Abu Bakar Abdullah bin Muhammad bin Abi Syaibah Al-Absi Al-Kufi, yang lebih dikenal sebagai Abi Syaibah, adalah salah satu pilar utama dalam sejarah kodifikasi dan transmisi ilmu Hadis di abad ketiga Hijriah. Kehadirannya mewakili puncak keilmuan Kufah setelah masa Tabi'in, menjembatani generasi awal periwayat dengan para Imam penyusun kitab Shahih. Warisan terbesarnya, Kitab Al-Mushannaf, tetap menjadi rujukan tak ternilai hingga kini, menawarkan pandangan komprehensif mengenai Fiqh dan Atsar (tradisi) generasi salaf sebelum masa pembakuan mazhab.
Abi Syaibah dilahirkan dan dibesarkan di Kufah, sebuah kota yang pada masa itu merupakan pusat intelektual Islam yang sangat dinamis, seringkali dianggap sebagai ibu kota keilmuan yang bersaing ketat dengan Madinah dan Baghdad. Kufah adalah benteng Mazhab Hanafi dan Mazhab Ahli Ra’yi (rasio), tetapi pada saat yang sama, ia kaya akan para penghafal Hadis dan tradisi dari generasi sahabat seperti Abdullah bin Mas’ud dan Ali bin Abi Thalib.
Nama lengkap beliau adalah Abdullah bin Muhammad bin Abi Syaibah Ibrahim bin Utsman. Keluarganya terkemuka dalam lingkungan periwayatan Hadis. Ayahnya, Muhammad bin Abi Syaibah, adalah seorang muhaddits (periwayat hadis), dan dua saudara laki-lakinya, Utsman bin Abi Syaibah dan Qasim bin Abi Syaibah, juga merupakan ulama Hadis terpandang. Lingkungan yang sarat dengan ilmu ini memungkinkan Abi Syaibah menyerap ilmu sejak usia yang sangat muda, memberinya akses langsung kepada sanad-sanad Kufah yang tinggi (dekat dengan sumber).
Kecenderungan Abi Syaibah terhadap Hadis sangat kuat. Di Kufah, ia tidak hanya belajar dari ulama lokal, tetapi juga aktif melakukan rihlah (perjalanan ilmiah) ke pusat-pusat ilmu lainnya, meskipun sebagian besar periwayatannya berpusat pada warisan Kufah, Wasith, dan Baghdad. Keberaniannya dalam mencari Hadis dan menghafalnya menjadikannya salah satu ulama dengan guru terbanyak pada masanya, yang memungkinkannya mengumpulkan data hadis dalam jumlah yang sangat masif, menjadi dasar bagi karya-karyanya yang fenomenal.
Untuk memahami kedalaman keilmuan Abi Syaibah, penting untuk menelusuri guru-gurunya. Ia memiliki lebih dari seribu guru, sebuah angka yang menunjukkan dedikasi luar biasa dalam pengumpulan Hadis. Guru-guru ini mewakili berbagai mazhab dan daerah, memberikan kekayaan perspektif yang tercermin dalam Al-Mushannaf.
Salah satu syekh terbesar dari Mekkah. Pertemuan Abi Syaibah dengan Sufyan bin Uyainah memberikan akses kepada sanad Hijazi (Madinah dan Mekkah), yang sangat penting untuk menyeimbangkan riwayat Kufah. Sufyan bin Uyainah dikenal karena ketelitiannya dalam riwayat dan pemahamannya terhadap Fiqh.
Ulama Hadis terkemuka di Kufah, yang mewakili tradisi lokal. Waki' dikenal karena kekuatan hafalannya dan merupakan salah satu sumber utama Abi Syaibah untuk Hadis-Hadis Kufah, termasuk riwayat-riwayat dari Mansur bin Al-Mu'tamir dan Al-A'mash.
Imam Hadis dari Basrah, dikenal sebagai pakar kritik Hadis (Naqd). Belajar darinya sangat mempengaruhi metodologi Abi Syaibah dalam menyeleksi dan menilai Hadis, menjadikannya bukan hanya pengumpul tetapi juga kritikus yang handal.
