Sejarah Islam periode awal, khususnya setelah wafatnya Nabi Muhammad ﷺ, ditandai oleh percepatan ekspansi yang menakjubkan namun juga diwarnai oleh konflik internal yang pahit. Klimaks dari konflik ini dikenal sebagai era Fitna Kubra (Kekacauan Besar). Di tengah badai politik dan teologis inilah muncul sosok Abdurrahman Ibnu Muljam, seorang pria yang namanya selamanya akan tersemat dalam narasi pembunuhan salah satu tokoh sentral dan paling dihormati dalam sejarah Islam, Khalifah Ali bin Abi Thalib.
Ibnu Muljam bukanlah sekadar pembunuh bayaran; ia adalah representasi dari sebuah fenomena ideologis yang brutal, yakni gerakan Khawarij. Kelompok ini, yang secara harfiah berarti 'mereka yang keluar' atau 'yang memisahkan diri', mewakili puncak dari ekstremisme teologis. Mereka percaya bahwa Ali telah menyimpang dari ajaran murni Islam karena menerima arbitrase (perdamaian) dalam pertempuran Siffin melawan Muawiyah. Bagi Khawarij, kompromi adalah dosa yang setara dengan kekafiran, dan orang yang berdosa harus dibunuh.
Mempelajari Ibnu Muljam adalah mempelajari bagaimana kesalehan yang keliru, dipadukan dengan interpretasi tekstual yang kaku dan fanatisme, dapat melahirkan tragedi yang mengubah peta politik dan spiritual dunia Islam selamanya. Peristiwa ini bukan hanya tentang satu pembunuhan; ini adalah momen di mana kesatuan politik umat pecah, dan luka yang ditimbulkannya masih terasa hingga hari ini.
Simbol Skisma dan Tindakan Fanatisme
Setelah terbunuhnya Khalifah Uthman bin Affan, kekosongan kekuasaan di Madinah mendorong umat untuk memilih Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah keempat (656 M). Namun, kekhalifahan Ali sejak awal dibayangi oleh tuntutan balas dendam atas darah Uthman. Ini memicu serangkaian perang saudara yang brutal, termasuk Perang Jamal melawan Aisyah dan Zubair, dan yang lebih penting, Perang Siffin melawan Muawiyah bin Abu Sufyan, Gubernur Syam.
Di Siffin, pertempuran mencapai intensitas mengerikan. Ketika kemenangan mulai berpihak pada pasukan Ali, Muawiyah menggunakan taktik cerdik: mengangkat mushaf Al-Qur'an di ujung tombak, menyerukan arbitrase berdasarkan Kitabullah. Ali, meskipun skeptis terhadap niat Muawiyah, terpaksa menerima arbitrase karena tekanan besar dari sebagian besar pasukannya yang merasa tidak ingin berperang melawan Kitab Suci.
Peristiwa Arbitrase di Dumatul Jandal (658 M) menjadi titik balik fatal. Abu Musa al-Asy'ari mewakili Ali, dan Amr ibn al-Aas mewakili Muawiyah. Hasil arbitrase dianggap mengecewakan dan ambigu, namun konsekuensi terbesarnya bukanlah pada hasilnya, melainkan pada reaksi fraksi dalam pasukan Ali.
Segelintir pasukan yang mulanya memaksa Ali menerima arbitrase, kini berbalik menentangnya. Mereka menyatakan bahwa menerima campur tangan manusia (arbitrase) dalam urusan yang seharusnya diputuskan oleh Allah (perang hingga salah satu pihak kalah) adalah dosa besar. Slogan mereka menjadi terkenal: “Tidak ada hukum kecuali Hukum Allah” (La hukma illa lillah). Inilah Khawarij.
Khawarij menganggap Ali dan Muawiyah, serta semua yang terlibat dalam arbitrase, sebagai kafir (takfir). Mereka meyakini bahwa seorang Muslim yang melakukan dosa besar (seperti kompromi politik atau menerima arbitrase) otomatis keluar dari lingkaran iman. Mereka menarik diri ke Harura, lalu ke Nahrawan, membentuk komunitas yang terpisah dan mengisolasi diri secara ideologis.
