Ilustrasi pedang beracun yang digunakan oleh Abdurrahman bin Muljam di Masjid Kufah.
Nama Abdurrahman bin Muljam adalah sebuah epitaf bagi periode paling traumatis dalam sejarah Islam awal, periode yang dikenal sebagai era Fitnah al-Kubra (Perpecahan Besar). Untuk memahami mengapa seorang Muslim yang dikenal memiliki intensitas ibadah yang tinggi mampu melakukan tindakan pembunuhan terhadap Khalifah Ali bin Abi Thalib, kita harus terlebih dahulu menyelami jurang ideologis yang melahirkan gerakan Khawarij. Kelompok ini, yang secara harfiah berarti "mereka yang keluar" atau "pembangkang," bukanlah sekadar faksi politik, melainkan sebuah manifestasi dari puritanisme ekstremis yang menolak kompromi dalam segala bentuknya.
Titik balik yang menentukan adalah peristiwa Tahkim (Arbitrase) setelah pertempuran Siffin. Di medan Siffin, pada saat pasukan Ali hampir memenangkan pertempuran melawan Muawiyah bin Abi Sufyan, Muawiyah menggunakan taktik mengangkat mushaf Al-Qur'an, menuntut agar perselisihan mereka diselesaikan berdasarkan Kitabullah. Ali, didesak oleh sebagian pasukannya, setuju. Namun, kesepakatan untuk menunjuk dua arbiter—Abu Musa Al-Asy'ari dari pihak Ali dan Amr bin Ash dari pihak Muawiyah—dipandang oleh segelintir pasukan Ali sebagai pengkhianatan terhadap prinsip dasar Islam.
Penolakan terhadap proses tahkim tidak hanya merupakan penolakan politik semata, namun mencerminkan sebuah landasan ideologis yang fundamental, sebuah keyakinan tak tergoyahkan bahwa otoritas penentu hukum dan kebenaran hanya terletak pada kalam Allah yang Maha Agung. Mereka mencetuskan semboyan terkenal: "Tidak ada hukum kecuali hukum Allah" (*La hukma illa lillah*). Bagi mereka, Ali, dengan menyetujui arbitrase manusia, telah melakukan dosa besar, bahkan kemurtadan, karena ia menempatkan pertimbangan manusiawi di atas kehendak Ilahi yang jelas, sebagaimana mereka tafsirkan.
Para Khawarij melihat diri mereka sebagai satu-satunya kelompok yang benar-benar menjaga kemurnian tauhid dan syariat. Mereka mempraktikkan konsep *takfir* (pengkafiran) secara luas, menganggap Muslim lain yang tidak sejalan dengan pandangan mereka, termasuk Ali dan Muawiyah, sebagai kafir yang sah untuk dibunuh. Ideologi ini memberikan legitimasi teologis yang mengerikan bagi tindakan kekerasan politik. Mereka keluar dari barisan Ali di tempat yang disebut Harura, dan kemudian mendirikan pusat kekuatan mereka di Nahrawan, tempat Ali kemudian terpaksa memerangi mereka karena aksi kekerasan dan perampokan yang mereka lakukan terhadap Muslim lain.
Kekalahan Khawarij di Nahrawan tidak memadamkan api ideologi mereka; sebaliknya, itu hanya memperkuat kebencian dan rasa dendam mereka. Bagi para Khawarij yang selamat, Ali bin Abi Thalib bukan lagi seorang khalifah atau sepupu Nabi, melainkan musuh agama yang telah menumpahkan darah kaum Muslim sejati (yakni, sesama Khawarij). Abdurrahman bin Muljam adalah salah satu individu yang meresapi kebencian ini hingga ke tulang sumsum, meyakini bahwa membunuh Ali adalah tindakan religius yang paling mulia, sebuah upaya untuk mengembalikan kesucian umat yang telah dicemari oleh para pemimpin yang mereka anggap sesat.
Intensitas keyakinan Bin Muljam harus dipahami dalam kerangka ini. Ia bukanlah seorang pembunuh bayaran biasa. Ia adalah seorang ideolog yang bertindak berdasarkan keyakinan bahwa ia adalah alat keadilan Ilahi. Kepercayaan yang terdistorsi ini memberikan kekuatan spiritual pada rencananya, menjadikannya teguh dan tanpa penyesalan. Setiap langkah yang ia ambil, dari Kufah hingga Makkah dan kembali, dipercayainya sebagai sebuah perjalanan suci yang puncaknya adalah penebusan dosa umat melalui darah Ali.
Para Khawarij yang tersisa, meskipun jumlahnya berkurang drastis setelah Nahrawan, tetap merupakan ancaman laten yang sangat berbahaya. Mereka bersembunyi di berbagai kota, menyebarkan doktrin mereka secara rahasia, dan merencanakan pembalasan yang akan mengguncang fondasi kekuasaan Islam. Pemikiran mereka berakar pada simplifikasi ekstrem: dunia terbagi antara kaum beriman (mereka sendiri) dan kaum kafir (semua yang menentang mereka). Ali bin Abi Thalib, sebagai target utama, melambangkan kegagalan sistem, arbitrase yang dikutuk, dan penumpah darah saudara mereka di Nahrawan. Dengan membunuhnya, mereka percaya bahwa mereka akan membersihkan tubuh umat dari penyakit kemunafikan dan kekafiran.