Meskipun mungkin tidak lama, riwayat dari tokoh seperti Ibn Al-Mubarak, yang merupakan sosok ulama multi-disiplin, menunjukkan luasnya jaringan sanad yang dimiliki Abi Syaibah.
Para ulama sepakat bahwa Abi Syaibah mencapai derajat Hafizh (penghafal ribuan Hadis) dan Mujtahid (orang yang mampu berijtihad dalam Fiqh). Ia tidak hanya meriwayatkan tetapi juga memiliki kemampuan untuk membandingkan (muwazanah) dan mengkritik (naqd) matan dan sanad. Yahya bin Ma'in, pakar Hadis yang terkenal keras dalam kritik, memuji Abi Syaibah, menunjukkan kredibilitasnya yang tinggi.
Al-Mushannaf fi al-Ahadits wa al-Atsar adalah karya Abi Syaibah yang paling penting dan salah satu kitab Hadis tertua yang masih eksis secara utuh. Kitab ini tidak hanya mengumpulkan Hadis Nabi (Marfu'), tetapi juga secara ekstensif mencantumkan ucapan dan fatwa Sahabat (Mauquf) serta Tabi'in (Maqthu'), yang dikenal secara kolektif sebagai Atsar.
Istilah "Mushannaf" berarti kitab yang disusun berdasarkan bab-bab Fiqh (topik tematik), berbeda dari "Musnad" yang disusun berdasarkan nama sahabat yang meriwayatkan. Al-Mushannaf Abi Syaibah disusun berdasarkan tema-tema ibadah, muamalat, hingga adab dan tafsir, menjadikannya ensiklopedia praktik keagamaan awal Islam.
Tujuan utama kitab ini adalah menyajikan variasi pendapat hukum (ikhtilaf) yang ada di kalangan ulama salaf. Dalam satu bab, Abi Syaibah sering mencantumkan Hadis Nabi, diikuti oleh beberapa Atsar Sahabat yang mungkin memiliki interpretasi atau praktik yang sedikit berbeda. Ini menunjukkan betapa awal perkembangan Fiqh masih sangat fleksibel dan berbasis pada tradisi lokal.
Contohnya, dalam bab tentang wudu, ia tidak hanya mencantumkan Hadis yang paling terkenal, tetapi juga riwayat-riwayat dari Ibnu Mas’ud, Umar, atau Ali yang mungkin menjelaskan detail pelaksanaan yang berbeda, memberikan wawasan yang sangat kaya tentang praktik di Kufah dan Hijaz.
Volume Hadis yang dinilai Mauquf (perkataan Sahabat) dan Maqthu' (perkataan Tabi'in) dalam Al-Mushannaf jauh lebih banyak dibandingkan kitab-kitab Shahih yang datang kemudian. Bagi sejarawan Fiqh, ini adalah tambang emas karena menunjukkan bagaimana generasi pertama memahami dan menerapkan Hadis Nabi, mengisi kesenjangan antara teks wahyu dan praktik sehari-hari.
Karena Abi Syaibah belajar dari guru-guru Kufah (pendukung Ahli Ra’yi) dan guru-guru Hijaz (pendukung Ahli Hadis), kitabnya menjadi arena perbandingan. Meskipun ia sendiri cenderung mendukung Ahli Hadis, penyajian riwayat yang beragam ini memungkinkan pembaca melihat basis dalil dari kedua belah pihak, suatu hal yang fundamental bagi studi Fiqh Muqaran (perbandingan mazhab).
Penting untuk dicatat bahwa Al-Mushannaf tidak dimaksudkan sebagai kitab yang hanya berisi Hadis sahih murni (seperti yang dilakukan Al-Bukhari dan Muslim). Abi Syaibah memasukkan Hadis dan Atsar dengan berbagai tingkatan sanad, termasuk yang Hasan, Dha'if (lemah), dan bahkan Mursal, selama riwayat tersebut digunakan sebagai dasar Fiqh atau tradisi di masanya. Kitab-kitab Shahih hanya muncul setelah Abi Syaibah berhasil mengumpulkan dan mengkategorikan Hadis secara masif, membuka jalan bagi proses seleksi dan penyaringan yang lebih ketat.
