Visualisasi hakikat keinginan sebagai pendorong utama tindakan dan pencapaian.
Di jantung setiap peradaban, di balik setiap inovasi, dan di dalam setiap kisah pribadi yang heroik, terdapat satu kekuatan tunggal yang tak pernah padam: keinginan. Dalam bahasa Sunda yang puitis dan padat, perasaan ini terangkum sempurna dalam frasa "abi hoyong" — saya ingin. Frasa ini bukan sekadar permintaan sederhana, melainkan deklarasi eksistensi, sebuah pengakuan bahwa ada celah antara realitas saat ini dan potensi masa depan yang diimpikan. Keinginan adalah bahan bakar yang mengubah stagnasi menjadi gerakan, pasif menjadi aktif, dan mimpi menjadi kenyataan.
Namun, keinginan—atau hoyong—jauh lebih kompleks dari sekadar daftar belanja. Ia adalah fenomena berlapis yang merangkum kebutuhan biologis paling dasar, ambisi spiritual tertinggi, dan konflik psikologis yang paling pelik. Memahami abi hoyong berarti menyelami struktur terdalam motivasi manusia, mempelajari mengapa kita mendambakan, bagaimana kita mengejar, dan apa yang sebenarnya kita cari di balik hasrat material dan non-material kita. Artikel ini akan membedah hakikat keinginan dari berbagai sudut pandang—psikologi, filosofi, dan praktik sehari-hari—guna menawarkan pemahaman komprehensif tentang daya dorong yang mendefinisikan kemanusiaan kita.
Secara psikologis, keinginan adalah respons alami terhadap kesenjangan yang dirasakan. Otak manusia tidak dirancang untuk kepuasan permanen; ia dirancang untuk kelangsungan hidup dan evolusi, yang keduanya memerlukan dorongan konstan untuk mencapai hal berikutnya. Keinginan, oleh karena itu, adalah mekanisme bertahan hidup yang termodernisasi, bergerak melampaui kebutuhan dasar sandang, pangan, dan papan menuju kebutuhan akan makna, pengakuan, dan pemenuhan diri.
Neurobiologi modern memberikan cahaya terang pada cara kerja hoyong. Keinginan tidak terutama didorong oleh sensasi kenikmatan (liking), melainkan oleh sensasi mendambakan (wanting). Perbedaan ini krusial. Sistem dopamin, sering disalahartikan sebagai ‘hormon kebahagiaan’, sebenarnya adalah ‘hormon antisipasi’ atau ‘hormon motivasi’. Dopamin melonjak bukan saat kita mendapatkan apa yang kita inginkan, tetapi saat kita *memprediksi* bahwa kita akan mendapatkannya.
Kondisi ini menjelaskan mengapa mencapai suatu tujuan sering kali diikuti oleh perasaan hampa yang cepat, yang kemudian segera digantikan oleh keinginan baru. Begitu tujuan A tercapai, sistem dopamin segera menetapkan tujuan B, C, dan seterusnya. Ini adalah ‘Lari di Atas Roda Hamster’ keinginan. Kita mendambakan proses pengejaran lebih dari hasil akhir itu sendiri. Jika kita memahami bahwa kepuasan adalah sementara dan keinginan adalah abadi, kita dapat mulai mengelola hoyong dengan bijak, tidak lagi mengejar ilusi kepuasan mutlak, tetapi menerima keinginan sebagai penunjuk arah yang konstan.
Kesenjangan yang ditimbulkan oleh sistem dopamin adalah mesin inovasi. Bayangkan semua penemuan—dari roda hingga internet—berawal dari ketidakpuasan, dari perasaan bahwa ada cara yang lebih baik, atau bahwa sesuatu yang belum ada *harus* ada. Abi hoyong menemukan solusi, abi hoyong meningkatkan efisiensi, abi hoyong mengatasi tantangan alam. Tanpa rasa kurang yang konstan ini, peradaban akan terhenti. Kuncinya terletak pada mengarahkan dorongan ini ke jalur yang konstruktif, mengubah rasa kurang menjadi inspirasi untuk kontribusi, bukan sekadar konsumsi.
Abraham Maslow menempatkan keinginan dalam kerangka hierarki yang terkenal. Keinginan paling dasar adalah fisiologis, tetapi seiring dengan pemenuhannya, hoyong bergerak naik menuju kebutuhan akan keamanan, cinta dan rasa memiliki, harga diri, dan puncaknya, aktualisasi diri. Seseorang yang lapar secara fisik memiliki hoyong yang sangat berbeda dari seorang seniman yang mencari cara baru untuk mengekspresikan jiwanya.