Maka, Abdurrahman bin Muljam muncul dari kegelapan ideologis ini, disiapkan oleh kebencian yang mendalam dan didukung oleh keyakinan bahwa tindakannya adalah pelaksanaan hukuman Tuhan. Ia adalah representasi sempurna dari radikalisasi politik-religius, di mana kesalehan individu (Bin Muljam dikenal sebagai penghafal Al-Qur'an dan ahli ibadah) berpadu dengan penafsiran literal dan eksklusif terhadap teks suci, menghasilkan sebuah misi pembunuhan yang akan dicatat dalam sejarah sebagai salah satu titik balik paling tragis.
Abdurrahman bin Muljam al-Muradi, seorang pria dari suku Himyar, dikenal memiliki latar belakang yang cukup terhormat di Yaman. Ironisnya, ia adalah salah satu individu yang awalnya menunjukkan kesalehan yang menonjol dan kemampuan menghafal Al-Qur'an yang luar biasa. Ia pernah melakukan perjalanan ke Kufah dan Mesir. Dalam banyak riwayat, digambarkan bahwa Ali bin Abi Thalib sendiri pernah mengirimkannya ke Mesir untuk mengajarkan Al-Qur'an dan yurisprudensi Islam kepada penduduk di sana. Ini menunjukkan betapa tingginya kedudukan dan kepercayaan yang pernah diberikan kepadanya, sebelum ia sepenuhnya jatuh ke dalam jurang ideologi Khawarij.
Setelah pertempuran Nahrawan, yang mengakhiri eksistensi massal Khawarij, Bin Muljam melarikan diri dan menyembunyikan diri. Kebenciannya terhadap Ali mencapai puncaknya ketika ia bertemu dengan dua Khawarij lainnya: al-Burak bin Abdillah dan Amr bin Bakr al-Tamimi. Ketiganya bertemu di Makkah, mungkin selama musim haji, atau dalam perjalanan ziarah di tengah masa berkabung dan kemarahan mereka terhadap status quo politik di dunia Islam.
Pertemuan rahasia ini menjadi inkubator bagi rencana pembunuhan terkoordinasi yang paling ambisius dan mematikan dalam sejarah Islam awal. Ketiganya menyimpulkan bahwa kekacauan yang melanda umat Islam disebabkan oleh tiga pemimpin utama: Ali bin Abi Thalib (di Kufah), Muawiyah bin Abi Sufyan (di Syam/Damaskus), dan Amr bin Ash (Gubernur Mesir dan arsitek Tahkim). Dalam pandangan mereka, menghilangkan ketiga tokoh ini secara simultan pada satu malam suci di bulan Ramadan akan membersihkan umat dari kemunafikan dan tirani, mengembalikan sistem kekhalifahan pada landasan yang murni, tanpa penguasa yang mereka anggap menyimpang.
Mereka menetapkan tanggal pelaksanaan serangan, yaitu pada malam ke-17 atau ke-21 bulan Ramadan, waktu yang mereka anggap sangat mulia untuk melakukan 'pengorbanan' demi agama. Abdurrahman bin Muljam bersumpah untuk membunuh Ali. Al-Burak bin Abdillah ditugaskan untuk membunuh Muawiyah, dan Amr bin Bakr ditugaskan untuk membunuh Amr bin Ash. Masing-masing Khawarij mempersiapkan pedang mereka dengan racun paling mematikan yang dapat mereka temukan, memastikan bahwa satu luka pun akan bersifat fatal, sebuah tindakan yang mencerminkan tekad bulat dan kebrutalan yang terencana.
Di antara ketiga target, Ali bin Abi Thalib adalah target yang paling kritis bagi Bin Muljam, bukan hanya karena Ali adalah pemimpin Kufah, tetapi karena ia adalah simbol pembalasan atas Nahrawan. Bin Muljam berangkat menuju Kufah, pusat kekhalifahan Ali, untuk melaksanakan misinya. Namun, faktor pribadi segera memperkuat motivasi ideologisnya ketika ia tiba di Kufah.
Di Kufah, Bin Muljam bertemu dengan seorang wanita yang sangat cantik bernama Qatam binti Shijnah. Ayah dan saudara laki-laki Qatam telah terbunuh dalam pertempuran Nahrawan melawan pasukan Ali. Qatam, seorang wanita yang menyimpan dendam membara, setuju untuk menikah dengan Bin Muljam dengan dua syarat mahar yang tidak konvensional: tiga ribu dirham, seorang budak, dan yang paling utama, kepala Ali bin Abi Thalib. Kisah ini sering kali dimasukkan dalam narasi sejarah untuk menunjukkan bahwa selain fanatisme ideologis, motivasi pribadi dan romansa yang didasari oleh dendam juga menjadi pendorong kuat bagi Bin Muljam.
