Abi Hurairata: Pewaris Ilmu Kenabian yang Paling Setia

Ilustrasi Abi Hurairata yang sedang belajar, melambangkan dedikasi pada ilmu Sebuah ilustrasi sederhana seorang pria (Abi Hurairata) duduk di tanah dengan kitab/gulungan di depannya, melambangkan Ahlus Suffah dan dedikasinya pada hadis. Seekor kucing kecil terlihat di sampingnya. Ilmu Abi Hurairata (Sang Pencari Ilmu)

Dedikasi Abi Hurairata terhadap ilmu pengetahuan Nabi Muhammad SAW.

I. Pendahuluan: Sang Pelestari Tradisi Kenabian

Dalam sejarah Islam, nama Abi Hurairata radhiyallahu 'anhu bersinar terang sebagai salah satu tokoh paling sentral dalam transmisi ajaran Rasulullah Muhammad SAW. Meskipun masa keislamannya terbilang singkat—sekitar empat tahun sebelum wafatnya Nabi—ia berhasil mengumpulkan dan menghafal sejumlah besar hadis, melebihi sahabat-sahabat senior lainnya yang memeluk Islam jauh lebih awal. Sosok ini adalah cerminan sempurna dari dedikasi total terhadap ilmu, meninggalkan segala kesibukan duniawi demi mendampingi Sang Nabi, menyerap setiap kata, tindakan, dan persetujuan beliau.

Nama asli beliau adalah ‘Abdurrahman bin Shakhr Ad-Dausi, atau ada pula yang menyebut ‘Abdullah bin ‘Amir, namun nama ‘Abdurrahman bin Shakhr adalah yang paling masyhur. Yang pasti, beliau mengganti nama beliau setelah masuk Islam dari nama Jahiliyah menjadi ‘Abdurrahman (Hamba Maha Pengasih). Gelar yang melekat erat padanya, Abi Hurairata (Bapak Kucing Kecil), memiliki kisah yang unik dan penuh kehangatan, menjadi penanda kepribadiannya yang sederhana dan penuh kasih sayang.

Kisah hidup Abi Hurairata bukanlah kisah kemewahan atau kekuasaan politik yang gemilang di awal perjalanannya, melainkan kisah perjuangan kemiskinan, kelaparan yang mendera, dan pengorbanan yang tak kenal lelah demi mendapatkan ilmu. Beliau adalah simbol dari para pencari ilmu yang ikhlas, yang bersedia menanggung penderitaan fisik demi kekayaan spiritual yang tak ternilai harganya.

Tugas utama dalam artikel yang luas ini adalah mengungkap secara mendalam dimensi-dimensi kehidupan agung beliau: bagaimana beliau mencapai kapasitas ingatan yang luar biasa, mengapa beliau menjadi perawi terbanyak, bagaimana kehidupan beliau sebagai anggota Ahlus Suffah, dan bagaimana warisan keilmuannya membentuk fondasi syariat Islam hingga hari ini.

II. Dari Daws ke Madinah: Perjalanan Menuju Iman

Abi Hurairata berasal dari kabilah Daws, salah satu suku di wilayah Yaman. Kehidupan awal beliau diselimuti oleh kemiskinan dan kesulitan. Beliau tumbuh tanpa kehadiran ayah, hidup dalam asuhan ibunya. Kondisi sosial dan ekonomi yang serba terbatas ini menempa karakternya menjadi sosok yang tahan uji dan sabar. Kabilah Daws pada umumnya adalah kabilah yang terlambat menerima Islam, baru setelah periode hijrah yang panjang ke Madinah dan ketika kekuatan Islam sudah mulai kokoh.

Masuk Islam dan Hijrah

Islam sampai kepada Abi Hurairata melalui utusan kabilahnya, ath-Thufail bin Amr ad-Dausi, seorang kepala suku yang telah lebih dahulu memeluk Islam di Makkah. Ketika ath-Thufail kembali ke Yaman, Abi Hurairata termasuk di antara sedikit orang yang segera menerima ajakan iman tersebut. Peristiwa ini terjadi pada tahun ketujuh Hijriyah, tepatnya pada tahun Khaibar, saat Nabi Muhammad SAW sedang sibuk menghadapi berbagai ekspedisi militer dan pembangunan negara.

Abi Hurairata memutuskan untuk meninggalkan kampung halaman, meninggalkan segala yang ia miliki—yang memang tidak banyak—dan berhijrah ke Madinah. Keputusan hijrah ini adalah titik balik fundamental dalam hidupnya. Begitu tiba di Madinah, beliau langsung bergabung dalam barisan kaum fakir yang berdedikasi penuh untuk Islam, dikenal sebagai *Ahlus Suffah*.