Ali berusaha berdialog, namun ketika Khawarij mulai melakukan kekerasan terhadap Muslim lain (membunuh utusan Ali dan melakukan aksi teror), Ali terpaksa memerangi mereka dalam Pertempuran Nahrawan pada 659 M. Ali mengalahkan Khawarij secara telak, membunuh sebagian besar pemimpin mereka. Namun, alih-alih memadamkan api, Nahrawan hanya menyisakan bara dendam yang siap menyala.
Abdurrahman Ibnu Muljam al-Muradi berasal dari suku Murad di Yaman. Ia dikenal memiliki reputasi awal sebagai seorang yang saleh dan taat beribadah. Ia adalah seorang penghafal Al-Qur'an (hafiz) yang fasih dan dihormati di kalangan suku-suku Arab. Ia datang ke Kufa (Irak) selama masa kekhalifahan Umar atau Uthman, dan kemudian tinggal di Mesir. Kehidupannya sebelum bergabung dengan Khawarij tampak biasa: seorang Muslim yang bersemangat dalam menjalankan syariat.
Ironisnya, kesalehan ini adalah inti dari tragedi. Para Khawarij menarik banyak pengikut yang sangat taat, tetapi kurang pemahaman mendalam tentang konteks dan tujuan hukum Islam (fiqh). Mereka melihat Islam dalam kerangka hitam dan putih yang ekstrem. Ketika Ali menerima arbitrase, Ibnu Muljam, dengan latar belakang ketaatannya yang mutlak, melihatnya sebagai pengkhianatan terhadap Tuhan.
Meskipun Ibnu Muljam mungkin tidak hadir di Nahrawan, banyak dari kawan-kawan Khawarijnya tewas di tangan pasukan Ali. Peristiwa Nahrawan, di mana ribuan Khawarij dibantai (termasuk banyak yang memiliki reputasi kesalehan), menciptakan trauma mendalam dan keinginan membalas dendam yang membara di kalangan Khawarij yang selamat. Ibnu Muljam, yang selamat dari pertempuran itu atau bergabung dengan sisa-sisa kelompok, menyerap narasi Khawarij bahwa Ali adalah ‘pemimpin kesesatan’ (Imam ad-Dhalalah) yang harus disingkirkan demi mengembalikan kemurnian agama.
Sejarah mencatat bahwa keputusan Ibnu Muljam untuk membunuh Ali tidak hanya didorong oleh motif ideologis murni, tetapi juga diperkuat oleh motif personal yang kuat: asmara dan balas dendam. Ibnu Muljam tiba di Kufa setelah Nahrawan dan bertemu dengan seorang wanita bernama Qatam bint Ash-Shijna (atau Qatami). Qatam adalah seorang Khawarij yang cantik dan terpelajar, tetapi ayahnya, saudaranya, dan suaminya tewas dalam Pertempuran Nahrawan melawan Ali.
Ibnu Muljam jatuh cinta padanya dan melamarnya. Qatam setuju, namun dengan mahar yang luar biasa: tiga ribu dirham, seorang budak laki-laki, seorang biduan perempuan, dan yang terpenting—nyawa Ali bin Abi Thalib. Bagi Qatam, mahar ini adalah penuntasan darah keluarganya dan pemenuhan tugas suci ideologis. Ibnu Muljam, yang sudah yakin bahwa membunuh Ali adalah tindakan suci, menerima syarat tersebut dengan antusias.
Para Khawarij yang tersisa berkumpul di Mekah atau Kufa. Mereka menyimpulkan bahwa kekacauan dalam umat Islam hanya akan berakhir jika tiga pemimpin yang mereka anggap bertanggung jawab atas penyimpangan teologis disingkirkan secara serentak: Ali bin Abi Thalib (di Kufa), Muawiyah bin Abu Sufyan (di Syam/Damaskus), dan Amr ibn al-Aas (Gubernur Mesir).