Pengaruh Qatam tidak hanya mendorong Bin Muljam, tetapi ia juga aktif membantu dalam perencanaan. Ia memperkenalkan Bin Muljam kepada dua kaki tangan Khawarij lainnya di Kufah: Syabib bin Bajrah al-Asyja’i dan Wardan bin al-Mujalid. Dengan adanya Qatam dan kedua kaki tangan ini, rencana pembunuhan Ali menjadi semakin terorganisir dan terstruktur, dengan rincian waktu, lokasi, dan cara yang akan mereka tempuh. Kufah, yang seharusnya menjadi rumah bagi Ali, telah berubah menjadi sarang konspirasi di bawah selubung kesalehan palsu Bin Muljam.
Sementara itu, operasi terkoordinasi lainnya menghasilkan hasil yang berbeda. Al-Burak bin Abdillah berhasil mencapai Damaskus dan menyerang Muawiyah, tetapi serangannya tidak fatal. Muawiyah hanya terluka di bagian pinggul dan pulih, meskipun luka tersebut menyebabkan ia harus menggunakan alat bantu jalan di kemudian hari. Amr bin Bakr, di Mesir, melakukan kesalahan fatal; ia menyerang orang yang salah, seorang komandan militer bernama Kharijah bin Hudzafah, karena menyangka Kharijah adalah Amr bin Ash. Kedua kaki tangan Bin Muljam gagal total dalam mencapai tujuan mereka. Namun, di Kufah, Abdurrahman bin Muljam mempersiapkan diri untuk melaksanakan misinya dengan presisi yang mematikan, meyakini bahwa nasib umat Islam kini bergantung sepenuhnya pada kesuksesannya.
Malam pelaksanaan telah tiba, malam ke-21 Ramadan. Ini adalah malam yang penuh berkah menurut tradisi Islam, dan Masjid Kufah penuh sesak dengan para jamaah yang ingin menghidupkan malam tersebut dengan ibadah. Khalifah Ali bin Abi Thalib, yang dikenal sangat memperhatikan ibadah dan sering kali tidur di masjid selama bulan Ramadan, sedang bersiap memimpin salat subuh (Fajr).
Dalam riwayat, diceritakan bahwa Ali memiliki firasat atau mimpi buruk selama beberapa malam terakhir. Namun, sebagai seorang pemimpin yang berani dan bertanggung jawab, ia tidak pernah absen dari tanggung jawabnya memimpin salat berjamaah. Pada subuh yang nahas itu, Ali memasuki masjid dan mulai membangunkan para jamaah yang tertidur, termasuk Abdurrahman bin Muljam dan kedua kaki tangannya, yang bersembunyi di sudut gelap masjid.
Bin Muljam dan Syabib bin Bajrah telah menyembunyikan pedang mereka di bawah pakaian mereka. Pedang Bin Muljam, yang dikenal sebagai *Sayf al-Lahim* (Pedang Berdarah), telah diasah tajam dan dilumuri dengan racun yang sangat cepat bereaksi, kemungkinan racun dari ekstrak tanaman atau hewan yang mematikan. Racun tersebut dimaksudkan untuk memastikan kematian instan, bahkan jika lukanya tidak terlalu dalam.
Ketika Ali bin Abi Thalib berdiri untuk memulai salat, mengumandangkan takbir atau baru saja menyelesaikan azan dan bersiap untuk iqamah, Abdurrahman bin Muljam tiba-tiba melompat keluar dari persembunyiannya bersama Syabib bin Bajrah. Mereka berdua berteriak, mengumandangkan semboyan Khawarij, "Keputusan hanya milik Allah, bukan milikmu, wahai Ali!" Mereka menyerang Khalifah secara bersamaan.
Syabib bin Bajrah melancarkan serangannya, tetapi serangannya meleset atau hanya melukai ringan. Namun, serangan Abdurrahman bin Muljam mengenai Ali bin Abi Thalib tepat di dahi bagian atas (atau bagian kepala yang biasa dilindungi sorban). Pedang beracun itu menembus hingga ke otak, dan darah Khalifah segera membasahi lantai masjid. Ali jatuh bersujud, sambil mengucapkan, "Demi Tuhan Ka’bah, aku telah berhasil!"— sebuah ungkapan yang diinterpretasikan sebagai kesuksesan meraih derajat syahid yang mulia.
Kekacauan meletus di masjid. Syabib bin Bajrah panik dan melarikan diri, berhasil lolos di tengah kerumunan. Wardan bin al-Mujalid, kaki tangan ketiga, juga berhasil melarikan diri untuk sementara waktu. Namun, Abdurrahman bin Muljam, dalam fanatisme butanya, tidak segera melarikan diri. Ia justru mencoba melarikan diri tetapi terperangkap oleh jamaah yang marah. Seorang pria bernama Mughirah bin Naufal bin Harits berhasil menangkapnya dengan melemparkan kain tebal atau jubah ke atasnya, mengikatnya erat-erat, dan melucuti pedang beracunnya.
