Abu Hanifah: Pilar Fiqh, Pendiri Mazhab Hanafi, dan Arsitek Hukum Islam Rasional

(Nu'man bin Tsabit bin Zuta bin Marzuban: Sang Imam Agung)

I. Gerbang Pengetahuan: Pengantar Kehidupan dan Peran Sentral Abi Hanafiah

Imam Nu'man bin Tsabit, yang lebih dikenal dengan sebutan Abu Hanifah, adalah salah satu figur paling monumental dalam sejarah yurisprudensi Islam. Kontribusinya bukan sekadar mewariskan sejumlah pendapat hukum, melainkan merumuskan sebuah metodologi berpikir yang kokoh dan komprehensif, yang kelak menjadi fondasi bagi Mazhab Hanafi—mazhab fiqh tertua dan, hingga hari ini, mazhab yang pengikutnya paling luas di dunia Islam, membentang dari Asia Tengah hingga Anatolia, dan hingga kini memengaruhi sistem peradilan di banyak negara.

Abu Hanifah adalah jembatan antara era para Sahabat (generasi tabi'in) dan era kodifikasi hukum. Lahir di Kufah, Irak, pada tahun 80 Hijriah, sebuah kota yang saat itu merupakan pusat intelektual dan politik yang dinamis, ia dibesarkan dalam lingkungan yang memungkinkan dialog intensif antara berbagai tradisi pemikiran. Kehidupan awalnya sebagai pedagang sukses memberikan perspektif unik tentang realitas sosial dan ekonomi, yang kelak ia integrasikan ke dalam pemikiran hukumnya, menghasilkan fiqh yang praktis, fleksibel, dan sangat responsif terhadap kebutuhan masyarakat yang kompleks.

1.1. Kufah: Kancah Intelektual yang Membentuk Sang Imam

Kufah adalah kota dengan populasi yang beragam dan kekayaan sumber daya intelektual yang luar biasa. Di sanalah terdapat tradisi fiqh Kufah yang diwarisi dari ulama besar seperti Abdullah bin Mas'ud, Ali bin Abi Thalib, dan murid-murid mereka. Tradisi Kufah terkenal dengan penekanannya pada pemikiran logis (ra'y) dan pertimbangan kemaslahatan (istislah), berbeda dengan madrasah Hijaz (Madinah) yang lebih mengutamakan teks dan praktik langsung. Lingkungan ini yang membentuk kerangka berpikir Abu Hanifah, mendorongnya untuk tidak hanya menerima hadis secara literal, tetapi juga menggali illat (alasan hukum) di baliknya.

Simbol Ilmu dan Fiqh

Ilustrasi: Pena dan Kitab, melambangkan warisan metodologi hukum Abu Hanifah.

II. Biografi Mendalam: Dari Pedagang Sutra hingga Imam Agung

Nama lengkapnya adalah Nu’man bin Tsabit bin Zuta. Para sejarawan sepakat bahwa ia berasal dari garis keturunan Persia. Kakeknya, Zuta, diketahui telah memeluk Islam, dan ayahnya, Tsabit, adalah seorang muslim yang taat. Abu Hanifah hidup selama masa pemerintahan Dinasti Umayyah dan awal Dinasti Abbasiyah, sebuah periode yang penuh gejolak politik dan perkembangan ilmu pengetahuan yang pesat.

2.1. Latar Belakang Keluarga dan Bisnis

Keluarga Abu Hanifah adalah pedagang kaya raya, khususnya dalam perdagangan sutra. Kekayaan ini memberinya kebebasan finansial yang jarang dimiliki ulama lain, memungkinkannya mendedikasikan waktu sepenuhnya untuk ilmu tanpa perlu bergantung pada patronase negara atau pendapatan lain. Pengalaman berbisnis ini tidak hanya menjamin kemandiriannya tetapi juga mengasah kemampuannya dalam memahami kontrak, transaksi, dan permasalahan finansial yang kompleks—dasar dari fiqh muamalat (hukum perdata).

2.1.1. Awal Mula Ketertarikan pada Ilmu

Pada awalnya, fokus Abu Hanifah bukanlah pada fiqh. Ia dikenal sebagai orator ulung dan sering terlibat dalam debat teologis (kalam). Titik balik dalam hidupnya terjadi ketika ia bertemu dengan Imam Sya’bi, salah satu ulama terbesar Kufah saat itu. Sya’bi menasihatinya, melihat potensi kecerdasan yang luar biasa pada Nu’man, bahwa ia seharusnya beralih fokus dari perdebatan teologi yang seringkali spekulatif menuju fiqh, ilmu yang lebih praktis dan bermanfaat bagi umat.