Masa kebersamaan beliau dengan Nabi Muhammad SAW memang hanya berlangsung sekitar empat tahun, namun empat tahun itu dijalani dengan intensitas yang luar biasa. Beliau tidak menyia-nyiakan satu detik pun yang bisa dihabiskan bersama Rasulullah. Sementara sahabat lain harus mengurus perdagangan, pertanian, atau keluarga, Abi Hurairata bebas dari tanggung jawab duniawi tersebut, memungkinkan beliau menjadi bayangan Rasulullah, mendengarkan, mencatat (dalam hati), dan mengamati setiap detail ajaran yang disampaikan.

Pilihan Hidup sebagai Ahlus Suffah

Ahlus Suffah adalah kelompok sahabat miskin yang tinggal di serambi Masjid Nabawi. Mereka tidak memiliki rumah, harta, atau keluarga di Madinah. Mereka mendedikasikan hidup mereka sepenuhnya untuk belajar Al-Qur'an dan sunnah. Kehidupan mereka adalah gambaran ekstrem dari zuhud (asketisme) dan fokus total pada akhirat. Abi Hurairata adalah salah satu anggota paling gigih dari kelompok ini.

Kelaparan adalah makanan sehari-hari bagi mereka. Abi Hurairata sering menceritakan bagaimana saking laparnya, beliau pernah terkapar di depan pintu masjid, mengira pingsan karena penyakit, padahal hanya karena perutnya kosong. Kelaparan ini bahkan terkadang membuatnya harus mengikatkan batu ke perutnya untuk mengurangi rasa sakit. Namun, penderitaan ini tidak pernah menggoyahkan tekadnya. Beliau selalu berujar, "Sungguh, aku lebih memilih perutku kosong agar dapat selalu bersama Rasulullah, daripada perutku kenyang namun kehilangan kesempatan mendengarkan sepotong hadis."

III. Makna di Balik Kunya: Kisah 'Abi Hurairata'

Dalam tradisi Arab, dipanggil dengan *kunya* (nama kehormatan yang dimulai dengan Abu/Abi atau Ummu/Umm) adalah hal yang lumrah. Nama kehormatan 'Abi Hurairata' memiliki arti harfiah "Bapak Kucing Kecil". Kisah di balik gelar ini menunjukkan sisi lembut dan kemanusiaan Abi Hurairata yang sering terabaikan di tengah fokus pada statusnya sebagai ulama hadis.

Dalam salah satu riwayatnya, beliau menjelaskan bahwa gelar tersebut diberikan kepadanya karena beliau sering membawa seekor anak kucing kecil dalam sakunya atau dalam lengan bajunya. Anak kucing itu adalah hewan peliharaan yang beliau temukan dan sangat beliau sayangi. Rasulullah SAW pernah melihatnya dan tersenyum, lalu memanggilnya, "Ya Abi Hurairah!" Sejak saat itu, gelar tersebut melekat padanya.

Penting untuk dipahami bahwa meskipun beliau memiliki nama asli yang mulia ('Abdurrahman), gelar Abi Hurairata menjadi sangat populer sehingga ia hampir tidak pernah dipanggil dengan nama aslinya. Gelar ini bukan hanya sekadar nama panggilan, tetapi simbol dari kasih sayang, kesederhanaan, dan keakraban yang beliau miliki bahkan terhadap makhluk kecil. Hal ini selaras dengan ajaran Islam tentang rahmat universal.

Keterikatan emosional ini mencerminkan betapa dekatnya beliau dengan alam dan seberapa jauh beliau dari kesombongan duniawi. Beliau adalah sosok yang rendah hati, yang tidak peduli dengan gelar kebangsawanan atau kekayaan, melainkan bangga dengan gelar yang diberikan langsung oleh Nabi karena seekor anak kucing. Ini membuktikan bahwa kebesaran seseorang tidak diukur dari harta, tetapi dari kedekatan hati dengan ajaran kasih sayang.

IV. Keajaiban Ingatan: Berkah Doa Kenabian

Pertanyaan yang sering muncul mengenai Abi Hurairata adalah: bagaimana mungkin beliau yang baru masuk Islam di akhir periode kenabian, mampu meriwayatkan hadis jauh lebih banyak daripada sahabat-sahabat yang telah bersama Nabi selama dua puluh tahun atau lebih? Jawabannya terletak pada dedikasi yang tak tertandingi dan campur tangan ilahi melalui doa Rasulullah SAW.

Prioritas Ilmu Di Atas Segalanya

Para sahabat senior seperti Abu Bakar, Umar, dan Utsman, meskipun sangat mulia dan berilmu, disibukkan oleh urusan pemerintahan, jihad, perdagangan, dan keluarga. Mereka tidak memiliki waktu luang yang sepenuhnya terdedikasi untuk mendampingi Nabi sepanjang waktu. Sebaliknya, Abi Hurairata, sebagai anggota Ahlus Suffah, tidak memiliki tanggung jawab tersebut. Waktunya adalah sepenuhnya milik Allah dan Rasul-Nya.