Meskipun terluka parah dan berlumuran darah, Ali bin Abi Thalib tetap sadar. Ia segera diangkat dan dibawa pulang ke rumahnya. Dalam detik-detik pertama setelah serangan, perhatian utamanya tidak tertuju pada pembalasan, tetapi pada pelaksanaan syariat. Ia memerintahkan agar Abdurrahman bin Muljam diperlakukan dengan baik. "Berikan makanan dan tempat tidur yang nyaman. Jika aku selamat, aku akan memutuskan urusannya sendiri. Jika aku mati, ia berada di tangan kalian, tetapi jangan melebihi satu pukulan untuk membalas satu pukulan. Jangan ada penyiksaan atau mutilasi," pesan Ali kepada putranya, Hasan.
Berita mengenai serangan terhadap Khalifah menyebar dengan cepat di Kufah, menimbulkan kesedihan, kemarahan, dan ketidakpastian yang mendalam. Penangkapan Bin Muljam memastikan bahwa pelaku utama dari tragedi ini telah berada di tangan kekuasaan, meskipun motif dan dampaknya jauh lebih besar daripada sekadar tindakan kriminal.
Abdurrahman bin Muljam dihadapkan ke hadapan Ali bin Abi Thalib saat Khalifah terbaring sekarat. Interogasi Bin Muljam menjadi catatan sejarah yang memperlihatkan tingginya tingkat fanatisme ideologis yang ia anut. Ketika ditanya mengapa ia melakukan perbuatan keji itu, Bin Muljam menjawab tanpa gentar dan penuh kebanggaan, ia mengklaim bahwa ia telah menghabiskan waktu yang sangat lama untuk mengasah pedangnya dan melumurinya dengan racun paling mematikan. Ia bersumpah telah memohon kepada Tuhan agar pedangnya digunakan untuk membunuh makhluk yang paling jahat di bumi. Ali menjawab dengan nada melankolis, "Aku rasa engkau tidak akan berhasil membunuh orang yang paling jahat itu, karena engkau telah membunuh orang yang paling baik."
Defiance atau sikap penolakan dan pembangkangan Bin Muljam di hadapan Khalifah yang sedang sekarat ini menunjukkan bahwa ia sepenuhnya yakin akan kebenaran tindakannya. Ia memandang Ali bukan sebagai pemimpin agama, melainkan sebagai seorang tiran dan murtad yang patut dihukum mati. Kepercayaan diri ini semakin memperburuk luka emosional dan politik yang diderita oleh keluarga Ali dan para pengikutnya.
Kondisi Ali memburuk dengan cepat. Racun yang digunakan Bin Muljam bekerja dengan efektif dan mematikan. Meskipun para tabib terbaik dipanggil, mereka tidak mampu mengatasi efek racun yang telah menyebar ke seluruh sistem tubuhnya. Ali, menyadari akhir hidupnya sudah dekat, menggunakan sisa waktunya untuk memberikan nasihat terakhir kepada putra-putranya, Hasan dan Husain, serta para pengikutnya. Nasihatnya menekankan pentingnya persatuan, keadilan, dan ketaatan kepada Tuhan, bahkan dalam menghadapi perpecahan yang meluas.
Pesan-pesan terakhir Ali juga secara spesifik menyangkut nasib Abdurrahman bin Muljam. Ia berulang kali menegaskan agar keadilan ditegakkan tanpa melampaui batas. Ali meminta agar Bin Muljam tidak disiksa atau dihukum sebelum ia meninggal, dan jika Ali meninggal dunia karena luka tersebut, para ahli warisnya memiliki hak untuk menuntut kisas (balasan yang setimpal), namun harus dibatasi pada satu pukulan pedang yang setimpal dengan apa yang ia lakukan. Prinsip ini mencerminkan komitmen Ali terhadap hukum Islam, bahkan ketika ia menjadi korban dari kejahatan paling brutal.
Pada hari ketiga setelah serangan, tepatnya pada malam 21 Ramadan, Ali bin Abi Thalib menghembuskan napas terakhir. Kematiannya menandai berakhirnya era Khulafaur Rasyidin (Khalifah yang Dibimbing dengan Benar), sebuah periode yang didefinisikan oleh kedekatan spiritual dan kepemimpinan yang berasal langsung dari generasi sahabat Nabi. Kematian Ali mengirimkan gelombang kejutan yang tidak hanya bersifat politis, tetapi juga teologis dan sosiologis, mengukuhkan perpecahan antara Sunni, Syiah, dan Khawarij menjadi garis-garis yang semakin tegas.
Kematian Ali memberikan otoritas penuh kepada Hasan bin Ali sebagai ahli waris dan pemimpin baru Kufah untuk menentukan nasib Abdurrahman bin Muljam. Tragedi ini bukan hanya tentang hilangnya seorang khalifah, tetapi juga demonstrasi mengerikan dari bagaimana idealisme yang salah arah dapat membenarkan kejahatan terbesar, sekaligus menutup pintu bagi rekonsiliasi politik dalam umat Islam yang tengah bergejolak.
