Perjuangan Radikal Abi Husni Thamrin: Menggugat Keadilan Kota dan Kebangsaan
Representasi Abi Husni Thamrin, tokoh yang gigih memperjuangkan keadilan di pusat pemerintahan Batavia.
Mohammad Husni Thamrin, sosok yang akrab disapa Abi Husni oleh kalangan pergerakan nasional, bukanlah sekadar nama jalan besar yang membelah ibu kota. Ia adalah arsitek utama perlawanan sipil dan politik terhadap ketidakadilan sistem kolonial Belanda di Hindia Belanda, khususnya yang terjadi di Batavia. Perjuangannya melampaui retorika kebangsaan umum, masuk jauh ke dalam detail-detail administratif, anggaran, sanitasi, dan hak-hak dasar rakyat pribumi di perkotaan.
Analisis mendalam terhadap rekam jejak Abi Husni Thamrin menunjukkan bahwa ia adalah seorang realis radikal. Radikalismenya tidak diwujudkan melalui senjata atau agitasi massa yang bersifat revolusioner di jalanan, melainkan melalui penggunaan instrumen-instrumen kolonial itu sendiri—Dewan Kota (*Gemeenteraad*) dan Dewan Rakyat (*Volksraad*)—sebagai mimbar untuk menggugat dan mempermalukan sistem yang diskriminatif. Ia menjadikan politik anggaran, yang seringkali kering dan teknis, sebagai medan tempur utama untuk memperjuangkan nasib jutaan rakyat yang terpinggirkan.
Latar Belakang dan Fondasi Karakter Politik
Abi Husni Thamrin lahir dalam lingkungan yang unik. Meskipun ia berasal dari keluarga priayi yang memiliki koneksi dengan birokrasi kolonial, garis keturunannya juga memiliki akar kuat dalam masyarakat Betawi asli. Ayahnya, seorang wedana, memberinya akses pada pendidikan yang relatif baik, namun pengalaman hidupnya mengajarkan sebuah kontradiksi fundamental: kemakmuran dan keteraturan yang dinikmati oleh segelintir elite kolonial dan Eropa berbanding terbalik dengan kemiskinan dan kelalaian sanitasi yang dialami mayoritas penduduk pribumi di kampung-kampung Batavia.
Pendidikannya di sekolah Belanda membentuknya menjadi pribadi yang menguasai bahasa dan logika berpikir Barat, alat yang kemudian ia gunakan untuk membedah dan menyerang kelemahan argumen administrasi kolonial. Penguasaan yang mendalam terhadap struktur hukum, kebijakan fiskal, dan tata kota memberikannya keunggulan yang signifikan dibandingkan politisi pribumi lain yang mungkin fokus pada isu-isu kebangsaan yang lebih abstrak. Abi Husni mampu mengalihkan perdebatan dari ranah ideologis ke ranah teknis, memaksa pemerintah kolonial untuk bertanggung jawab atas inefisiensi dan diskriminasi konkret.
Batavia sebagai Medan Perjuangan Awal
Keputusan Abi Husni untuk memulai karier politiknya di *Gemeenteraad* Batavia (Dewan Kota) adalah langkah strategis yang sangat menentukan. Batavia, sebagai pusat pemerintahan dan kota terbesar di Hindia Belanda, adalah miniatur dari seluruh ketidakadilan kolonial. Di sini, segregasi sosial dan rasial terlihat paling mencolok. Kawasan Menteng dan Weltevreden adalah simbol kemewahan Eropa, sementara kampung-kampung di sekitar Senen, Jatinegara, dan Tangerang (yang saat itu masuk lingkup Batavia) menderita kekurangan air bersih, sanitasi, dan infrastruktur dasar.
Di *Gemeenteraad*, Abi Husni Thamrin menjadi mata dan suara bagi rakyat jelata. Ia tidak hanya menyuarakan keluhan; ia menyajikan data, laporan, dan perbandingan yang memalukan. Salah satu fokus utamanya adalah isu *waterleiding* (saluran air). Ia berulang kali membandingkan jumlah pipa air bersih per kapita yang dialokasikan untuk kawasan Eropa dengan alokasi minimal untuk kawasan pribumi. Perdebatan mengenai tarif air yang tinggi dan kualitas air yang buruk di kampung-kampung menjadi agenda rutin yang ia paksa masuk ke dalam pembahasan dewan, seringkali menghadapi resistensi keras dari fraksi Eropa dan birokrat kolonial yang konservatif.
Perjuangan ini bukan hanya soal kesehatan publik semata. Bagi Thamrin, akses terhadap air bersih adalah martabat. Ketika pemerintah kolonial berdalih bahwa pembangunan infrastruktur di kampung-kampung membutuhkan biaya besar dan tidak efisien, Abi Husni Thamrin membalas dengan argumen moral dan ekonomi: penyakit yang menyebar akibat sanitasi buruk akan merugikan perekonomian kota secara keseluruhan. Inilah ciri khasnya: menggabungkan tuntutan hak asasi dengan analisis pragmatis yang sulit dibantah oleh logika kapitalis kolonial.
Radikalisme Anggaran di Dewan Kota (Gemeenteraad)
Periode Abi Husni Thamrin di *Gemeenteraad* (dari sekitar 1919 hingga ia beralih penuh ke *Volksraad*) merupakan masa paling produktif dalam hal advokasi isu-isu lokal. Ia memahami bahwa kekuasaan kota terletak pada kontrol terhadap anggaran. Setiap sen yang dialokasikan menunjukkan prioritas kekuasaan. Oleh karena itu, ia fokus pada tiga pilar utama diskriminasi perkotaan:
1. Krisis Perumahan dan Program *Kampongverbetering*
Program perbaikan kampung (*kampongverbetering*) yang dicanangkan oleh pemerintah kolonial seringkali bersifat setengah hati dan hanya menyentuh permukaan masalah. Thamrin menuntut reformasi radikal dalam kebijakan perumahan. Ia mengkritik keras praktik penggusuran tanpa kompensasi yang layak dan lambatnya pembangunan perumahan sehat bagi pekerja pribumi. Ia menyoroti perbedaan mencolok antara anggaran yang dihabiskan untuk memperindah taman-taman di Weltevreden (kawasan Eropa) dengan ketiadaan dana yang memadai untuk membangun selokan tertutup, jalan setapak yang layak, dan penerangan publik di kampung-kampung padat.