Nasihat ini diterima dengan baik oleh Abu Hanifah. Ia kemudian mulai belajar dengan intensif, meninggalkan sebagian besar urusan bisnisnya. Ia memutuskan untuk berguru kepada ulama terkemuka di Kufah dan Madinah, mengumpulkan pengetahuan dari dua madrasah besar pada saat itu.

2.2. Guru Utama: Hammad bin Abi Sulaiman

Guru yang paling berpengaruh dalam membentuk fiqh Abu Hanifah adalah Hammad bin Abi Sulaiman (w. 120 H). Hammad sendiri merupakan pewaris langsung tradisi fiqh Kufah yang berakar pada Ibn Mas'ud dan Ali bin Abi Thalib. Abu Hanifah belajar kepada Hammad selama hampir 18 tahun, sebuah periode belajar yang sangat panjang dan mendalam, yang menunjukkan dedikasi luar biasa. Selama periode ini, Abu Hanifah tidak hanya menyerap materi, tetapi juga menginternalisasi metode berpikir dan proses pengambilan keputusan hukum yang sistematis.

2.2.1. Menjadi Pewaris Kursi Fiqh Kufah

Setelah wafatnya Hammad, para ulama Kufah sepakat menunjuk Abu Hanifah sebagai penggantinya. Ini adalah pengakuan atas keahliannya yang tak tertandingi dalam ilmu fiqh. Saat ia menerima peran ini, ia memutuskan untuk merumuskan ulang dan menyusun secara sistematis seluruh tradisi hukum Kufah, menjadikannya sebuah mazhab yang terstruktur dan mudah diajarkan.

III. Metodologi Hukum Hanafi: Fondasi Fiqh Rasional

Warisan terbesar Abu Hanifah bukanlah sekumpulan fatwa, melainkan sebuah kerangka metodologis yang dikenal sangat rasional, fleksibel, dan progresif. Ia tidak hanya mengandalkan nash (teks Al-Qur'an dan Sunnah), tetapi juga mengembangkan alat-alat ijtihad yang kuat untuk menangani masalah baru yang tidak disebutkan secara eksplisit dalam sumber utama. Hal ini sangat penting mengingat masyarakat Islam telah meluas jauh melampaui Hijaz, menghadapi isu-isu birokrasi, finansial, dan sosial yang asing.

3.1. Hierarki Sumber Hukum (Ushul al-Fiqh) Hanafi

Dalam Mazhab Hanafi, sumber hukum diurutkan secara ketat, mencerminkan prioritas yang diberikan kepada teks versus akal:

  1. Al-Qur'an: Sumber primer yang mutlak.
  2. As-Sunnah: Khususnya hadis yang berstatus mutawatir (diriwayatkan oleh banyak jalur) dan masyhur. Abu Hanifah dikenal sangat ketat dalam penerimaan hadis ahad (diriwayatkan satu jalur), terutama jika bertentangan dengan praktik umum (urf) Kufah atau bertentangan dengan Qiyas yang kuat.
  3. Ijma' (Konsensus): Kesepakatan para ulama.
  4. Qiyas (Analogi): Metode ijtihad yang paling sering digunakan dan menjadi ciri khas mazhab ini.
  5. Istihsan (Kecenderungan): Metode sekunder yang digunakan untuk menyimpang dari Qiyas yang kaku demi kemaslahatan atau keadilan.
  6. Urf (Kebiasaan Lokal): Praktik lokal yang tidak bertentangan dengan syariat, diakui sebagai dasar hukum.

3.2. Qiyas: Tiang Utama Penalaran Hukum

Qiyas adalah proses menyimpulkan hukum untuk kasus baru (furu') yang tidak diatur dalam Nash, dengan cara membandingkannya dengan kasus asli (ashl) yang memiliki illat (alasan hukum) yang sama. Bagi Abu Hanifah, Qiyas adalah alat paling vital untuk memastikan hukum Islam tetap relevan dan koheren.

