Nama lengkap beliau adalah Abu Sulaiman Ad-Darani, atau sering disingkat sebagai Abi Sulaiman oleh para murid dan pewaris ajarannya. Beliau merupakan salah satu tokoh sentral dalam sejarah permulaan tasawuf, khususnya dalam mazhab Syam (Syria). Hidup pada masa transisi penting dalam Kekhalifahan Abbasiyah, Abi Sulaiman (w. 234 H/830 M) menjadi mercusuar bagi praktik zuhud yang autentik dan mendalam, jauh dari formalitas ritual belaka. Ajaran-ajaran beliau tidak hanya berfokus pada penolakan dunia (*dunya*), tetapi lebih kepada pemurnian niat dan pencapaian kualitas spiritual tertinggi, seperti *wara'* (kehati-hatian) dan *tawakkul* (penyerahan diri).
Dalam khazanah tradisi Sufi, Abi Sulaiman Ad-Darani dikenang sebagai "Raja Para Kekasih" (*Malik al-Muhibbin*) dan "Penjaga Hati". Kontribusinya sangat vital karena ia hidup di era sebelum tasawuf menjadi disiplin ilmu yang terstruktur. Beliau adalah jembatan antara generasi *tabi'in* yang sangat menekankan kesalehan individu (seperti Hasan Al-Bashri) dengan generasi Sufi klasik yang mulai menyusun teori spiritual (seperti Junaid Al-Baghdadi dan Sariy As-Saqati, yang mana keduanya sangat terpengaruh oleh ajaran beliau).
Artikel ini akan mengupas tuntas kehidupan, ajaran filosofis, dan warisan spiritual Abi Sulaiman Ad-Darani, menelaah bagaimana pandangan-pandangannya yang ekstrem mengenai zuhud membentuk landasan bagi seluruh perjalanan mistik Islam yang muncul setelahnya. Pemahaman atas ajaran beliau memerlukan interpretasi yang hati-hati, sebab konsep-konsep seperti *huzn* (kesedihan spiritual) dan *qabd* (keadaan tertutup) yang beliau ajarkan memiliki makna khusus yang berbeda dari pemahaman awam.
Abi Sulaiman bernama asli Abdurrahman bin Ahmad (atau sering disebut Abdurrahman bin Atha’). Ia berasal dari Darayya, sebuah kota kecil yang kini menjadi bagian dari pinggiran Damaskus, Suriah. Nama *Ad-Darani* sendiri merujuk kepada tempat kelahirannya tersebut. Kehidupan di Syam pada abad ke-2 Hijriah dicirikan oleh perkembangan ilmu hadis dan fiqih yang pesat, namun juga menjadi pusat bagi gerakan spiritual yang menentang kemewahan istana Abbasiyah di Baghdad.
Fokus utama Abi Sulaiman adalah menjauhi segala bentuk kenikmatan yang bersifat duniawi, bahkan yang halal sekalipun. Lingkungan Darayya yang relatif tenang dan dekat dengan alam membantunya mempraktikkan pengasingan diri. Dikisahkan bahwa beliau jarang tidur dan sering menghabiskan malamnya untuk merenung di luar rumah, menatap langit dan mengambil pelajaran dari siklus alam semesta. Pendekatan ini adalah ciri khas dari *zuhd* yang berpijak pada observasi mendalam terhadap ciptaan Tuhan.
Meskipun dikenal sebagai seorang zuhud, Abi Sulaiman juga seorang ahli hadis dan memiliki pengetahuan mendalam tentang Al-Qur'an. Namun, penekanannya selalu pada implementasi spiritual dari ilmu tersebut. Salah satu guru terpenting dalam rantai spiritualnya adalah Sa’id bin Abdul Aziz dan Sufyan Ats-Tsauri, tokoh zuhud terkemuka dari generasi sebelumnya. Dari sinilah ia mewarisi tradisi kehati-hatian yang sangat ketat (*wara'*).