Dalam salah satu perdebatan sengit mengenai alokasi dana infrastruktur, Thamrin menunjukkan bahwa biaya pembangunan satu kilometer jalan di kawasan elite setara dengan anggaran yang dialokasikan untuk perbaikan seluruh jaringan sanitasi di tiga kampung besar. Argumentasi ini, didukung oleh angka-angka yang diverifikasi, menciptakan tekanan publik yang besar. Ia tidak hanya menuntut alokasi dana yang lebih besar, tetapi juga menuntut agar pembangunan tersebut dikelola oleh kontraktor pribumi, menentang monopoli kontraktor Belanda yang seringkali mematok harga terlalu tinggi dan memberikan kualitas kerja yang rendah.
2. Transportasi Publik dan Keadilan Akses
Masalah transportasi, terutama trem dan bus, juga menjadi fokus Thamrin. Ia berargumen bahwa sistem transportasi publik Batavia dirancang untuk melayani kebutuhan komuter Eropa dan Tiongkok, sementara mayoritas pekerja pribumi harus berjalan kaki atau menggunakan angkutan yang mahal dan tidak layak. Ia menuntut perluasan rute trem ke daerah-daerah permukiman pribumi dan, yang lebih penting, pengurangan tarif yang diskriminatif. Ia melihat mobilitas sebagai kunci kemajuan sosial dan ekonomi; jika rakyat tidak bisa bergerak dengan efisien dan murah, mereka terperangkap dalam lingkaran kemiskinan di kampung mereka.
Gagasannya tentang subsidi transportasi untuk pekerja miskin sering kali ditolak sebagai 'sosialisme berlebihan' oleh anggota dewan Eropa. Namun, Abi Husni membalas dengan menjelaskan bahwa subsidi tersebut adalah kompensasi yang sah atas upah rendah yang dipaksakan oleh sistem kolonial. Ia berulang kali mendesak transparansi dalam manajemen perusahaan trem swasta yang seringkali mendapat konsesi besar dari pemerintah kota, namun gagal menyediakan layanan yang memadai bagi semua lapisan masyarakat.
Ketegasan Abi Husni di Dewan Kota memberinya reputasi sebagai seorang negosiator yang tangguh dan tidak kenal lelah. Ia mampu merangkul dukungan dari anggota Dewan yang berpandangan liberal dan bahkan beberapa anggota Belanda yang berpikiran etis, menciptakan koalisi minoritas yang efektif untuk memblokir atau memodifikasi proposal-proposal yang dianggap merugikan pribumi. Perjuangan di Batavia ini adalah sekolah politiknya, yang mempersiapkannya untuk panggung yang lebih besar di tingkat nasional.
Melangkah ke Volksraad: Menggugat Kedaulatan Nasional
Transisi Mohammad Husni Thamrin dari kancah lokal Batavia ke Volksraad (Dewan Rakyat) menandai perubahan skala perjuangannya, dari masalah selokan dan air bersih menjadi masalah kedaulatan dan pemerintahan mandiri. Di Volksraad, ia bergabung dengan tokoh-tokoh pergerakan nasional lainnya, namun ia membawa perspektif unik yang terbentuk dari pengalaman administratifnya yang mendalam: ia memahami cara kerja mesin birokrasi kolonial dari dalam, menjadikannya lawan yang berbahaya bagi rezim Belanda.
Mendirikan Fraksi Nasional (Nationale Fractie)
Pada tahun-tahun awal keterlibatannya di Volksraad, pergerakan nasional sering terpecah-pecah berdasarkan ideologi atau etnis. Abi Husni memainkan peran penting dalam menyatukan kekuatan ini. Pembentukan Fraksi Nasional (*Nationale Fractie*) pada periode vital perjuangan kebangsaan merupakan kristalisasi dari upayanya untuk menciptakan front politik yang kuat dan solid di dalam lembaga kolonial itu sendiri. Fraksi ini bertujuan menyatukan seluruh wakil pribumi yang memiliki kesamaan pandangan tentang perlunya Indonesia menentukan nasibnya sendiri, tanpa memandang suku atau agama.
Platform Fraksi Nasional sangat jelas: menuntut otonomi yang lebih besar, perombakan radikal terhadap struktur pemerintahan, dan penghentian praktik diskriminasi rasial di semua lini. Thamrin menggunakan kedudukannya sebagai pemimpin fraksi untuk menyusun mosi-mosi yang tidak hanya bersifat protes, tetapi juga menawarkan solusi kebijakan yang terperinci dan dapat dilaksanakan, menanggapi setiap argumen pemerintah dengan kontra-argumen yang kuat secara data.
Mosi Thamrin yang Legendaris
Salah satu momen paling krusial dalam kariernya di Volksraad adalah ketika ia mengajukan mosi yang menuntut agar istilah 'Nederlandsch-Indie' (Hindia Belanda) diganti menjadi 'Indonesia'. Ini lebih dari sekadar perubahan nama; ini adalah klaim politik yang tegas atas identitas nasional. Dengan mengajukan mosi ini, Abi Husni secara terbuka menantang legitimasi kolonialisme Belanda di mata hukum internasional dan politik. Meskipun mosi tersebut akhirnya ditolak oleh mayoritas suara Belanda dan kelompok konservatif, dampaknya terhadap moral dan kesadaran politik pribumi sangat besar. Mosi tersebut menjadi penanda bahwa perjuangan tidak lagi hanya soal perbaikan nasib, tetapi soal penentuan nasib sendiri.
