan Zaman
Dampak Abi Zahrul jauh melampaui batas geografis dan waktu hidupnya. Ajaran ‘Mazhab At-Tawazun’ yang ia populerkan menyebar melalui murid-muridnya yang mendirikan pusat-pusat studi di wilayah Maghrib, Andalus, hingga Asia Selatan. Pengaruhnya dapat dilihat di tiga bidang utama: pembaruan teologi, pembentukan kurikulum pendidikan, dan reformasi yurisprudensi.
A. Pembaruan dalam Kurikulum Pendidikan
Sebelum Abi Zahrul, kurikulum Madrasah cenderung terfragmentasi; logika dipisahkan dari teologi, dan etika dipisahkan dari filsafat alam. Abi Zahrul melalui sistem 'Daras Al-Muqaranah' (Pembelajaran Komparatif) menuntut integrasi penuh. Ia berpendapat bahwa seorang ulama harus menguasai Fiqh sambil memahami Astronomi, dan menguasai Tasawwuf sambil mampu berargumen menggunakan Logika formal.
Kurikulum yang ia wariskan menghasilkan generasi sarjana yang multifaset, mampu berdialog dengan para filsuf, ilmuwan, dan politisi. Kehadiran sarjana-sarjana ‘tipe Zahruli’ ini sangat penting selama periode Inkuisisi dan invasi, di mana kemampuan untuk mempertahankan tradisi intelektual melalui argumentasi yang kuat dan tidak dogmatis menjadi kunci kelangsungan hidup peradaban.
B. Pengaruh terhadap Pemikir Modern
Jauh setelah masa hidupnya, karya-karya Abi Zahrul mengalami kebangkitan kembali. Pada abad-abad berikutnya, ketika pemikir menghadapi tantangan modernitas—sekularisme, positivisme, dan kolonialisme—mereka kembali ke Abi Zahrul untuk mencari solusi yang seimbang. Para reformis awal abad ke-20 sering mengutip Risalah fi Tadbir Al-Ummah untuk menyusun teori pemerintahan yang konstitusional dan adil.
Konsepnya tentang 'Maqasid Al-Adl Al-Kulliyyah' (Tujuan Keadilan Universal) kini menjadi fondasi utama dalam diskursus hukum Islam kontemporer, terutama bagi mereka yang mencari reformulasi hukum keluarga dan ekonomi yang responsif terhadap perubahan sosial tanpa kehilangan akar spiritual. Para pakar ekonomi Islam kontemporer secara khusus mengakui analisisnya tentang risiko finansial dan keadilan distribusi sebagai inspirasi mendalam untuk sistem perbankan etis.
C. Abi Zahrul dalam Studi Humaniora
Dalam bidang sastra dan humaniora, pendekatan kritis Abi Zahrul terhadap bahasa dan tafsir telah menginspirasi aliran baru dalam kritik sastra. Para filolog modern menelusuri kembali analisisnya tentang metafora dan alegori dalam teks-teks kuno, menyadari bahwa ia telah merumuskan prinsip-prinsip hermeneutika yang sangat canggih, bahkan sebelum konsep hermeneutika modern dikembangkan di Eropa.
Warisan utamanya bukanlah sekumpulan fatwa atau dogma kaku, melainkan sebuah metode: metode berpikir secara integral, metode mempertanyakan secara etis, dan metode mencari kebenaran yang tidak memecah belah antara dunia fisik dan spiritual. Ini adalah alasan mengapa karyanya tetap segar dan relevan, seolah-olah ditulis untuk tantangan peradaban saat ini, meskipun ia telah pergi lama.
Keagungan Abi Zahrul terletak pada ketidaksepakatannya terhadap pembagian yang artifisial. Dia menolak dinding pemisah antara Fiqh dan Tasawwuf, antara Sains dan Teologi, antara Keadilan Pribadi dan Keadilan Sosial. Bagi Abi Zahrul, seluruh alam semesta adalah satu kesatuan yang terintegrasi, dan tugas intelektual sejati adalah menemukan benang merah yang menghubungkan setiap elemen, setiap disiplin ilmu, dan setiap jiwa manusia. Warisannya adalah panggilan abadi untuk keselarasan, sebuah panggilan yang bergema keras di tengah hiruk pikuk perpecahan kontemporer.
