Pendahuluan: Memahami Sang Hujjatul Islam
Karya agung yang menjadi mercusuar peradaban Islam, Ihya' Ulumuddin, atau 'Kebangkitan Ilmu-Ilmu Agama', adalah penanda monumental dalam sejarah pemikiran Islam. Sosok di balik mahakarya ini, Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazali, yang kerap dihubungkan dengan gelar penuh makna "Abi Ihya Ulumuddin", adalah seorang ulama, teolog, filsuf, dan sufi yang pengaruhnya melintasi batas-batas geografis dan waktu. Ia dikenal sebagai Hujjatul Islam (Pembela Kebenaran Islam) karena perannya yang krusial dalam menyelaraskan dan merevitalisasi ajaran agama yang kala itu terpecah antara rigiditas formalis, spekulasi filosofis, dan esoterisme sufistik yang ekstrem. Artikel ini menyelami kedalaman warisan Al-Ghazali, fokus pada mengapa Ihya’ Ulumuddin menjadi titik balik, dan bagaimana ia menawarkan sebuah sintesis spiritual yang tak tertandingi.
Pada masanya, dunia Islam diselimuti oleh kontroversi intelektual yang tajam. Fiqh (hukum) cenderung kering dan kehilangan ruh spiritualnya. Filsafat, terutama yang dipengaruhi oleh Aristoteles dan Plotinus melalui para pemikir Muslim, dianggap mengancam dasar-dasar akidah. Sementara itu, tasawuf (mistisisme) sering kali dikritik karena melenceng dari syariat. Al-Ghazali muncul bukan hanya sebagai penengah, tetapi sebagai arsitek yang merombak ulang fondasi ilmu agama. Misinya, sebagaimana tercermin dalam judul karyanya, adalah membangkitkan kembali ilmu-ilmu yang telah mati atau terlupakan, khususnya ilmu-ilmu yang berkaitan dengan batin dan amal perbuatan hati.
Alt Text: Ilustrasi Buku Terbuka dan Cahaya Pengetahuan, melambangkan Kebangkitan Ilmu-Ilmu Agama.
Gelar ‘Abi Ihya Ulumuddin’ secara harfiah berarti ‘Bapak Kebangkitan Ilmu-Ilmu Agama’, sebuah julukan yang secara retrospektif diberikan kepadanya oleh generasi Muslim yang menyadari betapa fundamentalnya kontribusi Al-Ghazali. Karya ini bukan sekadar kompilasi; ia adalah sebuah ensiklopedia spiritual dan etika yang mencoba menghidupkan kembali kesalehan sejati, menggeser fokus dari ritual kosong menuju niat yang murni, dan dari perdebatan skolastik yang tak berujung menuju pengalaman batin yang transformatif. Untuk mengapresiasi karya ini, kita harus terlebih dahulu menelusuri perjalanan hidup dan krisis eksistensial yang membentuk pemikiran sang maestro.
Perjalanan Hidup dan Krisis Intelektual
Dari Tus ke Baghdad: Puncak Kejayaan Akademik
Abu Hamid Al-Ghazali lahir di Thus, Khurasan (Iran) pada abad ke-5 Hijriah. Kehidupan awalnya ditandai dengan kecintaan yang luar biasa terhadap ilmu pengetahuan. Ia mempelajari fikih Syafi'i di bawah Imam al-Juwaini, seorang ulama terkemuka pada zamannya. Dalam waktu singkat, Al-Ghazali menunjukkan kecerdasan yang memukau, menguasai bukan hanya hukum Islam tetapi juga dialektika (kalam), logika, dan bahkan filsafat, yang saat itu merupakan disiplin yang kontroversial.