Selain mosi identitas, Thamrin juga fokus pada mosi-mosi ekonomi yang menyerang inti eksploitasi kolonial, seperti kritik terhadap kebijakan pajak yang mencekik petani dan pedagang kecil, dan tuntutan untuk meningkatkan porsi anggaran pendidikan bagi anak-anak pribumi. Ia berargumen bahwa pendidikan adalah kunci untuk mempersiapkan rakyat Indonesia mengambil alih pemerintahan. Ia sering menggunakan perbandingan statistik yang menunjukkan bahwa investasi Belanda untuk pendidikan pribumi jauh tertinggal dibandingkan dengan Filipina (di bawah Amerika Serikat) atau India (di bawah Inggris), menyoroti kemunafikan klaim Belanda sebagai pelaksana politik etis.
Perjuangan Kesejahteraan Rakyat dan Ekonomi
Abi Husni Thamrin adalah seorang ekonom politik yang ulung. Ia menyadari bahwa kemerdekaan politik tidak berarti apa-apa tanpa kemandirian ekonomi. Oleh karena itu, ia secara konsisten memperjuangkan isu-isu terkait pertanian dan industri rakyat. Ia menentang keras sistem monopoli perdagangan yang menguntungkan perusahaan-perusahaan besar Eropa dan Tiongkok, yang merugikan pedagang pribumi.
Ia menuntut pendirian bank-bank kredit yang secara khusus melayani kebutuhan petani dan nelayan pribumi, bukan bank-bank yang hanya berorientasi pada modal besar perkebunan. Dalam setiap pidatonya mengenai anggaran, ia selalu menyisipkan analisis mendalam tentang bagaimana sistem pajak regresif (pajak yang membebani rakyat miskin lebih berat) harus diubah menjadi sistem pajak progresif. Perjuangan Thamrin di Volksraad adalah pelajaran tentang bagaimana politik kebangsaan harus diterjemahkan menjadi kebijakan publik yang konkret dan menyejahterakan.
Strategi Diplomasi dan Konfrontasi: Jembatan Konsensus
Kekuatan terbesar Abi Husni Thamrin terletak pada kemampuannya berdiplomasi sambil tetap memegang teguh prinsip-prinsip radikal. Ia adalah jembatan antara kelompok-kelompok moderat yang masih percaya pada kooperasi dengan Belanda, dan kelompok-kelompok non-kooperatif yang menuntut kemerdekaan penuh segera. Thamrin memahami bahwa untuk mencapai tujuan, ia perlu menggunakan setiap celah yang ada dalam sistem kolonial.
Seni Tawar-Menawar Politik
Dalam debat Volksraad, Abi Husni dikenal sebagai orator yang tenang, logis, namun tajam. Ia jarang menggunakan emosi yang meledak-ledak; sebaliknya, ia menggunakan fakta, data, dan perbandingan hukum untuk membongkar kebohongan kolonial. Ia mampu menjalin komunikasi yang efektif dengan Gubernur Jenderal dan anggota Dewan Hindia, memastikan bahwa tuntutannya didengar di tingkat tertinggi birokrasi. Namun, ia tidak pernah berkompromi pada substansi utama: hak rakyat pribumi untuk menentukan nasibnya sendiri.
Salah satu taktiknya yang paling efektif adalah mengajukan mosi-mosi yang sangat detail dan spesifik mengenai masalah sosial (seperti kemiskinan di kampung, malnutrisi, atau kesehatan), yang secara moral sulit ditolak oleh fraksi Belanda yang mengaku menjalankan Politik Etis. Setelah tuntutan sosial diterima, ia akan mengaitkannya dengan tuntutan politik yang lebih besar, misalnya, menuntut agar kontrol atas dana kesehatan diserahkan kepada badan lokal yang dikelola pribumi, sebagai langkah awal menuju pemerintahan mandiri.
Peran dalam Parindra
Thamrin juga berperan vital dalam organisasi pergerakan, khususnya Partai Indonesia Raya (Parindra). Parindra, yang merupakan gabungan dari berbagai organisasi regional, mencerminkan visi Thamrin tentang persatuan kebangsaan di atas perbedaan suku. Ia memposisikan Parindra sebagai kekuatan politik yang realistis, yang siap berpartisipasi dalam institusi kolonial (strategi kooperatif) namun dengan tujuan akhir yang jelas: Indonesia Merdeka. Strategi ini, yang disebut sebagai 'kooperasi yang radikal', memungkinkannya mengumpulkan sumber daya politik dan finansial yang sah sambil terus membangun fondasi gerakan kebangsaan yang terorganisir.
Melalui Parindra, Thamrin tidak hanya bekerja di Volksraad; ia membangun jaringan akar rumput yang kuat, mengorganisir pertemuan publik, dan mendirikan lembaga-lembaga pendidikan serta koperasi untuk meningkatkan taraf hidup rakyat kecil. Ini menunjukkan bahwa baginya, perjuangan politik parlementer dan perjuangan sosial ekonomi adalah dua sisi mata uang yang sama menuju kemerdekaan yang bermartabat.
Keseimbangan antara diplomasi dan konfrontasi yang dipegang teguh oleh Abi Husni Thamrin sangat berharga. Ia mengajarkan bahwa konfrontasi tidak harus selalu berarti kekerasan, melainkan dapat diwujudkan melalui penguasaan agenda, manipulasi birokrasi secara cerdas, dan tekanan moral yang konsisten di hadapan publik dan dunia internasional.
