Eksplorasi Mendalam Mengenai Fondasi Rasa Regional dan Filosofi Pangan
Kuliner Vietnam, yang dikenal secara global karena keseimbangan rasa, kesegaran bahan, dan kontras tekstur, tidak dapat dipisahkan dari fondasi agrikulturnya. Inti dari identitas kuliner ini terletak pada dua bahan pokok utama yang membentuk kehidupan sehari-hari dan festival: beras dan jagung. Dalam konteks budaya Vietnam, meskipun istilah ‘Bap’ secara literal berarti jagung dan ‘Nep’ merujuk pada beras ketan, secara filosofis dan kulinari, kedua istilah ini mewakili spektrum yang jauh lebih luas—yakni, perbandingan antara makanan pokok yang keras (jagung/nasi biasa) yang membentuk massa dan makanan pokok yang lembut, lengket, dan istimewa (ketan) yang mengikat tradisi.
Perbedaan antara beras biasa (*gạo tẻ*) dan beras ketan (*gạo nếp*) inilah yang menentukan jalur kuliner regional. Ketan, atau Nep, adalah bahan untuk hidangan perayaan, kue, dan fermentasi, memberikan tekstur kenyal dan rasa manis yang mendalam. Sementara itu, beras biasa, atau produk turunannya seperti mi (phở, bún), menjadi kanvas untuk bumbu sehari-hari. Eksplorasi Bap Nep bukan sekadar studi tentang bahan, melainkan penelusuran tentang bagaimana geografi membagi bangsa ini menjadi tiga wilayah rasa yang berbeda: Utara (Bắc), Tengah (Trung), dan Selatan (Nam).
Artikel ini akan membedah bagaimana bahan-bahan dasar ini, yang tumbuh di dataran rendah Mekong (Selatan) dan Delta Sungai Merah (Utara), menghasilkan perbedaan mencolok dalam penggunaan rempah, tingkat kemanisan, dan kompleksitas kaldu. Dari Phở yang murni di Hanoi hingga Phở yang kaya gula dan tauge di Ho Chi Minh City, kita akan melihat perwujudan nyata dari filosofi Bap Nep yang membentuk identitas kuliner yang unik dan tak tertandingi.
Beras ketan, atau *nếp*, memiliki kedudukan yang hampir sakral dalam kebudayaan Vietnam. Berbeda dengan beras biasa yang dimakan setiap hari, ketan adalah simbol kemakmuran, ikatan, dan perayaan. Kehadiran Nếp dalam sebuah hidangan sering kali menandakan momen istimewa atau tradisi yang dihormati. Sifatnya yang lengket (disebabkan oleh kandungan amilopektin yang tinggi) menjadikannya ideal untuk dibentuk dan dipertahankan dalam waktu lama, menjadikannya bahan utama dalam hampir semua kue dan manisan tradisional.
*Xôi*, atau nasi ketan kukus, adalah contoh sempurna dari fleksibilitas Nếp. Xôi bisa disiapkan sebagai makanan ringan manis (*xôi chè*) yang dicampur dengan kacang dan gula, atau sebagai hidangan gurih (*xôi mặn*) yang disajikan dengan ayam, sosis Vietnam (chả lụa), dan bawang goreng. Di Utara, *xôi* sering kali lebih sederhana dan fokus pada aroma alami ketan, sementara di Selatan, penambahan santan dan gula kental memberikan tekstur yang lebih berminyak dan rasa yang lebih manis. Xôi juga sering menjadi bagian dari ritual, seperti yang terlihat pada *Bánh Chưng* (kue ketan persegi) saat perayaan Tết, yang melambangkan bumi dan kesuburan.
Nếp juga merupakan bahan baku vital dalam proses fermentasi, khususnya untuk minuman beralkohol tradisional seperti arak beras (*rượu nếp*) dan hidangan penutup yang difermentasi (*cơm rượu*). Proses fermentasi ini, yang memanfaatkan ragi alami, tidak hanya menghasilkan rasa yang unik tetapi juga berfungsi sebagai metode pengawetan yang penting dalam iklim tropis. Kekuatan transformatif Nếp, dari butiran keras menjadi pasta lengket atau cairan beraroma, mencerminkan pemahaman mendalam masyarakat Vietnam terhadap kimiawi pangan dan pemanfaatannya yang maksimal.
Penggunaan Nếp menunjukkan bagaimana Bap Nep tidak hanya merujuk pada bahan pokok, tetapi juga pada proses transformasi. Jagung (Bap) sendiri, meskipun tidak selalu menjadi makanan pokok utama di seluruh wilayah seperti beras, memainkan peran penting di daerah pegunungan dan menjadi sumber pati yang murah, seringkali dicampur dengan nasi di masa sulit, atau diolah menjadi kue dan bubur, menegaskan kembali dualitas antara kemurnian (Nếp) dan ketahanan (Bap).