Beliau sendiri sering menjelaskan perbedaan antara dirinya dan sahabat-sahabat senior. Ia berkata, "Saudara-saudaraku dari kalangan Muhajirin sibuk berdagang di pasar, dan saudara-saudaraku dari kalangan Anshar sibuk mengurus kebun mereka, sedangkan aku tetap berada di sisi Rasulullah SAW dengan perut kenyang atau lapar, menghafal apa yang tidak mereka hafal."

Faktor utama adalah konsentrasi mutlak. Kehidupan beliau adalah sebuah perpustakaan bergerak, merekam setiap ucapan, setiap senyum, dan setiap isyarat dari Rasulullah. Keadaan ini menciptakan lingkungan belajar yang optimal, di mana setiap hadis yang keluar dari lisan Nabi langsung masuk ke dalam memori Abi Hurairata.

Doa yang Mengubah Takdir

Meskipun dedikasi sudah maksimal, Abi Hurairata pernah mengeluhkan kepada Rasulullah SAW tentang kesulitan dalam menghafal dan takut hadis-hadis tersebut akan terlupakan. Momen inilah yang menjadi titik krusial. Dalam sebuah riwayat masyhur, Abi Hurairata datang kepada Nabi dan berkata, "Wahai Rasulullah, sungguh aku mendengar banyak hal darimu, namun aku takut melupakannya."

Mendengar keluhan yang tulus ini, Rasulullah SAW memerintahkan Abi Hurairata untuk membentangkan kain sorbannya atau selendangnya di tanah. Kemudian, Nabi SAW menggerakkan tangannya seolah-olah menuangkan sesuatu ke atas kain tersebut, lalu memerintahkannya untuk melipat kembali kain itu ke dadanya.

Setelah itu, Rasulullah SAW berdoa khusus untuknya, memohon kepada Allah SWT agar memberkahi Abi Hurairata dengan ingatan yang sempurna dan tidak pernah lupa. Ini adalah mukjizat yang dianugerahkan kepada beliau. Setelah kejadian itu, Abi Hurairata bersumpah bahwa beliau tidak pernah melupakan satu pun hadis yang pernah didengarnya dari Rasulullah. Berkah doa ini adalah pengakuan langsung dari Nabi atas keikhlasan dan pengorbanan beliau.

Abi Hurairata kemudian menjadi saksi hidup atas kekuatan doa kenabian. Ingatannya menjadi begitu tajam, begitu presisi, sehingga ia dapat mengingat detail percakapan yang terjadi bertahun-tahun sebelumnya. Kemampuan ini menjadi aset terbesar bagi umat Islam, karena memastikan ribuan ajaran Nabi tidak hilang ditelan waktu.

V. Metode Periwayatan dan Peran Sebagai Pusat Hadis

Abi Hurairata meriwayatkan sekitar 5.374 hadis. Angka ini menjadikannya perawi hadis terbanyak dalam sejarah Islam, jauh melampaui Anas bin Malik (sekitar 2.286 hadis) atau bahkan Ibnu Umar (sekitar 2.630 hadis). Jumlah yang fantastis ini menimbulkan keheranan sekaligus perdebatan di kalangan ulama, namun akhirnya ditetapkan bahwa kelebihan beliau ini adalah anugerah murni yang didukung oleh metodologi yang ketat.

Ketelitian dan Verifikasi

Meskipun beliau adalah perawi yang sangat produktif, beliau tidak sembarangan dalam menyampaikan hadis. Ulama-ulama Tabi’in dan sahabat-sahabat lainnya yang hidup sezaman dengannya—termasuk Umar bin Khattab dan Ali bin Abi Thalib—kadang-kadang menguji ingatannya atau meminta klarifikasi atas riwayat yang beliau sampaikan. Tes-tes ini selalu berhasil ia lalui dengan gemilang, membuktikan akurasi dan ketelitiannya.

Metodologi beliau berfokus pada dua hal: *Mudawamah* (pendampingan yang berkelanjutan) dan *Tadarus* (pengulangan). Beliau selalu mengulang-ulang hadis yang didengarnya, baik sendiri maupun bersama sahabat Ahlus Suffah lainnya. Pengulangan ini memperkuat memori dan memastikan bahwa hadis tersebut tertanam kuat.

Beliau juga memiliki keistimewaan berupa kesempatan untuk mendengarkan hadis dari banyak sahabat lain selain langsung dari Nabi SAW, seperti dari Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Al-Fadl bin Abbas. Ini memperluas jangkauan periwayatannya dan memperkuat rantaian sanad.

