Mahkota yang Pudar: Simbol kekuasaan Abdullah bin Abi Salul yang dihancurkan oleh kedatangan Islam.
Sejarah awal Islam di Madinah (Yatsrib) bukan hanya kisah heroik Muhajirin dan Ansar, melainkan juga panggung dramatis bagi intrik, pengkhianatan tersembunyi, dan perjuangan melawan musuh internal. Di antara tokoh-tokoh yang membentuk dinamika sosial dan politik di kota suci itu, tidak ada yang lebih kompleks dan berpengaruh secara negatif daripada Abdullah bin Abi Salul. Ia bukan sekadar penentang pasif, melainkan arsitek utama kemunafikan (nifaq), yang tindakannya berulang kali mengancam stabilitas komunitas Muslim yang baru lahir.
Kisah Abdullah bin Abi Salul adalah narasi tentang ambisi politik yang digagalkan, kebencian yang tersembunyi di balik senyum palsu, dan kekuatan hasutan yang mampu menggoyahkan iman dari dalam. Pemahamannya sangat penting karena Al-Qur'an secara eksplisit mengabadikan perbuatan dan karakternya, menjadikan dirinya personifikasi dari sifat-sifat buruk yang diperingatkan oleh Allah SWT.
Sebelum kedatangan Nabi Muhammad SAW, Madinah dilanda oleh konflik suku yang berkepanjangan antara dua suku utama, Aus dan Khazraj. Perseteruan ini telah menguras tenaga, harta, dan jiwa selama beberapa generasi. Di tengah kekacauan ini, Abdullah bin Abi Salul dari suku Khazraj berhasil mengumpulkan dukungan luas dan diperkirakan akan dinobatkan sebagai raja atau pemimpin absolut di Yatsrib. Gelar kerajaan, sesuatu yang asing bagi tradisi Arab saat itu yang lebih menganut sistem kabilah, menunjukkan tingkat pengaruh dan otoritas yang hampir mencapai puncak.
Persetujuan untuk menobatkannya telah disepakati; mahkota sudah disiapkan. Abdullah bin Abi Salul berada di ambang meraih kekuasaan tertinggi. Dalam pandangan banyak sejarawan dan ulama, momen ini adalah kunci untuk memahami seluruh perjalanan hidupnya setelah itu. Ambisinya sangat besar, dan ia melihat dirinya sebagai penyelamat Madinah yang lelah perang.
Tepat ketika persiapan penobatan mencapai puncaknya, seruan Islam mulai merasuk ke Madinah, didahului oleh Baiat Aqabah dan puncaknya adalah peristiwa Hijrah. Kedatangan Nabi Muhammad SAW mengubah seluruh peta politik dan sosial kota tersebut secara mendadak dan total. Suku Aus dan Khazraj, yang seharusnya dipersatukan di bawah kekuasaan Abdullah, justru menemukan persatuan yang jauh lebih mendalam dan spiritual di bawah panji Islam. Mereka menjadi Ansar (Penolong).
Secara instan, otoritas dan karisma Abdullah bin Abi Salul lenyap. Masyarakat yang siap menobatkannya kini berbondong-bondong mengikuti seorang Nabi dari Makkah. Kekuasaan yang selama ini ia bangun di atas negosiasi dan pengaruh suku hancur oleh kebenaran wahyu. Dalam hati Abdullah, kedatangan Nabi Muhammad SAW bukanlah berkah, melainkan malapetaka pribadi yang merenggut impian seumur hidupnya.
Inilah akar dari kemunafikannya: ia tidak bisa menentang Islam secara terbuka karena basis pendukungnya telah menjadi Muslim. Menentang secara terbuka berarti bunuh diri politik dan sosial. Satu-satunya jalan baginya untuk mempertahankan pengaruh dan mencari celah untuk memulihkan kekuasaannya adalah dengan berpura-pura menerima Islam, sambil di dalam hati memelihara kebencian mendalam. Nifaq adalah strategi politiknya untuk bertahan hidup dan merusak dari dalam.