Analisis Mendalam: Kesenjangan Urban dan Kesehatan Publik
Untuk memahami kedalaman perjuangan Abi Husni Thamrin, kita harus kembali pada masalah urbanisasi di Batavia. Kota ini tumbuh pesat, namun pertumbuhannya bersifat dualistik. Di satu sisi, ada kota modern yang melayani kepentingan kolonial; di sisi lain, ada lautan *kampung* yang diabaikan. Thamrin adalah politisi pertama yang secara sistematis memetakan dan menyuarakan ketidakadilan spasial ini.
Epidemi dan Sanitasi yang Diabaikan
Masalah sanitasi di kampung-kampung Batavia jauh lebih buruk dari sekadar ketidaknyamanan; ia adalah mesin kematian. Wabah kolera, tifus, dan disentri sering menyebar dengan cepat karena buruknya sistem pembuangan limbah, ketiadaan jamban yang layak, dan tercemarnya sumber air tanah. Pemerintah kolonial cenderung melihat masalah ini sebagai masalah "pribumi" yang disebabkan oleh kebiasaan hidup yang tidak higienis, alih-alih sebagai kegagalan kebijakan tata kota kolonial.
Abi Husni Thamrin menolak narasi ini dengan keras. Ia menunjukkan data statistik kematian anak-anak pribumi yang jauh lebih tinggi dibandingkan anak-anak Eropa. Ia berargumen bahwa kesehatan adalah hak, bukan previlese. Ia menuntut agar alokasi dana untuk Dinas Kesehatan Publik tidak hanya fokus pada pencegahan penyakit yang mungkin mengancam komunitas Eropa, tetapi juga secara aktif masuk ke kampung-kampung untuk membangun infrastruktur dasar.
Perjuangan Abi Husni mengenai sanitasi sangat detail. Ia bahkan mendebatkan jenis material yang digunakan untuk pipa air, biaya penggalian sumur artesis, dan tarif retribusi sampah. Ia menuntut agar pemerintah kota bertanggung jawab atas pengumpulan sampah di setiap gang, alih-alih menyerahkannya kepada inisiatif masyarakat yang miskin. Detail ini menunjukkan kecermatan politiknya; ia tidak pernah membiarkan masalah rakyat kecil dianggap remeh atau terlalu teknis untuk dibahas di tingkat politik tertinggi.
Kritik Terhadap Kebijakan Tanah (*Grondbeleid*)
Masalah tanah dan permukiman adalah salah satu pilar utama eksploitasi di Batavia. Pemerintah kolonial sering menerapkan kebijakan yang memfasilitasi penguasaan tanah oleh spekulan Eropa dan pengusaha Tiongkok, memaksa penduduk asli keluar dari tanah leluhur mereka. Abi Husni Thamrin berulang kali mengadvokasi perlindungan hukum yang lebih kuat bagi hak-hak tanah adat dan menuntut regulasi yang ketat terhadap harga sewa tanah dan rumah di perkotaan.
Ia menyoroti bagaimana sistem sewa tanah yang tidak adil memaksa pribumi menghabiskan sebagian besar pendapatan mereka hanya untuk tempat tinggal yang tidak layak, menjebak mereka dalam kemiskinan struktural. Thamrin mengusulkan skema kredit perumahan rakyat yang disubsidi, sebuah gagasan yang sangat maju pada masanya, jauh mendahului program perumahan sosial modern. Usulannya ini ditolak oleh mayoritas konservatif di Volksraad, yang menganggap intervensi pemerintah dalam pasar perumahan sebagai pelanggaran terhadap prinsip ekonomi liberal.
Warisan Pemikiran dan Pengaruh Abadi Abi Husni Thamrin
Meskipun karier politik Mohammad Husni Thamrin dipersingkat oleh kondisi politik yang represif dan kesehatan yang memburuk, warisan pemikirannya tetap menjadi cetak biru bagi perjuangan kebangsaan yang berbasis pada kesejahteraan rakyat. Ia mengajarkan bahwa politik kebangsaan harus membumi, diterjemahkan menjadi perbaikan nyata dalam hidup sehari-hari rakyat jelata.
Sinkretisme Politik yang Realistis
Thamrin adalah tokoh yang sukses menggabungkan tiga elemen yang sering bertentangan dalam pergerakan nasional: kooperasi (berpartisipasi dalam institusi), modernitas (menggunakan alat dan logika Barat), dan radikalisme (tuntutan kemerdekaan total). Ia menunjukkan bahwa kooperasi tidak berarti menyerah, tetapi memanfaatkan kesempatan yang ada untuk mempercepat proses dekolonisasi dari dalam.
Ia meyakini bahwa perubahan struktural harus didukung oleh penguasaan pengetahuan. Oleh karena itu, ia gigih mendorong pendidikan dan pengorganisasian ekonomi rakyat. Ia melihat bahwa kemerdekaan sejati adalah kemerdekaan yang mampu memberikan setiap warga negara akses yang sama terhadap pendidikan, kesehatan, dan kesempatan ekonomi. Ini adalah visi yang jauh melampaui tuntutan simbolis bendera dan lagu kebangsaan.
Kritik yang dilontarkannya terhadap struktur agraria, ketidakadilan fiskal, dan diskriminasi di Volksraad adalah dokumentasi paling komprehensif yang pernah dibuat oleh seorang pribumi tentang kebobrokan sistem kolonial. Pidato-pidatonya, yang seringkali dipublikasikan oleh media nasionalis, menjadi bahan bakar bagi kesadaran kolektif tentang perlunya perubahan total.
Pentingnya Perjuangan Urban
Abi Husni Thamrin adalah pejuang urban yang ulung. Ia menyadari bahwa di Hindia Belanda, politik nasional seringkali didominasi oleh isu-isu pedesaan dan pertanian (seperti perkebunan gula atau kopi), namun masa depan Hindia Belanda terletak pada kota-kota, pusat administrasi dan ekonomi. Dengan memenangkan pertempuran di Batavia, ia menunjukkan bahwa kontrol atas pusat kekuasaan adalah kunci untuk membebaskan seluruh wilayah.