Mempertahankan Hadis di Tengah Kritik

Mengingat banyaknya hadis yang diriwayatkannya, beberapa sahabat senior di awal masa Islam, terutama di masa kekhalifahan Umar, sempat merasa perlu mengawasi dan memverifikasi riwayat-riwayat Abi Hurairata. Umar bin Khattab dikenal sangat ketat dalam urusan periwayatan. Jika Abi Hurairata tidak yakin dengan suatu riwayat, Umar akan memintanya untuk diam dan tidak meriwayatkannya.

Namun, perlu ditekankan bahwa pengawasan ini adalah bagian dari upaya konservasi ilmu dan memastikan hadis tidak tercampur dengan pendapat pribadi. Hal ini bukanlah kritik terhadap integritas Abi Hurairata, melainkan pengakuan atas perannya sebagai penyebar hadis utama, yang harus dijaga kemurnian riwayatnya. Abi Hurairata menerima teguran dan pengawasan ini dengan lapang dada, memahami pentingnya akuntabilitas dalam agama. Beliau bahkan meriwayatkan hadis tentang pentingnya kehati-hatian dalam periwayatan.

Seiring waktu, ketika para sahabat lain mulai menyadari betapa kuat dan akuratnya ingatan Abi Hurairata berkat doa Nabi, keraguan tersebut hilang. Ibnu Umar, salah satu perawi hadis terkenal lainnya, pernah berkata: "Abi Hurairata lebih sering menyertai Rasulullah SAW dan lebih mengetahui hadis-hadisnya daripada kami."

Hadis-Hadis Khas Abi Hurairata

Banyak hadis fundamental yang menjadi landasan fiqih, akhlak, dan aqidah bersumber darinya. Contoh hadis-hadis yang paling sering diriwayatkan dan digunakan secara luas mencakup:

Warisan lisan ini, yang kemudian dibukukan oleh para ulama hadis seperti Imam Bukhari dan Imam Muslim, membentuk inti dari Sunnah Nabawiyah. Tanpa ketekunan dan pengorbanan Abi Hurairata, sebagian besar rincian praktis dalam Islam mungkin akan hilang.

VI. Ilmu dan Zuhud: Kehidupan Seorang ‘Alim yang Rendah Hati

Kehidupan Abi Hurairata dapat dibagi menjadi dua fase: masa Ahlus Suffah yang penuh kemiskinan dan kelaparan, dan masa setelah wafatnya Nabi, ketika Islam meluas dan beliau mendapatkan kedudukan serta kekayaan. Namun, peningkatan status sosial dan ekonomi ini tidak pernah merusak zuhud dan kerendahan hati yang telah tertanam kuat dalam dirinya.

Kehidupan di Tengah Kelaparan

Abi Hurairata sering bercerita tentang betapa parahnya kelaparan yang beliau alami selama di Suffah. Beliau menggambarkan bagaimana terkadang beliau harus berdiri di tengah jalan, berharap ada seorang sahabat yang lewat dan mengajaknya makan, meskipun ia tahu bahwa sebagian besar sahabat juga hidup sederhana. Pengalaman ini mengajarkan beliau nilai setiap remah makanan dan membuatnya sangat bersyukur.

Dalam salah satu kisah, beliau pernah duduk di dekat mimbar Nabi, dan saking laparnya, beliau merasa seolah-olah harus segera pingsan. Saat Abu Bakar lewat, beliau menanyakan suatu ayat Qur’an padanya—bukan karena beliau tidak tahu, tetapi berharap Abu Bakar mengerti kondisi fisiknya dan mengajaknya makan. Abu Bakar menjawab dan berlalu. Kemudian Umar lewat, dan beliau melakukan hal yang sama, dan Umar juga berlalu.

Ketika Rasulullah SAW melihatnya, beliau tersenyum, menyadari kondisi sahabatnya itu. Nabi mengajaknya pulang ke rumah. Di rumah, Nabi hanya menemukan sedikit susu. Nabi kemudian meminta Abi Hurairata memanggil semua Ahlus Suffah. Meskipun Abi Hurairata khawatir susu itu tidak cukup, ia patuh. Dengan mukjizat Nabi, susu tersebut cukup untuk diminum oleh seluruh Ahlus Suffah dan Nabi sendiri, bahkan menyisakannya untuk Abi Hurairata. Peristiwa ini menunjukkan bagaimana Nabi sangat memperhatikan kebutuhan material dan spiritual beliau.

Ujian Kekayaan dan Kekuasaan

Setelah wafatnya Nabi, terutama pada masa kekhalifahan Umar dan Utsman, Abi Hurairata mulai menduduki jabatan publik. Beliau pernah menjabat sebagai Gubernur Bahrain dan kemudian memegang beberapa posisi administratif di Madinah. Jabatan ini membawa serta kekayaan dan penghormatan.