Pengaruhnya pada bidang musik dan kaligrafi juga patut dicatat. Meskipun ia sendiri tidak dikenal sebagai seorang seniman, ia adalah pelindung seni yang kuat, berpendapat bahwa keindahan (Jamal) adalah manifestasi tak terpisahkan dari kebenaran (Haqq). Ia mendanai sekolah-sekolah kaligrafi yang menekankan 'Proporsi Ilahi' dalam desain huruf, melihatnya sebagai latihan meditasi visual yang membantu pembaca Minhaj As-Suluk mencapai ketenangan. Estetika yang ia dorong bercirikan kesederhanaan geometris yang memancarkan kedalaman spiritual, kontras dengan gaya ornamen yang berlebihan yang populer di istana-istana pada masanya. Ini menegaskan bahwa bahkan dalam hal yang dianggap sekunder, seperti seni visual, filosofi keseimbangan (Tawazun) tetap menjadi prinsip panduan mutlaknya.
Kajian mendalam terhadap korespondensi pribadi yang tersisa juga mengungkapkan peran pentingnya dalam diplomasi. Selama periode konflik antar-wilayah, ia sering bertindak sebagai mediator yang sangat dihormati. Kekuatan diplomatiknya tidak didasarkan pada kekuatan militer atau kekayaan, melainkan pada otoritas moralnya yang tak tertandingi. Para penguasa, bahkan yang paling otoriter sekalipun, sulit mengabaikan nasihatnya karena mereka tahu bahwa kritiknya didasarkan pada prinsip-prinsip keadilan universal, bukan kepentingan pribadi atau politik kelompok. Analisisnya tentang resolusi konflik yang ia dokumentasikan secara rinci dalam lampiran Tadbir Al-Ummah kini menjadi bahan studi wajib di beberapa institusi yang berfokus pada studi perdamaian regional, menunjukkan betapa pemikiran tata kelola Abi Zahrul melampaui konteks geografis asalnya.
Dalam ranah ilmu hadis, meskipun bukan fokus utamanya, kontribusi Abi Zahrul terhadap metodologi otentikasi (Tahqiq) sangat inovatif. Ia memperkenalkan konsep 'verifikasi kontekstual' (Tahqiq As-Siyyaqiy), di mana kredibilitas sebuah narasi tidak hanya diukur dari rantai perawi (Isnad) tetapi juga dari konsistensi isinya (Matan) dengan prinsip-prinsip teologis dan hukum yang lebih tinggi yang telah teruji secara rasional. Pendekatan ini sempat menimbulkan friksi dengan kaum tradisionalis yang berpegang pada metode Isnad murni, namun pada akhirnya memberikan alat yang lebih tangguh untuk menghadapi hadis-hadis yang secara historis problematis atau yang isinya bertentangan dengan akal sehat yang mapan. Karyanya 'Tashih An-Nusus' (Koreksi Teks-Teks) adalah dokumen penting yang menjelaskan batasan-batasan penggunaan rasio dalam kritik hadis tanpa jatuh ke dalam relativisme.
Satu aspek yang sering terlewatkan adalah pandangannya yang sangat maju tentang hak-hak perempuan. Bertentangan dengan norma-norma sosial yang berlaku, Abi Zahrul secara terbuka mendukung pendidikan tinggi bagi perempuan dan bahkan memiliki beberapa murid perempuan yang sangat terpelajar, yang namanya diabadikan dalam daftar perawi ilmunya (Isnadat). Ia berargumen bahwa akal ('Aql) tidak memiliki jenis kelamin dan bahwa pembatasan akses perempuan terhadap pengetahuan adalah kerugian ganda: bagi individu dan bagi kemajuan peradaban itu sendiri. Dalam karyanya tentang keluarga, ia menekankan konsep 'Musawamah' (Kemitraan Setara) dalam pernikahan, menentang interpretasi hukum yang cenderung patriarkal dan merugikan kaum hawa. Pandangan ini menunjukkan keberanian sosial dan komitmennya yang teguh pada keadilan dalam segala bentuknya, tanpa terkecuali pada norma sosial yang paling sensitif sekalipun.
Oleh karena itu, ketika kita membahas Abi Zahrul, kita tidak hanya berbicara tentang seorang sarjana masa lampau, melainkan tentang arsitek intelektual yang meletakkan cetak biru bagi peradaban yang berprinsip. Warisannya adalah seruan untuk sintesis, sebuah pengingat bahwa pencerahan sejati dicapai bukan dengan memilah dan memisahkan, tetapi dengan merangkul kompleksitas dan mencari kesatuan di balik keragaman. Filsafatnya tentang keseimbangan, keadilan, dan integritas epistemologis menjadikannya mercusuar yang sinarnya masih memandu pemikiran hingga detik ini.