Yang membedakan Abi Sulaiman adalah bagaimana ia mengintegrasikan *ilmu* (pengetahuan) dengan *hal* (keadaan spiritual). Beliau berpendapat bahwa pengetahuan yang sejati adalah yang menghasilkan rasa takut kepada Tuhan dan perubahan tingkah laku. Ini adalah kritik halus terhadap para ulama pada masanya yang mungkin hanya fokus pada aspek teoretis tanpa penerapan praktis dalam kehidupan sehari-hari.
"Jika ilmu itu hanya untuk menambah pengetahuan tanpa menambah rasa takut kepada Allah, maka ilmu itu adalah beban." - Abi Sulaiman Ad-Darani.
Kehidupan Abi Sulaiman dipenuhi dengan pengekangan diri yang luar biasa. Ia dikisahkan hanya memakan makanan yang sangat sedikit, seringkali hanya buah zaitun atau sedikit kurma. Tujuan dari pengekangan ini bukanlah penyiksaan fisik, melainkan untuk menjaga hati agar tetap jernih dan bebas dari ikatan dunia, sehingga siap menerima iluminasi spiritual.
Filosofi spiritual Abi Sulaiman sangat mendalam dan mencakup beberapa konsep inti yang kemudian menjadi fondasi bagi tasawuf setelahnya. Tiga pilar utama ajarannya adalah *Al-Wara'*, *Al-Huzn*, dan *At-Tawakkul*.
Bagi Abi Sulaiman, *wara'* bukanlah sekadar menjauhi yang haram, melainkan menjauhi segala sesuatu yang diragukan kehalalannya, bahkan yang halal tetapi berpotensi mengalihkan perhatian dari Tuhan. Tingkat *wara'* yang beliau ajarkan begitu tinggi sehingga ia sering menolak hadiah atau makanan yang disajikan, hanya karena khawatir ada sedikit keraguan dalam sumbernya. Konsep ini menuntut penyaringan yang sangat ketat terhadap segala input duniawi.
Analisis Konsep *Wara’*:
Inilah yang membuat beliau mengatakan bahwa: "Wara' adalah langkah pertama dalam perjalanan menuju Tuhan. Jika langkah pertama ini goyah, maka seluruh perjalanan akan runtuh." Penekanan pada *wara'* ini menjadikan Abi Sulaiman sebagai model ideal bagi para asketik di masanya, yang mencari kesucian sempurna sebelum berdialog dengan Yang Ilahi.
Salah satu ajaran yang paling khas dan sering disalahpahami dari Abi Sulaiman adalah penekanannya pada *huzn* (kesedihan). Namun, kesedihan yang dimaksud bukanlah depresi atau keputusasaan duniawi. Ia adalah kesedihan yang mulia, lahir dari kesadaran akan dua hal:
Beliau memandang bahwa *huzn* adalah "kunci menuju surga" karena ia memurnikan hati, menghilangkan kesombongan, dan membuat seseorang senantiasa berada dalam keadaan *taubah* (pertobatan). Kegembiraan duniawi, sebaliknya, dianggap sebagai penutup yang membuat manusia lupa akan tujuan akhir mereka.
"Kunci segala urusan di akhirat adalah kesedihan. Barang siapa tidak pernah bersedih, ia tidak akan pernah menemukan jalan."
Kesedihan ini adalah refleksi dari cinta yang autentik. Seseorang yang mencintai Allah akan bersedih ketika ia merasa jauh atau ketika ia gagal menjalankan perintah-Nya dengan sempurna. Oleh karena itu, *huzn* adalah indikator kesehatan spiritual yang mendalam.
Abi Sulaiman adalah salah satu eksponen terkuat dari *tawakkul* dalam sejarah Sufisme awal. Ia mendefinisikan *tawakkul* bukan hanya sebagai percaya bahwa Allah akan memberikan rezeki, tetapi sebagai melepaskan ketergantungan hati sepenuhnya dari sebab-sebab material (*asbab*) dan hanya bergantung pada Allah semata.