Selain Al-Mushannaf, Abi Syaibah juga menyusun Kitab Al-Musnad. Sementara Mushannaf disusun secara tematik (Fiqhi), Musnad disusun berdasarkan nama Sahabat yang menjadi perawi pertama (rawi awal), suatu metode yang populer sebelum era Shahih.
Dalam Al-Musnad, Hadis-Hadis yang diriwayatkan oleh Sahabat tertentu dikumpulkan di bawah nama Sahabat tersebut, tanpa memperhatikan tema Fiqh. Meskipun Al-Musnad Abi Syaibah kurang terkenal dibandingkan Al-Mushannaf dan mungkin tidak sekomprehensif Musnad Imam Ahmad bin Hanbal, keberadaannya membuktikan keahlian Abi Syaibah dalam dua jenis klasifikasi utama dalam ilmu Hadis pada masa itu. Ia mampu beralih antara fokus Fiqh dan fokus Sanad dengan kemahiran yang sama.
Abi Syaibah juga menyusun risalah-risalah yang lebih spesifik, seperti Kitab Al-Iman, yang seringkali menjadi bagian dari Al-Mushannaf, tetapi juga beredar sebagai risalah independen. Risalah ini membahas definisi iman dan batasan-batasannya, topik yang sangat relevan dalam perdebatan teologis di Kufah pada saat itu, khususnya terkait pandangan Murji'ah.
Karya lainnya, Kitab Al-Adab (Kitab Etika), menunjukkan bahwa pengumpulan Hadis beliau tidak terbatas pada hukum (ahkam) tetapi mencakup seluruh aspek kehidupan, menegaskan bahwa Hadis adalah panduan totalitas bagi seorang Muslim.
Sebagai seorang ulama yang hidup di masa transisi, Abi Syaibah memainkan peran penting dalam mematangkan metodologi kritik Hadis. Ia bukanlah sekadar penerima riwayat, melainkan penyaring yang memahami perbedaan kualitas sanad.
Abi Syaibah dikenal sangat memperhatikan sama' (mendengar langsung) dari gurunya. Ia juga mempraktikkan 'ardh (membacakan riwayat kepada guru untuk dikoreksi) dan memastikan bahwa ia hanya meriwayatkan dari perawi yang ia yakini integritasnya (tsiqah).
Dalam menyusun Al-Mushannaf, meskipun ia menyajikan ikhtilaf (perbedaan), ia sering memberikan indikasi riwayat mana yang ia anggap lebih kuat (tarjih). Pilihan tarjih ini seringkali didasarkan pada Hadis Marfu’ yang jelas atau Atsar yang didukung oleh mayoritas Sahabat terkemuka. Ini berbeda dengan beberapa ulama yang hanya menyajikan Hadis tanpa memberikan penentuan hukum, menunjukkan bahwa Abi Syaibah memiliki orientasi Fiqh yang kuat.
Meskipun ia tidak dikenal secara spesifik sebagai penyusun kitab Rijal (biografi perawi) sekelas Yahya bin Ma'in atau Bukhari, pemahamannya yang mendalam terhadap perawi tergambar jelas. Ketika mengutip Hadis, ia sering menyebut sanad secara lengkap, memungkinkan ulama sesudahnya untuk melakukan penilaian ulang terhadap kelemahan atau kekuatan sanad tersebut. Kehadirannya dalam sanad para Imam besar (Bukhari, Muslim) menunjukkan bahwa ia dianggap sebagai "jembatan" yang sangat kokoh dalam rantai periwayatan.
Abi Syaibah hidup pada masa keemasan ilmu Hadis, menjadi kontemporer dengan ulama-ulama raksasa lainnya. Hubungannya dengan mereka sangat penting, terutama karena ia mewakili tradisi Kufah yang kaya Hadis, yang diperlukan oleh para Imam Baghdad dan Khurasan.