Setelah wafatnya Khalifah Ali, seluruh perhatian segera beralih kepada Abdurrahman bin Muljam, yang menjadi simbol ekstremisme Khawarij. Pengadilan dan eksekusinya menjadi tindakan balasan yang wajib dilakukan oleh putra dan pewaris Ali, Hasan bin Ali, untuk menegakkan keadilan dan menenangkan massa yang marah di Kufah.
Hasan bin Ali mengambil alih penanganan kasus ini. Meskipun Ali telah menasihati untuk tidak menyiksa Bin Muljam, Hasan harus memastikan bahwa hukuman yang dijatuhkan memenuhi tuntutan kisas, sejalan dengan prinsip-prinsip syariat. Bin Muljam, dalam penahanannya, tetap menunjukkan sikap pembangkangan yang mencengangkan. Ia tidak pernah menyatakan penyesalan. Sebaliknya, ia dilaporkan menyatakan bahwa ia bangga atas tindakannya, percaya bahwa ia telah "mempersembahkan ibadah terbaik" kepada Tuhan dengan membunuh Ali. Keyakinan Bin Muljam yang tak tergoyahkan ini menambah dimensi horor terhadap kejahatannya.
Dalam proses penghakiman yang cepat, Bin Muljam dinyatakan bersalah atas pembunuhan Khalifah. Keputusan yang diambil adalah eksekusi mati berdasarkan hukum kisas. Detail mengenai bagaimana eksekusi ini dilakukan bervariasi dalam catatan sejarah, tetapi semua sepakat bahwa ia menghadapi kematian dengan sangat brutal, yang mencerminkan kemarahan publik dan ketegasan Hasan dalam menegakkan keadilan.
Salah satu riwayat paling sering dikutip menyebutkan bahwa Bin Muljam dibawa ke hadapan umum. Sebelum eksekusi utama, ia ditawari kesempatan terakhir untuk bertobat, tetapi ia menolak dengan keras. Ketika ia ditanya tentang kebanggaannya, ia dilaporkan menjawab, "Aku telah membeli pedang ini seharga seribu dirham dan aku telah melumurinya dengan seribu dirham racun. Aku bertujuan untuk membunuh Ali dan Muawiyah dan Amr bin Ash. Jika niatku murni, Tuhan akan memberkahiku." Sikap keras kepala ini hanya memperkuat kebencian masyarakat terhadapnya.
Eksekusi Bin Muljam dilaksanakan dengan pembalasan setimpal. Pertama, jari-jari dan anggota tubuhnya dipotong secara bertahap, sebuah bentuk penghukuman yang bertujuan untuk memberikan penderitaan, meskipun beberapa riwayat mengklaim ini dilakukan setelah kematiannya. Puncaknya adalah pemenggalan kepalanya. Kepala Abdurrahman bin Muljam kemudian dibawa kepada Hasan bin Ali. Riwayat lain bahkan menyebutkan bahwa tubuhnya dibakar setelah dipenggal, sebuah tindakan yang menunjukkan tingkat kemarahan yang luar biasa dari penduduk Kufah terhadap kejahatan yang ia lakukan, meskipun pembakaran mayat biasanya dilarang dalam Islam.
Dalam sebagian riwayat yang menyertai detail eksekusi ini, diceritakan tentang seorang wanita dari suku Bani Nakh’ yang disebut Ummu al-Hasan, yang mengambil jenazah Bin Muljam (atau hanya kepalanya) dan membalutnya dengan kain. Wanita ini kemudian menyula tubuh Bin Muljam atau kepalanya, melaksanakan hukuman publik yang bertujuan untuk memberikan peringatan keras kepada setiap Khawarij atau ekstremis lainnya yang berani menantang otoritas kekhalifahan melalui kekerasan.
Kematian Bin Muljam mengakhiri babak personal dari tragedi ini, tetapi konsekuensi politisnya baru saja dimulai. Meskipun ia telah dihukum, ideologi yang ia wakili terus hidup. Kelompok Khawarij terus menjadi sumber destabilisasi selama berabad-abad, selalu berpegang teguh pada prinsip *takfir* dan penolakan terhadap kepemimpinan yang mereka anggap tidak murni. Abdurrahman bin Muljam, dalam pandangan mereka, menjadi seorang martir yang meninggal demi menegakkan prinsip murni agama, sementara bagi mayoritas Muslim, ia adalah seorang pembunuh yang merobek jubah persatuan umat.
Pembersihan Abdurrahman bin Muljam dari muka bumi tidak menghilangkan jejak kejahatannya. Ia meninggalkan warisan perpecahan dan kekerasan yang akan menghantui generasi mendatang. Tragedi ini mempercepat transisi kekuasaan dari kekhalifahan yang berdasarkan meritokrasi spiritual (Khulafaur Rasyidin) menuju monarki dinasti yang dipimpin oleh Muawiyah, yang memanfaatkan kekacauan di Kufah untuk mengamankan klaimnya atas kekuasaan. Dengan demikian, Bin Muljam, melalui tindakannya, secara tidak sengaja membantu musuh ideologis terbesarnya, Muawiyah, dalam membentuk masa depan politik Islam.