Mereka menetapkan malam ke-17 Ramadhan (atau ke-19) sebagai waktu pelaksanaan, ketika masjid-masjid ramai dan para target sedang sibuk beribadah, karena mereka percaya bahwa tindakan mereka, yang mereka anggap sebagai Jihad terbesar, harus dilakukan di bulan yang paling suci.
Tiga orang ditugaskan untuk tiga misi tersebut:
Ibnu Muljam tiba di Kufa dan mulai merencanakan langkahnya. Selain Qatam, ia juga bersekutu dengan dua orang Khawarij lainnya: Syabib bin Bajrah dan Wardan bin Mujalid. Mereka tinggal di rumah Qatam, menunggu malam yang ditentukan. Qatam sendiri membantu Ibnu Muljam menyiapkan pedangnya. Ia memerintahkan pedang itu direndam dalam racun mematikan (beberapa riwayat menyebut racun itu adalah racun kalajengking atau campuran kimia yang sangat kuat).
Ibnu Muljam menghabiskan hari-hari menjelang serangan dengan berpuasa dan beribadah, sebuah kontradiksi mengerikan antara kesalehan ritual dan kebrutalan niat. Dalam pikirannya, ia sedang mempersiapkan diri untuk mati syahid, sebuah tindakan yang akan membersihkan umat dari dosa kekhalifahan yang ia anggap sesat.
Meskipun rencana mereka sangat ambisius, hanya Ibnu Muljam yang berhasil mencapai targetnya:
Hanya Ali bin Abi Thalib yang menerima serangan fatal, menjadikan misi Ibnu Muljam, dari sudut pandang Khawarij, sebagai satu-satunya yang 'berhasil' menunaikan tujuannya, meskipun dengan konsekuensi yang menghancurkan bagi sejarah Islam.
Malam naas itu jatuh pada tanggal 19 Ramadhan tahun 40 Hijriah (sekitar 26 Januari 661 M). Pada masa itu, Khalifah Ali bin Abi Thalib memiliki kebiasaan unik: ia sering keluar rumah jauh sebelum fajar, berjalan sendirian menuju Masjid Agung Kufa untuk membangunkan orang-orang untuk shalat subuh.
Diriwayatkan bahwa beberapa hari sebelum serangan, Ali merasakan firasat buruk. Pada malam serangan, Ali terbangun dan berkata kepada putrinya, Ummu Kultsum, bahwa ia merasa ajalnya sudah dekat. Ia keluar dari rumah dengan kata-kata lirih, “Demi Allah, tidak ada hal lain selain kematian yang menanti.”
Ibnu Muljam dan Syabib bin Bajrah telah menunggu di dekat pintu masuk masjid. Mereka bersembunyi di antara tiang-tiang, berpura-pura tidur. Ketika Ali memasuki masjid, ia mulai memanggil orang-orang yang tertidur: "Shalat! Shalat! Waktunya shalat!"
Saat Ali sudah memasuki mihrab (tempat imam berdiri) dan baru saja mengangkat takbir atau baru mulai memimpin shalat subuh, kedua penyerang itu bangkit. Syabib bin Bajrah menyerang lebih dulu, tetapi serangannya meleset. Ibnu Muljam kemudian melompat ke depan, meneriakkan slogan Khawarij, "Hukum hanya milik Allah, bukan milikmu, Ali, atau teman-temanmu!"
Ibnu Muljam mengayunkan pedangnya yang telah direndam racun itu dengan kekuatan penuh, menghantam kepala Ali di bagian yang sama dengan luka lama yang ia terima saat Perang Khandaq. Racun itu segera menyebar.
Kekacauan meletus di masjid. Syabib berhasil melarikan diri dan menghilang dalam keramaian. Namun, Ibnu Muljam tersandung dan segera dikepung oleh orang-orang yang shalat. Ia mencoba melawan, tetapi dengan cepat dilumpuhkan dan ditangkap oleh Al-Mughirah bin Nawfal bin Harits.
