Pena Qalam dan Gulungan Hukum (Fiqh)
Nama lengkap beliau adalah An-Nu'man ibn Thabit ibn Zuta. Dikenal dengan sebutan Abū Ḥanīfah, beliau merupakan salah satu tokoh paling berpengaruh dalam sejarah hukum Islam. Lahir di Kufah, Irak, pada masa Dinasti Umayyah, Abi Hanifah tidak hanya menjadi seorang ulama terkemuka, tetapi juga pendiri salah satu mazhab fiqh terbesar yang diikuti oleh mayoritas umat Islam di dunia, yakni Mazhab Hanafi. Warisan intelektual beliau mencerminkan perpaduan unik antara kesalehan mendalam dan kecakapan rasional yang luar biasa dalam menginterpretasikan sumber-sumber hukum Islam.
Konteks kelahiran dan masa hidup Abi Hanifah di Kufah sangat penting. Kufah pada abad pertama Hijriah merupakan pusat peradaban dan ilmu pengetahuan yang dinamis, tempat bertemunya berbagai mazhab pemikiran dan tradisi. Lingkungan yang kaya akan diskusi dan debat ini membentuk kerangka berpikir beliau yang terstruktur dan kritis. Berbeda dengan pusat ilmu lainnya yang cenderung berpegang teguh pada riwayat (seperti Madinah), Kufah lebih menekankan pada penalaran (ra’y) dan analisis logis untuk menyelesaikan permasalahan hukum yang kompleks dan baru.
Abi Hanifah berasal dari keluarga Persia, yang menunjukkan keragaman etnis dalam lingkungan Islam awal. Ayahnya, Thabit, adalah seorang pedagang sutra yang mapan dan sejahtera. Posisi sosial dan ekonomi keluarga ini memungkinkan Abi Hanifah mendapatkan pendidikan yang baik. Meskipun dikenal sebagai ahli fiqh, karier awalnya justru berfokus pada perdagangan, sebuah profesi yang konon memengaruhi pandangannya terhadap hukum, terutama dalam masalah muamalat (transaksi ekonomi) yang sangat detail dan praktis.
Menurut beberapa riwayat, beliau sempat berguru kepada beberapa sahabat Nabi dan para Tabi’in, termasuk Anas ibn Malik, meskipun pertemuan langsung dengannya masih menjadi perdebatan para sejarawan. Namun yang pasti, pengaruh Tabi’in di Kufah, khususnya Ibrahim al-Nakha’i dan Hammad ibn Abi Sulayman, sangat besar. Hammad adalah guru utama Abi Hanifah dalam bidang fiqh, tempat beliau menghabiskan hampir dua puluh tahun mempelajari dan menguasai ilmu hukum secara mendalam. Setelah wafatnya Hammad, Abi Hanifah mengambil alih majelis pengajarannya, menandai dimulainya dominasi beliau dalam kancah fiqh Kufah.
Menariknya, sebelum mendalami fiqh, Abi Hanifah awalnya mendalami ilmu kalam (teologi). Beliau dikenal memiliki kemampuan berdebat yang tajam dan kerap melakukan perjalanan untuk membahas isu-isu doktrinal. Namun, atas saran salah satu gurunya, atau karena menyadari kebutuhan praktis umat, beliau mengalihkan fokusnya sepenuhnya kepada fiqh. Perpindahan ini tidak menghapus kemampuan dialektika beliau; justru, kemampuan berargumen secara logis dan struktural ini menjadi ciri khas utama dalam pengembangan metodologi fiqhnya kelak.
Dalam fiqh, Abi Hanifah dikenal memiliki pendekatan yang disebut Ahl al-Ra’y (Kaum Rasionalis), yang menekankan penggunaan akal (ra'y) dan penalaran logis dalam menghadapi masalah yang tidak secara eksplisit disebutkan dalam Al-Qur'an atau Sunnah. Pendekatan ini adalah respons terhadap kompleksitas masyarakat Kufah yang terus berkembang, yang membutuhkan solusi hukum yang adaptif dan terstruktur.