Namun, hierarki ini tidaklah kaku. Seringkali, manusia modern melompati tingkatan, mencari validasi eksternal (harga diri) sebelum kebutuhan sosialnya terpenuhi, atau mengejar tujuan spiritual (aktualisasi diri) sambil mengabaikan kesehatan fisik. Kompleksitas keinginan di era informasi terletak pada tumpang tindihnya kebutuhan yang dipaksakan oleh budaya (keinginan yang didorong oleh iklan atau perbandingan sosial) dengan kebutuhan otentik (keinginan yang muncul dari nilai-nilai pribadi).
Mengidentifikasi lapisan hoyong adalah langkah awal menuju hidup yang terarah. Apakah keinginan untuk mobil mewah didorong oleh kebutuhan akan transportasi (fisiologis), pengakuan (harga diri), atau ekspresi pribadi (aktualisasi diri)? Jawaban atas pertanyaan ini menentukan apakah pencapaian keinginan tersebut akan membawa pemenuhan otentik atau hanya pengisi kekosongan sementara yang berumur pendek. Pemenuhan diri, puncak dari hierarki keinginan, bukanlah tujuan statis; ia adalah proses berkelanjutan untuk menjadi versi terbaik dari diri sendiri, sebuah proses yang terus menerus membutuhkan hoyong untuk berkembang.
Jika psikologi menjelaskan mekanisme internal keinginan, maka filosofi berurusan dengan maknanya. Filsuf dari Timur dan Barat telah menghabiskan milenium untuk bergulat dengan pertanyaan: Apakah keinginan adalah sumber penderitaan, atau sumber makna?
Tradisi Buddhisme dan Hinduisme klasik sering mengajarkan bahwa keinginan yang tidak terkendali (tanha) adalah akar dari semua penderitaan (dukkha). Konsep ini menantang pemahaman Barat, yang sering melihat keinginan sebagai kekuatan positif. Dalam pandangan Timur, penderitaan muncul ketika kita melekat pada keinginan akan hal-hal yang tidak kekal—kekayaan, status, hubungan, bahkan kehidupan itu sendiri. Karena segala sesuatu adalah fana (anicca) dan tanpa inti permanen (anatta), melekat pada apa pun pasti akan berujung pada kekecewaan.
Maka, tujuan tertinggi dalam banyak ajaran Timur adalah pelepasan (nirvana atau moksha), yang merupakan keadaan di mana hoyong yang menyakitkan telah padam. Ini tidak berarti menjadi pasif total; ini berarti mengganti keinginan yang egois dan melekat dengan intensi yang berorientasi pada kasih sayang dan pelayanan. Ketika abi hoyong berubah dari ‘saya ingin memiliki’ menjadi ‘saya ingin berkontribusi’, energi yang sama kini bebas dari beban keterikatan, memungkinkan tindakan yang murni tanpa pamrih.
Meditasi dan praktik kesadaran adalah alat untuk mengamati keinginan saat ia muncul, memahami sifatnya yang sementara, dan melepaskannya tanpa harus mengejarnya. Ini adalah proses pendisiplinan diri di mana kita tidak membunuh keinginan, melainkan mendidik diri kita sendiri tentang sifat ilusi dari kepuasan abadi yang dijanjikan oleh keinginan materi. Kebebasan sejati, menurut pandangan ini, adalah kebebasan dari tirani abi hoyong yang selalu menuntut lebih banyak.
Mencari keseimbangan antara ambisi (Hoyong) dan kedamaian melalui pelepasan.
Sebaliknya, filosofi Barat, terutama yang berakar pada idealisme dan eksistensialisme, cenderung melihat keinginan sebagai motor otentisitas dan kebebasan. Filsuf seperti Nietzsche dan Sartre berpendapat bahwa manusia didefinisikan oleh kehendaknya untuk berkuasa atau kebebasannya untuk memilih. Abi hoyong di sini adalah manifestasi dari kehendak bebas, penolakan terhadap takdir yang pasif, dan tindakan untuk menciptakan makna di dunia yang secara fundamental tidak bermakna.
Dalam pandangan eksistensialis, jika kita tidak memiliki keinginan, kita tidak memiliki alasan untuk bertindak, dan tanpa tindakan, kita tidak dapat mendefinisikan diri kita sendiri. Keinginan—meskipun berisiko membawa kecemasan (angst)—adalah harga yang harus dibayar untuk menjadi manusia yang otentik. Rasa tanggung jawab muncul karena kita tahu bahwa keinginan kitalah yang membentuk dunia di sekitar kita. Ketika seseorang mengatakan abi hoyong, ia sedang mengklaim ruangnya di dunia dan menegaskan bahwa ia bukan hanya penerima pasif dari pengalaman, tetapi pencipta aktif dari masa depannya.
Konflik antara kedua pandangan ini—Keinginan sebagai penderitaan vs. Keinginan sebagai makna—menghasilkan sintesis modern. Kebijaksanaan modern sering menyarankan bahwa kita harus mengadopsi keinginan yang "berbobot"—keinginan yang mendorong pertumbuhan, koneksi, dan kontribusi—sambil melepaskan keinginan yang "kosong"—keinginan yang didorong oleh validasi eksternal atau konsumsi tak berujung. Keberhasilan dalam hidup bukanlah menghilangkan semua hoyong, melainkan memilih mana yang layak dikejar dan mana yang harus dilepaskan.