Setelah Hijrah, Abdullah bin Abi Salul 'masuk Islam' bersama banyak pengikutnya. Namun, keislamannya hanya bersifat formal, sebuah tameng untuk menghindari isolasi sosial. Ia menjadi pemimpin faksi *Al-Munafiqun* (kaum munafik), sebuah kelompok yang terdiri dari orang-orang yang memiliki motif serupa: mereka yang terikat pada status quo lama, yang memiliki keraguan terhadap kenabian, atau yang hanya mencari keuntungan politik.
Kaum munafik ini memiliki keuntungan yang tidak dimiliki oleh musuh eksternal (seperti Quraisy Makkah atau beberapa suku Yahudi); mereka berada di tengah-tengah masyarakat Muslim, mengetahui rahasia internal, dan bisa menyebarkan racun keraguan dan fitnah dengan mudah. Strategi Abdullah bin Abi Salul selalu didasarkan pada perpecahan:
Signifikansi Abdullah bin Abi Salul dalam sejarah Islam begitu besar hingga Allah SWT menurunkan sejumlah ayat, bahkan satu surah khusus, Surah Al-Munafiqun, yang secara langsung mengekspos dan menggambarkan karakternya. Ini menunjukkan bahwa ancaman dari dalam yang dipimpin oleh Abdullah jauh lebih berbahaya daripada ancaman fisik dari luar.
"Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata: 'Kami mengakui, bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Allah.' Dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul-Nya; dan Allah bersaksi bahwa sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar pendusta." (QS. Al-Munafiqun: 1)
Ayat-ayat ini memberikan alat diagnostik teologis bagi komunitas Muslim. Mereka diajarkan untuk tidak menilai berdasarkan kata-kata atau penampilan luar, tetapi berdasarkan perbuatan dan loyalitas sejati. Perjuangan melawan kemunafikan adalah perjuangan untuk mempertahankan integritas spiritual dan politik umat.
Insiden pertama yang secara terbuka menunjukkan pengkhianatan Abdullah bin Abi Salul terjadi sebelum Pertempuran Uhud. Ketika pasukan Muslim bergerak keluar Madinah untuk menghadapi Quraisy, Abdullah bin Abi Salul memimpin kontingennya yang terdiri dari sekitar 300 orang. Ia setuju untuk bertempur di dalam Madinah (strategi defensif), tetapi tidak setuju untuk bertarung di luar benteng kota.
Ketika Nabi Muhammad SAW memutuskan untuk maju ke Uhud, Abdullah bin Abi Salul tiba-tiba menarik pasukannya. Dengan dalih bahwa pendapatnya tidak didengarkan, ia dan 300 orang pengikutnya mundur kembali ke Madinah. Jumlah ini merupakan sepertiga dari total pasukan Muslim (yang berjumlah 1000 orang), menyebabkan kerugian moral yang besar tepat sebelum bentrokan dimulai.
Tindakan ini memiliki dampak ganda: melemahkan kekuatan fisik Muslim dan menyebarkan ketakutan serta keraguan di antara mereka yang tersisa. Meskipun demikian, sisa pasukan Muslim tetap melanjutkan perjalanan, namun insiden ini menjadi peringatan keras akan bahaya internal yang mengintai. Pembelotan ini diabadikan dalam Surah Ali Imran, menggambarkan bahwa mereka yang mundur adalah orang-orang yang hatinya telah dikuasai oleh keraguan.
Peristiwa yang paling mendefinisikan sifat hasutan Abdullah bin Abi Salul adalah apa yang terjadi setelah Perang Bani Mustaliq atau Al-Muraysi'. Ketika pasukan Muslim berhenti di sebuah mata air, terjadi perselisihan sepele antara seorang Muhajir (Jahjah bin Sa’id Al-Ghifari) dan seorang Ansar (Sinan bin Wabr Al-Juhani) mengenai hak atas air.