Puncak karier akademiknya terjadi ketika ia diangkat sebagai profesor kepala di Madrasah Nizamiyyah Baghdad, institusi pendidikan paling bergengsi pada masanya, berkat dukungan Wazir Nizam al-Mulk. Di usia yang relatif muda (sekitar 30-an), Al-Ghazali telah mencapai ketenaran, kekayaan, dan kehormatan. Ia menjadi otoritas tertinggi dalam mazhab Syafi'i dan Asy’ari, dihormati oleh khalifah dan ditakuti oleh lawan-lawan intelektualnya. Namun, di tengah gemerlap kejayaan duniawi dan akademik inilah, benih-benih keraguan mulai tumbuh, yang kemudian memicu krisis spiritual terbesar dalam hidupnya.
Krisis Eksistensial dan Pencarian Kebenaran Mutlak
Al-Ghazali, dalam autobiografinya Al-Munqidh min al-Ḍalāl (Penyelamat dari Kesesatan), secara jujur mendokumentasikan masa-masa kelam ini. Ia menyadari bahwa ilmu yang ia kejar hanyalah bersifat teoritis dan superficial, tidak mampu memberikan kepastian batin yang ia dambakan. Ia mulai menguji semua kelompok pencari kebenaran pada masanya: teolog (Mutakallimun), filsuf (Falasifah), ahli hukum (Fuqaha), dan sufi.
Ia menemukan kelemahan fundamental dalam setiap metodologi. Ilmu kalam, menurutnya, hanya mampu mempertahankan dogma yang ada tetapi tidak mampu menghasilkan pengetahuan pasti tentang Tuhan dan akhirat. Filsafat, meskipun brilian dalam matematika dan logika, terjerumus ke dalam kekeliruan metafisika yang berpotensi merusak akidah, terutama pandangan mereka tentang keabadian alam semesta dan penolakan terhadap kebangkitan jasmani. Keraguan ini mencapai titik klimaksnya ketika Al-Ghazali menderita penyakit yang melumpuhkan kemampuan berbicaranya, sebuah manifestasi fisik dari kekacauan batinnya.
Pada tahun 1095 Masehi, ia membuat keputusan radikal yang mengguncang dunia Islam: ia meninggalkan jabatan prestisius, kekayaan, dan kemasyhuran. Ia menanggalkan jubah akademiknya dan memulai perjalanan spiritualnya, hidup sebagai seorang fakir yang mengembara, mencari kebenaran melalui jalan tasawuf. Selama sepuluh tahun ia mengasingkan diri (uzlah) di Damaskus, Yerusalem, dan Mekah, fokus pada penyucian jiwa dan latihan spiritual. Pengasingan inilah yang menjadi dapur spiritual tempat Ihya' Ulumuddin dirumuskan dan disusun. Ini adalah masa di mana Abi Ihya Ulumuddin benar-benar dilahirkan kembali.
Ihya' Ulumuddin: Struktur dan Filosofi Kebangkitan
Ihya' Ulumuddin, yang terdiri dari empat bagian besar (rubu'), adalah hasil dari pengembaraan spiritual dan sintesis intelektual Al-Ghazali. Karya ini dirancang sebagai panduan komprehensif untuk mencapai kesempurnaan agama, yang menekankan bahwa ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang menghasilkan amal. Ia memadukan kekakuan hukum Islam (syariat) dengan kedalaman mistisisme (hakikat), membersihkan tasawuf dari unsur-unsur bid’ah, dan memberikan kembali ruh kepada ritual agama.
Rubu' Pertama: Ilmu Ibadat (Ritual dan Penyucian Lahir)
Bagian ini berfokus pada rukun-rukun Islam, namun dengan pendekatan yang jauh melampaui sekadar fikih. Al-Ghazali meninjau setiap ibadah—salat, zakat, puasa, dan haji—bukan hanya dari aspek tata cara (hukum), tetapi juga dari aspek batin dan niat (sirr). Ia membahas syarat-syarat sah ibadah lahiriah, namun sekaligus menekankan bagaimana niat yang benar (ikhlas) dan kehadiran hati (khusyu’) adalah esensi yang menentukan penerimaan amal.