Keinginan pada level mentah seringkali berupa impuls atau rasa samar-samar. Agar abi hoyong dapat menghasilkan sesuatu yang nyata, ia harus diformulasikan menjadi tujuan yang terstruktur dan terukur. Proses ini memerlukan disiplin mental, pengenalan diri yang mendalam, dan kemampuan untuk menoleransi ketidakpastian.
Salah satu tantangan terbesar dalam memformulasikan tujuan adalah membedakan antara keinginan yang benar-benar milik kita (otentik) dan keinginan yang diinternalisasi dari lingkungan (eksternal). Keinginan otentik berasal dari nilai-nilai inti, kekuatan pribadi, dan rasa penasaran yang mendalam. Mengejar keinginan ini sering terasa sulit, tetapi prosesnya itu sendiri memuaskan.
Sebaliknya, keinginan eksternal didorong oleh harapan masyarakat, standar media sosial, atau kebutuhan untuk mengesankan orang lain. Ketika seseorang mencapai tujuan yang didorong oleh motivasi eksternal, sering kali kepuasan yang didapat terasa dangkal dan cepat hilang, karena ia memenuhi kebutuhan orang lain, bukan jiwanya sendiri. Oleh karena itu, langkah pertama setelah mengucapkan abi hoyong adalah melakukan introspeksi: *Untuk siapa* keinginan ini saya kejar? Jika jawabannya melibatkan ‘agar orang lain terkesan’ atau ‘agar saya tidak dikritik’, mungkin ini adalah sinyal untuk meninjau kembali fondasi keinginan tersebut.
Untuk memvalidasi otentisitas suatu hoyong, kita bisa menggunakan teknik yang disebut ‘Lima Mengapa’ (Five Whys). Setiap kali Anda menyatakan suatu keinginan, tanyakan ‘mengapa?’ secara berulang-ulang sampai Anda mencapai nilai inti. Contoh: Abi hoyong punya perusahaan besar. Mengapa? Agar kaya. Mengapa kaya? Agar bisa membantu keluarga. Mengapa membantu keluarga? Karena nilai inti saya adalah kontribusi dan tanggung jawab. Jika proses ini membawa Anda ke nilai-nilai yang positif dan mendalam, keinginan tersebut kemungkinan besar otentik dan berkelanjutan.
Keinginan yang tidak disertai strategi hanyalah fantasi. Ilmu perilaku telah mengajarkan kita bahwa tujuan yang paling efektif adalah yang dirumuskan secara spesifik dan yang memiliki mekanisme umpan balik yang jelas. Model tujuan yang paling umum adalah SMART (Specific, Measurable, Achievable, Relevant, Time-bound), tetapi untuk keinginan yang bersifat transformatif, kita perlu lapisan tambahan yang membahas emosi dan tantangan.
Salah satu teknik yang kuat adalah Mental Contrasting with Implementation Intentions (MCII), atau yang dikenal sebagai WOOP (Wish, Outcome, Obstacle, Plan). Proses ini memaksa seseorang untuk tidak hanya membayangkan hasil akhir yang indah (Wish & Outcome), tetapi juga secara jujur menghadapi rintangan internal dan eksternal (Obstacle), dan kemudian merumuskan rencana spesifik (Plan) untuk mengatasi rintangan tersebut (If X, then I will do Y).
Melalui WOOP, abi hoyong diuji oleh realitas. Jika saya ingin mencapai kebebasan finansial (Wish), dan hasilnya adalah ketenangan pikiran (Outcome), rintangan terbesarnya mungkin adalah kecenderungan menunda-nunda (Obstacle). Rencananya kemudian menjadi: "Jika saya merasa ingin menunda-nunda pekerjaan finansial saya, maka saya akan segera membuka laptop dan bekerja selama 15 menit." Proses ini menjembatani jurang antara motivasi (keinginan) dan tindakan (kebiasaan) dengan sangat efektif.
Keberhasilan abi hoyong seringkali bukan bergantung pada besarnya keinginan, tetapi pada presisi sistem yang kita bangun di sekelilingnya. Sistem yang baik meminimalkan kebutuhan akan kemauan keras, karena ia menjadikan tindakan yang sulit menjadi otomatis dan terbiasa. Dengan demikian, keinginan berubah dari beban emosional menjadi peta jalan yang terstruktur dan dapat diikuti setiap hari, terlepas dari suasana hati atau inspirasi.
Mengingat akar frasa "abi hoyong" dalam konteks budaya Sunda, penting untuk menyelidiki bagaimana keinginan ditempatkan dalam etika dan filosofi masyarakatnya. Dalam budaya Indonesia, keinginan pribadi tidak pernah terlepas dari hubungannya dengan komunitas dan alam semesta.