Perselisihan itu cepat mereda, tetapi Abdullah bin Abi Salul melihat peluang emas untuk memecah belah umat. Ia menghasut kaum Ansar dengan ucapan yang penuh api kebencian:
"Mereka (Muhajirin) telah berbagi tanah kita, tetapi mereka telah menindas kita. Demi Allah, kita dan mereka ibarat peribahasa, 'Gemukkan anjingmu, niscaya ia akan menerkammu!' Jika kita kembali ke Madinah, sungguh orang yang kuat (yaitu dirinya sendiri) akan mengusir orang-orang yang lemah (yaitu Nabi Muhammad dan Muhajirin) darinya!"
Ucapan ini, yang direkam dalam hadis dan diabadikan dalam Surah Al-Munafiqun, menunjukkan puncak kesombongan politiknya dan niatnya yang jelas untuk melengserkan Nabi SAW dari kekuasaan. Ucapan ini didengar oleh seorang pemuda Ansar, Zaid bin Arqam, yang segera melaporkannya kepada Nabi SAW.
Wajah Ganda: Gambaran batin dan tampilan luar yang bertentangan dari kaum munafik.
Ketika Umar bin Khattab mendengar laporan tersebut, ia segera meminta izin kepada Nabi untuk memenggal kepala Abdullah bin Abi Salul. Namun, Nabi SAW menolak. Penolakan ini adalah pelajaran politik dan hikmah yang mendalam:
Pertama, jika Abdullah dibunuh, orang akan berkata, "Muhammad telah membunuh sahabatnya." Ini akan merusak citra Islam di mata suku-suku Arab yang masih ragu. Kedua, Nabi SAW mengetahui bahwa tindakan yang lebih efektif adalah memadamkan api hasutan itu sendiri, bukan membunuh penghasutnya.
Nabi SAW memerintahkan pasukan untuk segera melanjutkan perjalanan meskipun itu adalah waktu yang tidak biasa untuk bergerak. Dengan memaksa pasukan berjalan terus menerus tanpa istirahat hingga kelelahan ekstrem, fokus mereka beralih dari perselisihan dan hasutan politik ke kelelahan fisik. Ketika mereka akhirnya berhenti, semua orang terlalu lelah untuk memikirkan politik atau kebencian. Krisis tersebut teratasi bukan dengan kekerasan, melainkan dengan manajemen kelelahan dan psikologi massa.
Dalam ironi sejarah yang mendalam, salah satu Muslim sejati yang paling taat adalah putra dari Abdullah bin Abi Salul, yang juga bernama Abdullah (atau Al-Hubab, nama yang ditolaknya setelah masuk Islam). Putra Abdullah ini adalah seorang Muslim yang saleh. Ketika rombongan kembali mendekati Madinah, sang putra berdiri di pintu gerbang kota, menghunus pedangnya, dan menahan ayahnya sendiri.
Ia berkata kepada ayahnya, "Demi Allah, engkau tidak akan masuk ke Madinah hingga engkau mengakui bahwa engkaulah yang lemah dan Rasulullah-lah yang kuat, serta engkau mengatakan bahwa Rasulullah memiliki hak untuk mengusirmu." Ini adalah tindakan keberanian luar biasa yang menunjukkan bahwa loyalitas kepada Islam melampaui ikatan darah. Ketika Abdullah bin Abi Salul dipaksa mengucapkan pengakuan itu, sang putra baru mengizinkannya masuk. Ia bahkan menawarkan diri untuk membunuh ayahnya sendiri jika itu diperintahkan oleh Nabi SAW, menunjukkan betapa parahnya kejahatan ayahnya di mata seorang Muslim sejati.
Jika insiden Al-Muraysi' menunjukkan niat politik Abdullah bin Abi Salul, peristiwa Hadits Al-Ifk (Fitnah Besar) menunjukkan kedalaman moralnya yang rendah dan kebencian pribadinya. Fitnah ini adalah serangan terorganisir terhadap kehormatan rumah tangga Nabi Muhammad SAW, menargetkan Ummul Mukminin Aisyah RA, dan merupakan ujian terberat bagi komunitas Muslim Madinah.