Perjuangannya di *Gemeenteraad* menciptakan fondasi bagi tata kelola kota yang lebih adil di masa depan. Banyak gagasan yang ia ajukan mengenai sanitasi, perumahan rakyat, dan transportasi publik, meskipun ditolak oleh Belanda, akhirnya diadopsi oleh pemerintah Indonesia setelah kemerdekaan. Ia adalah pionir dalam konsep pembangunan berkelanjutan dan inklusif di lingkungan perkotaan tropis.
Ketegasan Melawan Diskriminasi Rasial
Salah satu aspek yang paling ditekankan oleh Abi Husni Thamrin adalah perlunya penghapusan total diskriminasi rasial dalam layanan publik dan hukum. Ia menuntut agar perbedaan gaji antara pegawai negeri Belanda dan pribumi, yang memiliki kualifikasi yang sama, segera dihapuskan. Ia juga berjuang keras menentang segregasi di sekolah, rumah sakit, dan bahkan di ruang publik seperti bioskop dan trem.
Bagi Thamrin, diskriminasi adalah penghinaan terhadap martabat manusia yang tidak dapat ditoleransi. Ia menggunakan setiap forum untuk menyerang mentalitas superioritas rasial Belanda, tidak hanya dengan argumen moral, tetapi juga dengan menunjukkan bahwa diskriminasi tersebut menghambat efisiensi birokrasi dan menimbulkan instabilitas politik.
Perjuangan Abi Husni Thamrin adalah contoh abadi tentang bagaimana idealisme kebangsaan dapat diwujudkan melalui kerja keras di tingkat kebijakan dan anggaran, jauh dari sorotan drama revolusioner. Ia adalah sosok yang menggunakan pulpen dan argumen yang tajam sebagai senjata utama, melawan sistem yang dibangun di atas ilusi keunggulan dan ketidakadilan struktural. Warisannya adalah panggilan untuk setiap politisi agar selalu mengaitkan cita-cita besar dengan kebutuhan mendesak rakyat jelata di tingkat akar rumput.
Kontinuitas Perjuangan: Detail yang Tak Tergantikan
Untuk benar-benar menghargai kontribusi Abi Husni Thamrin, kita perlu melihat betapa detilnya ia dalam melancarkan kritik. Ia bukan sekadar politisi yang berteriak di podium; ia adalah akuntan dan birokrat yang handal dalam politik. Kemampuannya untuk membedah dokumen anggaran tahunan pemerintah kolonial adalah legenda. Ketika pihak kolonial menyajikan angka-angka yang memanipulasi, Thamrin selalu siap dengan angka tandingan yang benar dan berimbang.
Memperdebatkan Angka Defisit dan Surplus
Dalam debat anggaran Volksraad, seringkali pemerintah kolonial mengklaim adanya defisit besar dalam sektor-sektor publik (seperti pendidikan dan infrastruktur) untuk membenarkan pemotongan dana, sementara mereka menutupi surplus besar yang didapat dari sektor-sektor ekspor komoditas yang dikontrol Belanda. Thamrin dengan teliti mengungkapkan permainan angka ini. Ia menuntut pemisahan anggaran yang jelas antara dana yang diperoleh dari Hindia Belanda dan dana yang dialokasikan kembali, menunjukkan bahwa kekayaan yang dihasilkan oleh bumi Indonesia lebih dari cukup untuk membiayai kesejahteraan rakyat, asalkan tidak disalurkan ke kas di Den Haag.
Perjuangan ini sangat penting karena ia mengubah narasi. Pemerintah kolonial ingin masyarakat percaya bahwa mereka berbaik hati menyediakan dana bagi penduduk pribumi. Thamrin membuktikan sebaliknya: dana yang dialokasikan adalah sebagian kecil dari kekayaan yang dicuri dari mereka. Ia menuntut bahwa kebijakan fiskal harus didasarkan pada prinsip keadilan distributif, bukan eksploitasi imperial.
Advokasi untuk Petani Tebu dan Industri Gula
Selain fokus urban, Abi Husni juga memperjuangkan nasib petani tebu di Jawa. Industri gula adalah salah satu pilar ekonomi kolonial, namun petani pribumi seringkali menderita akibat harga beli yang rendah, kontrak yang tidak adil, dan praktik monopoli pabrik gula milik Belanda. Thamrin menuntut reformasi dalam sistem kontrak dan mendesak pemerintah untuk menetapkan harga minimum yang layak bagi tebu rakyat.
Perhatiannya terhadap detail menunjukkan pemahamannya bahwa kolonialisme adalah sistem yang bekerja di berbagai tingkat, dari tarif air di Batavia hingga harga tebu di pedalaman Jawa. Setiap ketidakadilan, sekecil apa pun, harus digugat secara sistematis dan terorganisir. Ia melihat penderitaan buruh perkebunan dan buruh pabrik sebagai manifestasi dari kegagalan sistem politik yang ia lawan.
Keberanian Thamrin di Volksraad tidak hanya terletak pada isi kritikannya, tetapi juga pada frekuensi dan intensitasnya. Tidak ada sesi dewan yang berlalu tanpa kritik tajam yang ia ajukan. Ia menggunakan setiap instrumen legislatif—interpelasi, mosi, dan pertanyaan lisan—untuk terus menekan pemerintah agar mengakui kegagalannya dan memenuhi janji-janji etis mereka yang kosong.