Dalam pandangan hidup Sunda, ada penekanan kuat pada ‘rasa’—perasaan, hati nurani, dan intuisi. Abi hoyong yang baik adalah hoyong yang selaras dengan rasa kemanusiaan dan alam. Keinginan yang hanya mementingkan diri sendiri dianggap sebagai ‘hoyong nu teu pararuguh’ (keinginan yang tidak terarah/tidak etis).
Etika sosial yang menaungi hoyong adalah Silih Asih, Silih Asah, Silih Asuh (Saling mengasihi, saling mengasah, saling mengayomi). Ini berarti bahwa ketika seseorang mengejar ambisi pribadinya, ia harus memastikan bahwa pencapaian tersebut tidak merugikan orang lain dan bahkan sebisa mungkin harus memberi manfaat kolektif. Hoyong untuk menjadi kaya tidaklah buruk, asalkan kekayaan tersebut digunakan untuk memberdayakan komunitas, bukan hanya untuk menumpuk harta pribadi dan memamerkan kemewahan.
Filosofi ini mengajarkan bahwa pemenuhan hoyong sejati ditemukan dalam keseimbangan (keseimbangan lahir dan batin). Keinginan yang terlalu berorientasi pada materi akan menciptakan ketidakseimbangan batin, sementara keinginan yang terlalu pasif mengabaikan potensi yang diberikan Tuhan. Orang Sunda didorong untuk mencari "kamanusaan"—kemuliaan manusia—yang hanya dapat dicapai ketika keinginan pribadi berfungsi sebagai pendorong untuk kebaikan bersama, memastikan bahwa pencapaian individu juga menjadi kontribusi bagi alam semesta.
Dalam konteks spiritualitas Jawa dan Sunda, keinginan duniawi harus dikelola dengan kesadaran (sadar) dan ingat (eling) akan tujuan akhir hidup. Nafsu (ambisi materialistik yang berlebihan) dianggap sebagai pengganggu terbesar. Abi hoyong yang tidak terkendali berisiko menjadi nafsu yang membutakan, membuat seseorang kehilangan akal sehat dan mengorbankan nilai-nilai moral demi pencapaian cepat.
Proses eling mengingatkan bahwa hidup adalah perjalanan yang singkat. Oleh karena itu, energi keinginan harus diinvestasikan pada hal-hal yang memiliki nilai abadi. Hal ini mengubah keinginan dari sekadar ambisi kompetitif menjadi usaha untuk mencapai kesempurnaan batin dan kerendahan hati. Ketika seseorang memiliki hoyong yang tinggi, ia harus diimbangi dengan tapa (disiplin diri atau asketisme moderat) dan refleksi, agar akar keinginannya tetap murni dan tidak tercemari oleh keegoisan.
Di era digital, kekuatan abi hoyong telah diperkuat dan dimanipulasi ke tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya. Kita tidak lagi hanya mendambakan apa yang ada di sekitar kita, tetapi apa yang secara konstan ditampilkan di layar kita, menciptakan siklus perbandingan yang kejam.
Dunia modern dicirikan oleh banjir ‘keinginan artifisial’—kebutuhan yang diciptakan oleh kekuatan pemasaran, bukan oleh kebutuhan dasar manusia. Algoritma media sosial dirancang untuk mengeksploitasi sistem dopamin kita, memicu rasa FOMO (Fear of Missing Out) dan menormalkan gaya hidup yang jauh di luar jangkauan kebanyakan orang. Abi hoyong di sini adalah hasil dari paparan visual yang konstan terhadap versi kehidupan yang terkurasi dan sempurna.
Dampak terbesar dari hiper-keinginan ini adalah hilangnya kemampuan untuk menikmati kepuasan yang tenang (jeda atau qana'ah). Begitu satu barang dibeli atau satu status dicapai, algoritma segera menyajikan barang atau status yang lebih baik. Ini adalah siklus yang tak pernah berakhir, di mana kebahagiaan selalu ditunda ke pencapaian berikutnya. Untuk melawan hal ini, kita harus secara sadar memutus rantai umpan balik dopamin yang diciptakan oleh teknologi. Ini memerlukan pembatasan paparan, melatih apresiasi terhadap apa yang sudah dimiliki, dan berinvestasi pada pengalaman yang tidak dapat dibeli atau diunggah.
Keinginan artifisial seringkali berfokus pada hasil instan. Kita menginginkan tubuh ideal sekarang, kekayaan sekarang, dan pengakuan sekarang. Ini bertentangan dengan sifat alami pencapaian sejati, yang selalu membutuhkan waktu, kesabaran, dan kegagalan. Keterampilan yang paling dibutuhkan dalam mengelola hoyong di abad ini adalah kemampuan untuk menunda kepuasan dan menemukan nilai dalam proses yang membosankan dan berulang.