Abi Syaibah adalah guru bagi beberapa Imam penyusun Kutub As-Sittah (Enam Kitab Induk Hadis):
Fakta bahwa kelima Imam terkemuka menjadikan Abi Syaibah sebagai sumber menunjukkan bahwa ia adalah perawi yang paling dipercayai dan diandalkan di masanya. Jika sanadnya dianggap bermasalah, mustahil Hadisnya akan masuk dalam kitab-kitab yang sangat selektif seperti Shahih Bukhari dan Shahih Muslim.
Imam Ahmad bin Hanbal, yang merupakan kontemporer terdekat dan juga seorang Imam Mazhab, sangat menghormati Abi Syaibah. Diriwayatkan bahwa ketika perdebatan tentang Hadis muncul, Imam Ahmad sering merujuk kepada pengetahuan Abi Syaibah. Mereka berdua sering dianggap sebagai dua "sumber air" utama ilmu Hadis di Irak—Ahmad di Baghdad dan Abi Syaibah di Kufah—meskipun keduanya memiliki kedekatan pandangan dalam Fiqh Ahli Hadis.
Selain para Imam penyusun Kutub As-Sittah, banyak ulama terkemuka lainnya yang belajar kepadanya, memastikan transmisi Al-Mushannaf dan Al-Musnad ke generasi berikutnya. Di antara mereka adalah: Baqi bin Makhlad, Abu Zar'ah Ar-Razi, dan Ad-Darimi.
Meskipun Abi Syaibah dikenal sebagai muhaddits, ia juga memiliki posisi Fiqh dan teologis yang jelas, terutama dalam konteks perdebatan yang melanda abad ketiga Hijriah.
Abi Syaibah hidup pada masa fitnah Khalq Al-Qur'an (klaim bahwa Al-Qur'an adalah makhluk). Bersama dengan Imam Ahmad, Abi Syaibah termasuk ulama yang menolak pandangan Mu'tazilah yang didukung oleh penguasa saat itu (Al-Ma'mun dan Al-Mu'tashim). Ia mengalami penahanan dan tekanan, tetapi tetap teguh pada keyakinan Ahli Sunnah wal Jama'ah bahwa Al-Qur'an adalah kalam Allah yang bukan makhluk. Keberaniannya dalam membela akidah ini menambah kemuliaannya di mata umat Islam.
Walaupun berasal dari Kufah (pusat Ahli Ra’yi), Abi Syaibah cenderung mengikuti metodologi Ahli Hadis (pendukung Fiqh yang sangat bergantung pada nash, Hadis, dan Atsar). Hal ini terlihat jelas dari upayanya mengumpulkan Hadis dan Atsar untuk menetapkan hukum, berbeda dari pendekatan Ahli Ra’yi yang lebih mengandalkan Qiyas (analogi) ketika Hadis dianggap lemah atau ambigu. Namun, keadilannya terlihat dari penyertaannya terhadap banyak Atsar yang merupakan dasar bagi Fiqh Kufah dalam Al-Mushannaf.
Untuk mengapresiasi warisan Abi Syaibah, perlu dilakukan kajian lebih lanjut mengenai struktur internal Al-Mushannaf, sebuah kitab yang mencakup hampir 40.000 riwayat (antara Hadis dan Atsar).
Klasifikasi dalam Al-Mushannaf menunjukkan perhatian Abi Syaibah terhadap detail kehidupan Muslim. Kitab ini dibagi menjadi beberapa bagian besar:
Bagian ini sangat rinci, membahas setiap aspek wudu, tayammum, dan shalat, termasuk variasi cara Sahabat dalam bertakbir, meletakkan tangan, dan bacaan. Di sinilah letak perbandingan antara praktik Kufah yang didasarkan pada Ibnu Mas’ud dan praktik Madinah yang didasarkan pada Ibnu Umar.