Penguasaan data dan fakta oleh Abi Husni Thamrin menempatkannya di atas lawan-lawannya. Ia jarang kalah dalam perdebatan faktual, dan ini seringkali membuat para birokrat Belanda merasa frustrasi. Mereka tidak bisa lagi menggunakan alasan bahwa kritik pribumi hanyalah luapan emosi tanpa dasar. Sebaliknya, mereka harus menghadapi politisi yang sama terdidiknya, namun memiliki komitmen moral yang jauh lebih tinggi terhadap rakyatnya.
Konflik dengan Rezim Represif dan Akhir Perjuangan
Meskipun Abi Husni Thamrin memilih jalur kooperatif dan parlementer, ia tetaplah tokoh yang sangat diawasi dan dianggap berbahaya oleh pemerintah kolonial, terutama ketika situasi politik global semakin memanas menjelang Perang Dunia. Tuntutan Thamrin untuk otonomi penuh, dan dukungannya terhadap ide-ide persatuan Asia (yang kemudian dianggap Belanda sebagai pro-Jepang), membuatnya menjadi target utama represi politik.
Penahanan dan Dampak Psikologis
Di akhir masa perjuangannya, tekanan dari pihak kolonial semakin memuncak. Setelah Thamrin semakin vokal menuntut partisipasi penuh pribumi dalam pemerintahan dan kritis terhadap kebijakan pertahanan Belanda, ia dituduh terlibat dalam gerakan subversif. Penangkapan sejumlah rekan dekatnya dan pengawasan ketat terhadap dirinya sendiri berdampak besar pada kesehatan dan psikologisnya.
Situasi ini menggambarkan dilema yang dihadapi semua tokoh kooperatif: mereka menggunakan sistem, tetapi sistem itu pada akhirnya akan berusaha menghancurkan mereka ketika mereka menjadi terlalu efektif. Penyakit yang diderita Thamrin diperburuk oleh ketegangan politik yang tak henti-hentinya dan ancaman terus-menerus. Kematiannya, yang terjadi dalam kondisi yang kontroversial dan penuh tekanan politik, mengakhiri salah satu karier politik paling brilian dan efektif di Hindia Belanda.
Namun, perjuangannya tidak sia-sia. Visi Thamrin tentang Indonesia yang bersatu, yang berdaulat secara politik dan mandiri secara ekonomi, telah mengakar kuat dalam kesadaran publik. Fraksi Nasional yang ia dirikan menjadi fondasi bagi persatuan politik yang lebih luas, dan isu-isu yang ia perjuangkan di *Gemeenteraad* dan *Volksraad* menjadi cetak biru bagi agenda pembangunan bangsa yang baru merdeka.
Penerus Visi Keadilan Urban
Abi Husni Thamrin meninggalkan warisan yang mendefinisikan perjuangan kebangsaan melalui lensa keadilan sosial dan urban. Ia membuktikan bahwa perjuangan untuk kemerdekaan tidak harus selalu menunggu revolusi besar; ia dapat diwujudkan dalam detail anggaran air, perbaikan selokan, dan peningkatan akses pendidikan. Ia mengajarkan bahwa seorang negarawan sejati harus memiliki visi besar tentang kedaulatan, tetapi juga perhatian yang mendalam terhadap penderitaan konkret rakyatnya di kampung-kampung kumuh.
Hingga kini, kisah Abi Husni Thamrin berfungsi sebagai pengingat kritis bahwa pembangunan nasional harus selalu dipandu oleh prinsip keadilan spasial dan ekonomi. Tanpa mengatasi kesenjangan yang ia lawan di Batavia—antara kawasan elite yang mewah dan kampung-kampung yang kekurangan fasilitas dasar—kemerdekaan politik hanya akan menjadi kemerdekaan bagi sebagian kecil elite. Thamrin adalah suara nurani, seorang radikal yang memilih meja perundingan dan buku anggaran sebagai medan perangnya yang paling strategis, demi mewujudkan martabat seutuhnya bagi bangsa Indonesia.
Setiap kali kita melewati jalan yang kini menyandang namanya, kita diingatkan akan dedikasinya yang tak terbatas terhadap detail-detail kebijakan yang membebaskan. Ia adalah simbol bahwa politik yang paling efektif adalah politik yang melayani kebutuhan paling mendasar dan terabaikan dari masyarakat, mengubah setiap rupiah anggaran menjadi investasi dalam kemanusiaan dan keadilan.
Kontinuitas pemikirannya terus relevan dalam konteks modern. Tantangan urbanisasi, infrastruktur yang tidak merata, dan segregasi ekonomi yang masih terjadi di kota-kota besar Indonesia menunjukkan bahwa "Mosi Thamrin" tentang keadilan struktural tetap menjadi tugas yang belum terselesaikan. Ia adalah teladan bagi politisi masa kini, yang harus mampu membaca anggaran dan memahami kebijakan publik sejelas mereka memahami retorika kebangsaan. Ini adalah inti dari warisan Abi Husni Thamrin: keberanian untuk berjuang di ruang yang paling teknis dan paling sering diabaikan, demi martabat jutaan rakyat yang tak terucapkan.
Ekspansi Detil: Implementasi Kebijakan dan Hambatan Kolonial
Sistem Kewajiban Kerja dan Upah Buruh
Salah satu hambatan terbesar yang dihadapi Abi Husni Thamrin adalah sistem kewajiban kerja paksa dan upah buruh yang sangat rendah. Thamrin menyadari bahwa peningkatan kualitas hidup di kampung-kampung (air bersih, sanitasi) tidak akan berkelanjutan jika penduduk tidak memiliki daya beli. Oleh karena itu, ia secara simultan memperjuangkan dua hal: intervensi pemerintah dalam infrastruktur dan intervensi dalam pasar tenaga kerja.