Ketika miliaran orang di seluruh dunia secara bersamaan mengucapkan abi hoyong untuk tingkat konsumsi yang sama (energi tak terbatas, makanan instan, produk terbaru), hasilnya adalah tekanan ekologis yang ekstrem. Keinginan pribadi kini memiliki konsekuensi planet. Filosofi hoyong yang berkelanjutan harus menyertakan kesadaran lingkungan.
Pergeseran dari abi hoyong yang berbasis ‘memiliki’ menjadi abi hoyong yang berbasis ‘menjadi’ sangatlah penting. Kita harus mulai mendambakan kemajuan yang tidak bergantung pada ekstraksi sumber daya yang tak terbatas. Keinginan kita harus selaras dengan prinsip regenerasi, bukan eksploitasi. Ini adalah keinginan tertinggi—keinginan untuk hidup selaras dengan sistem yang lebih besar dari diri kita sendiri, mengakui bahwa kepuasan pribadi tidak dapat dipisahkan dari kesehatan planet kita.
Mengingat bahwa kita tidak dapat sepenuhnya menghilangkan keinginan (karena itu berarti menghentikan pertumbuhan), seni hidup terletak pada bagaimana kita menavigasi gelombang hoyong. Pengelolaan yang efektif melibatkan kombinasi antara disiplin, fleksibilitas, dan pandangan jauh ke depan.
Kemampuan untuk menunda kepuasan (gratifikasi tertunda) adalah indikator psikologis utama kesuksesan jangka panjang. Ini adalah kemampuan untuk mengatakan 'tidak' pada hoyong yang mudah dan instan demi 'ya' pada tujuan yang lebih besar dan berjangka panjang. Praktik ini membangun apa yang disebut ketahanan mental atau resilience.
Ketahanan mental sangat penting karena pengejaran hoyong sejati pasti akan melibatkan kegagalan dan penolakan. Jika keinginan kita terlalu terikat pada hasil eksternal, setiap rintangan akan terasa seperti bencana. Namun, jika kita melatih diri untuk mencintai proses, tantangan dilihat sebagai data, bukan sebagai hukuman. Kegagalan menjadi bagian integral dari strategi, bukan akhir dari keinginan. Ini mengubah hubungan kita dengan hoyong—kita tidak lagi takut padanya, tetapi menyambut tantangan yang menyertainya.
Salah satu cara untuk membangun ketahanan ini adalah dengan sengaja memilih kesulitan kecil. Misalnya, memilih untuk berlari saat cuaca dingin, atau menahan diri dari membeli sesuatu yang impulsif. Latihan-latihan kecil ini memperkuat 'otot' kemauan keras, sehingga ketika hoyong besar muncul yang membutuhkan pengorbanan signifikan, kita sudah memiliki modal mental untuk menghadapi penderitaan jangka pendek demi keuntungan jangka panjang.
Banyak penderitaan yang ditimbulkan oleh abi hoyong berasal dari kekakuan kita dalam mendefinisikan bagaimana keinginan itu harus terpenuhi. Filsafat Stoicism mengajarkan pelajaran penting: pisahkan apa yang berada di bawah kendali kita (tindakan, upaya, penilaian) dari apa yang tidak (hasil, tindakan orang lain, keberuntungan). Ketika kita menetapkan hoyong, kita harus memiliki intensi yang kuat terhadap tujuan, tetapi sangat fleksibel terhadap jalur pencapaiannya.
Jika abi hoyong adalah menjadi penulis novel laris. Kita dapat mengontrol disiplin menulis, revisi, dan pengiriman naskah. Kita *tidak* dapat mengontrol apakah penerbit akan menerimanya atau apakah publik akan membelinya. Stoa akan menasihati kita untuk mengalihkan fokus dari hasil (best-seller) ke proses (menulis novel terbaik yang bisa saya tulis). Dengan demikian, ketika hasil eksternal mengecewakan, kepuasan diri yang berasal dari upaya otentik tetap utuh.
Fleksibilitas dalam keinginan juga berarti mengizinkan tujuan kita untuk berevolusi seiring dengan pertumbuhan kita. Keinginan yang kita miliki saat berusia dua puluh tahun mungkin tidak relevan lagi pada usia empat puluh tahun. Mengakui dan melepaskan hoyong yang usang bukanlah kegagalan, melainkan tanda kematangan dan adaptasi. Itu adalah bagian dari proses pertumbuhan, yang menjamin bahwa energi kita selalu diarahkan pada hal yang paling relevan bagi diri kita saat ini.
Setelah semua kebutuhan material dan psikologis terpenuhi, pertanyaan yang lebih besar muncul: Apa keinginan yang paling mendasar? Filsuf dan teolog sering bersepakat bahwa keinginan tertinggi manusia adalah keinginan untuk makna, keinginan untuk mengetahui bahwa hidup kita penting, dan keinginan untuk transendensi—melampaui batas-batas diri yang terbatas.