Pembahasan tentang jenazah, termasuk detail pemakaman, tangisan, dan tata cara ziarah kubur, disusun dengan sangat sistematis. Bagian zakat mencakup perbedaan pendapat mengenai nishab dan jenis harta yang dikenai zakat, lagi-lagi mencerminkan ikhtilaf Fiqh.
Ini adalah bagian yang menunjukkan kekuatan Abi Syaibah dalam Fiqh Muamalat. Ia mendokumentasikan praktik ekonomi dan peradilan pada masa Sahabat dan Tabi'in. Riwayat-riwayat di sini sangat penting untuk melacak perkembangan hukum dagang Islam sebelum kodifikasi mazhab yang ketat.
Riwayat Mauquf (perkataan Sahabat) dalam Al-Mushannaf sering kali menjadi sumber dalil yang sangat kuat bagi empat mazhab Fiqh, khususnya ketika Hadis Nabi yang relevan tidak ditemukan atau memiliki kelemahan sanad. Karena para Sahabat dianggap sebagai saksi terbaik terhadap praktik Nabi, Atsar mereka memiliki otoritas yang sangat tinggi. Abi Syaibah memastikan bahwa warisan lisan ini tidak hilang ditelan zaman.
Selain itu, Atsar Maqthu' (perkataan Tabi'in), yang mendominasi Fiqh Kufah, menyediakan landasan historis bagi Mazhab Hanafi. Dengan mengumpulkan Atsar ini, Abi Syaibah tidak hanya melestarikan tradisi Ahli Hadis, tetapi juga secara tidak langsung menyediakan basis data bagi Ahli Ra’yi.
Karya Abi Syaibah merupakan titik balik dalam sejarah kodifikasi Hadis. Kontribusinya adalah prasyarat bagi munculnya karya-karya yang lebih selektif.
Para Imam seperti Bukhari dan Muslim tidak mungkin menyusun kitab Shahih mereka tanpa adanya kerja keras pengumpulan data yang dilakukan oleh para ulama sebelumnya, termasuk Abi Syaibah, Imam Ahmad, dan Ibnu Rahawaih. Kitab Al-Mushannaf berfungsi sebagai bank data Hadis yang sangat besar. Ketika Bukhari dan Muslim mencari Hadis dengan sanad tertinggi dan matan yang paling otentik, mereka sering merujuk dan mengambil dari riwayat-riwayat yang sudah dikumpulkan oleh Abi Syaibah, kemudian menerapkan kriteria kritik mereka sendiri yang lebih ketat.
Di era modern, Al-Mushannaf terus dipelajari. Para peneliti menghargainya karena kemampuannya dalam melestarikan sanad-sanad yang mungkin tidak ditemukan dalam kitab lain. Kajian Al-Mushannaf membantu para ahli Fiqh kontemporer untuk: (1) melacak sejarah perkembangan suatu masalah hukum, dan (2) memahami alasan di balik perbedaan pendapat antara mazhab-mazhab tradisional. Ketika sebuah masalah Fiqh memiliki dasar yang kuat dalam Atsar Sahabat di Kufah, kemungkinan besar dasar tersebut bersumber dari Al-Mushannaf Abi Syaibah.
Kufah pada masa Abi Syaibah adalah kota yang mempertahankan identitas keilmuan yang unik, berakar pada ajaran Ali dan Ibnu Mas’ud. Meskipun Baghdad menjadi pusat kekhalifahan dan pusat politik, Kufah melalui Abi Syaibah berhasil membuktikan bahwa ia tetap menjadi pusat utama Hadis dan Atsar. Abi Syaibah tidak hanya mewakili Kufah tetapi juga berhasil mengintegrasikan warisan Kufah ke dalam tradisi Hadis universal melalui transmisi kepada murid-muridnya dari berbagai penjuru dunia Islam.
Abu Bakar bin Abi Syaibah wafat pada bulan Muharram. Kematiannya menandai hilangnya salah satu penghafal Hadis terhebat pada abad ketiga Hijriah, tepat sebelum konsolidasi mazhab dan kitab-kitab induk Hadis mencapai puncaknya.