Saat kembali dari ekspedisi, Aisyah RA kehilangan kalungnya dan tertinggal dari kafilah. Ia kemudian ditemukan dan diantar kembali ke Madinah oleh seorang sahabat muda, Safwan bin Mu’attal. Jarak dan situasi (seorang wanita dan pria muda sendirian) memberikan bahan bakar bagi kaum munafik.
Abdullah bin Abi Salul segera mengambil peran sebagai pemimpin narasi fitnah ini. Ia tidak menyebarkan rumor itu sendiri, melainkan memimpin sebuah tim penyebar fitnah (di antaranya Mistah bin Uthatha dan Hamnah binti Jahsy) yang menyebarkannya dengan bisikan, insinuasi, dan desas-desus. Strategi ini sangat efektif karena menyentuh isu kehormatan, yang sangat sensitif dalam budaya Arab.
Fitnah ini berlangsung selama hampir sebulan, menimbulkan kesedihan mendalam pada Nabi SAW, dan menyebabkan perpecahan parah di antara kaum Muslimin. Bahkan, beberapa Muslim yang tulus termakan oleh fitnah itu dan ikut menyebarkannya (karena kurangnya pemahaman tentang pentingnya memverifikasi berita). Aisyah sendiri menderita sakit keras dan merasa terisolasi. Ini adalah operasi destabilisasi psikologis terbesar yang pernah dilancarkan oleh Abdullah bin Abi Salul.
Akhirnya, setelah masa penantian yang menyakitkan, Allah SWT menurunkan wahyu yang membebaskan Aisyah dari segala tuduhan dan membersihkan nama baiknya secara definitif. Ayat-ayat ini terdapat dalam Surah An-Nur, yang juga menetapkan hukuman yang berat bagi mereka yang menyebarkan fitnah tanpa saksi.
"Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah kelompok dari kamu (juga). Janganlah kamu mengira berita itu buruk bagi kamu, bahkan itu baik bagi kamu. Setiap orang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang diperbuatnya. Dan barangsiapa di antara mereka yang mengambil bagian yang terbesar dalam kebohongan itu, baginya azab yang besar." (QS. An-Nur: 11)
Ayat ini secara jelas menunjuk pada Abdullah bin Abi Salul sebagai orang yang "mengambil bagian yang terbesar" dalam kebohongan tersebut. Wahyu ini tidak hanya membersihkan nama Aisyah tetapi juga mengidentifikasi secara pasti sumber penyakit moral di Madinah.
Peran Abdullah bin Abi Salul dalam sejarah Islam tidak terlepas dari wahyu Ilahi. Kisahnya adalah contoh nyata tentang bagaimana Allah mengungkap kejahatan yang tersembunyi. Surah Al-Munafiqun adalah dokumen paling jelas yang mendeskripsikan kepribadian dan taktik yang digunakan oleh Abdullah bin Abi Salul dan pengikutnya.
Surah ini, yang diturunkan setelah insiden Al-Muraysi', adalah semacam "sidik jari" bagi para munafik:
Ayat-ayat awal segera menelanjangi kontradiksi internal para munafik. Mereka mengucapkan sumpah palsu dan menggunakan iman mereka sebagai perisai untuk melindungi diri dari hukuman dunia. Abdullah bin Abi Salul sering menggunakan sumpah dan janji palsu untuk meyakinkan kaum Muslimin tentang loyalitasnya, tetapi Allah menegaskan bahwa mereka adalah pendusta yang lidahnya berbeda dengan hati mereka.
Al-Qur'an menggambarkan mereka memiliki penampilan yang mengesankan dan menarik, namun di dalam hati, mereka kosong dan pengecut.