Pembunuhan Ali bin Abi Thalib oleh Abdurrahman bin Muljam merupakan sebuah katastrofe yang memiliki resonansi abadi dalam sejarah Islam. Dampak dari peristiwa ini sangat luas, melampaui kematian seorang individu dan mengubah lanskap politik, teologis, dan sosial umat secara permanen.
Kematian Ali secara definitif mengakhiri periode Khulafaur Rasyidin, yang oleh banyak sejarawan dianggap sebagai era keemasan pemerintahan yang paling dekat dengan idealisme Nabi Muhammad. Ali adalah Khalifah terakhir dari empat sahabat agung. Kepergiannya membuka jalan bagi Hasan bin Ali untuk menjabat sebentar, tetapi tekanan politik dari Syam di bawah Muawiyah tak tertahankan. Dalam periode singkat, Hasan dipaksa untuk menyerahkan kekhalifahan kepada Muawiyah, sebuah langkah yang mengakhiri demokrasi musyawarah era Rasyidin dan memulai era dinasti Umayyah. Peristiwa ini, yang secara langsung dipicu oleh aksi Bin Muljam, menandai perubahan fundamental dalam struktur kekuasaan Islam.
Meskipun Bin Muljam dan Khawarij menargetkan Muawiyah juga, kegagalan upaya pembunuhan terhadapnya di Damaskus justru memberinya keuntungan politik yang luar biasa. Kematian Ali menghilangkan pesaing utama Muawiyah. Muawiyah mampu memposisikan dirinya sebagai pihak yang lebih stabil dan kuat, yang pada akhirnya memungkinkannya menyatukan kembali umat di bawah pemerintahannya. Ironisnya, tindakan Bin Muljam, yang dimaksudkan untuk menghancurkan semua pemimpin yang ia anggap sesat, justru memperkuat posisi salah satu target utamanya dan memungkinkan pembentukan sistem monarki yang sangat ditentang oleh Khawarij.
Tragedi ini juga mengukuhkan perbedaan antara kelompok yang kemudian dikenal sebagai Sunni dan Syiah. Bagi para pengikut Ali (Shi’at Ali), pembunuhan ini adalah simbol kezaliman dan pengkhianatan yang dialami oleh Ahlul Bait. Itu memperkuat keyakinan mereka bahwa kepemimpinan harus tetap berada di tangan keturunan Nabi. Kematian Ali dalam keadaan yang brutal dan pengkhianatan oleh seorang Muslim yang dianggap saleh (Bin Muljam) menjadi bagian integral dari narasi kemartiran yang mendefinisikan identitas Syiah.
Sementara itu, Abdurrahman bin Muljam menjadi figur sentral dalam sejarah Khawarij. Meskipun mayoritas umat mengutuknya, bagi faksi-faksi Khawarij yang tersisa, ia adalah pahlawan yang menjalankan perintah Tuhan. Tindakannya mendefinisikan ekstremisme Khawarij—bahwa membunuh pemimpin yang dianggap menyimpang adalah kewajiban agama tertinggi. Keberadaan Bin Muljam sebagai simbol memperkuat ideologi *takfir* dan kekerasan, yang terus muncul dalam bentuk berbagai kelompok ekstremis sepanjang sejarah Islam.
Terdapat kontroversi yang berkelanjutan mengenai motivasi sejati Bin Muljam. Apakah ia didorong semata-mata oleh ideologi yang murni (seperti yang ia klaim), atau apakah elemen pribadi—seperti janji pernikahan dengan Qatam binti Shijnah dan dendam pribadi—memberikan dorongan yang lebih besar? Sebagian sejarawan berpendapat bahwa perpaduan antara puritanisme ekstremis dan romantisme yang didasari dendam ini menciptakan badai yang sempurna. Peran Qatam sering ditekankan untuk menyoroti bahwa tindakan Bin Muljam tidak hanya berbasis teologi tetapi juga melibatkan faktor manusiawi yang gelap, termasuk manipulasi dan obsesi.
Terlepas dari motif personal, Abdurrahman bin Muljam tetap dikenang sebagai salah satu pembunuh paling terkenal dan signifikan dalam sejarah. Tindakannya adalah puncak dari gejolak internal yang melanda umat Islam setelah wafatnya Nabi, sebuah manifestasi fisik dari keretakan teologis dan politik yang tidak dapat diperbaiki. Ia adalah instrumen yang mengubah krisis kepemimpinan menjadi sebuah tragedi kekal, meninggalkan bekas luka yang mendalam pada tubuh umat Islam dan membentuk garis-garis pemisah yang masih relevan hingga saat ini. Kehidupan singkat Abdurrahman bin Muljam, yang diakhiri dengan eksekusi brutal, menjadi pengingat yang menyakitkan akan bahaya ideologi ekstremis yang memandang kekerasan sebagai satu-satunya jalan menuju kemurnian agama.