Di Volksraad, ia berulang kali mengajukan data perbandingan upah harian buruh pribumi di sektor perkebunan dan pabrik dengan upah minimum yang dibutuhkan untuk hidup layak. Ia mengecam keras penggunaan sistem denda dan hukuman fisik (seperti *poenale sanctie*) yang mengikat buruh pada majikan mereka. Bagi Thamrin, penghapusan *poenale sanctie* adalah isu kemanusiaan dan politik kebebasan. Ia berargumen bahwa tidak ada kemajuan sosial yang mungkin jika tubuh rakyat masih terikat oleh regulasi yang bersifat perbudakan modern.
Diskusi mengenai upah ini seringkali menjadi pertarungan ideologi yang pahit. Para pengusaha Belanda berdalih bahwa menaikkan upah akan merusak daya saing ekspor Hindia Belanda. Thamrin membalas bahwa daya saing yang dibangun di atas penderitaan dan eksploitasi manusia tidak memiliki dasar moral, dan bahkan secara ekonomi, buruh yang sehat dan berpendidikan akan lebih produktif. Ini adalah visi jangka panjang yang sering tidak dipahami oleh para administrator kolonial yang hanya fokus pada keuntungan kuartal.
Peran Pers dan Publikasi
Meskipun aktif di lembaga formal, Abi Husni Thamrin sangat bergantung pada dukungan media massa pribumi. Ia memahami kekuatan opini publik. Mosi dan pidatonya sering diterbitkan secara luas di surat kabar seperti *Pewarta Deli*, *Bintang Timoer*, dan media Parindra sendiri. Ini memastikan bahwa kritik yang ia lontarkan di ruang tertutup Volksraad menjadi pengetahuan publik, meningkatkan kesadaran politik dan memobilisasi dukungan rakyat.
Pemanfaatan media ini adalah bagian dari strategi radikalnya: ia menggunakan kebebasan pers yang terbatas untuk mengekspos kemunafikan kolonial. Ketika pemerintah mencoba membungkamnya dengan membatasi liputan, ia mencari cara lain, misalnya melalui laporan resmi yang ia paksa masuk ke dalam risalah dewan, yang secara hukum harus dipublikasikan. Dengan demikian, ia memastikan bahwa suaranya tidak bisa diabaikan, bahkan ketika para birokrat kolonial berusaha menutup telinga mereka.
Reformasi Pendidikan dan Akses Kaum Marhaen
Thamrin memandang pendidikan bukan sebagai alat asimilasi budaya, tetapi sebagai instrumen pembebasan. Ia mengkritik sistem pendidikan dualistik yang memprioritaskan sekolah-sekolah berbahasa Belanda untuk elite dan membiarkan sekolah-sekolah pribumi (seperti Sekolah Rakyat) kekurangan dana dan guru yang berkualitas. Ia menuntut peningkatan alokasi anggaran yang signifikan untuk pendidikan dasar yang dapat diakses oleh semua anak pribumi.
Ia juga sangat mendukung upaya pendirian sekolah-sekolah yang dikelola oleh organisasi pribumi, seperti Taman Siswa, dan berjuang agar sekolah-sekolah tersebut mendapatkan subsidi yang setara dengan sekolah-sekolah yang dikelola pemerintah. Baginya, pendidikan adalah investasi paling fundamental dalam kemerdekaan: hanya bangsa yang terdidik yang mampu mengelola negaranya sendiri secara mandiri dan efektif.
Menantang Sentralisasi Kekuasaan
Di Volksraad, Abi Husni juga gigih menentang sentralisasi kekuasaan yang berlebihan di tangan Gubernur Jenderal dan Dewan Hindia. Ia menuntut desentralisasi fiskal dan administratif, memberikan otonomi yang lebih besar kepada pemerintah daerah (provinsi dan kota), asalkan otoritas lokal tersebut dikendalikan oleh perwakilan pribumi yang sah. Ia percaya bahwa desentralisasi adalah cara untuk memberdayakan rakyat di tingkat lokal dan mengurangi dominasi birokrasi yang berpusat di Batavia.
Mosi-mosinya mengenai desentralisasi seringkali dikemas dengan argumen efisiensi: ia berpendapat bahwa pejabat lokal pribumi lebih memahami kebutuhan rakyat mereka sendiri dibandingkan administrator Belanda yang dikirim dari jauh. Tuntutan ini secara implisit menantang struktur piramida kekuasaan kolonial itu sendiri, mengusulkan struktur pemerintahan yang lebih horizontal dan responsif terhadap tuntutan rakyat.
Epilog: Semangat Perjuangan yang Menerangi Zaman
Warisan Abi Husni Thamrin adalah sintesis sempurna antara pragmatisme politik dan idealisme kebangsaan. Ia mengajarkan bahwa perjuangan tidak mengenal lelah, dan keadilan seringkali tersembunyi dalam detail-detail teknis dan administrasi yang membosankan. Ia adalah insinyur sosial yang menggunakan anggaran sebagai cetak biru untuk menciptakan masyarakat yang lebih adil dan setara.
Pemikirannya tentang kemiskinan perkotaan, kesehatan publik sebagai hak asasi, dan tuntutan untuk transparansi fiskal tetap menjadi landasan bagi siapapun yang bertekad membangun bangsa yang benar-benar berdaulat. Keberaniannya untuk masuk ke sarang kekuasaan kolonial, memahami aturannya, dan kemudian menggunakan aturan tersebut untuk melawan para pembuatnya adalah pelajaran tak ternilai dalam sejarah pergerakan nasional Indonesia.
Dalam setiap langkah pembangunan, dari tata kota hingga kebijakan ekonomi, resonansi suara Abi Husni Thamrin terdengar. Ia mengingatkan kita bahwa keberhasilan suatu bangsa diukur bukan dari kemegahan infrastruktur yang dibangun di pusat kota, tetapi dari seberapa baik ia telah mengatasi penderitaan dan ketidakadilan yang diderita oleh warga negaranya yang paling rentan. Itulah esensi dari perjuangan radikal Mohammad Husni Thamrin.