Metodologi yang dikembangkan oleh Abi Hanifah, sering disebut Usul al-Fiqh al-Hanafi, adalah sistem hukum yang sangat terstruktur dan hierarkis. Sistem ini tidak hanya berfokus pada hasil hukum (furūʿ), tetapi juga pada proses penalaran (usūl) yang digunakan untuk mencapai hasil tersebut. Inilah yang membedakan Mazhab Hanafi dari mazhab-mazhab lain yang muncul di Hijaz (Madinah), yang lebih mengutamakan hadis dan tradisi lokal.
Abi Hanifah menetapkan urutan ketat dalam menggunakan sumber hukum. Urutan ini penting karena menetapkan kapan penalaran rasional (ra'y) boleh digunakan:
Qiyas dan Istihsan: Fondasi Hukum Hanafi
Qiyas merupakan alat utama Mazhab Hanafi ketika tidak ada teks langsung. Konsepnya adalah mencari ‘illah (alasan atau sifat yang mendasari) suatu hukum dalam nash, dan menerapkannya pada kasus baru yang memiliki ‘illah yang sama. Misalnya, jika hukum melarang khamr (minuman keras) karena sifatnya yang memabukkan (‘illah), maka zat lain yang memabukkan harus dilarang, meskipun tidak disebutkan dalam nash.
Abi Hanifah dan murid-muridnya terkenal karena sangat detail dan rigid dalam menerapkan Qiyas. Mereka membangun pohon penalaran yang kompleks untuk setiap kasus, memastikan konsistensi hukum. Namun, kekakuan Qiyas inilah yang membuka jalan bagi penggunaan Istihsan.
Istihsan adalah kontribusi paling khas dan paling diperdebatkan dari Abi Hanifah. Secara harfiah berarti "menganggap sesuatu baik," dalam konteks fiqh Istihsan adalah: meninggalkan hasil dari Qiyas yang jelas (Qiyas Jali) demi solusi yang lebih tersembunyi (Qiyas Khafi) atau solusi yang didasarkan pada prinsip keadilan, kepentingan umum, atau untuk menghindari kesulitan yang tidak semestinya.
Abi Hanifah menyadari bahwa terkadang penerapan Qiyas secara kaku akan menghasilkan ketidakadilan atau kesulitan praktis (haraj). Istihsan berfungsi sebagai katup pengaman sistem hukum. Contoh klasik Istihsan adalah masalah air sisa minuman burung pemangsa (seperti elang). Qiyas formal mungkin menganggap air tersebut najis karena elang memakan bangkai. Namun, karena burung tersebut sering berinteraksi dengan sumber air minum manusia dan sulit dihindari, Istihsan diterapkan untuk menyatakan air tersebut suci, demi memudahkan umat dan menghindari kesulitan umum (masyarakat umum).
Konsep Istihsan menunjukkan pragmatisme Abi Hanifah dan perhatiannya yang mendalam terhadap realitas sosial. Ini adalah alat yang memungkinkan Mazhab Hanafi beradaptasi dengan berbagai budaya dan wilayah geografis, yang merupakan faktor kunci keberhasilan penyebarannya ke timur dan wilayah non-Arab.
Mazhab Hanafi memiliki pendekatan yang sangat konservatif terhadap Hadis Ahad (riwayat yang ditransmisikan oleh satu atau beberapa perawi tetapi tidak mencapai tingkat masyhur atau mutawatir). Abi Hanifah menetapkan standar yang tinggi untuk penerimaannya, terutama jika Hadis Ahad tersebut bertentangan dengan:
Kekhawatiran utama beliau adalah adanya kemungkinan kesalahan atau pemalsuan dalam riwayat tunggal, terutama mengingat jarak geografis dan waktu dari sumber aslinya. Pendekatan ini seringkali menyebabkan Mazhab Hanafi berpegang pada penalaran (Qiyas dan Istihsan) dalam kasus-kasus di mana mazhab lain, seperti Syafi'i dan Maliki, mengutamakan Hadis Ahad.