Filosofi *tawakkul* beliau begitu radikal hingga dikisahkan bahwa ia tidak pernah menyimpan makanan untuk hari berikutnya, meyakini bahwa rezeki hari esok akan datang bersama hari esok. Meskipun demikian, *tawakkul* ini tidak meniadakan usaha (*kasb*), tetapi meniadakan ketergantungan mental terhadap usaha tersebut. Usaha dilakukan sebagai ketaatan, tetapi hasil diserahkan sepenuhnya kepada Kehendak Ilahi.
Tahapan *Tawakkul* Menurut Ad-Darani:
Proses penyerahan diri ini melalui beberapa fase psikologis dan spiritual:
Bagi Abi Sulaiman, seseorang yang masih merasa khawatir akan makanan besok, menunjukkan bahwa imannya terhadap janji Allah masih belum sempurna. Ini adalah standar spiritual yang sangat tinggi, yang hanya mampu dicapai oleh sedikit orang.
Kontribusi terbesar Abi Sulaiman kepada dunia Islam adalah kumpulan ucapan bijak (*hikmah*) yang luar biasa tajam. Ucapan-ucapan ini tidak hanya bersifat nasihat, tetapi merupakan hasil dari pengalaman spiritual yang telah matang. Berikut adalah telaah mendalam terhadap beberapa *hikmah* beliau yang paling terkenal, disertai interpretasi filosofis untuk memenuhi keluasan konten.
Kutipan 1: "Apabila engkau ingin melakukan suatu amal kebajikan, janganlah engkau lakukan kecuali engkau melihatnya seolah-olah engkau sedang melihat neraka di hadapanmu."
Analisis: Kutipan ini menyoroti pentingnya *ihsan* (berbuat seolah-olah engkau melihat Allah, atau jika tidak, yakinlah Dia melihatmu) dengan sentuhan yang sangat khas Ad-Darani, yaitu penekanan pada rasa takut (*khauf*). Melakukan ibadah dengan "melihat neraka" berarti melakukan amalan tersebut dengan ketakutan yang luar biasa akan kegagalan atau ketidaksempurnaan, yang pada gilirannya memunculkan *khushu’* (kekhusyukan) yang maksimal. Ini memastikan bahwa amal dilakukan tanpa rasa ujub (bangga diri) dan dengan kesungguhan yang penuh, karena taruhannya adalah keselamatan abadi. Kekuatan *khauf* berfungsi sebagai katalisator untuk kesempurnaan niat.
Ini juga dapat diartikan sebagai kritik terhadap rutinitas ibadah yang kosong. Banyak orang melakukan salat atau puasa karena kebiasaan, bukan karena kesadaran penuh akan konsekuensinya. Dengan membayangkan neraka, setiap gerakan dan setiap ucapan dalam ibadah menjadi terisi makna dan urgensi, menuntut konsentrasi total yang sering hilang dalam kehidupan sehari-hari yang serba cepat.
Kutipan 2: "Cinta seorang hamba kepada dunia akan hilang, seiring dengan bertambahnya ilmu dan pemahamannya."
Analisis: Di sini, Abi Sulaiman menyandingkan ilmu (*‘ilm*) dengan penghapusan cinta dunia (*hubb ad-dunya*). Ilmu yang ia maksud bukanlah ilmu formal, tetapi *ilmu ma'rifah* (pengetahuan intuitif tentang Tuhan). Ketika seseorang benar-benar memahami keagungan Allah dan kekekalan akhirat, maka segala sesuatu yang bersifat fana di dunia ini akan tampak remeh. Ibarat melihat perhiasan emas palsu setelah melihat emas murni, kilauan duniawi akan memudar.
Proses ini adalah proses pencerahan batin. Semakin hati terisi dengan pengetahuan akan Yang Abadi, semakin sedikit ruang yang tersisa untuk mencintai yang sementara. Ini adalah pernyataan optimis tentang kekuatan pendidikan spiritual, menunjukkan bahwa zuhud bukanlah pengekangan yang menyakitkan, melainkan hasil alami dari pemahaman yang mendalam.
Kutipan 3: "Apabila hati bersemayam dalam keadaan *tawakkul* yang sejati, niscaya ia akan menemukan kenyamanan yang tidak pernah ia temukan dalam upaya kerasnya mencari rezeki."