Pentingnya Khusyu' dalam Salat: Al-Ghazali menjelaskan bahwa salat tanpa kehadiran hati hanyalah gerakan fisik kosong. Ia mengajarkan bahwa khusyu’ adalah hasil dari pemahaman mendalam tentang makna setiap bacaan, mengingat keagungan Tuhan, dan menyadari bahwa salat adalah pertemuan pribadi dengan Sang Pencipta. Tanpa fokus batin, ritual tersebut tidak akan membangkitkan ilmu agama yang sejati.
Rahasia Puasa: Ia membagi puasa menjadi tiga tingkatan: puasa orang awam (menahan makan minum), puasa orang khusus (menahan anggota tubuh dari dosa), dan puasa orang khusus yang lebih khusus (menahan hati dari segala hal selain Allah). Fokusnya adalah pada puasa batin sebagai latihan untuk menaklukkan hawa nafsu secara keseluruhan.
Rubu' Kedua: Ilmu Adat (Kebiasaan dan Etika Sosial)
Rubu' ini membahas interaksi sosial, ekonomi, dan etika kehidupan sehari-hari. Al-Ghazali menunjukkan bahwa agama tidak terbatas pada masjid dan ritual pribadi, tetapi meluas ke setiap aspek kehidupan, termasuk cara makan, menikah, mencari nafkah, dan bergaul dengan sesama. Ini adalah upaya Al-Ghazali untuk 'mengislamkan' seluruh praktik kehidupan, memastikan bahwa adab (etika) adalah bagian integral dari iman.
Ia membahas secara rinci etika pernikahan, adab berbisnis (menghindari riba dan kecurangan), serta pentingnya persaudaraan dan persahabatan dalam Islam. Inti dari bagian ini adalah bahwa seorang Muslim sejati harus menjaga kebenaran dan keadilan dalam semua transaksi dan hubungan, menempatkan kepentingan akhirat di atas keuntungan duniawi yang fana. Etika makan, misalnya, dijelaskan bukan sekadar aturan kesehatan, melainkan sebagai sarana untuk menjaga tubuh agar tetap kuat dalam beribadah dan menjauhkan diri dari kerakusan.
Rubu' Ketiga: Al-Muhlikat (Sifat-Sifat Penghancur)
Bagian ini adalah inti dari psikologi moral Islami Al-Ghazali. Ia membahas penyakit-penyakit hati yang menghancurkan amal dan menjauhkan manusia dari Tuhan. Rubu' ini merupakan transisi penting dari tindakan lahiriah menuju pembersihan batin, sebuah proses yang hanya bisa dilakukan melalui pengetahuan mendalam tentang sifat-sifat buruk diri sendiri.
Sombong dan Ujub (Hubb al-Jah):
Al-Ghazali menganggap cinta jabatan (sombong dan popularitas) sebagai salah satu penyakit terberat. Ia menjelaskan bahwa kekaguman diri (ujub) adalah hijab tertebal antara hamba dan Tuhannya. Seseorang yang merasa telah berbuat baik atau memiliki ilmu akan cenderung memandang rendah orang lain, dan pandangan ini merusak seluruh amalnya, bahkan jika amal tersebut secara lahiriah sempurna. Pembersihan diri dari sifat ini memerlukan kesadaran terus-menerus akan keterbatasan diri dan anugerah Ilahi.
Riya' (Pamer):
Riya' adalah syirik kecil, tindakan beramal dengan niat untuk dilihat atau dipuji manusia. Al-Ghazali menganalisis riya' dalam berbagai bentuknya yang terselubung, dari yang paling jelas hingga yang paling halus, yang bahkan tidak disadari oleh pelakunya. Untuk mengobatinya, ia menyarankan agar seseorang melatih dirinya untuk beramal secara rahasia dan terus-menerus memfokuskan niat hanya kepada Allah (ikhlas). Perjuangan melawan riya' adalah perjuangan seumur hidup.