Penekanan pada kerangka penalaran yang kuat daripada ketergantungan mutlak pada setiap Hadis Ahad yang mungkin lemah adalah mengapa Mazhab Hanafi dijuluki sebagai Ahl al-Ra’y, meskipun sebutan ini kadang digunakan secara peyoratif oleh mazhab yang lebih berbasis riwayat (Ahl al-Hadith).
Abi Hanifah dikenal bukan hanya sebagai seorang ahli hukum, tetapi sebagai seorang organisator jenius. Beliau tidak bekerja sendiri dalam merumuskan hukum; sebaliknya, beliau memimpin sebuah majelis musyawarah (dewan fiqh) yang terdiri dari sekitar empat puluh murid utama yang sangat terpelajar.
Dewan ini merupakan institusi unik pada masanya. Ketika sebuah masalah baru diajukan, Abi Hanifah akan mempresentasikannya kepada dewan. Mereka kemudian akan mendiskusikan masalah tersebut dari berbagai sudut pandang: linguistik, tekstual (nash), Qiyas, dan implikasi sosialnya. Diskusi ini bisa berlangsung berhari-hari, bahkan berminggu-minggu, hingga dicapai kesepakatan atau setidaknya pandangan mayoritas.
Peran Abi Hanifah adalah sebagai ketua dan penyaring akhir, yang memastikan bahwa semua hasil penalaran konsisten dengan usul (prinsip) yang telah ditetapkan. Berkat metode kolektif ini, Mazhab Hanafi menjadi mazhab pertama yang menyusun fiqh secara sistematis berdasarkan bab-bab dan topik-topik, jauh sebelum mazhab-mazhab lain.
Keberlangsungan dan penyebaran Mazhab Hanafi sangat bergantung pada murid-murid utama beliau, yang dikenal sebagai ‘Sahibain’ (Dua Sahabat) dan Zafar ibn Hudhayl. Merekalah yang bertanggung jawab mendokumentasikan, menyistematisasi, dan menyebarkan ajaran Abi Hanifah:
Kehidupan Abi Hanifah tidak luput dari konflik politik. Masa hidup beliau mencakup transisi dari Dinasti Umayyah yang semakin otoriter ke Dinasti Abbasiyah yang ambisius. Integritas beliau terlihat jelas dalam penolakannya terhadap posisi resmi negara.
Abi Hanifah menolak tawaran untuk menjabat sebagai Qadi (hakim) oleh Khalifah Umayyah, Yazid ibn Umar. Ketika Abbasiyah berkuasa, Khalifah Al-Mansur juga menawarkan posisi Qadi al-Qudat kepadanya. Penolakan ini menunjukkan etos kemandirian yang kuat. Abi Hanifah khawatir bahwa menerima jabatan negara akan mengkompromikan objektivitas hukumnya dan memaksanya mengeluarkan fatwa yang melayani kepentingan politik penguasa, bukan keadilan Syariah.
Penolakannya terhadap Al-Mansur sangat dramatis. Karena menolak, beliau dipenjara dan dianiaya. Kisah ini sering dikutip sebagai simbol perlawanan ulama terhadap kekuasaan politik, menjaga kemurnian ilmu dari intervensi pemerintah.
Perlakuan keras yang diterima beliau, terutama dari Khalifah Al-Mansur, berujung pada kematiannya di penjara di Baghdad pada tahun 767 M. Lokasi pemakamannya di Baghdad menjadi tempat ziarah yang penting. Kematiannya sebagai martir bagi independensi hukum memperkuat penghormatan yang diberikan umat Islam kepadanya, tidak hanya sebagai ahli hukum tetapi sebagai tokoh moral.