Analisis: Kutipan ini adalah inti dari ajaran *tawakkul* beliau. Manusia pada umumnya mencari kenyamanan melalui kontrol, melalui perencanaan yang matang, dan melalui akumulasi sumber daya. Namun, semua ini justru menimbulkan kecemasan dan kelelahan (upaya keras). Abi Sulaiman mengajarkan bahwa kenyamanan sejati—ketenangan batin—tidak datang dari mengontrol hasil, tetapi dari melepaskan kebutuhan untuk mengontrol hasil tersebut. Ketika seseorang sepenuhnya yakin bahwa Allah telah menjamin keperluannya, beban mental mencari nafkah akan terangkat.
Kenyamanan ini bersifat spiritual dan psikologis. Di tengah badai kesulitan ekonomi atau ujian kehidupan, hati yang berserah diri tetap tenang karena berlabuh pada Kepastian Ilahi. Ini adalah revolusi batin: mengganti kecemasan dengan keyakinan (*yaqin*), dan mengganti kendali manusiawi dengan Kehendak Tuhan (*iradah Ilahiyyah*).
Kutipan 4: "Aku lebih suka jika setiap orang yang melihatku menganggapku gila, daripada satu orang pun mengetahui sedikit saja dari keadaan batinku dengan Allah."
Analisis: Kutipan ini mencerminkan tingginya derajat *ikhlas* (ketulusan) dan penolakan terhadap perhatian manusia (*riya'*). Bagi Abi Sulaiman, amalan spiritual, keadaan hati (*hal*), dan komunikasi rahasia dengan Tuhan harus dijaga kerahasiaannya. Pameran spiritual (meskipun tanpa sengaja) dapat membatalkan pahala dan merusak keaslian niat.
Keinginan agar orang menganggapnya "gila" adalah cara ekstrem untuk memastikan bahwa tidak ada pujian atau pengakuan manusia yang bisa mencemari hubungannya dengan Tuhan. Ini adalah pelajaran tentang pentingnya *khumul* (kerahasiaan atau hidup tidak dikenal) dalam tradisi Sufi, di mana ketaatan dilakukan hanya untuk satu penonton: Allah.
Abi Sulaiman sangat menekankan praktik keheningan dan perenungan. Bagi beliau, lidah adalah sumber fitnah dan hati adalah wadah ilmu.
Kutipan 5: "Apabila seorang hamba telah mencapai tingkat *tawakkul* yang sempurna, ia akan lebih suka diam di sisi Allah daripada berbicara kepada manusia."
Analisis: Diam di sini bukan hanya ketidakmampuan berbicara, tetapi keheningan batin yang dihasilkan dari kepuasan total dengan Allah (*rida*). Mengapa berbicara kepada manusia? Biasanya, kita berbicara untuk mengeluh, meminta bantuan, mencari pujian, atau mencari rezeki. Jika hati telah sepenuhnya bergantung pada Allah (*tawakkul*), maka semua motivasi untuk berbicara kepada manusia menjadi hilang.
Keheningan ini membuka pintu bagi *tafakkur* (perenungan mendalam). Dalam diam, seseorang dapat mendengar bisikan-bisikan hikmah dan memahami ayat-ayat (tanda-tanda) di alam semesta dan dalam diri sendiri. Praktik ini sangat penting di Darayya, di mana ia sering menyendiri untuk merenung tentang kebesaran Pencipta.
Kutipan 6: "Aku keluar dari rumahku dan merenungkan ciptaan Allah. Aku melihat bahwa malam telah pergi dan siang telah datang, dan semua yang ada di dalamnya kembali sibuk dengan ketentuan mereka, maka aku kembali ke rumahku dan berkata: 'Ya Rabb, bagaimana aku tidak sibuk dengan ketetapan-Mu, sementara semua ciptaan-Mu sibuk dengan ketetapan mereka?"