Ibnu Muljam ditahan dan dibawa ke hadapan Ali yang sedang sekarat. Meskipun sedang menderita kesakitan yang luar biasa, Ali tetap tenang. Ia meminta orang-orang untuk memperlakukan Ibnu Muljam dengan baik, memberinya makanan yang layak, dan tidak menyiksa sebelum keputusan akhir dibuat.
Ali bin Abi Thalib dibawa pulang. Dokter didatangkan untuk memeriksa lukanya. Ketika dokter melihat kedalaman luka dan mengetahui bahwa pedang itu beracun, ia memberi tahu Hasan dan Husain bahwa luka itu fatal dan tidak ada harapan untuk sembuh. Racun itu bekerja sangat cepat, mencapai sumsum tulang belakang dan otaknya.
Ali bertahan selama dua atau tiga hari setelah serangan itu. Masa-masa itu dihabiskan untuk memberikan wasiat kepada putra-putranya dan umat Islam. Wasiatnya mencerminkan kebijaksanaan dan keadilan yang menjadi ciri khasnya, bahkan terhadap pembunuhnya sendiri.
Wasiat Ali mengenai Ibnu Muljam sangat mencolok dan menegaskan prinsip keadilan Islam. Ia memerintahkan Hasan (putra tertua dan calon penggantinya) untuk bertindak dengan hati-hati. Ali berkata:
"Wahai anak-anakku, jika aku mati karena luka ini, maka hukumlah dia (Ibnu Muljam) dengan satu kali tebasan pedang, sebagai balasan yang setimpal. Janganlah kalian menyiksa tubuhnya atau memutilasinya. Jika aku hidup, aku akan memutuskan sendiri. Aku akan mengampuninya, atau aku akan melaksanakan hukuman (qisas)."
Wasiat ini mencegah siksaan dan pembalasan berlebihan, menunjukkan bahwa bahkan dalam menghadapi kematian yang diakibatkan oleh kebencian ideologis, Ali tetap mengedepankan syariat dan keadilan, bukan dendam kesukuan. Ali meninggal dunia pada malam 21 Ramadhan, 40 H.
Setelah wafatnya Ali, Hasan bin Ali dibaiat sebagai khalifah. Tugas pertama Hasan adalah mengurus pengadilan terhadap Abdurrahman Ibnu Muljam. Ibnu Muljam dibawa ke hadapan Hasan. Dalam riwayat, ditanyakan kepadanya mengapa ia melakukan perbuatan keji tersebut.
Ibnu Muljam menjawab tanpa penyesalan, bahkan dengan bangga, bahwa ia melakukannya demi Allah, untuk membersihkan agama dari kekafiran yang dilakukan oleh Ali. Ia mengklaim bahwa ia telah menghabiskan waktu yang lama untuk mempertajam dan meracuni pedangnya, memohon kepada Allah agar pedang tersebut membunuh "makhluk terburuk di bumi."
Berdasarkan wasiat Ali, Hasan bin Ali memutuskan untuk melaksanakan hukuman qisas (balasan setimpal). Ibnu Muljam dibawa ke luar Masjid Kufa di hadapan kerumunan besar yang dipenuhi kemarahan. Hasan sendiri yang diduga melaksanakan hukuman tersebut, atau memerintahkan Al-Hasan bin Ali untuk melakukannya.
Ibnu Muljam dieksekusi dengan satu tebasan pedang. Diriwayatkan bahwa orang-orang Kufa sangat gembira atas kematiannya. Ada riwayat minoritas yang menyebutkan tubuhnya kemudian dibakar, sebuah tindakan yang melampaui wasiat Ali namun mencerminkan kemarahan ekstrem masyarakat terhadap kejahatan yang telah dilakukannya.