Di usia senja, sedikit orang yang menyesali barang-barang yang tidak mereka beli. Penyesalan cenderung berfokus pada potensi yang tidak direalisasikan dan koneksi yang terputus. Keinginan bertransisi dari abi hoyong untuk diri sendiri menjadi abi hoyong untuk dunia. Ini adalah keinginan untuk meninggalkan warisan—bukan hanya warisan finansial, tetapi warisan nilai, dampak, dan inspirasi.
Ini adalah titik di mana aktualisasi diri Maslow bertemu dengan etika kolektif Sunda. Aktualisasi diri sejati sering ditemukan ketika diri melampaui kepentingan diri sendiri. Ketika seseorang menggunakan semua bakat, keterampilan, dan energinya yang telah ia kumpulkan dari semua pengejaran hoyong sebelumnya untuk melayani tujuan yang lebih besar, saat itulah ia mencapai pemenuhan yang paling stabil dan mendalam.
Ketika keinginan diarahkan pada penciptaan dampak abadi—melalui seni, pelayanan, pendidikan, atau inovasi yang memecahkan masalah besar—energi yang dikeluarkan terasa berbeda. Itu bukan lagi energi kompetitif yang menguras, tetapi energi kolaboratif yang memberi daya. Inilah yang oleh Viktor Frankl disebut sebagai "Will to Meaning" (Kehendak untuk Bermakna), kekuatan yang lebih besar daripada kehendak untuk berkuasa atau bahkan kehendak untuk kesenangan.
Paradoks terakhir dari abi hoyong adalah bahwa ketenangan sejati mungkin ditemukan bukan dalam pencapaian semua keinginan, tetapi dalam penerimaan sukarela terhadap apa yang tidak dapat kita capai. Ini adalah titik di mana ambisi yang membara (Hoyong) bertemu dengan kebijaksanaan pelepasan (Pelepasan).
Penerimaan ini tidak sama dengan kepasrahan yang pasif. Ini adalah pelepasan aktif dari kebutuhan akan hasil tertentu. Kita mengerahkan upaya 100% untuk mengejar hoyong kita, namun kita tetap terbuka terhadap kemungkinan bahwa semesta memiliki rencana lain, atau bahwa jalur yang tidak terduga mungkin membawa kita pada pemenuhan yang lebih dalam. Ketenangan adalah hadiah yang didapat ketika kita telah melakukan semua yang kita bisa, dan kemudian melepaskan sisanya ke tangan takdir atau hukum alam.
Hidup adalah serangkaian keinginan dan pencapaian yang terus menerus. Dari keinginan sederhana untuk minum segelas air hingga keinginan kompleks untuk mencapai pencerahan, abi hoyong adalah denyut nadi yang tak terhindarkan dari pengalaman manusia. Dengan memahami anatominya, mengelola konfliknya, dan mengarahkannya dengan etika dan kesadaran, kita dapat mengubah hasrat mentah menjadi kekuatan yang konstruktif dan transformatif. Keinginan, ketika diselaraskan dengan hati nurani dan tujuan yang lebih besar, tidak lagi menjadi rantai penderitaan, tetapi kompas yang menunjuk ke arah pertumbuhan dan pemenuhan sejati.
Akhirnya, kunci untuk hidup yang sukses dan bermakna bukanlah pada apa yang kita capai, melainkan pada kualitas dari keinginan yang kita pilih untuk dipeluk. Apakah hoyong kita mempersempit hati kita atau memperluasnya? Apakah ia mengisolasi kita atau menghubungkan kita dengan orang lain? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini akan menentukan apakah kita menjalani hidup yang didorong oleh hasrat egois, atau kehidupan yang didorong oleh intensi suci. Abi hoyong adalah awal dari segala sesuatu, dan cara kita merespons bisikan hati tersebut adalah perjalanan seumur hidup kita.
Eksplorasi kita sejauh ini berfokus pada abi hoyong—keinginan individu. Namun, manusia adalah makhluk sosial, dan banyak dari dorongan terbesar kita dibentuk, dihalangi, atau disalurkan oleh keinginan kolektif yang mendominasi kelompok, negara, atau bahkan seluruh spesies. Memahami bagaimana hoyong kolektif bekerja sangat penting dalam navigasi dunia modern.
Keinginan kolektif seringkali termanifestasi sebagai ideologi, hukum, atau norma sosial. Misalnya, keinginan untuk keamanan kolektif melahirkan negara dan tentara. Keinginan untuk keadilan melahirkan sistem hukum. Ketika keinginan pribadi bertabrakan dengan hoyong kolektif—misalnya, ketika seseorang memiliki keinginan egois untuk memperkaya diri melalui cara yang merugikan publik—terjadi konflik yang diatur oleh institusi sosial.