Namun, kekayaan yang beliau peroleh tidak membuatnya lupa diri. Beliau tetap dikenal sebagai sosok yang sangat dermawan, membiayai banyak proyek keagamaan, dan membantu orang miskin. Yang paling penting, beliau menggunakan kekayaan tersebut untuk membebaskan budak dan membantu ibunya masuk Islam.

Kisah ibunya adalah salah satu momen paling menyentuh dalam hidupnya. Ibunya adalah seorang musyrik yang sangat menentang Islam dan sering mengucapkan kata-kata yang menyakitkan hati Abi Hurairata mengenai Nabi. Setelah berbagai upaya dan doa yang tak henti-hentinya, beliau memohon kepada Nabi agar mendoakan ibunya. Nabi mendoakannya, dan ketika Abi Hurairata kembali ke rumah, ibunya telah membuka pintu dan mengucapkan syahadat. Momen tersebut adalah kebahagiaan terbesar bagi Abi Hurairata, melebihi semua hadis yang ia hafal.

VII. Peran Abi Hurairata di Era Khulafaur Rasyidin

Setelah wafatnya Rasulullah SAW, Abi Hurairata tidak mundur dari medan dakwah atau keilmuan. Sebaliknya, perannya menjadi semakin krusial sebagai sumber rujukan utama bagi para sahabat dan Tabi’in, terutama dalam hal-hal yang berkaitan dengan ibadah dan akhlak.

Masa Abu Bakar dan Umar

Pada masa kekhalifahan Abu Bakar, fokus utama adalah penstabilan negara setelah krisis wafatnya Nabi dan memerangi kemurtadan. Abi Hurairata terlibat dalam penyebaran ilmu di Madinah. Di masa Umar, meskipun Umar sangat berhati-hati dalam periwayatan, Abi Hurairata diakui sebagai salah satu ulama Madinah yang paling mumpuni.

Umar bin Khattab pernah mengangkatnya menjadi gubernur di Bahrain. Penunjukan ini menunjukkan kepercayaan Umar terhadap kemampuan administratif dan integritas Abi Hurairata. Meskipun sempat dicurigai oleh Umar karena kekayaan yang ia peroleh dari hasil jabatannya—yang merupakan harta halal dari gaji yang ditetapkan—Abi Hurairata berhasil membuktikan bahwa ia tidak korupsi, melainkan harta itu datang dari perdagangan halal dan administrasi yang jujur. Meskipun demikian, karena kecintaannya pada ilmu, beliau kemudian memilih mengundurkan diri dari jabatan dan kembali ke Madinah untuk mendedikasikan sisa hidupnya sebagai guru.

Menjadi Guru bagi Generasi Tabi’in

Madinah pasca-Nabi menjadi pusat ilmu. Ribuan Tabi’in (generasi setelah sahabat) berbondong-bondong datang ke Madinah, dan banyak dari mereka mencari ilmu langsung dari Abi Hurairata. Beliau menjadi guru bagi ulama-ulama besar Tabi’in, seperti Sa’id bin al-Musayyib, Urwah bin Zubair, dan Ikrimah.

Perannya sebagai guru tidak terbatas pada mengajarkan hadis saja, tetapi juga tafsir Al-Qur'an dan fiqih (hukum Islam) berdasarkan pemahamannya tentang Sunnah. Beliau sering mengadakan majelis di masjid, di mana orang-orang berkerumun mendengarkan riwayat dan nasehatnya. Beliau dikenal memiliki gaya bercerita yang hidup dan mampu membangkitkan emosi pendengarnya, membuat hadis-hadis tersebut mudah dipahami dan diingat.

Keberadaan Abi Hurairata pada masa ini adalah jembatan vital yang menghubungkan era kenabian dengan era kodifikasi ilmu. Tanpa transmisi massal yang dilakukan beliau kepada Tabi’in, rantai pengetahuan yang kita miliki saat ini akan terputus.

VIII. Pribadi dan Akhlak: Cerminan Hidup Sederhana

Sifat pribadi Abi Hurairata sangat lekat dengan ajaran yang beliau riwayatkan. Beliau adalah sosok yang sangat khusyuk dalam ibadah, sederhana dalam gaya hidup, dan sangat menghormati orang lain.

Khusyuk dan Ibadah Malam

Abi Hurairata dikenal sebagai seorang yang gigih dalam shalat malam. Beliau membagi malamnya menjadi tiga bagian: sepertiga untuk tidur, sepertiga untuk ibadah, dan sepertiga untuk keluarga, termasuk istrinya dan anaknya. Beliau sering membangunkan keluarganya untuk shalat malam, memastikan bahwa seluruh rumah tangga berpartisipasi dalam qiyamul lail.