Warisan moral ini menekankan bahwa fiqh harus beroperasi di atas politik. Bagi Abi Hanifah, tugas ulama adalah melayani Syariah, bahkan jika itu berarti menentang kekuatan duniawi. Prinsip ini menjadi karakteristik yang dihargai dalam tradisi Hanafi.
Untuk memahami sepenuhnya kedalaman pemikiran Abi Hanifah, perlu dilakukan pemeriksaan yang lebih terperinci mengenai dua prinsip utamanya yang paling pragmatis: Istihsan dan Urf. Kedua konsep ini menunjukkan bahwa fiqh Hanafi bukanlah sistem yang tertutup, melainkan sistem yang terbuka terhadap pertimbangan keadilan dan realitas sosial.
Istihsan pada dasarnya adalah alat untuk menyempurnakan keadilan. Ketika Qiyas (analogi ketat) menghasilkan hukum yang absurd, tidak adil, atau menimbulkan kesulitan yang tidak beralasan (haraj), Istihsan menyediakan jalan keluar. Para ulama Hanafi mengidentifikasi beberapa jenis Istihsan:
Kritik utama terhadap Istihsan datang dari Mazhab Syafi'i, yang berpendapat bahwa Istihsan sama saja dengan membuat hukum berdasarkan hawa nafsu (keinginan pribadi), karena mengesampingkan logika Qiyas yang sudah mapan. Imam Asy-Syafi'i terkenal dengan kalimatnya: "Barang siapa ber-Istihsan, maka ia telah membuat Syariah sendiri." Namun, ulama Hanafi membela diri dengan menegaskan bahwa Istihsan mereka selalu berakar pada prinsip Syariah yang lebih tinggi (Maqāṣid), seperti kemudahan, keadilan, dan kepentingan publik, sehingga tetap merupakan penalaran Syar'i, bukan arbitrer.
Istihsan adalah wujud nyata dari pengakuan Abi Hanifah bahwa hukum yang ideal secara logika (Qiyas) terkadang bertabrakan dengan hukum yang adil dan praktis. Dalam kasus tersebut, keadilan dan kepraktisan harus diutamakan, menunjukkan pemahaman beliau yang canggih tentang tujuan hukum Islam.
Prinsip Urf (adat atau kebiasaan lokal) merupakan sumber hukum pelengkap yang digunakan secara luas dalam Mazhab Hanafi. Abi Hanifah menyatakan bahwa Urf yang berlaku dan tidak bertentangan dengan nash atau ijma’ yang pasti, memiliki kekuatan hukum yang mengikat.
Pengakuan terhadap Urf ini memungkinkan Mazhab Hanafi untuk beradaptasi ketika menyebar ke berbagai wilayah dengan tradisi yang berbeda, seperti Turki, India, dan Asia Tengah. Contohnya termasuk penetapan mahar (mas kawin) yang seringkali didasarkan pada kebiasaan setempat, atau praktik-praktik dagang yang berlaku di Kufah.
Pentingnya Urf dalam fiqh Hanafi menjadikannya mazhab yang sangat fleksibel secara geografis. Ulama Hanafi kemudian merumuskan kaidah fiqh: "Adat adalah penentu hukum" (Al-'Aadat Muhakkamah). Kaidah ini menekankan bahwa praktik yang telah diterima secara sosial dapat memodifikasi atau memperjelas penerapan hukum, asalkan tidak melanggar batasan etika dan agama yang paling mendasar.
Dampak pemikiran Abi Hanifah melampaui batas-batas Irak. Karena adopsi resmi oleh Kekhalifahan Abbasiyah melalui muridnya, Abu Yusuf, Mazhab Hanafi menjadi mazhab fiqh yang paling dominan di dunia Islam timur dan utara.
Mazhab Hanafi menyebar ke wilayah-wilayah yang luas, termasuk:
Meskipun terkenal sebagai ahli fiqh, Abi Hanifah juga memberikan kontribusi penting dalam bidang akidah (teologi). Beliau dikenal sebagai tokoh yang mengambil posisi moderat antara faksi-faksi teologis ekstrem. Karyanya yang berjudul Al-Fiqh al-Akbar dianggap sebagai salah satu teks penting dalam pengembangan teologi Maturidiyyah (salah satu mazhab teologi Sunni utama), yang kemudian sangat dominan di wilayah-wilayah Hanafi.