Dalam sejarah, perubahan besar seringkali dipicu oleh hoyong kolektif yang meluap, yang tidak lagi dapat ditampung oleh struktur yang ada. Revolusi Prancis, misalnya, adalah manifestasi dari abi hoyong jutaan orang untuk kesetaraan dan kebebasan yang dilemahkan oleh sistem aristokrasi yang kaku. Keinginan untuk kemerdekaan di Indonesia adalah hoyong kolektif yang sangat kuat, yang mengalahkan ketakutan individu akan penindasan. Kekuatan dari hoyong kolektif ini luar biasa, karena ia memberikan makna yang melampaui kepentingan pribadi, menyatukan orang-orang di bawah satu bendera ambisi bersama.
Namun, bahaya dari keinginan kolektif adalah ia mudah dimanipulasi. Hoyong dapat disalurkan menjadi nafsu massal, seperti nasionalisme ekstrem, fanatisme agama, atau histeria pasar yang berujung pada krisis ekonomi. Oleh karena itu, tugas setiap individu adalah membawa kesadaran otentik ke dalam hoyong kolektif, memastikan bahwa dorongan bersama didasarkan pada prinsip etika dan kasih sayang, bukan pada ketakutan, kebencian, atau keserakahan yang diperbesar.
Keinginan pribadi cenderung bersifat sentripetal, menarik fokus kembali ke diri sendiri. Empati, di sisi lain, bersifat sentrifugal, mendorong fokus keluar. Empati adalah penyeimbang etis yang vital untuk setiap abi hoyong. Jika saya menginginkan sesuatu, empati memaksa saya untuk bertanya: ‘Apa dampak keinginan saya ini pada orang lain?’
Pelatihan empati adalah pelatihan keinginan. Ini berarti secara sadar memasukkan perspektif orang lain ke dalam perhitungan ambisi kita. Para pemimpin yang hebat bukanlah mereka yang menghilangkan hoyong, melainkan mereka yang menginternalisasi hoyong orang lain ke dalam ambisi mereka sendiri. Mereka mendambakan kesuksesan, tetapi kesuksesan itu diartikan sebagai peningkatan kesejahteraan bagi semua pihak yang terlibat. Ketika empati menjadi bagian dari tujuan kita, hoyong berubah dari alat kompetisi menjadi alat kolaborasi.
Tanpa empati, keinginan yang paling mulia pun berisiko merusak. Misalnya, seorang ilmuwan mungkin memiliki hoyong otentik untuk menemukan obat. Namun, jika dalam prosesnya ia mengabaikan etika, merugikan subjek penelitian, atau memonopoli penemuannya, keinginan awalnya yang mulia telah tercemar oleh keegoisan dan kurangnya empati. Empati memastikan bahwa jalur menuju pencapaian adalah seadil dan sebermutu mungkin, sejalan dengan prinsip silih asih.
Tidak semua abi hoyong diucapkan atau diakui. Banyak keinginan hidup dalam bentuk potensi yang belum tereksplorasi, tersembunyi di balik lapisan ketakutan, keraguan, dan penundaan. Keinginan yang terpendam ini adalah sumber kecemasan tersembunyi dalam diri manusia.
Seringkali, rintangan terbesar bagi keinginan kita bukanlah kekurangan sumber daya atau kesempatan, tetapi ketakutan internal. Ketakutan akan kegagalan adalah yang paling jelas, tetapi yang lebih melumpuhkan adalah ketakutan akan kesuksesan. Ketakutan akan kesuksesan adalah kecemasan yang muncul ketika kita membayangkan tanggung jawab dan perubahan yang harus kita hadapi setelah keinginan kita terpenuhi. Jika abi hoyong untuk menjadi pemimpin perusahaan terwujud, maka akan ada ketakutan baru akan pengawasan, risiko, dan hilangnya waktu pribadi.
Ini menciptakan perilaku paradoks di mana kita secara aktif mengejar tujuan, tetapi secara pasif menyabotase diri sendiri untuk tetap berada di zona nyaman yang familiar. Mengidentifikasi dan menamai ketakutan ini adalah kunci untuk membebaskan hoyong yang tertahan. Kita harus menghadapi fakta bahwa setiap tingkat keinginan yang lebih tinggi menuntut versi diri kita yang lebih berani dan bertanggung jawab. Menerima bahwa ketakutan adalah bagian tak terpisahkan dari ambisi memungkinkan kita untuk bertindak meskipun merasa cemas.
Para ahli psikologi sering menyarankan agar kita melakukan ‘audisi’ untuk ketakutan kita. Alih-alih membayangkan hasil terburuk yang besar dan abstrak, kita memecahnya menjadi skenario kecil dan spesifik. Apa hal terburuk yang bisa terjadi *hari ini* jika saya mengejar hoyong ini? Biasanya, hasil terburuk yang realistis jauh lebih dapat dikelola daripada monster yang kita ciptakan dalam pikiran kita. Dengan demikian, kita merasionalisasi ketakutan dan mengizinkan keinginan untuk bergerak maju.