"Dan apabila kamu melihat mereka, tubuh mereka mengagumkanmu. Dan jika mereka berkata, kamu mendengarkan perkataan mereka. Mereka seakan-akan kayu yang tersandar (tidak berguna). Mereka mengira bahwa setiap teriakan keras ditujukan kepada mereka. Mereka itulah musuh (yang sebenarnya), maka waspadalah terhadap mereka; semoga Allah membinasakan mereka. Bagaimanakah mereka sampai dipalingkan?" (QS. Al-Munafiqun: 4)
Deskripsi "kayu yang tersandar" adalah metafora yang kuat. Mereka tampak tegak, namun tidak memiliki substansi atau kegunaan sejati. Mereka selalu merasa bersalah karena tahu isi hati mereka, sehingga mereka paranoid terhadap setiap teguran atau kritikan, mengira itu ditujukan kepada mereka.
Ayat-ayat ini merujuk langsung pada insiden di Al-Muraysi' ketika Abdullah bin Abi Salul menolak untuk meminta ampun kepada Nabi SAW setelah hasutannya terbongkar. Ketika mereka diajak bertaubat, mereka memalingkan muka dan menjadi sombong.
Ayat 8 secara harfiah mengutip ucapan Abdullah bin Abi Salul tentang niatnya untuk mengusir Nabi SAW:
"Mereka berkata (seperti yang diucapkan Abdullah bin Abi Salul): 'Sungguh, jika kita kembali ke Madinah, benar-benar orang yang kuat akan mengusir orang-orang yang lemah dari padanya.' Padahal kekuatan itu hanyalah milik Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang mukmin, tetapi orang-orang munafik itu tiada mengetahui." (QS. Al-Munafiqun: 8)
Penyingkapan detail pribadi dan politik seperti ini dalam kitab suci menunjukkan betapa sentralnya konflik internal yang dipimpin oleh Abdullah bin Abi Salul dalam pembentukan hukum dan teologi Islam awal.
Setelah bertahun-tahun menjadi duri dalam daging komunitas Muslim, peran politik Abdullah bin Abi Salul semakin memudar seiring dengan menguatnya kekuasaan Islam dan terungkapnya kebohongan-kebohongannya. Ia meninggal dunia pada tahun yang disebut sebagai 'Amul Wufud (Tahun Kedatangan Delegasi), ketika Islam telah mencapai puncak kejayaannya.
Ketika ia sakit keras, putra Abdullah bin Abi Salul, seorang Muslim sejati yang taat, mendatangi Nabi Muhammad SAW dan memohon agar Nabi bersedia memakaikan jubah beliau (qamish) pada ayahnya untuk digunakan sebagai kain kafan. Ia juga memohon agar Nabi sudi menyalati jenazahnya.
Nabi Muhammad SAW, yang dikenal karena kemurahan hati dan kelembutannya yang luar biasa—dan mungkin demi menghormati perasaan putranya yang saleh—mengabulkan kedua permintaan tersebut. Beliau memberikan jubahnya dan bersiap untuk menyalati jenazah Abdullah bin Abi Salul.
Ketika Nabi SAW hendak melakukan salat jenazah, Umar bin Khattab segera meraih pakaian Nabi SAW dan mengingatkan beliau, "Wahai Rasulullah, apakah engkau akan menyalatinya padahal ia adalah Abdullah bin Abi Salul yang telah berkata begini dan begitu (mengingat semua kejahatannya)?"
Umar mengingatkan Nabi SAW akan ayat yang telah diturunkan yang melarang shalat atas orang munafik. Namun, Nabi SAW menjawab bahwa beliau memiliki pilihan. Beliau merujuk pada ayat yang berbunyi, "Kamu memohonkan ampun bagi mereka atau tidak kamu mohonkan ampun bagi mereka (adalah sama saja). Sekalipun kamu memohonkan ampun bagi mereka tujuh puluh kali, namun Allah sekali-kali tidak akan mengampuni mereka." (QS. At-Tawbah: 80).
Nabi SAW mungkin berharap bahwa dengan menyalatinya, Allah akan menunjukkan rahmat-Nya, atau setidaknya tindakan itu akan menenangkan hati suku Khazraj dan menghindari fitnah lebih lanjut.