Hasad dan Dengki:
Hasad (iri hati) adalah api yang membakar kebaikan. Al-Ghazali membahas dampak destruktif hasad pada individu dan masyarakat. Ia mengajarkan bahwa hasad muncul dari cinta dunia yang berlebihan dan rasa tidak puas terhadap ketetapan Tuhan. Obatnya adalah kesadaran akan keadilan Ilahi dan latihan untuk mencintai bagi orang lain apa yang dicintai bagi diri sendiri.
Rubu' Keempat: Al-Munjiyat (Sifat-Sifat Penyelamat)
Bagian penutup ini adalah sisi positif dari penyucian jiwa, berfokus pada pembangunan sifat-sifat luhur yang membawa keselamatan di akhirat. Jika Rubu' Ketiga adalah tentang memangkas gulma, Rubu' Keempat adalah tentang menanam bunga. Ini adalah panduan praktis menuju maqam (tingkatan) tertinggi dalam tasawuf.
Tawakkul (Berserah Diri):
Tawakkul adalah salah satu fondasi iman yang dibahas secara mendalam. Bukan berarti pasif, melainkan upaya yang tulus diikuti dengan penyerahan total hasil kepada Tuhan, bebas dari kecemasan akan masa depan. Al-Ghazali mengajarkan bahwa tawakkul yang sejati hanya mungkin jika hati benar-benar yakin pada janji dan kuasa Allah.
Khauf dan Raja' (Takut dan Harap):
Keseimbangan antara rasa takut akan azab Tuhan (khauf) dan harapan akan rahmat-Nya (raja') adalah kunci dalam beribadah. Terlalu takut dapat menyebabkan keputusasaan, sementara terlalu berharap dapat menyebabkan kelalaian. Al-Ghazali menekankan bahwa keduanya harus berfungsi sebagai dua sayap burung yang membawa jiwa terbang menuju Tuhan.
Cinta (Mahabbah) dan Keridhaan (Rida):
Puncak dari perjalanan spiritual adalah mencapai cinta sejati kepada Allah (mahabbah) dan keridhaan total terhadap segala takdir-Nya (rida). Mahabbah, bagi Al-Ghazali, adalah hasil dari pengetahuan (ma’rifah) yang mendalam tentang keindahan dan kebaikan Tuhan. Rida adalah tanda puncak penyerahan diri, di mana hamba tidak lagi membedakan antara nikmat dan cobaan, karena keduanya datang dari Yang Dicintai.
Sintesis Metodologi: Menghubungkan Syariat dan Hakikat
Kekuatan abadi Ihya' Ulumuddin terletak pada kemampuannya menyatukan disiplin ilmu yang sebelumnya saling bersaing atau terpisah. Al-Ghazali tidak membuang fikih, kalam, atau logika; sebaliknya, ia menempatkan mereka pada tempatnya yang benar sebagai alat (wasilah), bukan tujuan akhir. Tujuan akhir, menurutnya, adalah ma’rifah (pengetahuan batin tentang Tuhan) yang hanya dapat dicapai melalui penyucian jiwa dan amal hati.
Membersihkan Filsafat dari Kenajisan
Sebelum menulis Ihya', Al-Ghazali menghasilkan Tahafut al-Falasifah (Kerancuan Para Filsuf), sebuah serangan sistematis terhadap metafisika Ibnu Sina dan Al-Farabi. Kritik ini bukanlah penolakan terhadap akal (logika) secara keseluruhan—bahkan Al-Ghazali mengadopsi logika dalam metodenya—tetapi penolakan terhadap klaim filsuf yang melampaui batas akal manusia. Tiga isu utama yang Al-Ghazali anggap kufur adalah klaim keabadian alam semesta, penolakan Tuhan mengetahui detail, dan penolakan terhadap kebangkitan jasmani. Dengan membedah dan menolak elemen-elemen berbahaya ini, Al-Ghazali membersihkan lahan intelektual agar ilmu-ilmu agama dapat dibangkitkan kembali tanpa ancaman rasionalisme ekstrem.