3.2.1. Membangun Illat (Alasan Hukum)

Inti dari Qiyas adalah identifikasi illat yang tepat. Abu Hanifah dikenal karena kepiawaiannya dalam menetapkan illat. Misalnya, dalam pelarangan khamar (minuman keras), illatnya adalah memabukkan. Maka, setiap zat yang memiliki illat yang sama—yaitu memabukkan—diberi hukum yang sama (haram), meskipun zat tersebut tidak ada di masa Nabi Muhammad SAW.

Pendekatan ini menjamin hukum Islam tidak stagnan, tetapi mampu mengakomodasi perkembangan zaman dan teknologi, asalkan hukum fundamental dan tujuan syariah (maqashid) tetap dipertahankan. Kedalaman analisis Qiyas inilah yang membuat Mazhab Hanafi dijuluki sebagai Ahl ar-Ra’y (Para Ahli Akal).

Penggunaan Qiyas yang intensif ini, khususnya di Kufah, disebabkan oleh dua faktor: pertama, Kufah jauh dari pusat Sunnah (Madinah), sehingga mereka tidak memiliki akses langsung dan luas terhadap seluruh riwayat hadis. Kedua, mereka dihadapkan pada masalah-masalah administratif dan transaksi yang jauh lebih kompleks daripada di Hijaz, menuntut solusi hukum yang cepat dan logis.

3.3. Istihsan: Keluar dari Kekakuan Analogi

Istihsan (secara harfiah berarti "menganggap baik") adalah kontribusi metodologis paling unik dan sering disalahpahami dari Abu Hanifah. Istihsan digunakan ketika penerapan Qiyas yang kaku menghasilkan putusan yang fasid (rusak) atau tidak adil, atau bertentangan dengan prinsip kemaslahatan umum yang lebih tinggi.

3.3.1. Istihsan vs. Qiyas Jali

Istihsan adalah preferensi untuk Qiyas yang tersembunyi (Qiyas Khafi) di atas Qiyas yang jelas (Qiyas Jali) karena pertimbangan yang lebih baik, atau pengecualian dari Qiyas karena adanya dalil yang lebih kuat (seperti Urf, Ijma, atau dalil spesifik). Sebagai contoh klasik:

Menurut Qiyas Jali, jika tukang sumur menggali sumur dan kemudian sumur tersebut runtuh, ia tidak boleh dibayar karena kontraknya adalah kontrak Ijarah (sewa jasa) dan barang sewaan (sumur) tidak berhasil diserahkan. Namun, secara Istihsan, Abu Hanifah memutus bahwa tukang sumur tetap berhak dibayar karena ia telah mengerahkan usahanya dan keruntuhan itu adalah risiko yang umum dalam pekerjaan tersebut. Penerapan Istihsan ini bertujuan untuk menjaga keadilan sosial dan mendorong orang untuk tetap bekerja, menghindari penipuan dalam kontrak kerja.

Metode Istihsan menunjukkan bahwa fiqh Hanafi adalah mazhab yang humanis dan peduli terhadap hasil praktis hukum di masyarakat, tidak hanya mematuhi logika formal semata. Ini memberikan elastisitas yang luar biasa pada sistem hukumnya.

IV. Majelis Syura Hanafi: Sistem Kolektif Dalam Kodifikasi Fiqh

Berbeda dengan banyak ulama besar lainnya yang menyusun fiqh secara individu, Abu Hanifah membangun sebuah lembaga kodifikasi hukum yang bersifat kolektif, dikenal sebagai Majelis Syura (Dewan Konsultasi). Ini adalah inovasi yang sangat signifikan dalam sejarah hukum Islam.

4.1. Struktur dan Anggota Majelis

Majelis Syura terdiri dari puluhan murid senior, yang paling terkenal adalah Imam Abu Yusuf (kemudian menjadi Qadhi Agung pertama Abbasiyah) dan Imam Muhammad bin al-Hasan al-Shaybani. Mereka memiliki spesialisasi: ada yang ahli Hadis, ahli Bahasa, dan ahli Qiyas.

Proses kerjanya digambarkan sebagai berikut: Ketika sebuah masalah baru muncul, Abu Hanifah akan mempresentasikannya kepada dewan. Mereka akan mendiskusikan semua hadis, ayat, dan pendapat yang relevan. Perdebatan berlangsung intensif, terkadang selama berhari-hari. Abu Hanifah seringkali berperan sebagai moderator, mendorong perdebatan hingga mencapai konsensus yang paling kuat (ar-ra’y al-aqwa). Setelah putusan disepakati, putusan tersebut dicatat dan dikodifikasi.