Setelah Nabi SAW menyalati jenazah Abdullah bin Abi Salul, wahyu turun yang secara tegas dan definitif melarang tindakan tersebut di masa depan, menghapus pilihan yang Nabi SAW rasakan ada:
"Dan janganlah engkau (Muhammad) sekali-kali melaksanakan salat (jenazah) untuk seseorang yang mati di antara mereka (orang-orang munafik), dan janganlah engkau berdiri di kuburnya. Sesungguhnya mereka telah ingkar kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik." (QS. At-Tawbah: 84)
Ayat ini menjadi garis pemisah yang mutlak, menegaskan bahwa kemunafikan, sebagai pengkhianatan spiritual dan politik, menempatkan pelakunya di luar lingkaran ampunan, bahkan dalam konteks salat jenazah seorang Nabi. Tindakan Nabi Muhammad SAW menyalati Abdullah bin Abi Salul, yang merupakan manifestasi dari kasih sayang dan penghormatan beliau yang meluas, segera dihentikan oleh perintah Ilahi demi melindungi integritas spiritual umat.
Abdullah bin Abi Salul tidak meninggalkan warisan kekuasaan, melainkan warisan teologis yang abadi. Kisahnya menjadi studi kasus permanen dalam Islam tentang bahaya musuh internal.
Peristiwa-peristiwa yang melibatkan Abdullah bin Abi Salul membantu mendefinisikan *Nifaq Akbar* (kemunafikan besar) dalam jurisprudensi Islam—yaitu, beriman secara lisan tetapi menolak kenabian atau ajaran Islam secara internal. Ini berbeda dengan *Nifaq Ashgar* (kemunafikan kecil), yang merujuk pada sifat-sifat buruk seperti berbohong atau melanggar janji, yang tidak selalu mengeluarkan pelakunya dari Islam.
Kisah Abdullah bin Abi Salul mengajarkan umat Muslim bahwa ancaman yang paling menghancurkan seringkali datang dari orang-orang yang terlihat seperti bagian dari komunitas. Kehati-hatian dalam menerima informasi (seperti yang ditunjukkan dalam insiden Al-Ifk) dan kewaspadaan terhadap niat tersembunyi menjadi prinsip dasar dalam menjaga persatuan umat.
Umat Muslim diajarkan untuk menghargai sahabat yang taat, seperti Zaid bin Arqam yang berani melaporkan ucapan penghasutan, dan untuk memprioritaskan persatuan di atas ikatan suku atau keluarga, sebagaimana dicontohkan oleh putra Abdullah bin Abi Salul sendiri.
Untuk memahami sepenuhnya bahaya yang ditimbulkan oleh Abdullah bin Abi Salul, perluasan studi mengenai taktik penghasutannya menjadi penting. Ia tidak menggunakan kekerasan fisik, melainkan senjata yang jauh lebih tajam dan sulit diatasi: propaganda dan disinformasi terorganisir.
Madinah, meskipun telah dipersatukan oleh Islam, masih membawa luka sejarah dari konflik Aus dan Khazraj. Abdullah bin Abi Salul selalu berusaha memainkan kartu suku. Dalam insiden Al-Muraysi', ia mencoba membangkitkan nasionalisme Khazraj (Ansar) melawan Muhajirin, dengan menuduh Muhajirin arogan dan mengambil keuntungan dari keramahan Ansar. Tujuannya adalah memecah belah fondasi persaudaraan yang baru dibangun oleh Nabi SAW, yang dikenal sebagai *Muakhah*.
Kaum munafik sering menggunakan ejekan dan sindiran halus untuk meremehkan ajaran Islam atau pribadi Nabi SAW. Dalam riwayat disebutkan bahwa Abdullah bin Abi Salul dan kelompoknya sering duduk di pinggir pertemuan dan menyindir kaum Muslimin yang miskin atau lemah. Al-Qur'an menjawab ejekan mereka, menekankan bahwa di mata Allah, kekuatan sejati bukanlah pada harta atau posisi, melainkan pada ketakwaan.