Qatam bint Ash-Shijna, yang berperan sebagai katalis dan motivasi utama Ibnu Muljam, menjadi subjek buruan setelah penangkapan Ibnu Muljam. Ada riwayat yang menyebutkan ia berhasil melarikan diri dari Kufa, sementara riwayat lain menyatakan ia ditangkap dan dibunuh oleh utusan Ali.
Ibnu Muljam menjadi studi kasus historis tentang bagaimana ideologi yang ekstrim dapat merusak akal sehat dan moralitas. Ia melakukan dosa terbesar (membunuh pemimpin Muslim yang saleh) sambil meyakini bahwa ia sedang melakukan ibadah terbaik. Fanatismenya didasarkan pada tiga pilar:
Dalam sejarah, ia bukan dikenang sebagai 'martir' seperti yang ia harapkan, melainkan sebagai simbol kejahatan ideologis dan cikal bakal terorisme politik dalam Islam.
Pembunuhan Ali bin Abi Thalib pada tahun 40 H secara definitif mengakhiri era Khilafah Rasyidah (Khalifah yang Dibimbing dengan Benar), yang dimulai dengan Abu Bakar. Meskipun Hasan bin Ali dibaiat di Kufa, ia tidak memiliki kekuatan politik dan militer untuk menghadapi Muawiyah di Syam, yang kini menjadi pemimpin tunggal dari fraksi yang menuntut darah Uthman.
Hasan bin Ali akhirnya membuat perjanjian damai dengan Muawiyah, menyerahkan kekhalifahan kepadanya demi menghindari perang saudara lebih lanjut. Perjanjian ini menandai berdirinya Dinasti Umayyah, yang mengubah sistem kekuasaan dari kekhalifahan berdasarkan pilihan menjadi monarki turun-temurun. Pembunuhan Ali adalah kunci yang membuka pintu transisi ini.
Peristiwa ini memperdalam jurang perpecahan antara kubu yang mendukung Ali (yang kelak menjadi fondasi Syiah) dan kubu yang mendukung Muawiyah (yang menjadi bagian penting dari fondasi Suni). Bagi para pengikut Ali, pembunuhan ini adalah puncak dari serangkaian ketidakadilan yang menimpa keluarga Nabi. Ali menjadi martir pamungkas bagi keadilan.
Meskipun upaya untuk membunuh tiga pemimpin besar gagal total dalam mencapai tujuannya (yaitu mendirikan kekhalifahan Khawarij yang murni), ideologi Khawarij tidak mati. Mereka terus menjadi duri dalam daging bagi kekhalifahan Umayyah dan Abbasiyah selama berabad-abad, memicu pemberontakan brutal di Irak, Persia, dan Afrika Utara.
Konsep takfir (pengkafiran) dan pemberontakan terhadap pemimpin yang sah (bahkan jika mereka adalah Muslim) yang berasal dari Ibnu Muljam dan Khawarij, menjadi preseden historis yang terus berulang dalam gerakan ekstremis hingga zaman modern.
Pilar teologis Khawarij, yang menggerakkan tangan Ibnu Muljam, berpusat pada pertanyaan mengenai ‘Dosa Besar’ (al-Kaba'ir). Dalam teologi Suni, pelaku dosa besar tetap dianggap Muslim, meskipun berdosa. Dalam teologi Mu’tazilah, mereka berada di posisi antara dua posisi (manzilah bainal manzilatain). Namun, Khawarij menyatakan bahwa pelaku dosa besar adalah kafir (takfir) dan kekal di Neraka.
Keputusan Ali menerima arbitrase dianggap oleh mereka sebagai bentuk kemusyrikan karena ia menukar hukum Allah dengan keputusan manusia. Ali melakukan dosa besar, oleh karena itu Ali adalah kafir, dan oleh karenanya, darahnya halal. Logika sederhana dan mematikan ini menghilangkan semua nuansa politik dan spiritual dari situasi yang dihadapi Ali.