Selain itu, beliau dikenal sangat memperhatikan ibadah puasa sunnah. Beliau adalah teladan dalam menjaga sunnah-sunnah Nabi, baik yang besar maupun yang kecil, dalam setiap aspek kehidupannya. Ibadah-ibadah ini adalah hasil nyata dari hadis-hadis yang beliau hafal; beliau tidak hanya meriwayatkan, tetapi juga mempraktikkan secara maksimal.

Penghormatan kepada Ibu dan Sesama

Penghormatan beliau kepada ibunya, bahkan sebelum ibunya masuk Islam, adalah pelajaran akhlak yang mendalam. Setelah ibunya masuk Islam, ia selalu memastikan ibunya mendapatkan perawatan terbaik dan selalu bersikap lembut padanya. Setiap kali ia keluar dari rumah, ia akan berdiri di depan pintu ibunya dan berkata, “Semoga kedamaian dan rahmat Allah menyertaimu, wahai Ibunda. Semoga Allah merahmatimu sebagaimana engkau telah merawatku di waktu kecil.” Dan ibunya akan menjawab dengan doa yang serupa.

Beliau juga dikenal sangat menghormati sahabat senior. Meskipun beliau adalah perawi hadis terbanyak, beliau tidak pernah meninggikan dirinya di hadapan sahabat yang lebih tua, seperti Abu Bakar, Umar, atau Ali. Beliau selalu mengakui keutamaan mereka dan selalu merujuk kepada mereka dalam hal-hal fiqih dan politik. Sikap tawadhu (rendah hati) ini membuat beliau dicintai oleh semua kalangan.

IX. Keluarga, Akhir Hayat, dan Warisan Abadi

Abi Hurairata menikah dengan seorang wanita bernama Busrah binti Ghazwan, saudara perempuan dari salah satu gubernur yang ia layani. Pernikahannya ini terjadi setelah ia mapan dan telah meninggalkan masa-masa kemiskinan total. Beliau memiliki seorang putri bernama Muharrirah. Meskipun riwayat tentang keluarga beliau tidak sebanyak riwayat tentang keilmuan beliau, diketahui bahwa ia adalah kepala keluarga yang baik dan mendidik keluarganya dengan ketat di atas ajaran Islam.

Detik-Detik Kematian

Abi Hurairata wafat di Madinah pada tahun ke-59 Hijriyah, di usia sekitar 78 tahun, pada masa kekuasaan Muawiyah bin Abi Sufyan. Tempat wafatnya adalah di ‘Aqiq, di dekat Madinah, sebuah tempat yang sering ia gunakan untuk menyendiri.

Ketika sakit menjelang ajalnya, beliau dikenal sangat merindukan pertemuan dengan Allah SWT. Beliau pernah menangis di saat-saat terakhirnya, bukan karena takut mati, tetapi karena membayangkan panjangnya perjalanan yang akan ia lalui dan sedikitnya bekal amal yang ia rasa telah ia kumpulkan, meskipun kenyataannya beliau adalah salah satu yang paling beramal. Ketika ditanya mengapa ia menangis, beliau menjawab, “Aku menangis karena jauhnya perjalanan dan sedikitnya bekal. Aku berada di persimpangan jalan menuju Surga atau Neraka.”

Sikap takut dan khawatir ini menunjukkan tingginya tingkat kesadaran spiritual beliau, tidak pernah merasa cukup dengan amal yang telah dilakukan. Jenazah beliau dishalatkan oleh Al-Walid bin Utbah, gubernur Madinah saat itu, dan dimakamkan di pemakaman Baqi’ di Madinah, di antara makam para sahabat Nabi yang mulia.

Warisan yang Tak Tergantikan

Warisan Abi Hurairata melampaui masa hidupnya. Beliau bukan sekadar perawi hadis, tetapi fondasi utama bagi ilmu Sunnah. Hampir tidak ada satu pun kitab hadis utama—seperti Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i, dan Ibnu Majah—yang tidak memuat ratusan riwayat yang bersumber darinya.

Keberadaan riwayat-riwayat Abi Hurairata memastikan bahwa detail-detail halus tentang tata cara ibadah Nabi, etika sehari-hari, dan pandangan beliau terhadap berbagai masalah sosial dan hukum, dapat dipertahankan. Beliau adalah pembela utama Sunnah. Setiap pelajar ilmu Islam, dari masa Tabi’in hingga sekarang, wajib bersyukur atas dedikasi tanpa pamrih yang beliau tunjukkan.

Dedikasinya mengajarkan kita bahwa pintu keutamaan spiritual tidak ditentukan oleh lamanya waktu seseorang memeluk Islam, tetapi oleh intensitas pengorbanan dan keikhlasan hati yang dicurahkan untuk agama. Abi Hurairata, Sang Bapak Kucing Kecil, adalah bukti bahwa keikhlasan akan mendapatkan berkah, bahkan berupa anugerah ingatan yang abadi, demi melestarikan cahaya kenabian bagi umat manusia.