4.1.1. Keuntungan Pendekatan Kolektif

Pendekatan kolektif ini menjamin dua hal: pertama, putusan hukum lebih kuat karena telah melewati kritik dari berbagai sudut pandang; kedua, metode ini memastikan bahwa fiqh Hanafi bukan sekadar pendapat personal Abu Hanifah (ra’y al-wahid), melainkan produk konsensus institusional dari ulama Kufah. Ini adalah cikal bakal dari sistem peradilan modern yang melibatkan majelis hakim.

4.2. Warisan Murid-Murid Utama

Meskipun Abu Hanifah dikenal sebagai pendiri, mazhab ini tidak akan menyebar tanpa kontribusi tiga murid utamanya, yang dikenal sebagai Ashabain (dua Sahabat) dan Zufar.

Keberhasilan Abu Yusuf dalam mengintegrasikan fiqh Hanafi ke dalam struktur pemerintahan Abbasiyah adalah alasan utama mengapa mazhab ini menjadi mazhab resmi Kekhalifahan Abbasiyah, dan kemudian menyebar ke Utsmaniyah, Mughal, dan Kesultanan lainnya.

Simbol Keadilan dan Metodologi Qiyas

Ilustrasi: Timbangan Keadilan, merepresentasikan penggunaan Qiyas dan Istihsan dalam pengambilan putusan hukum.

V. Istihsan dan Urf: Mekanisme Fleksibilitas Fiqh Hanafi

Untuk memahami kedalaman pemikiran Abu Hanifah, perlu dilakukan analisis mendalam mengenai dua instrumen utamanya yang memberi fleksibilitas terhadap hukum Islam di wilayah-wilayah yang berbeda: Istihsan dan Urf.

5.1. Elaborasi Istihsan: Pengecualian yang Dibenarkan

Istihsan seringkali disalahartikan oleh mazhab lain, seperti Syafi’i, sebagai ijtihad berbasis akal murni tanpa dalil (hawa nafsu). Namun, dalam Mazhab Hanafi, Istihsan adalah pengecualian yang harus didukung oleh salah satu dari lima dasar kuat:

  1. Teks (Nash) yang Samar: Ada nash yang mendukung pengecualian, tetapi nash tersebut bersifat umum, sehingga perlu Istihsan untuk mengaplikasikannya secara spesifik.
  2. Ijma' (Konsensus) Lokal: Praktik yang telah disepakati oleh masyarakat ulama tertentu, yang mengalahkan Qiyas.
  3. Dharurah (Kebutuhan Mendesak): Situasi darurat yang menuntut penyimpangan demi menghindari kesulitan (haraj).
  4. Urf (Adat Kebiasaan): Jika Urf telah mengakar kuat, ia dapat mengalahkan Qiyas teoretis.
  5. Kebutuhan Umum (al-Baluwa al-'Ammah): Kasus-kasus yang secara umum tidak dapat dihindari oleh mayoritas masyarakat (misalnya, kotoran hewan di jalanan yang sulit dihindari, yang dikecualikan dari hukum najis yang ketat).

Istihsan memastikan bahwa hukum tetap melayani tujuan Syariat, yaitu mencapai kemaslahatan dan menghilangkan kesulitan. Ini adalah mekanisme yang memungkinkan Mazhab Hanafi beradaptasi di berbagai kekaisaran dan budaya tanpa mengorbankan prinsip dasarnya.

5.2. Urf (Adat Istiadat) sebagai Sumber Hukum

Abu Hanifah adalah ulama pertama yang secara eksplisit memasukkan Urf sebagai salah satu sumber hukum (dalil taba'i), asalkan tidak bertentangan dengan Al-Qur'an dan Sunnah yang jelas. Pengakuan terhadap Urf ini menunjukkan realismenya sebagai seorang ulama yang hidup di pusat perdagangan dan multikulturalisme.

5.2.1. Peran Urf dalam Fiqh Muamalat

Dalam fiqh muamalat (transaksi), Urf memainkan peran dominan. Konsep-konsep seperti apa yang dianggap cacat (aib) dalam barang dagangan, metode pembayaran, atau standar kualitas, sering kali ditentukan oleh kebiasaan lokal. Dalam kaidah Hanafi disebutkan: "Al-'Adah Muhakkamah" (Adat kebiasaan adalah penentu hukum).