Analisis yang mendalam terhadap peristiwa yang melibatkan Abdurrahman bin Muljam mengharuskan kita untuk tidak hanya fokus pada tindakan kriminalnya, tetapi juga pada iklim sosiopolitik yang memungkinkan radikalisasi seperti itu terjadi. Kufah, sebagai kota yang bergejolak dan penuh dengan faksi-faksi yang saling bertentangan, adalah tempat yang rentan terhadap provokasi ideologis. Populasi Kufah terdiri dari suku-suku yang loyalitasnya mudah berpindah, dan di tengah kondisi ini, doktrin Khawarij menawarkan janji kesederhanaan dan kebenaran mutlak yang sangat menarik bagi jiwa-jiwa yang merasa dikhianati oleh kompleksitas politik Ali dan Muawiyah.
Konsekuensi dari serangan ini tidak hanya terbatas pada kekhalifahan. Dalam bidang hukum Islam, peristiwa ini memperkuat prinsip kisas, tetapi juga memunculkan debat tentang batas-batas hukuman. Nasihat Ali agar Bin Muljam tidak disiksa, bahkan dalam kondisi sekaratnya, sering dikutip sebagai contoh ketinggian moral dan keadilan Ali, yang kontras dengan tindakan Bin Muljam yang penuh kebencian. Namun, eksekusi brutal Bin Muljam yang dilakukan oleh Hasan menunjukkan batas antara teori keadilan yang ideal dan realitas kemarahan publik yang tak terkendali pasca-pembunuhan pemimpin agung.
Sejumlah besar riwayat sejarah dari periode ini menunjukkan upaya besar oleh para sejarawan dan ahli hadis untuk membedah setiap detail kejahatan Bin Muljam. Kehati-hatian dalam mencatat motif, rencana, dan pelaksanaannya mencerminkan pengakuan bahwa ini adalah titik balik kritis. Setiap penulis sejarah, baik dari tradisi Syiah maupun Sunni, mencatat Bin Muljam sebagai tokoh tercela, tetapi interpretasi mereka tentang apa yang ia wakili sedikit berbeda. Bagi Syiah, ia adalah manifestasi dari nasib tragis yang harus ditanggung Ahlul Bait. Bagi Sunni, ia adalah simbol penyimpangan sektarian yang berusaha merusak kesatuan umat.
Secara teologis, tindakan Bin Muljam mengajukan pertanyaan abadi tentang hubungan antara iman, perbuatan, dan takdir. Bagaimana mungkin seorang penghafal Al-Qur'an dan ahli ibadah dapat melakukan kejahatan sebesar itu? Jawaban dari Khawarij adalah bahwa Ali telah melakukan dosa besar, dan oleh karena itu, ia bukan lagi seorang Muslim, sehingga Bin Muljam tidak membunuh seorang mukmin. Jawaban mayoritas Muslim adalah bahwa Bin Muljam telah keliru dan tersesat dalam interpretasinya, menjadikan kesalehan formalnya tidak bernilai di hadapan kejahatan yang dilakukannya. Perdebatan ini, yang berpusat pada Bin Muljam dan Khawarij, membentuk dasar bagi ilmu kalam (teologi Islam) yang berkembang pada abad-abad berikutnya.
Pada akhirnya, Abdurrahman bin Muljam adalah sebuah studi kasus tentang bahaya radikalisasi, di mana penolakan terhadap otoritas yang sah, dipadukan dengan kepastian moral yang absolut, dapat mengarah pada kehancuran politik dan spiritual. Ia mewakili pengkhianatan terakhir terhadap idealisme awal Islam, menutup babak yang dibuka oleh hijrah Nabi dan mengantar umat ke dalam era konflik dinasti yang panjang dan berlarut-larut. Kematian Ali bin Abi Thalib di tangan Bin Muljam adalah pemisah yang tidak dapat dilintasi antara masa lalu yang ideal dan masa depan yang penuh dengan perpecahan. Pedangnya, yang dilumuri racun, tidak hanya mengambil nyawa seorang Khalifah, tetapi juga membunuh impian persatuan umat di bawah satu panji keadilan sejati.
Melanjutkan telaah historis, perlu dicatat bahwa efek domino dari pembunuhan ini menjalar hingga ke Mesir dan Syam. Kegagalan Al-Burak bin Abdillah di Damaskus memberikan Muawiyah kesempatan untuk memperkuat argumennya bahwa Tuhan telah menyelamatkannya untuk memimpin umat. Sementara di Kufah, ketidakpastian politik setelah kematian Ali membuat Hasan berada dalam posisi yang sangat sulit. Hasan, meskipun memiliki dukungan yang loyal, kekurangan sumber daya militer dan politik yang diperlukan untuk menghadapi Muawiyah yang kini lebih kuat dan telah membangun pemerintahan yang terpusat.