Slogan ‘La hukma illa lillah’ (Tidak ada hukum kecuali hukum Allah) adalah inti perlawanan mereka. Secara harfiah, slogan ini benar dan sesuai dengan ajaran Islam. Namun, Khawarij menafsirkannya secara ekstrem dan eksklusif, menolak semua bentuk pemerintahan yang tidak sepenuhnya sesuai dengan tafsiran mereka yang sempit. Mereka menolak legitimasi semua bentuk pemerintahan yang ada, termasuk kekhalifahan Ali, karena dianggap telah ‘menyimpang’.
Para ulama, termasuk Ali sendiri, menanggapi slogan ini dengan mengatakan, “Kata-kata itu benar, tetapi maksudnya salah.” Ali menjelaskan bahwa manusia diberi kemampuan untuk berijtihad dan bersepakat dalam persoalan politik dan hukum (termasuk arbitrase) selama itu tidak bertentangan langsung dengan Al-Qur'an dan Sunnah. Penolakan Khawarij terhadap semua bentuk ijtihad dan kompromi politik inilah yang membuat mereka menjadi kekuatan yang destruktif.
Bagi Ibnu Muljam dan kelompoknya, kengerian Nahrawan adalah pembenar. Setelah kekalahan di Nahrawan, sisa-sisa Khawarij menganggap bahwa seluruh umat Islam yang mendukung Ali atau Muawiyah adalah musuh yang harus diperangi. Mereka mulai menguji kesetiaan orang-orang. Jika seseorang tidak mengutuk Ali dan Muawiyah, ia dianggap kafir. Peristiwa pembunuhan Abdullah bin Khabbab bin al-Aratt oleh Khawarij (sebelum Nahrawan) adalah contoh bagaimana mereka membunuh Muslim yang saleh hanya karena menolak pandangan ideologis mereka. Sikap intoleransi ini adalah ciri khas yang ditiru oleh kelompok ekstremis sepanjang sejarah.
Tindakan Ibnu Muljam menempatkan pertanyaan tentang otoritas politik dan keagamaan di pusat perdebatan Islam. Pembunuhan terhadap pemimpin yang dipilih secara sah (Ali), dengan alasan teologis, menciptakan trauma mendalam. Sejak saat itu, para ulama sering kali menekankan pentingnya ketaatan kepada penguasa yang sah, bahkan jika mereka tidak sempurna, demi menghindari fitnah (kekacauan) dan kembalinya kekerasan seperti yang dilakukan oleh Ibnu Muljam dan Khawarij.
Ketakutan akan kekacauan yang ditimbulkan oleh ekstremisme Khawarij menjadi salah satu alasan utama mengapa aliran Suni mayoritas kemudian mengadopsi sikap yang lebih pragmatis terhadap penguasa yang berkuasa, memprioritaskan stabilitas daripada pemurnian ideologis yang berujung pada pertumpahan darah.
Kontras antara Ali dan Ibnu Muljam adalah kontras antara pemimpin yang dibebani dengan tanggung jawab politik dan moral yang kompleks, melawan seorang fanatik yang hanya melihat dunia dalam simplifikasi ideologis. Ali, yang merupakan sepupu Nabi, menantu, dan salah satu sahabat terdekat, adalah lambang kepahlawanan dan kebijaksanaan.
Meskipun Ali diserang, perilakunya terhadap Ibnu Muljam (meminta agar ia diperlakukan dengan baik dan dihakimi sesuai syariat tanpa mutilasi) menunjukkan komitmennya yang teguh terhadap prinsip. Di sisi lain, Ibnu Muljam, didorong oleh keyakinan bahwa ia adalah agen ilahi, bertindak atas nama "keadilan" tetapi melanggar setiap prinsip belas kasihan dan hukum syariat yang lebih tinggi.