Pengakuan ini memungkinkan fiqh Hanafi untuk mengikat perjanjian atau kontrak yang hanya berlaku secara lisan atau didasarkan pada tradisi lokal, memberikan stabilitas pada sistem perdagangan yang telah ia kenal sejak masa mudanya. Ini adalah salah satu kunci penyebaran Mazhab Hanafi di wilayah yang sangat beragam secara budaya, seperti India dan Balkan.

VI. Ketegasan Prinsip: Penolakan Jabatan dan Konflik dengan Penguasa

Meskipun Abu Hanifah dikenal sebagai sosok yang rasional dan moderat dalam hukum, ia menunjukkan ketegasan yang luar biasa ketika berhadapan dengan kekuasaan politik. Kehidupan Abu Hanifah ditandai oleh penolakannya untuk tunduk pada dua dinasti besar: Umayyah dan Abbasiyah.

6.1. Penolakan Jabatan Qadhi pada Masa Umayyah

Pada masa akhir kekuasaan Umayyah, Khalifah Yazid bin Umar bin Hubairah menawarkannya posisi Qadhi (hakim) di Kufah. Abu Hanifah menolak dengan tegas. Alasannya bukan karena menolak jabatan negara secara umum, tetapi karena ia khawatir bahwa menjabat sebagai hakim di bawah rezim yang zalim akan memaksanya untuk mengeluarkan putusan yang bertentangan dengan keadilan syariat, demi kepentingan politik penguasa.

Penolakan ini berujung pada penyiksaan. Yazid memerintahkan agar Abu Hanifah dicambuk. Meskipun mengalami penyiksaan fisik, beliau tetap teguh pada pendiriannya. Kejadian ini semakin meningkatkan reputasi moral dan spiritualnya di mata masyarakat sebagai ulama yang independen dan berprinsip.

6.2. Konflik dengan Abbasiyah dan Penjara

Ketika Abbasiyah berkuasa, harapan akan pemerintahan yang lebih adil muncul. Namun, Khalifah al-Mansur (Abbasiyah) juga berupaya memanfaatkan otoritas Abu Hanifah. Al-Mansur menawarkannya posisi Qadhi al-Qudhat (Ketua Hakim Agung)—jabatan yang sangat tinggi.

Sekali lagi, Abu Hanifah menolak. Beliau memberikan alasan yang terkenal: "Saya tidak cocok untuk jabatan ini. Jika seseorang, yang tidak saya kenal, datang meminta putusan, dan Amir (Khalifah) menekan saya untuk memutuskannya, maka saya tidak akan mampu menahan diri untuk tidak memutuskannya sesuai kebenaran. Orang yang layak menjadi Qadhi adalah orang yang bersemangat untuk jabatan itu, sementara saya tidak."

Penolakan ini dipandang Al-Mansur sebagai penghinaan atau bahkan ancaman politik. Akibatnya, Abu Hanifah dipenjara di Baghdad. Di dalam penjara, ia tetap aktif mengajarkan fiqh kepada para narapidana dan penjaga, bahkan saat berada dalam kondisi yang sulit. Beliau wafat di penjara tersebut, kemungkinan besar akibat peracunan atau kondisi yang parah, menandai akhir yang tragis namun heroik bagi seorang ulama yang memilih kebenasan akal dan prinsip di atas kekuasaan duniawi.

6.2.1. Pengaruh Kematian di Penjara

Kematian Abu Hanifah sebagai martir prinsipil memiliki dampak besar. Ini mengukuhkan Mazhab Hanafi sebagai mazhab yang independen dari kekuasaan politik murni, meskipun muridnya, Abu Yusuf, kemudian mengambil jabatan Qadhi Agung dan melegitimasi mazhab tersebut di mata negara.

VII. Kontribusi Spesifik Fiqh: Detail Hukum yang Revolusioner

Di luar metodologi, Abu Hanifah meninggalkan banyak pandangan fiqh spesifik yang revolusioner dan seringkali lebih lunak atau praktis dibandingkan mazhab lain, khususnya dalam hal ibadah (ritual) dan muamalat (transaksi).