Analisis: Ini adalah contoh bagaimana *tafakkur* berfungsi sebagai alat untuk disiplin diri. Abi Sulaiman menggunakan siklus alam (pergantian malam dan siang) sebagai cermin untuk mengoreksi kehidupannya. Jika alam semesta patuh pada hukum dan ketetapan yang telah ditentukan (ketetapan kosmis), maka manusia, sebagai ciptaan yang paling mulia, harus lebih patuh pada ketetapan moral dan spiritual (ketaatan). Kutipan ini mengubah observasi alam menjadi dorongan kuat untuk beribadah dan mengingatkan bahwa tidak ada waktu yang boleh disia-siakan.
Praktik spiritual Abi Sulaiman menjadi tolok ukur bagi banyak sufi berikutnya. Metodologinya bersifat keras, namun tujuannya selalu untuk memurnikan hati dan jiwa dari segala kotoran duniawi.
Beliau dikenal sangat keras dalam urusan makan. Menurut beliau, perut yang kenyang adalah penghalang terbesar menuju pencerahan spiritual. Rasa lapar (*juu’*) dianggap sebagai cambuk yang membangunkan hati dari tidur kelalaian.
Abi Sulaiman berpendapat bahwa makan berlebihan tidak hanya mengarah pada kelalaian, tetapi juga memicu syahwat (keinginan nafsu) yang pada akhirnya mengganggu *khushu’* dalam ibadah. Ia mengajarkan bahwa sedikit makan akan menghasilkan sedikit tidur, yang memungkinkan lebih banyak waktu untuk salat malam (*qiyamul lail*) dan perenungan. Kisah-kisah tentang dirinya yang hanya makan sedikit zaitun atau sedikit roti kering selama berhari-hari tersebar luas, menunjukkan komitmennya pada *juu’* sebagai disiplin spiritual.
Namun, beliau juga memperingatkan bahwa pengekangan diri harus dilakukan dengan bijak, tidak sampai merusak ketaatan. Tujuannya adalah untuk mendisiplinkan nafsu, bukan untuk menghancurkan tubuh.
Salat malam adalah fondasi praktik beliau. Beliau percaya bahwa saat-saat di akhir malam adalah waktu terbaik bagi hati untuk berkomunikasi dengan Allah tanpa gangguan. Beliau sering berkata bahwa dunia ini adalah ladang, dan malam adalah waktu penyiraman (*irwa’*) spiritual.
Di masa beliau, *qiyamul lail* dilakukan bukan hanya sebagai ritual, tetapi sebagai praktik refleksi mendalam, di mana ayat-ayat Al-Qur'an dibaca dan direnungkan maknanya secara intens. Bagi Abi Sulaiman, tidak ada pemisahan antara ibadah dan kontemplasi; keduanya harus menyatu di malam hari.
Meskipun terkenal dengan penekanannya pada *khauf* (seperti dalam ajaran *huzn*), Abi Sulaiman juga mengajarkan pentingnya *raja'* (harapan). Beliau memahami bahwa *khauf* tanpa *raja'* dapat mengarah pada keputusasaan, sementara *raja'* tanpa *khauf* dapat mengarah pada kelalaian (*ghafala*).
Keseimbangan antara keduanya adalah kunci. Beliau menganalogikan bahwa seorang hamba harus berada di antara ketakutan akan siksa-Nya dan harapan akan rahmat-Nya, seperti burung yang terbang dengan dua sayap. Jika salah satu sayap patah, burung itu tidak akan bisa terbang menuju tujuan Ilahi.
Khauf yang diajarkan oleh beliau adalah ketakutan yang menghasilkan tindakan, bukan kelumpuhan. Takut akan dosa mendorong kepada tobat, sementara harapan akan rahmat memotivasi untuk terus beramal, bahkan saat merasa tidak layak.
Meskipun Abi Sulaiman Ad-Darani tidak meninggalkan karya tulis yang komprehensif seperti Imam Al-Ghazali di kemudian hari, ajarannya disebarkan secara lisan dan dicatat oleh murid-muridnya, dan pengaruhnya terhadap tasawuf sangat besar. Beliau dianggap sebagai "nenek moyang" spiritual bagi banyak mazhab Sufi Syam dan Baghdad.