Latar belakangnya yang memungkinkan ia melihat dunia dari dua perspektif—perspektif birokrasi yang terdidik dan perspektif rakyat Betawi yang tertindas—memberinya keunggulan moral dan intelektual. Ia tahu persis bagaimana sistem itu bekerja dan bagaimana ia harus dibongkar, satu per satu, melalui instrumen yang paling mendasar: politik anggaran dan hukum. Ini adalah warisan yang jauh lebih dalam dan abadi daripada sekadar monumen fisik yang kini berdiri menghormati namanya di jantung ibu kota.
Refleksi Mendalam Terhadap Metode Thamrin
Metode perjuangan Abi Husni Thamrin dikenal sebagai "politik anggaran yang radikal." Istilah ini merangkum pendekatannya yang unik: menggunakan alat keuangan yang teknis untuk mencapai tujuan politik yang fundamental. Metode ini memiliki beberapa lapisan analisis yang patut diuraikan.
1. Penguasaan Data sebagai Senjata
Thamrin tidak pernah berbicara tanpa data yang kuat. Ketika ia menuntut perbaikan sanitasi, ia menyajikan angka kematian bayi di kampung-kampung; ketika ia mengkritik kebijakan pajak, ia menunjukkan laporan surplus hasil bumi yang dikirim ke Eropa berbanding terbalik dengan defisit anggaran di daerah-daerah penghasil. Penguasaan data ini menetralkan serangan pribadi dan memaksa lawan-lawannya untuk merespons pada tingkat teknis, bukan emosional atau rasial. Ini adalah profesionalisme yang diabdikan pada revolusi, sebuah taktik yang sangat modern.
2. Mendorong Kompromi yang Merugikan Kolonial
Dalam banyak kasus, Thamrin tidak mengharapkan mosi radikalnya disetujui secara keseluruhan. Sebaliknya, tujuan utamanya adalah memaksa pemerintah kolonial untuk berkompromi dan mengalokasikan sumber daya yang tadinya tidak terbayangkan untuk dialokasikan bagi pribumi. Misalnya, jika ia menuntut 100% dana untuk pembangunan sekolah, ia tahu bahwa tuntutan itu akan ditolak. Namun, penolakan itu akan terasa sangat kontras, sehingga akhirnya dewan setuju mengalokasikan 30% atau 40%, jumlah yang jauh lebih besar daripada yang pernah mereka rencanakan sebelumnya. Ini adalah seni menetapkan standar tuntutan yang sangat tinggi.
3. Menantang Legitimasi Birokrasi
Setiap kali Thamrin menunjukkan kegagalan pemerintah kolonial dalam menyediakan layanan dasar—seperti kegagalan dalam menyediakan obat-obatan di rumah sakit atau buku di sekolah—ia secara efektif menantang klaim utama kolonialisme: bahwa Belanda memerintah untuk kebaikan penduduk pribumi (Politik Etis). Dengan membongkar kegagalan operasional ini, Thamrin mengubah Politik Etis dari dalih ideologis menjadi standar kinerja yang harus dipenuhi. Ketika standar itu gagal dipenuhi, legitimasi kekuasaan kolonial pun runtuh di mata publik dan sebagian komunitas internasional.
4. Pengorganisasian Konsensus Multirasial
Meskipun perjuangan utamanya adalah untuk pribumi, Thamrin adalah tokoh yang mampu membangun konsensus yang melampaui batas rasial. Di *Gemeenteraad* dan *Volksraad*, ia terkadang bekerja sama dengan anggota liberal Belanda, Indo-Eropa, dan perwakilan Tiongkok yang memiliki pandangan progresif terhadap isu-isu sosial. Kemampuannya untuk menarik garis pemisah bukan berdasarkan ras, melainkan berdasarkan ideologi (antara progresif dan konservatif), sangat memperkuat posisinya dan menunjukkan visinya tentang masyarakat Indonesia yang inklusif di masa depan.
Semua aspek ini menunjukkan Abi Husni Thamrin bukan hanya seorang orator ulung, melainkan seorang ahli strategi politik yang sangat canggih. Ia menguasai baik 'ilmu' (data, hukum, birokrasi) maupun 'seni' (negosiasi, pembentukan opini publik, dan membangun koalisi) politik. Hingga hari ini, model Thamrin tetap menjadi pedoman yang relevan tentang bagaimana aktivisme politik dapat diterjemahkan menjadi perubahan kebijakan yang substantif dan terukur, bahkan dalam menghadapi kekuasaan yang represif dan superior secara sumber daya.
Kemampuannya mengintegrasikan isu-isu lokal yang sangat spesifik (seperti bau selokan di Senen atau tumpukan sampah di Jatinegara) ke dalam kerangka debat nasional tentang kedaulatan dan otonomi adalah bukti kejeniusan politiknya. Ia menjadikan penderitaan sehari-hari rakyat jelata sebagai argumen politik yang tak terbantahkan di hadapan kekuasaan kolonial.
Ia menuntut agar pemerintah kolonial tidak lagi memperlakukan masyarakat pribumi sebagai entitas yang homogen dan pasif, melainkan sebagai warga negara yang berhak atas representasi yang adil dan alokasi sumber daya yang proporsional. Perjuangan detail ini menciptakan gelombang kesadaran yang terus-menerus, mengikis fondasi kekuasaan kolonial perlahan namun pasti.
Maka, memandang Mohammad Husni Thamrin hanya sebagai seorang nasionalis adalah kurang lengkap; ia adalah seorang pembaharu sosial, seorang ekonom politik, dan seorang arsitek tata kota yang menggunakan idealismenya untuk membangun fondasi bagi Indonesia yang lebih adil, dimulai dari selokan paling kecil hingga undang-undang paling tinggi di Volksraad.