7.1. Fiqh Ibadah dan Fleksibilitas

Dalam ibadah, Abu Hanifah dikenal karena beberapa fatwa yang menunjukkan kehati-hatian terhadap kemudahan umat:

7.2. Fiqh Muamalat dan Ekonomi

Sebagai pedagang, ia unggul dalam fiqh muamalat. Pandangannya seringkali lebih akomodatif terhadap praktik bisnis yang ada, selama prinsip syariah (seperti larangan riba dan gharar) dihormati.

7.2.1. Konsep Khiyar (Hak Memilih)

Mazhab Hanafi cenderung membatasi khiyar asy-syarat (hak pembatalan bersyarat) dibandingkan mazhab lain. Tujuannya adalah memastikan stabilitas kontrak dan mempercepat penyelesaian transaksi, yang sangat penting bagi dunia dagang yang cepat.

7.2.2. Hukum Wakaf dan Harta

Abu Hanifah awalnya berpendapat bahwa wakaf harta bergerak (wakaf ghayr lazim) tidak sempurna karena adanya perubahan nilai, tetapi kemudian pandangan tersebut dirombak oleh kedua muridnya, Abu Yusuf dan Muhammad, yang membolehkan wakaf secara mutlak. Meskipun demikian, pandangan awalnya menunjukkan kehati-hatiannya terhadap masalah fluktuasi ekonomi dalam hukum Islam.

7.3. Fiqh Jinayat (Kriminal) dan Pembuktian

Mazhab Hanafi dikenal sangat ketat dalam persyaratan pembuktian untuk kasus-kasus kriminal dan hukuman (Hudud). Hal ini mencerminkan prinsip bahwa lebih baik membebaskan seribu orang bersalah daripada menghukum satu orang tak bersalah (prinsip Dar’ul Mafasid Muqaddam ‘ala Jalbil Mashalih).

Ketentuan pembuktian yang sangat tinggi (misalnya, empat saksi mata langsung untuk perzinahan) membuat hukuman Hudud sangat sulit diterapkan. Pendekatan ini menunjukkan komitmen Abu Hanifah terhadap keadilan prosedural dan perlindungan individu di tengah ketidakstabilan politik pada masa itu.

VIII. Teologi (Kalam) dan Hubungannya dengan Murji’ah

Meskipun terkenal sebagai ahli Fiqh, Abu Hanifah juga memiliki pandangan teologis yang jelas, meskipun pandangan tersebut seringkali disalahpahami dan menjadi sasaran kritik dari kelompok lain, khususnya dari para ahli hadis (Ahl al-Hadits).

8.1. Pandangan tentang Iman

Abu Hanifah berada di garis depan mereka yang berpendapat bahwa Iman (keyakinan) didefinisikan sebagai pengakuan (iqrar) lisan dan keyakinan (tashdiq) dalam hati, tanpa memasukkan amal perbuatan (a’mal) sebagai bagian esensial dari substansi iman. Ini adalah pandangan yang membedakannya dengan Mazhab Syafi’i dan Maliki yang mendefinisikan iman mencakup pengakuan, keyakinan, dan perbuatan.

Tujuan pandangan ini sangat praktis: untuk mencegah pengkafiran (takfir) terhadap sesama Muslim yang melakukan dosa besar. Selama seseorang mengakui keesaan Allah dan kenabian Muhammad, ia tetap Muslim, meskipun perbuatannya buruk. Ini adalah respons terhadap fitnah politik dan sektarian yang marak di Kufah, di mana kelompok Khawarij sering mengkafirkan Muslim pelaku dosa besar.

8.2. Tuduhan Murji’ah dan Pembelaan

Karena pandangan ini, Abu Hanifah dan mazhabnya sering dituduh sebagai bagian dari sekte Murji’ah (orang yang menangguhkan putusan amal seseorang kepada Allah). Namun, tuduhan ini secara umum ditolak oleh ulama Hanafi karena kelompok Murji’ah yang ekstrem mengabaikan peran amal sama sekali.

Abu Hanifah, melalui kitabnya yang diyakini Al-Fiqh al-Akbar, dengan jelas membedakan dirinya. Ia menekankan bahwa amal shalih adalah kewajiban yang harus dilaksanakan (fardhu), tetapi ketidaksempurnaan amal tidak otomatis menghapus status keimanan. Pandangan ini menawarkan stabilitas teologis di tengah perpecahan politik.