X. Elaborasi Tematik: Kedalaman Pengorbanan Sang Murid Abadi

Menjelaskan Lebih Jauh Kehidupan Suffah yang Penuh Derita

Untuk memahami skala pengorbanan Abi Hurairata, perlu diuraikan lebih mendalam kondisi yang dialami oleh Ahlus Suffah. Mereka adalah kaum fakir yang paling tulus, yang memilih kemiskinan demi kehadiran yang konstan di sisi Rasulullah. Pilihan ini adalah sebuah janji pengabaian total terhadap materi. Jika ada makanan, itu adalah makanan yang diberikan sebagai sedekah atau hadiah kepada Nabi yang kemudian dibagikan. Hari-hari mereka dipenuhi dengan lapar yang mencekik.

Abi Hurairata pernah menggambarkan bahwa ia pernah menghabiskan beberapa hari tanpa mencicipi makanan panas, hanya mengandalkan air atau sedikit kurma yang kering. Dalam kondisi fisik yang lemah, beliau tetap fokus. Bayangkan seorang yang lemah karena kelaparan, namun pikirannya harus tetap jernih untuk menghafal hadis. Ini bukan sekadar pengorbanan fisik, tetapi disiplin mental yang luar biasa. Penderitaan ini bukan akhir, melainkan jalan.

Ketika Rasulullah SAW melihat mereka, beliau selalu menunjukkan kasih sayang dan perhatian khusus. Beliau memanggil mereka, berbagi sedikit makanan, dan yang lebih penting, menghibur mereka dengan janji surga. Interaksi ini membentuk ikatan emosional yang sangat kuat antara Abi Hurairata dan Nabi. Kelaparan membuat mereka lebih peka terhadap setiap kata Nabi, karena mereka tidak memiliki distraksi dunia. Setiap hadis adalah bekal, setiap nasehat adalah harta.

Keunikan dalam Transmisi Hadis dan Ilmu Rijal

Salah satu alasan mengapa riwayat Abi Hurairata sangat berharga adalah cakupan hadisnya yang sangat luas, mencakup hadis-hadis yang berkaitan dengan hal-hal yang tidak diketahui oleh sahabat-sahabat lain yang fokus pada urusan praktis kemasyarakatan atau pemerintahan. Beliau meriwayatkan hadis tentang *fitan* (ujian akhir zaman), sifat-sifat Surga dan Neraka, serta riwayat-riwayat tentang hukum-hukum tersembunyi (*ghara'ib*).

Keberlimpahan riwayat ini memunculkan pertanyaan tentang bagaimana ia mengatasi potensi kesalahan. Jawabannya terletak pada integritas dan kejujuran beliau yang diakui secara universal. Dalam ilmu *Rijal al-Hadits* (biografi perawi), Abi Hurairata menempati posisi tertinggi dalam hal ketelitian dan kejujuran. Kritik yang muncul pada masa awal Islam bukan ditujukan pada kejujurannya, melainkan pada keheranan terhadap kuantitas riwayat yang begitu besar.

Beliau sering mengulangi hadis, bahkan di depan umum, untuk mengajarkan dan memperkuat hafalannya. Jika seseorang meragukan riwayatnya, beliau akan bersikeras untuk membuktikan bahwa ia mendengarnya langsung dari Nabi, didukung oleh sumpah. Keyakinannya yang teguh pada kebenaran riwayatnya menunjukkan bahwa beliau memahami tanggung jawab besar yang diemban oleh berkah ingatan yang ia terima.

Perjuangan Membawa Ibunya kepada Islam

Kisah dakwah beliau kepada ibunya memberikan wawasan mendalam tentang kesabaran seorang mukmin. Ibunya sangat keras kepala dan bahkan menghina Rasulullah di hadapan Abi Hurairata. Betapa sakitnya hati seorang anak yang mencintai agamanya dan Nabinya, namun harus menghadapi penolakan dan penghinaan dari ibunya sendiri.

Alih-alih marah atau membalas, beliau hanya menangis, kemudian segera pergi menemui Nabi. Beliau menceritakan penderitaannya dan meminta Nabi mendoakan ibunya. Ini adalah pelajaran yang agung: menghadapi kesulitan dalam dakwah dengan senjata doa dan tawakkal kepada Allah. Ketika beliau kembali dan menemukan ibunya telah mandi dan mengucapkan syahadat, kegembiraannya tak terlukiskan.

Setelah ibunya masuk Islam, Abi Hurairata semakin mendedikasikan dirinya untuk melayani ibunya, menunaikan hak-haknya dengan sempurna. Kisah ini menjadi penegasan bahwa kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya tidak menghapus kewajiban berbakti kepada orang tua, melainkan justru memperkuatnya, bahkan ketika orang tua itu menolak kebenaran.