Integrasi Tasawuf dan Syariat
Kontribusi terbesar Al-Ghazali adalah integrasinya yang definitif antara tasawuf dan syariat. Sebelum dia, banyak sufi ekstrem yang meremehkan hukum formal, sementara ahli hukum meremehkan pengalaman spiritual. Al-Ghazali membuktikan bahwa keduanya tidak dapat dipisahkan. Syariat adalah kulit (tindakan lahiriah) dan tasawuf adalah isi (amal hati). Tidak ada isi tanpa kulit, dan kulit tanpa isi hanyalah jasad tak bernyawa.
Ia menyatakan bahwa ilmu fikih mengajarkan kita cara berinteraksi dengan dunia, sementara ilmu tasawuf mengajarkan kita cara berinteraksi dengan Tuhan. Melalui integrasi ini, ia berhasil membawa tasawuf keluar dari pinggiran masyarakat akademis dan menempatkannya sebagai jantung dari setiap kehidupan beragama yang autentik. Ini adalah penemuan kembali bahwa Islam pada dasarnya adalah jalan spiritual yang terstruktur oleh hukum Ilahi.
Alt Text: Ilustrasi Jalan Berliku, melambangkan perjalanan spiritual (Tasawuf) yang dimulai dari Syariat menuju Hakikat (Ma'rifah).
Warisan Abadi dan Pengaruh Abi Ihya Ulumuddin
Dampak pada Kurikulum dan Pendidikan
Setelah kembalinya Al-Ghazali ke madrasah di Nisyapur dan kemudian ke Tus, ia tidak hanya membawa buku, tetapi juga sebuah revolusi pendidikan. Fokus pengajaran bergeser. Sebelum Al-Ghazali, kurikulum didominasi oleh fikih dan ushul fikih (prinsip hukum), serta perdebatan kalam. Setelah Ihya' Ulumuddin, subjek-subjek ilmu hati, etika, dan penyucian jiwa (tasawuf) diakui sebagai ilmu agama yang esensial, sama pentingnya dengan ilmu hukum.
Karya-karya Al-Ghazali, terutama Ihya' dan ringkasannya seperti Minhajul Abidin, menjadi teks wajib di seluruh dunia Sunni, dari Maroko hingga Asia Tenggara. Ia memberikan landasan teoritis bagi madrasah untuk mengajarkan kesalehan pribadi seiring dengan kecakapan hukum. Warisan ini memastikan bahwa ulama-ulama berikutnya adalah ahli hukum yang juga memiliki kedalaman spiritual.
Menyelamatkan Tradisi Sunni
Pada abad ke-11 Masehi, ketika Al-Ghazali hidup, Islam Sunni menghadapi tantangan serius dari berbagai sisi: Ismailiyah (Syiah) yang kuat secara politik dan militer, rasionalisme filsafat yang merongrong akidah, dan kekeringan ritualistik dalam fikih. Al-Ghazali, melalui karya-karyanya, menyediakan benteng intelektual yang kokoh. Tahafut mengalahkan filsafat ekstrem, Ihya' merevitalisasi spiritualitas, dan karyanya yang lain memperkuat akidah Asy’ariyah dan hukum Syafi’i. Kontribusi ini sangat menentukan dalam konsolidasi dan stabilisasi ortodoksi Sunni. Ia memberi para cendekiawan Sunni alat yang mereka butuhkan untuk melawan skeptisisme dan ekstremisme, memastikan kelangsungan tradisi yang seimbang.