Penggunaan racun oleh Ibnu Muljam juga memiliki simbolisme historis yang kuat. Ia tidak hanya menggunakan pedang; ia menggunakan cara yang menjamin kematian yang cepat dan menyakitkan. Racun itu melambangkan kebencian yang merusak yang dimiliki Khawarij terhadap Ali dan seluruh sistem yang mereka anggap korup. Itu adalah pembunuhan yang diperhitungkan, direncanakan, dan dipandang suci, menempatkan tindakan teror politik ini dalam kategori kejahatan yang berbeda dari sekadar balas dendam biasa.
Bagi Ibnu Muljam, serangan itu adalah puncak dari hidupnya yang ia dedikasikan pada kemurnian doktrin. Dalam catatannya yang terkenal, ia menyatakan telah menghabiskan waktu setahun untuk merencanakan dan menyiapkan pedang itu, menjual dirinya kepada Allah untuk satu tujuan: membunuh Ali. Ironisnya, tindakan yang ia yakini akan membersihkan umat justru menjadi salah satu penyebab terbesar perpecahan dan kekacauan yang bertahan lama.
Ibnu Muljam adalah cerminan dari kegagalan manusia untuk menyeimbangkan semangat beragama dengan akal budi dan rahmat. Ia mewakili tragedi dari kesalehan yang disalurkan ke dalam kekerasan tanpa batas, menjadikannya salah satu figur paling tragis dan tercela dalam sejarah Islam.
Seandainya Ali hidup, mungkin ia akan mampu menyelesaikan konflik dengan Muawiyah tanpa penyerahan kekuasaan. Kematiannya, yang dipicu oleh ideologi sempit Ibnu Muljam, memastikan bahwa kekhalifahan Rasyidah yang didasarkan pada idealisme kesalehan tidak akan pernah kembali lagi. Ia membuka jalan bagi kekuasaan dinasti yang lebih sekuler dan politis. Inilah warisan terburuk dari Abdurrahman Ibnu Muljam.
Kisah Abdurrahman Ibnu Muljam dan pembunuhan Khalifah Ali bin Abi Thalib bukan sekadar catatan kaki dalam sejarah; itu adalah pelajaran abadi tentang bahaya absolutisme teologis. Tragedi di Masjid Kufa pada tahun 40 H mengajarkan bahwa ketaatan yang paling keras sekalipun, jika tanpa kebijaksanaan dan kasih sayang (rahmah), dapat melahirkan kebrutalan atas nama Tuhan.
Ibnu Muljam meyakini bahwa dengan membunuh Ali, ia mengakhiri Fitna. Kenyataannya, ia mengabadikannya. Darah Ali bin Abi Thalib yang tumpah di mihrab Kufa menjadi pemisah terakhir antara era ideal dan era politik. Sementara Khalifah Ali mewariskan wasiat keadilan dan kemurahan hati, Abdurrahman Ibnu Muljam mewariskan metode kekerasan ideologis yang terus diserap dan diterapkan oleh kelompok-kelompok ekstremis dari abad ke abad, membuktikan bahwa bayangan dari fanatisme yang ia representasikan tidak pernah benar-benar meninggalkan panggung sejarah umat manusia.
Pembunuhan ini memastikan bahwa perpecahan yang dimulai di Siffin akan berlanjut tanpa akhir yang jelas. Ia mengubah wacana politik, menetapkan standar baru untuk kekerasan religius, dan selamanya menodai citra persatuan umat Islam. Ibnu Muljam, sang penghafal Al-Qur'an, menjadi contoh paling nyata bahwa pengetahuan tanpa hikmah adalah pisau bermata dua yang mematikan.
Ali bin Abi Thalib wafat sebagai martir, dikenang atas kesalehan, keberanian, dan kesabarannya yang luar biasa. Abdurrahman Ibnu Muljam, sebaliknya, hidup dalam ingatan kolektif sebagai arsitek dari salah satu kejahatan politik-religius terburuk, sebuah peringatan keras tentang betapa rapuhnya garis antara kesalehan yang murni dan ekstremisme yang mematikan.