Keinginan yang paling berkelanjutan dan memuaskan adalah yang selaras dengan bakat alami dan panggilan hidup kita. Konsep Jepang tentang Ikigai (alasan untuk bangun di pagi hari) adalah model yang berguna untuk menyaring hoyong sejati. Ikigai terletak di persimpangan empat lingkaran: apa yang Anda cintai, apa yang dibutuhkan dunia, apa yang dapat Anda bayar, dan apa yang Anda kuasai.
Jika abi hoyong hanya berada di dua atau tiga lingkaran ini, ada risiko ketidakseimbangan. Keinginan yang hanya Anda kuasai dan dibayar dengan baik tetapi tidak Anda cintai akan menyebabkan kelelahan (burnout). Keinginan yang hanya Anda cintai dan dibutuhkan dunia tetapi tidak menghasilkan uang akan menyebabkan kemiskinan. Hoyong yang ideal adalah yang secara organik memenuhi keempat dimensi ini, menciptakan aliran energi yang stabil karena aktivitas itu sendiri adalah pemenuhan.
Pencarian Ikigai adalah proses pengupasan lapisan keinginan eksternal untuk menemukan apa yang secara intrinsik membuat kita merasa hidup. Ini mungkin memerlukan pengabaian beberapa hoyong yang tampaknya menguntungkan secara sosial demi satu hoyong yang terasa vital secara spiritual. Keberanian terbesar seringkali adalah menolak harapan orang lain dan mengikuti bisikan hati kita sendiri tentang apa yang benar-benar layak dikejar.
Keinginan manusia tidak terjadi dalam ruang hampa; ia terikat erat dengan persepsi kita tentang waktu. Masa lalu membentuk kekurangan yang kita coba isi, masa kini adalah medan perang tindakan, dan masa depan adalah kanvas bagi proyeksi kita.
Banyak abi hoyong berakar pada trauma atau kekurangan di masa lalu. Keinginan untuk kekayaan mungkin berasal dari pengalaman kemiskinan saat kecil. Keinginan untuk pengakuan mungkin berasal dari kurangnya validasi dari orang tua. Keinginan-keinginan ini, meskipun menghasilkan motivasi yang kuat, seringkali bersifat reaktif dan dangkal. Mereka berfokus pada "lari dari" sesuatu, bukan "lari menuju" sesuatu yang otentik.
Jika kita tidak menyembuhkan luka masa lalu, pencapaian hoyong yang didorong oleh trauma tidak akan pernah memuaskan. Kita mungkin mencapai kekayaan, tetapi kita akan selalu merasa cemas bahwa kekayaan itu akan hilang. Kita mungkin mendapatkan pengakuan, tetapi kita akan terus mencari validasi eksternal karena lubang di dalam diri kita belum terisi. Transformasi sejati dalam mengelola hoyong melibatkan penyembuhan masa lalu, sehingga kita dapat mengejar tujuan dari tempat yang berlimpah (apa yang kita miliki sekarang) alih-alih dari tempat yang kurang (apa yang hilang di masa lalu).
Tugas terberat adalah menjalankan hoyong di masa kini sambil tetap menghargai masa kini itu sendiri. Kita harus hidup dengan kaki di dua dunia: ambisi masa depan (proyeksi hoyong) dan penerimaan saat ini (apresiasi). Kehidupan yang dihabiskan sepenuhnya untuk mengejar masa depan adalah kehidupan yang selamanya menunda kebahagiaan. Keseimbangan ditemukan dalam apa yang disebut 'keinginan yang berhati-hati'.
Keinginan yang berhati-hati adalah ketika kita melakukan langkah-langkah terukur menuju tujuan besar, tetapi menemukan kesenangan dan apresiasi dalam upaya sehari-hari. Kita menghargai kopi pagi, koneksi dengan rekan kerja, atau momen ketenangan di antara hiruk pikuk. Ini adalah meditasi aktif yang mengakui: "Saya sedang berjuang untuk masa depan yang lebih baik, tetapi saya tidak akan mengorbankan kedamaian dan keindahan yang ditawarkan oleh saat ini." Dengan melakukan ini, hoyong menjadi pelengkap bagi kehidupan yang sudah lengkap, bukan pengganti bagi kehidupan yang terasa hampa.
Pada akhirnya, kekuatan abi hoyong terletak pada kemampuannya untuk memaksa kita bergerak. Keinginan, dalam segala bentuknya, adalah hadiah evolusioner yang memastikan kita tidak pernah menetap dalam stagnasi. Ia adalah cerminan dari potensi kita yang belum terwujud, dan melalui pengelolaan yang bijak, etis, dan sadar, kita dapat mengarahkan kekuatan tak terbatas ini untuk menciptakan kehidupan yang bukan hanya sukses, tetapi juga bermakna dan terhubung dengan kebaikan universal.