Salah satu jalur transmisi terpenting ajarannya adalah melalui tokoh-tokoh besar di Baghdad. Walaupun tidak bertemu langsung, ajaran Abi Sulaiman mencapai Sariy As-Saqati (paman sekaligus guru Junaid Al-Baghdadi) melalui perantara. Sariy As-Saqati sangat mengagumi tingkat *wara'* yang dimiliki oleh Ad-Darani dan sering mengutip perkataan-perkataannya di majelis ilmu di Baghdad, kota yang saat itu mulai tenggelam dalam kemewahan material.
Penyebaran ajaran ini membantu mempertahankan semangat zuhud murni di Baghdad, bahkan ketika kota tersebut menjadi pusat peradaban dan kekayaan. Sariy As-Saqati menggunakan teladan Ad-Darani untuk mengimbangi kecenderungan materialistis yang mulai muncul di kalangan ulama istana.
Junaid Al-Baghdadi, yang sering disebut sebagai *Sayyid at-Taifah* (Pemimpin Kaum Sufi), adalah arsitek tasawuf teoretis. Meskipun metodologinya lebih bersifat "sober" (sadar) dibandingkan beberapa sufi ekstatis lainnya, Junaid sangat menjunjung tinggi prinsip-prinsip moralitas dan *wara'* yang ditanamkan oleh Abi Sulaiman.
Konsep Junaid tentang pentingnya *khauf* dan *rida* (kerelaan) sebagai keadaan spiritual yang harus dicapai oleh seorang salik (penempuh jalan) sangat dipengaruhi oleh ajaran Abi Sulaiman. Junaid mengambil pondasi zuhud yang keras dari Darayya dan mengembangkannya menjadi sistem filosofis yang terintegrasi dengan syariat Islam.
Abi Sulaiman hidup pada masa ketika terminologi *zuhud* (asketisme) dan *tasawuf* (Sufisme) masih tumpang tindih. Beliau adalah salah satu tokoh yang menegaskan bahwa *zuhud* adalah syarat mutlak untuk *tasawuf* yang sejati. Tanpa penolakan terhadap keterikatan dunia, hati tidak akan pernah siap untuk menerima "rahasia-rahasia" (*sirr*) Ilahi yang menjadi tujuan akhir tasawuf.
Dalam pandangan historis, Abi Sulaiman membantu memformalkan ide bahwa zuhud bukanlah tujuan akhir, melainkan alat untuk mencapai kemurnian batin yang memungkinkan pengalaman mistis yang lebih tinggi. Warisan ini menjadi sangat penting ketika tasawuf berkembang menjadi berbagai tarekat (ordo) di kemudian hari, di mana dasar zuhud tetap menjadi prasyarat.
Memahami Abi Sulaiman Ad-Darani memerlukan kritik historis dan spiritual. Ajarannya yang ekstrem tentang zuhud, jika diterapkan secara harfiah tanpa konteks, mungkin tampak tidak praktis di era modern. Namun, esensi filosofisnya tetap relevan.
Beberapa ulama dan ahli fiqih di masanya mungkin melihat praktik pengekangan diri beliau—termasuk puasa berkepanjangan dan sedikit tidur—sebagai tindakan berlebihan (*ghuluw*) yang melanggar prinsip *tawassut* (moderasi) dalam Islam. Tentu saja, Abi Sulaiman sendiri menegaskan bahwa praktik-praktik ini harus didasarkan pada kekuatan hati, bukan sekadar kemampuan fisik.
Penolakan terhadap dunia yang beliau ajarkan bukanlah penolakan terhadap aktivitas di dalamnya. Beliau tetap berinteraksi, mengajar, dan menasihati. Namun, hati beliau sepenuhnya ditarik keluar dari ketergantungan pada hasil interaksi tersebut. Kritik modern sering kali gagal membedakan antara penolakan fisik dan penarikan keterikatan hati.