Sejarah mencatat dengan tinta merah tebal: Abdurrahman Ibnu Muljam membunuh Khalifah Ali, dan sebagai hasilnya, ia turut membunuh era emas kesatuan umat Islam yang dibimbing oleh para sahabat Nabi.
Meskipun Ibnu Muljam dieksekusi, sisa-sisa Khawarij di Kufa dan Basra berkumpul kembali, membagi diri menjadi faksi-faksi yang lebih kecil dan bahkan lebih radikal. Dua kelompok utama yang muncul adalah Azariqah dan Najdat. Azariqah, yang dipimpin oleh Nafi’ bin al-Azraq, bahkan melangkah lebih jauh dari Ibnu Muljam. Mereka tidak hanya mengkafirkan Ali dan Muawiyah, tetapi juga mengkafirkan semua orang yang tidak bergabung dengan barisan mereka, termasuk istri dan anak-anak yang ditinggalkan oleh Khawarij yang tewas di Nahrawan dan yang tidak ikut hijrah bersama mereka.
Ideologi ini, yang disebut Isti'radh (pembantaian tanpa pandang bulu), membenarkan serangan terhadap kota-kota Muslim dan pemerkosaan terhadap wanita Muslim, asalkan kota-kota itu dikuasai oleh penguasa yang mereka anggap kafir. Ini adalah evolusi mengerikan dari fanatisme yang dimulai oleh keputusan Ibnu Muljam. Kelompok Khawarij, melalui tindakan teror sistematis mereka di wilayah Irak dan Iran, menjadi sumber kekacauan utama yang harus ditangani oleh Dinasti Umayyah selama hampir satu abad.
Peristiwa pembunuhan Ali memberikan legitimasi awal kepada para ekstremis ini. Bagi mereka, terbunuhnya Ali adalah bukti bahwa Allah membenarkan tindakan mereka, meskipun faktanya tujuan utama mereka—menggulingkan semua kekuasaan—tidak tercapai. Setiap perlawanan atau aksi teror Khawarij di masa mendatang dapat menelusuri garis ideologisnya kembali ke dendam yang dipicu di Nahrawan dan diimplementasikan oleh Ibnu Muljam.
Ali bin Abi Thalib dikenal dengan aforisme dan ajaran tentang keadilan universal. Bahkan saat berhadapan dengan Khawarij di Nahrawan, ia menerapkan prinsip: ia menolak mengejar mereka yang melarikan diri dan hanya memerangi mereka yang mengangkat senjata. Ketika ia dibunuh, ia menerapkan prinsip qisas secara ketat, menolak mutilasi dan penyiksaan yang lazim pada masa itu. Tindakan Ali mencerminkan interpretasi agama yang mendalam dan berwawasan, yang mencari keadilan bahkan dalam situasi paling ekstrem.
Sebaliknya, Ibnu Muljam mewakili perusakan keadilan ini. Ia tidak tertarik pada dialog, arbitrase, atau prinsip pengadilan yang adil. Misinya adalah pembasmian total terhadap apa yang ia anggap sebagai penyimpangan, tanpa mempertimbangkan belas kasihan, konsekuensi sosial, atau ajaran Nabi yang menekankan persaudaraan umat. Dengan demikian, Abdurrahman Ibnu Muljam adalah antitesis dari nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan yang dijunjung tinggi oleh Khalifah yang ia bunuh.
Peninggalan paling abadi dari peristiwa ini adalah peringatan terhadap bahaya teologi politik yang berdarah. Di saat umat Islam sangat membutuhkan stabilitas dan persatuan, Ibnu Muljam, didorong oleh obsesi pemurnian yang mustahil, menghancurkan fondasi terakhir kesatuan itu. Kejadian ini terus menjadi kajian mendalam tentang bagaimana batasan antara kesalehan pribadi dan kekejaman publik dapat dengan mudah terlampaui ketika interpretasi agama menjadi terlalu dogmatis dan tidak manusiawi. Ini adalah babak yang tidak akan pernah bisa dihapus dari lembaran sejarah Islam.