Pujian terhadap Abi Syaibah hampir bersifat konsensus di kalangan ulama:
Testimoni ini menunjukkan bahwa Abi Syaibah mencapai level tertinggi baik dalam kuantitas Hadis yang ia kuasai (hafizh) maupun dalam kualitas periwayatannya (tsiqah). Kombinasi antara kapasitas pengumpulan yang masif dan integritas yang tinggi inilah yang menjadikan warisannya abadi.
Abu Bakar bin Abi Syaibah Al-Absi Al-Kufi adalah arsitek utama koleksi Hadis pra-Sahih. Melalui Al-Mushannaf, ia memberikan kepada umat Islam sebuah rekaman otentik mengenai praktik keagamaan awal dan perkembangan Fiqh yang beragam di tengah generasi Sahabat dan Tabi'in. Warisannya memastikan bahwa suara tradisi Kufah dan kekayaan Atsar generasi salaf tidak pernah terabaikan, dan terus menjadi rujukan esensial bagi siapa pun yang ingin memahami kedalaman dan kompleksitas ilmu Hadis dan Fiqh Islam.
Mencapai kedalaman yang diperlukan, kita harus mengkaji bagaimana Abi Syaibah mengelola ribuan sanadnya. Al-Mushannaf bukanlah sekadar kumpulan teks, tetapi demonstrasi luar biasa dari kemampuan seorang muhaddits untuk mengelola rantai transmisi yang kompleks.
Abi Syaibah sering menggunakan sanad yang tinggi (dekat dengan Nabi) yang merupakan ciri khas ulama Kufah. Namun, ia juga tidak ragu menggunakan sanad yang lebih rendah jika itu dibutuhkan untuk mendukung riwayat tertentu atau menunjukkan keberagaman jalur riwayat.
Sebagian besar sanadnya melalui tokoh-tokoh seperti Waki' bin Al-Jarrah atau Ibnu Fudhayl, yang pada gilirannya mengambil dari Tabi'in Kufah seperti Al-A'mash, Mansur, atau Abu Ishaq As-Sabi'i. Sanad-sanad ini seringkali memuat Hadis yang tidak ditemukan di pusat-pusat Hadis lain.
Kehadiran riwayat dari Sufyan bin Uyainah, Yahya bin Sa'id Al-Qathan, atau Abdullah bin Idris, menunjukkan bahwa Abi Syaibah tidak bersifat lokalistik. Ia memastikan bahwa data yang ia kumpulkan merepresentasikan pandangan umum umat Islam, bukan hanya tradisi spesifik Kufah.
Dalam Al-Mushannaf, Abi Syaibah sangat teliti dalam menggunakan istilah periwayatan (sigah). Ia sering menggunakan “haddatsana” (ia menyampaikan kepada kami) atau “akhbarana” (ia memberitakan kepada kami), yang menunjukkan ia mendengar langsung dari gurunya. Penggunaan sigah yang tepat ini sangat krusial dalam ilmu Hadis untuk membedakan antara pendengaran langsung dan riwayat yang diambil melalui bentuk lain seperti wijadah (menemukan tulisan) atau munawalah (pemberian izin meriwayatkan).
Meskipun Al-Bukhari dan Muslim cenderung menghindari Hadis Mursal (sanad yang terputus di Tabi'i), Abi Syaibah memasukkan banyak Mursal dan Mu'dhal (lebih terputus). Ini bukan karena ia ceroboh, tetapi karena dalam Fiqh, terutama Fiqh Kufah, riwayat Mursal dari Tabi'in terpercaya seperti Sa'id bin Al-Musayyib atau Ibrahim An-Nakh'i masih memiliki bobot hukum, terutama jika didukung oleh Atsar Sahabat. Dengan menyertakannya, Abi Syaibah menyediakan bahan mentah untuk perdebatan Fiqh.
Studi Fiqh Perbandingan (Fiqh Muqaran) tidak dapat dipisahkan dari Al-Mushannaf. Kitab ini menjadi bukti nyata bahwa sebelum abad keempat Hijriah, Fiqh Islam sangat cair dan dinamis, bukan sekadar mengikuti satu mazhab yang kaku.