Dalam Al-Fiqh al-Akbar, beliau menekankan bahwa iman adalah pengakuan (i'tiraf) dan pembenaran (tasdiq), dan bahwa amal (perbuatan) merupakan penyempurna iman tetapi bukan bagian intrinsik dari definisi iman itu sendiri. Pandangan ini menentang faksi Khawarij yang menganggap dosa besar dapat menghilangkan iman sepenuhnya, sekaligus membedakannya dari pandangan yang lebih mutlak dalam definisi iman.
Latar belakang Abi Hanifah sebagai seorang pedagang memberikan keunggulan praktis dalam fiqh muamalat (transaksi ekonomi). Mazhab Hanafi dikenal karena perinciannya yang mendalam dalam kontrak, kemitraan, dan keuangan. Pendekatan beliau yang pragmatis dan penggunaan Istihsan memungkinkan pengembangan solusi hukum untuk instrumen keuangan yang rumit dan baru, yang sangat diperlukan oleh masyarakat komersial Kufah dan Baghdad.
Detail-detail yang dirumuskan oleh Mazhab Hanafi dalam kontrak jual beli, sewa-menyewa, dan investasi, menjadi standar yang diadopsi oleh banyak sistem perbankan dan keuangan Islam modern, menunjukkan relevansi abadi dari penalaran beliau.
Memahami Abi Hanifah memerlukan perbandingan singkat dengan mazhab-mazhab Sunni kontemporer lainnya, khususnya Mazhab Maliki dan Syafi'i, yang berkembang di Hijaz (Arabia).
Imam Malik adalah tokoh utama di Madinah, pusat riwayat. Perbedaan utama adalah pada sumber hukum:
Imam Syafi'i (murid dari Abu Yusuf dan kemudian juga belajar dari Malik) datang kemudian dan mencoba menyatukan pendekatan Ahl al-Ra’y dan Ahl al-Hadith.
Meskipun diciptakan pada abad kedua Hijriah, fiqh Hanafi tetap relevan hingga kini. Sifatnya yang fleksibel melalui Istihsan dan pengakuannya terhadap Urf telah memungkinkan mazhab ini beradaptasi dengan perubahan zaman dan budaya. Di banyak negara, hukum keluarga dan hukum privat masih berakar kuat pada interpretasi Hanafi.
Para ulama kontemporer yang menganut Mazhab Hanafi terus menggunakan warisan metodologi ini untuk menyelesaikan isu-isu modern, seperti bioetika, keuangan syariah, dan hak asasi manusia. Kemampuan Abi Hanifah untuk menyeimbangkan antara ketaatan pada teks suci dan kebutuhan akan keadilan praktis menjadikannya seorang yuris yang melampaui zamannya.
Inti dari warisan Abi Hanifah adalah prinsip bahwa Syariah adalah rahmat yang tidak seharusnya menimbulkan kesulitan. Hukum harus melayani manusia dalam mencapai kebaikan dunia dan akhirat, dan jika logika kaku bertentangan dengan keadilan fundamental, maka keadilan haruslah menjadi penentu akhir. Inilah filosofi yang memungkinkan Mazhab Hanafi menjadi struktur hukum yang mendominasi peradaban Islam selama lebih dari seribu tahun, dan terus membentuk pemahaman hukum hingga hari ini.
Ketekunan Abi Hanifah dalam membangun struktur hukum yang koheren, keberaniannya menentang penguasa demi menjaga integritas ilmu, serta kecerdasan luar biasanya dalam memanfaatkan penalaran logis, menjamin bahwa namanya, An-Nu'man ibn Thabit, akan selalu dikenang sebagai salah satu arsitek terbesar dalam sejarah hukum dunia.