Salah satu bahaya terbesar dari Abdullah bin Abi Salul adalah hubungannya yang tidak transparan dengan suku-suku Yahudi di Madinah, terutama Bani Nadir dan Bani Qaynuqa, yang saat itu menjadi musuh politik Islam. Abdullah bin Abi Salul memiliki perjanjian lama dengan beberapa pemimpin Yahudi. Ketika Bani Nadir dikepung, Abdullah mengirim pesan rahasia kepada mereka, menjanjikan bantuan 2000 pasukan dan meyakinkan mereka untuk tidak menyerah. Janji ini terbukti palsu, namun tindakan tersebut menunjukkan koordinasi aktif dengan musuh di luar tembok.
Keterlibatan Abdullah bin Abi Salul dalam menipu Bani Nadir menunjukkan kesiapannya untuk mengorbankan keamanan seluruh komunitas Muslim demi tujuan pribadinya: melemahkan kekuatan Nabi Muhammad SAW dan berharap konflik internal akan mengembalikan dirinya ke tampuk kekuasaan. Ini adalah pengkhianatan tingkat tinggi yang jauh melampaui sekadar perbedaan pendapat politik.
Kisah Abdullah bin Abi Salul juga berfungsi sebagai panggung untuk memamerkan kesabaran dan kebijaksanaan Nabi Muhammad SAW dalam menghadapi ancaman internal yang paling kejam.
Keputusan Nabi SAW untuk tidak mengizinkan Umar bin Khattab membunuh Abdullah bin Abi Salul bukan hanya taktik politik cerdas, tetapi manifestasi dari nilai-nilai Islam yang lebih tinggi. Islam selalu menempatkan persatuan dan pencegahan fitnah di atas pembalasan cepat. Jika Nabi SAW membunuhnya, ia akan menjadi martir palsu di mata suku Khazraj yang masih memiliki sisa simpati kepadanya, dan citra Islam akan ternoda. Dengan membiarkannya hidup dan membiarkan karakternya terungkap secara perlahan melalui tindakan dan wahyu Ilahi, umat Muslim sendiri yang akan meninggalkannya. Hal ini membuktikan bahwa hancurnya pengaruh Abdullah bin Abi Salul adalah akibat dari kegagalannya sendiri, bukan karena hukuman paksa.
Tindakan Nabi SAW memberikan jubahnya kepada Abdullah bin Abi Salul dan menyalatinya (sebelum dilarang) menunjukkan kelembutan dan kebijaksanaan beliau dalam berurusan dengan keluarga si penghasut. Dengan menunjukkan rasa hormat kepada jenazah, Nabi SAW secara efektif menenangkan suku-suku yang mungkin masih merasa terikat kepadanya, dan sekaligus menghormati kesalehan putranya yang menderita akibat perbuatan ayahnya.
Tindakan tersebut memastikan bahwa setelah kematian Abdullah bin Abi Salul, tidak ada sisa-sisa dendam suku yang bisa dimanfaatkan oleh musuh di masa depan. Islam memenangkan pertarungan hati dan pikiran, bukan hanya pertarungan fisik.
Meskipun Abdullah bin Abi Salul telah lama tiada, studi tentang karakternya dan respons Qur'an terhadapnya tetap relevan hingga kini. Kemunafikan adalah penyakit yang tidak terbatas pada era Madinah; ia adalah kondisi manusia yang muncul ketika ambisi pribadi bertabrakan dengan kebenaran mutlak.
Kemunafikan, sebagaimana diajarkan oleh kisah Abdullah bin Abi Salul, mewujud dalam bentuk-bentuk baru: pemimpin yang mengklaim beriman tetapi tindakannya merusak persatuan, jurnalisme yang menyebarkan fitnah atas nama kebenaran, atau anggota komunitas yang berbicara manis tetapi diam-diam merencanakan perpecahan. Taktik lama—menyebarkan keraguan, memecah belah berdasarkan perbedaan lama, dan menggunakan sumpah palsu sebagai tameng—tetap menjadi ciri khas musuh internal.