8.3. Kritik dari Ahl al-Hadits

Kritik utama terhadap Abu Hanifah datang dari Ahl al-Hadits (terutama kemudian diwakili oleh Mazhab Hanbali). Mereka menuduh beliau kurang dalam pengetahuan Hadis atau terlalu mengandalkan akal (ra’y) ketimbang nash. Kritik ini seringkali dibalas dengan menunjukkan bahwa: a) Abu Hanifah memang sangat ketat dalam seleksi hadis ahad karena khawatir hadis tersebut palsu di Kufah yang penuh gejolak; b) Ia hanya menggunakan Qiyas ketika nash tidak tersedia, dan Qiyasnya selalu berdasar pada prinsip-prinsip Syariah yang lebih tinggi.

IX. Warisan Abadi dan Penyebaran Global Mazhab Hanafi

Mazhab Hanafi bukanlah sekadar mazhab regional Kufah. Melalui dukungan politik Abbasiyah, dan kemudian melalui jalur perdagangan dan penaklukan, ia menjelma menjadi mazhab yang paling dominan di dunia Islam selama lebih dari sepuluh abad.

9.1. Dominasi Politik dan Administrasi

Setelah Abu Yusuf menjabat sebagai Qadhi Agung, Mazhab Hanafi menjadi mazhab resmi Kekhalifahan Abbasiyah. Para Qadhi di seluruh wilayah kekhalifahan (dari Mesir hingga Transoksania) adalah penganut Hanafi, yang memastikan doktrin dan metodologi Hanafi menjadi hukum yang berlaku di pengadilan dan administrasi publik.

Penyebaran ini diperkuat oleh tiga kekaisaran Muslim besar di kemudian hari:

9.2. Adaptasi Fiqh di Berbagai Budaya

Keberhasilan Hanafi terletak pada fleksibilitasnya yang diizinkan oleh Istihsan dan Urf. Ketika mazhab ini mencapai Asia Tengah (Bukhara, Samarqand), ulama lokal menggunakan metodologi Hanafi untuk mengakomodasi adat istiadat setempat yang tidak bertentangan dengan Syariah. Hal ini memastikan bahwa Islam tidak terlihat sebagai agama asing, tetapi mampu berintegrasi dengan tatanan sosial yang ada.

9.2.1. Perkembangan Fiqh Hanafi Pasca-Imam

Setelah generasi pendiri, Mazhab Hanafi melalui tahap pengkonsolidasian. Ulama-ulama kemudian seperti Al-Sarakhsi (pengarang Al-Mabsut) dan Al-Kasani (Badai' al-Sana'i) menyusun ulang dan merinci pandangan mazhab tersebut, memecahkan masalah perbedaan pendapat antara Abu Hanifah dan kedua muridnya (Abu Yusuf dan Muhammad). Dalam banyak kasus, pendapat yang dipegang resmi oleh mazhab adalah pandangan Abu Yusuf atau Muhammad, karena mereka lebih terlibat dalam praktik peradilan.

X. Kesimpulan: Warisan Intelektual yang Abadi

Imam Abi Hanafiah adalah lebih dari sekadar pendiri sebuah mazhab; ia adalah seorang arsitek hukum yang menciptakan kerangka rasional untuk interpretasi Syariah. Ia berhasil mengalihkan fokus dari sekadar pengumpulan narasi (hadis) menjadi proses penalaran yang terstruktur, memastikan bahwa hukum Islam mampu menghadapi kompleksitas peradaban perkotaan yang sedang tumbuh pesat di Irak.

Dedikasinya terhadap keadilan prosedural, penolakannya terhadap tirani politik, dan inovasinya dalam penggunaan Istihsan telah menjadikannya figur sentral dalam tradisi intelektual Islam. Meskipun kritik terhadapnya muncul dari sisi tradisi yang lebih literal, ketelitian dan sistematisasi yang ia berikan pada fiqh Kufah adalah fondasi yang memungkinkannya bertahan dan menyebar, membentuk sistem hukum yang kini dianut oleh hampir sepertiga populasi Muslim dunia.

Pemikiran Abi Hanafiah terus relevan hingga saat ini, terutama dalam konteks perundang-undangan modern. Pendekatan takhayyur (memilih pendapat yang paling sesuai) dalam hukum Islam kontemporer seringkali merujuk kembali pada kelenturan metodologi Hanafi, yang senantiasa mencari solusi hukum yang adil, praktis, dan paling sesuai dengan semangat Syariah.

---
🏠 Homepage