Pandangan Fiqih yang Berlandaskan Hadis

Meskipun beliau bukanlah seorang faqih (ahli fiqih) dalam artian pendiri mazhab, pandangan fiqih beliau sangat kuat karena selalu berlandaskan pada hadis yang paling autentik dan rinci. Beliau adalah ulama yang cenderung tekstual, selalu berusaha mengikuti lafaz dan makna hadis sedekat mungkin.

Dalam banyak kasus, ketika para ulama Tabi’in berselisih pendapat tentang suatu masalah hukum, mereka akan kembali merujuk kepada Abi Hurairata. Jika beliau menguatkan sebuah hadis tentang topik tersebut, maka hadis itu diterima dan menjadi keputusan hukum. Ini menunjukkan peran beliau sebagai otoritas tertinggi dalam hal Sunnah yang murni.

Warisan hukum beliau sangat jelas terasa dalam bab-bab tentang thaharah (kesucian), shalat, dan adab. Misalnya, hadis-hadis yang mengatur detail tentang bagaimana cara Nabi shalat, yang seringkali menjadi sumber perselisihan kecil antar mazhab, banyak bersumber dari pengamatan Abi Hurairata yang sangat detail.

Ketegasan dan Kehati-hatian dalam Mengajar

Setelah menjadi sosok yang masyhur dan dihormati, beliau tetap menjaga integritas ilmiahnya. Beliau sangat berhati-hati agar tidak ada yang menisbatkan perkataan yang bukan dari Nabi kepadanya. Beliau sering berkata: “Demi Allah, kalaulah bukan karena adanya ayat-ayat tertentu dalam Kitabullah, niscaya aku tidak akan pernah meriwayatkan satu hadis pun.” Ayat yang beliau maksud adalah ayat yang mengancam orang yang menyembunyikan ilmu.

Kutipan ini menunjukkan bahwa motifnya dalam meriwayatkan hadis bukanlah untuk mendapatkan popularitas atau pujian, melainkan karena rasa tanggung jawab agama yang mendalam. Beliau merasa terbebani oleh amanah ilmu yang telah diberikan Allah melalui doa Nabi. Kehati-hatian ini adalah pagar yang menjaga kemurnian Sunnah dari pemalsuan dan kesalahan.

Sebagai perawi yang paling banyak ditanya dan diikuti, beliau mengemban beban kebenaran di atas pundaknya. Kehidupan beliau menjadi model bagi semua generasi ulama berikutnya: dedikasi penuh di masa muda, keakuratan dalam transmisi, dan kerendahan hati di masa tua. Abi Hurairata adalah tonggak sejarah yang mengamankan warisan terbesar umat Islam.

XI. Refleksi dan Pengaruh Tak Berujung

Apabila kita melihat kembali kehidupan ‘Abdurrahman bin Shakhr Ad-Dausi, yang kemudian dikenal sebagai Abi Hurairata, kita melihat sebuah paradigma pembelajaran yang langka dan monumental. Beliau mengubah kemiskinan menjadi kesempatan, mengorbankan kenyamanan fisik demi kekayaan spiritual yang tak terbandingkan. Keputusan beliau untuk menjadi murid Nabi penuh waktu, mengabaikan segala panggilan dunia, adalah inti dari kesuksesan beliau dalam periwayatan.

Di setiap riwayat yang kita baca, baik itu tentang keutamaan berbuat baik kepada tetangga, pentingnya menjaga lisan, atau detail-detail halus tentang tata cara shalat, terdapat jejak pengorbanan Abi Hurairata. Beliau adalah mata dan telinga umat selama empat tahun paling krusial dalam sejarah Islam. Empat tahun itu adalah durasi pendek, namun diisi dengan kapasitas dan intensitas yang setara dengan puluhan tahun pengabdian.

Pengaruhnya terhadap fiqih Islam bersifat permanen. Mazhab-mazhab hukum besar Islam, Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali, semuanya bersandar pada hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Abi Hurairata untuk menetapkan banyak hukum syariah. Tanpa transmisi beliau, banyak sunnah praktis yang mungkin akan tetap menjadi kabur atau hilang.

Pada akhirnya, kisah Abi Hurairata adalah kisah tentang integritas ilmiah dan spiritual. Beliau mengajarkan bahwa kerendahan hati, kejujuran, dan keikhlasan adalah prasyarat mutlak untuk menjadi pewaris ilmu kenabian. Dari seorang anak yatim miskin dari suku Daws, beliau diangkat oleh takdir dan doa Nabi menjadi salah satu tiang penyangga peradaban Islam, memastikan bahwa ajaran Rasulullah SAW tetap hidup dan utuh hingga akhir zaman.

🏠 Homepage