Kisah ini menegaskan bahwa iman sejati memerlukan konsistensi antara batin dan tindakan. Pengalaman Madinah mengajarkan bahwa penilaian harus didasarkan pada buah tindakan, bukan pada ucapan yang diucapkan. Abdullah bin Abi Salul gagal dalam ujian ini, dan kegagalannya menjadi peringatan abadi bagi semua yang mengaku beriman.
Analisis terhadap Abdullah bin Abi Salul adalah analisis terhadap musuh tersembunyi yang bersemayam di ambang pintu kekuasaan dan hati manusia. Keberadaannya di tengah-tengah umat Muslim adalah ujian api yang membentuk kesadaran komunitas, memperkuat fondasi keimanan, dan menghasilkan wahyu-wahyu penting yang memandu umat manusia dalam membedakan antara kebenaran yang tulus dan pengkhianatan yang bersembunyi di balik jubah kesalehan.
Dari Uhud hingga Al-Ifk, dari hasutan politik hingga kepengecutan spiritual, Abdullah bin Abi Salul memainkan perannya sebagai tokoh antagonis utama dalam drama awal Islam. Ia adalah cermin yang menunjukkan betapa mudahnya ambisi duniawi dapat merusak jiwa dan meracuni lingkungan sosial, menjadikan pelajaran tentang kemunafikan sebagai salah satu pilar terpenting dalam pemahaman sejarah dan teologi Islam. Warisan gelapnya adalah pengetahuan tentang bagaimana menghadapi dan mengalahkan musuh yang paling sulit dilihat.
Perjuangan melawan spirit kemunafikan yang diwakili oleh Abdullah bin Abi Salul bukanlah perjuangan yang berakhir dengan kematiannya. Ini adalah perjuangan berkelanjutan bagi setiap individu dan setiap komunitas yang berusaha mempertahankan integritasnya dalam menghadapi godaan kekuasaan, iri hati, dan kepalsuan.
Oleh karena itu, setiap kali ayat tentang kaum munafik dibacakan, nama dan perbuatan Abdullah bin Abi Salul secara tidak langsung dihidupkan kembali, bukan untuk menghujat masa lalu, tetapi untuk membimbing masa depan dalam menjaga kemurnian tauhid dan persatuan umat.
Detail peristiwa yang melibatkan Abdullah bin Abi Salul—terutama di Al-Muraysi' di mana ia berani menantang otoritas kenabian dan di Al-Ifk di mana ia menyerang kehormatan Nabi—menegaskan bahwa motifnya murni politis dan didorong oleh keinginan balas dendam atas kekuasaan yang hilang. Ia melihat Islam bukan sebagai petunjuk hidup, melainkan sebagai saingan politik yang harus dihancurkan dari dalam. Kegigihannya dalam merusak adalah yang membuat namanya abadi sebagai simbol pengkhianatan batin.
Dalam konteks teologis, penemuan identitas para munafik (walaupun nama mereka tidak selalu diumumkan kepada publik) adalah karunia Ilahi yang memungkinkan komunitas Muslim untuk membersihkan barisan mereka dari racun internal. Allah SWT melalui wahyu memberikan umat kemampuan untuk membedakan antara mereka yang tulus dan mereka yang hanya berpura-pura. Abdullah bin Abi Salul, tanpa disadari, menjadi alat yang digunakan oleh kehendak Ilahi untuk memperkuat disiplin dan kejernihan spiritual umat, memastikan bahwa hanya fondasi yang kuat yang akan bertahan.
Kisah ini adalah pengingat bahwa kepemimpinan sejati, seperti yang ditunjukkan oleh Nabi Muhammad SAW, tidak membutuhkan tindakan represif yang tergesa-gesa, tetapi membutuhkan kesabaran, strategi, dan keyakinan mutlak pada kebenaran yang pada akhirnya akan menyingkap segala kepalsuan, sebagaimana wahyu Ilahi menyingkap seluruh intrik yang ditenun oleh Abdullah bin Abi Salul, arsitek kemunafikan di Madinah.
***