Salah satu contoh paling menonjol dari Fiqh Muqaran dalam Al-Mushannaf adalah bab tentang shalat Witir. Abi Syaibah mencatat:
Penyajian ini memungkinkan peneliti Fiqh melihat bahwa perbedaan dalam pelaksanaan ibadah seringkali berakar pada interpretasi Tabi'in terhadap praktik Sahabat yang berbeda-beda, bukan semata-mata perbedaan pendapat yang muncul belakangan.
Isu Raf'ul Yadain adalah salah satu perdebatan Fiqh paling tua. Abi Syaibah memiliki bab khusus yang mengumpulkan riwayat-riwayat yang mendukung praktik mengangkat tangan di beberapa posisi shalat, serta riwayat-riwayat (terutama dari Kufah) yang menunjukkan bahwa Sahabat tertentu meninggalkannya. Dengan menyajikan kedua sisi argumen secara paralel, Al-Mushannaf menjadi sumber otoritatif untuk memahami basis dalil dari kedua pandangan, menjadikannya rujukan penting dalam dialektika Fiqh.
Kita dapat melihat Abi Syaibah bukan hanya sebagai seorang ulama, tetapi sebagai tokoh kunci dalam transformasi ilmu Hadis dari fase lisan dan catatan pribadi ke fase kodifikasi sistematis yang bersifat ensiklopedis.
Sebelum Abad III H, Hadis masih tersebar dalam gulungan (shuhuf) dan ingatan para ulama. Abi Syaibah, melalui Al-Mushannaf, mengambil langkah raksasa dalam menyusun Hadis secara terstruktur Fiqhi. Tindakan ini memisahkan Hadis dari Fiqh murni (seperti yang dilakukan di awal masa tabi'in) dan menyatukan kembali keduanya dalam format tematik, menciptakan model yang kemudian diikuti oleh Darimi, Ibnu Khuzaimah, dan akhirnya kitab-kitab Shahih.
Meskipun ia condong ke Ahli Hadis, keberadaannya di Kufah, pusat Ahli Ra’yi, menuntutnya untuk memiliki kemampuan dialektis yang tinggi. Ia harus mampu membela Hadis menggunakan metode rasional yang dapat diterima oleh ulama Kufah, sekaligus memastikan bahwa logika (ra'yi) tidak melampaui otoritas teks (nash). Keseimbangan inilah yang memungkinkan karyanya diterima luas, bahkan oleh mereka yang memiliki kecenderungan Fiqh berbeda.
Transmisi Al-Mushannaf melalui berbagai jalur menunjukkan betapa pentingnya karya ini bagi umat Islam. Meskipun volume aslinya mungkin sangat besar, ulama generasi berikutnya memastikan bahwa karya ini disalin dan dipertahankan.
Jalur transmisi utama Al-Mushannaf melewati dua murid utamanya yang dipercaya:
Kehadiran jalur riwayat yang kuat ini memungkinkan teks Al-Mushannaf dapat diverifikasi dan dipercaya hingga manuskripnya ditemukan kembali di zaman modern.
Meskipun dikenal sejak lama, Al-Mushannaf baru sepenuhnya dipublikasikan dalam edisi kritis yang komprehensif di abad ke-20. Penerbitan ini membuka mata para peneliti terhadap kekayaan Atsar dan Hadis yang sebelumnya hanya dikenal secara parsial melalui kutipan dalam kitab-kitab lain, seperti Fath Al-Bari oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani, yang sering mengutip Abi Syaibah ketika membahas perbedaan riwayat.
Dengan demikian, Imam Abu Bakar bin Abi Syaibah bukan hanya sebatas perawi Hadis yang terpercaya; ia adalah pembuat jalan, seorang ensiklopedis yang menanggung beban koleksi ribuan Hadis dan Atsar pada masa yang genting. Warisan monumentalnya, Al-Mushannaf, tetap berdiri sebagai salah satu prasasti terpenting dalam sejarah Fiqh dan Hadis Islam.