Pembedaan Penting:
Abi Sulaiman menargetkan Zuhud Qalbi, dan Zuhud Fisik adalah cara beliau untuk mencapainya. Dalam dunia yang hiper-konsumtif, ajaran beliau menantang kita untuk bertanya: Seberapa banyak hal yang kita "butuhkan" sebenarnya hanya "keinginan" yang mengikat hati?
Konsep *Al-Wara’* yang diajarkan oleh Abi Sulaiman memiliki relevansi yang sangat kuat dalam etika profesional dan bisnis kontemporer. Di era di mana garis antara halal dan haram sering kali kabur oleh praktik keuangan kompleks, standar *wara’* Ad-Darani menuntut tingkat integritas yang jauh lebih tinggi daripada sekadar mematuhi hukum formal.
Jika seorang Muslim modern menerapkan standar *wara’* ala Abi Sulaiman, ia tidak akan hanya menjauhi penipuan yang jelas, tetapi juga menjauhi transaksi yang memiliki bayang-bayang keraguan (*syubhat*), menghindari eksploitasi celah hukum, dan memastikan bahwa sumber rezekinya benar-benar bersih dari kontaminasi moral dan spiritual. *Wara’* menjadi benteng pertahanan terakhir terhadap korupsi dan ketamakan institusional.
Ajaran Abi Sulaiman tentang *huzn* (kesedihan mulia) dan *tawakkul* sangat mempengaruhi perkembangan psikologi spiritual dalam tasawuf. Mereka memberikan kerangka kerja untuk mengatasi kecemasan eksistensial dan kesulitan hidup:
Melalui *huzn*, seseorang dipaksa untuk menghadapi kekurangan dirinya, yang merupakan langkah pertama dalam penyembuhan spiritual. Melalui *tawakkul*, seseorang mendapatkan ketenangan dalam menghadapi ketidakpastian dunia, menggantikan kontrol yang mustahil dengan penyerahan diri yang damai.
Inilah yang membuat ajaran beliau tetap hidup: mereka menawarkan solusi batin terhadap penderitaan manusia yang universal, yaitu kekhawatiran, kecemasan, dan rasa tidak puas.
Abi Sulaiman Ad-Darani adalah salah satu tokoh paling berpengaruh yang membentuk identitas tasawuf sebagai jalan spiritual yang didasarkan pada disiplin diri yang ketat dan kemurnian hati yang absolut. Beliau bukan hanya seorang pertapa yang melarikan diri dari dunia; beliau adalah seorang filsuf spiritual yang memberikan definisi ulang terhadap konsep "kehidupan yang baik"—di mana kebaikan diukur bukan dari apa yang dimiliki, tetapi dari apa yang berhasil dilepaskan.
Warisan utamanya terletak pada penegasan bahwa *zuhud* adalah suatu proses internal, sebuah kondisi hati yang memandang dunia ini sebagai tempat persinggahan yang sementara dan sumber pengujian. Setiap perkataan beliau, setiap tindak tanduknya, ditujukan untuk memutus belenggu keterikatan hati kepada selain Allah, sehingga hati menjadi wadah yang layak bagi *ma’rifah* (pengenalan) dan *mahabbah* (cinta Ilahi) yang sejati.
Bagi siapa pun yang menempuh jalan spiritual dalam Islam, kisah dan *hikmah* dari Abi Sulaiman Ad-Darani akan selalu berfungsi sebagai pengingat akan standar tertinggi ketulusan, kehati-hatian, dan penyerahan diri total. Beliau adalah bukti bahwa kedalaman spiritual sejati lahir dari kesediaan untuk menjalani kehidupan yang sederhana, namun memiliki batin yang kaya raya dengan kehadiran Ilahi.
Ajaran Ad-Darani terus beresonansi, mengajak setiap Muslim untuk tidak hanya menunaikan ibadah secara formal, tetapi untuk mengubah seluruh kehidupan menjadi sebuah amal ibadah yang utuh, dilakukan dalam diam, dengan *wara'* yang teguh, dan dalam *tawakkul* yang sempurna, menjadikannya pilar abadi dalam sejarah kesalehan Islam.