Keputusan Hasan untuk berdamai dengan Muawiyah, yang sering disebut sebagai Perjanjian Damai Hasan-Muawiyah, secara langsung dimungkinkan oleh ketiadaan Ali. Jika Ali masih hidup, ia mungkin tidak akan pernah mempertimbangkan penyerahan kekuasaan. Oleh karena itu, Bin Muljam adalah katalisator yang memaksa umat Islam untuk memasuki era baru pemerintahan otokratis. Dalam sejarah, Bin Muljam sering digambarkan bukan hanya sebagai pembunuh, tetapi sebagai tangan takdir yang mengakhiri era kepemimpinan spiritual dan memulai era kekuasaan politik murni.
Keteguhan Bin Muljam selama interogasi juga memberikan petunjuk tentang psikologi ekstremisme. Ia tidak melihat dirinya sebagai pelaku kejahatan, melainkan sebagai eksekutor yang saleh. Dalam benaknya, kematian Ali adalah sebuah persembahan, sebuah tindakan yang lebih suci daripada salat dan puasa. Keyakinan ini, yang begitu kokoh hingga ia menolak kesempatan untuk bertobat bahkan ketika menghadapi kematian yang mengerikan, merupakan ciri khas dari fanatisme yang sulit ditembus oleh nalar dan kasih sayang. Rasa kebanggaan Bin Muljam dalam tindakannya adalah refleksi dari seberapa jauh ideologi Khawarij telah menjauhkannya dari konsensus Muslim pada umumnya.
Penting untuk menggarisbawahi detail geografis. Meskipun Bin Muljam berasal dari Yaman dan belajar di Mesir, ia melaksanakan kejahatannya di Kufah, kota yang didirikan oleh Umar dan menjadi pusat kekuatan militer dan intelektual Ali. Kufah adalah kota yang sangat terbagi, dipenuhi dengan ketegangan antara pendukung Ali yang keras dan mereka yang diam-diam bersimpati pada Muawiyah atau Khawarij. Pembunuhan di Masjid Kufah, di jantung kekuasaan Ali, memberikan pesan yang menghancurkan tentang kerentanan kepemimpinan dan penyebaran pengaruh ideologi radikal bahkan di benteng-benteng yang paling dijaga.
Para penulis sejarah yang membahas Abdurrahman bin Muljam sering kali memberikan detail yang mengerikan tentang nasibnya, tidak hanya untuk memuaskan tuntutan kisas, tetapi juga untuk menegaskan narasi moral bahwa kejahatan besar akan mendapat hukuman yang setimpal. Deskripsi tentang pemotongan anggota tubuh dan pembakaran tubuhnya bertujuan untuk memastikan bahwa tidak ada tempat suci yang tersisa bagi sisa-sisa seorang pria yang telah menghancurkan harapan umat. Hukuman ini berfungsi sebagai penolakan total terhadap klaimnya bahwa ia adalah seorang martir. Sebaliknya, ia harus dikenang sebagai contoh kegagalan moral dan spiritual.
Keputusan Bin Muljam untuk menggunakan racun pada pedangnya juga merupakan detail penting. Ini menunjukkan bukan hanya keinginan untuk membunuh, tetapi keinginan untuk memastikan tidak ada pemulihan. Racun tersebut melambangkan sifat permusuhan Khawarij yang mendalam: mereka tidak hanya ingin mengalahkan Ali secara politik atau militer, tetapi mereka ingin menghapusnya secara total dan cepat dari sejarah. Kecepatan reaksi racun itulah yang menghalangi Ali untuk dapat bertahan hidup cukup lama untuk mengamankan suksesi yang lancar, yang pada akhirnya memperburuk ketidakstabilan pasca-kematiannya.
Dalam konteks yang lebih luas, kisah Abdurrahman bin Muljam adalah sebuah studi kasus tentang terorisme bermotif agama dalam sejarah awal. Tindakannya menunjukkan bagaimana sekelompok kecil individu, yang didorong oleh ideologi puritan yang ekstrem, dapat menyebabkan kerusakan struktural yang tak terhitung pada entitas politik yang besar. Peristiwa ini selamanya mengaitkan Khawarij dengan kekerasan politik yang tidak pandang bulu, sebuah reputasi yang terus melekat pada kelompok-kelompok penerus mereka sepanjang abad-abad berikutnya.
Maka, Abdurrahman bin Muljam bukanlah sekadar nama, melainkan simpul yang mengikat berbagai utas konflik: perjuangan politik antara Ali dan Muawiyah, kebangkitan puritanisme Khawarij, konflik pribadi yang didorong dendam, dan transisi dramatis kekuasaan dalam sejarah Islam. Ia adalah tokoh yang, meskipun bukan pemimpin militer atau tokoh politik besar, berhasil mengubah arah sejarah dengan satu ayunan pedang beracun di malam suci Ramadan.
Warisan Bin Muljam akan terus dibahas dalam setiap diskusi tentang ekstremisme dan bahaya interpretasi literal yang sempit terhadap agama. Ia selamanya akan menjadi contoh tragis dari bagaimana pencarian kesucian yang salah arah dapat berakhir dengan kejahatan yang paling keji, meninggalkan umat Islam dalam duka dan perpecahan yang berkepanjangan.