Metode Al-Ghazali yang menggunakan skeptisisme metodis—meragukan segala sesuatu untuk mencapai kepastian—sebenarnya mirip dengan metode Descartes berabad-abad kemudian, namun dengan tujuan yang berbeda: menemukan kepastian dalam cahaya kenabian dan pengalaman batin (dzawq). Ini menunjukkan bahwa Al-Ghazali adalah seorang pemikir yang sangat modern dalam pendekatannya terhadap epistemologi.
Rincian Mendalam Mengenai Konsep Amal Hati
Untuk memahami mengapa Ihya' Ulumuddin begitu tebal dan kaya, kita perlu mengapresiasi kedalaman analisisnya terhadap setiap amal hati. Setiap sifat baik atau buruk diperlakukan seolah-olah ia adalah sebuah disiplin ilmu tersendiri, dengan definisi, sebab-sebabnya, gejala-gejalanya, dan metode pengobatannya (untuk sifat buruk) atau pengembangannya (untuk sifat baik).
Perincian Konsep Sabar (Kesabaran)
Al-Ghazali mendedikasikan bab yang panjang untuk sabr. Ia menjelaskan bahwa sabar bukanlah sekadar menahan diri, tetapi sebuah maqam (kedudukan spiritual) yang aktif. Sabar dibagi menjadi beberapa jenis: sabar dalam menjalankan ketaatan (melawan kemalasan), sabar dalam menjauhi maksiat (melawan hawa nafsu), dan sabar dalam menghadapi musibah (melawan keputusasaan). Inti dari sabar adalah perlawanan yang didukung oleh kekuatan iman. Seseorang tidak dianggap sabar jika ia pasrah karena tidak ada pilihan lain; kesabaran sejati adalah menanggung kesulitan sambil menjaga hati tetap ridha dan lisan tetap berzikir. Ini adalah ilmu psikologi Islami yang mendalam, di mana ketidakstabilan emosi dilihat sebagai kekurangan spiritual yang harus diperbaiki melalui disiplin.
Konsep Muhasabah (Introspeksi Diri)
Pilar utama dalam Ihya’ adalah praktik muhasabah, atau evaluasi diri secara ketat dan berkelanjutan. Al-Ghazali membagi muhasabah menjadi dua tahap: muraqabah (pengawasan sebelum bertindak) dan muhasabah (evaluasi setelah bertindak). Ia mendesak pembaca untuk memperlakukan jiwanya sendiri seperti seorang mitra dagang yang dicurigai. Setiap malam, seseorang harus menghitung untung dan rugi spiritual hari itu. Jika ada kerugian (dosa), harus segera diikuti dengan mu’aqabah (hukuman diri) dan mujahadah (perjuangan keras untuk memperbaiki). Tanpa muhasabah harian yang disiplin, menurut Al-Ghazali, penyakit hati akan berakar dan sulit diobati.
Pentingnya Zuhud (Askestisme) yang Seimbang
Al-Ghazali membersihkan konsep zuhud dari kesalahpahaman. Zuhud (asketisme) bukanlah berarti meninggalkan dunia secara total, menjadi pengemis, atau menolak nikmat yang halal. Zuhud sejati adalah menyingkirkan dunia dari hati, bukan dari tangan. Seseorang boleh memiliki kekayaan, tetapi hatinya tidak terikat padanya. Jika dunia diambil darinya, ia tidak bersedih. Jika dunia datang kepadanya, ia tidak sombong. Zuhud adalah kemerdekaan hati dari kecanduan materi dan fokus total pada akhirat. Ia menekankan bahwa zuhud yang ideal adalah yang memampukan seseorang untuk beribadah dan melayani masyarakat, bukan yang menjadikannya beban sosial.
Melalui pembahasan rinci tentang setiap sifat, Al-Ghazali memberikan panduan yang sangat rinci mengenai tahalli (penghiasan jiwa dengan sifat baik) dan takhalli (pembersihan jiwa dari sifat buruk). Keseluruhan pembahasan ini memastikan bahwa teks tersebut tidak hanya dibaca, tetapi juga dihayati, menjadikan Ihya’ Ulumuddin lebih dari sekadar buku, melainkan sebuah peta jalan menuju kesucian batin.
Pengaruh Abi Ihya Ulumuddin di Dunia Kontemporer
Meskipun ditulis berabad-abad yang lalu, relevansi Ihya' Ulumuddin tetap tinggi di era modern. Dalam masyarakat kontemporer yang didominasi oleh materialisme, konsumerisme, dan krisis identitas spiritual, ajaran Al-Ghazali menawarkan solusi yang abadi.
Ia mengingatkan kita bahwa keberhasilan sejati bukanlah akumulasi harta atau gelar, melainkan pemurnian hati. Ketika ritual agama (salat, puasa) sering kali direduksi menjadi formalitas yang cepat, Al-Ghazali memaksa kita untuk kembali ke inti: niat yang murni dan hati yang hadir. Dalam konteks krisis psikologis modern, penekanannya pada muhasabah, tawakkul, dan mengatasi penyakit hati seperti iri hati dan kesombongan berfungsi sebagai terapi kognitif spiritual yang efektif. Ia mengajarkan bahwa kedamaian berasal dari harmoni internal, bukan dari kesesuaian eksternal.
Sintesis yang ia tawarkan juga krusial dalam menghadapi ekstremisme. Dengan menempatkan tasawuf di bawah payung syariat, Al-Ghazali menolak ekstremisme rasionalis (yang mengabaikan batin) maupun ekstremisme esoteris (yang mengabaikan hukum). Ia mendorong umat Islam untuk menjadi seimbang: cerdas dalam hukum dan etika, namun kaya dalam pengalaman spiritual. Ini adalah warisan yang terus menerus dipelajari dan diamalkan oleh jutaan Muslim, memastikan bahwa gelar Abi Ihya Ulumuddin kekal sebagai penghormatan bagi pria yang telah membangkitkan kembali ilmu-ilmu agama.
Tinjauan mendalam atas setiap bab dari empat rubu' memerlukan volume tersendiri. Sebagai contoh, di dalam Rubu’ Ketiga, dedikasi Al-Ghazali terhadap kajian penyakit batin sungguh tanpa tanding. Ia menyajikan analisis patologis tentang bagaimana cinta harta benda (Hubb al-Mal) dapat merusak seseorang, yang dimulai dari sekadar mencari kebutuhan hingga menjadi tujuan hidup, mengerasnya hati, dan akhirnya menjauhkan dari mengingat Tuhan. Ia tidak hanya mengkritik kekayaan itu sendiri, tetapi kecintaan yang melumpuhkan terhadap kekayaan tersebut.
Demikian pula, dalam Rubu’ Keempat, pembahasan tentang al-Sidq (Kebenaran/Ketulusan) melampaui kebenaran lisan. Kebenaran, bagi Al-Ghazali, harus mencakup kebenaran niat, kebenaran janji, dan kebenaran amal. Seseorang yang benar dalam imannya adalah seseorang yang tindakannya mencerminkan apa yang ia yakini di dalam hati, tanpa kontradiksi. Jika ada ketidaksesuaian antara yang lahir dan yang batin, maka kebenaran sejati belum tercapai, dan itu berarti ia masih berada di tahap awal perjalanan spiritual.
Puncak dari seluruh karya, seperti telah disebutkan, adalah Maqam Mahabbah (Cinta Ilahi). Al-Ghazali berpendapat bahwa semua ibadah, semua amal, semua perjuangan spiritual, pada akhirnya hanyalah sarana untuk mencapai satu tujuan: keridhaan dan cinta kepada Sang Khaliq. Semua ketakutan, harapan, dan kesabaran akan terasa ringan jika didasarkan pada cinta yang tulus. Cinta inilah yang menjadi kunci bagi Kebangkitan Ilmu-Ilmu Agama, mengubah pengetahuan teoritis menjadi pengalaman batin yang hidup dan bersemi.