Jika Bap Nep adalah fondasi, maka geografi adalah arsiteknya. Perjalanan rasa kuliner Vietnam dari Hanoi ke Ho Chi Minh City adalah perjalanan yang dramatis, ditandai oleh sejarah, iklim, dan pengaruh luar. Perbedaan ini adalah inti dari identitas *ẩm thực* (seni memasak) Vietnam.
Hanoi dan wilayah Utara, dengan iklim yang lebih dingin dan sejarah yang lebih lama sebagai pusat kekaisaran, cenderung mengadopsi pendekatan kuliner yang lebih konservatif dan minimalis. Prinsip utamanya adalah kemurnian bahan dan penghormatan terhadap rasa asli. Kaldu harus bening, bumbu harus digunakan secara hemat, dan rasa manis harus datang secara alami dari tulang dan sayuran, bukan dari gula tambahan.
Penggunaan rempah-rempah yang hangat (seperti jahe, kayu manis, dan adas bintang—yang penting dalam Phở) seringkali lebih terukur. Prioritas diberikan pada rasa asin dari kecap ikan berkualitas tinggi (*nước mắm*) dan sedikit asam dari cuka beras atau jeruk nipis. Hidangan Utara mencerminkan lingkungan yang lebih tenang, di mana persiapan yang lama dan teliti dihargai lebih dari intensitas rasa yang eksplosif. *Bún chả* Hanoi, misalnya, terkenal karena kuah celupnya yang seimbang sempurna, tidak terlalu manis, dan sangat fokus pada aroma panggang daging.
Sebaliknya, Vietnam Selatan, terutama wilayah Delta Mekong yang subur, menikmati iklim tropis yang memungkinkan panen berlimpah sepanjang tahun. Kedekatan dengan Kamboja, Thailand, dan pengaruh kolonial Prancis yang lebih baru menghasilkan profil rasa yang jauh lebih berani, manis, dan kompleks.
Ciri khas masakan Selatan meliputi:
Perbedaan inilah yang memperjelas peran Bap Nep. Di Utara, Nếp diolah menjadi mie Phở yang tipis dan halus yang menuntut kaldu jernih. Di Selatan, Nếp (melalui nasi) disajikan dengan hidangan yang lebih berat dan manis, mencerminkan kekayaan hasil bumi tropis.
Phở, mi beras yang tak lekang oleh waktu, adalah hidangan nasional Vietnam dan mungkin merupakan ilustrasi paling jelas dari kontras regional Bap Nep. Phở berasal dari Utara, kemungkinan besar di sekitar Hanoi, pada awal abad ke-20, dan menyebar ke Selatan pasca pembagian negara pada tahun 1954.
Phở Utara, atau Phở Bắc, menekankan pada kesederhanaan, kejernihan, dan kesempurnaan kaldu. Ini adalah hidangan yang murni dan menuntut kesabaran yang ekstrem. Kaldu direbus selama berjam-jam menggunakan tulang sapi (atau kadang ayam) yang dibersihkan dengan hati-hati untuk memastikan tidak ada kotoran atau lemak berlebih. Rempah-rempah seperti adas bintang, cengkeh, dan kayu manis harus terasa hangat namun tidak mengalahkan rasa daging.
Ciri khas Phở Bắc:
Ketika Phở bermigrasi ke Selatan, ia bertemu dengan kelimpahan hasil bumi tropis dan selera yang lebih manis. Phở Nam menjadi hidangan yang mewah, kaya, dan disajikan dengan beragam pendamping. Kaldu Phở Nam cenderung lebih keruh karena dimasak dengan lemak yang lebih banyak dan seringkali ditambahkan sedikit gula batu atau gula tebu untuk menyeimbangkan rasa asin.
Ciri khas Phở Nam:
Transformasi Phở dari Bắc ke Nam ini menunjukkan kemampuan kuliner Vietnam untuk beradaptasi. Mi beras (Bap/Nep) tetap menjadi inti, tetapi interpretasi lingkungannya menghasilkan dua pengalaman makan yang berbeda secara fundamental.
Meskipun Phở adalah representasi sempurna dari beras (Bap/Nep), *Bánh Mì* (roti gandum/tepung) mewakili adaptasi Vietnam terhadap bahan pokok yang diimpor: gandum, yang dalam konteks agrikultur yang lebih luas, dapat disamakan dengan fungsi Jagung (Bap) sebagai pati pengganti atau komplementer. Bánh Mì adalah warisan kolonial Prancis, tetapi Vietnam mengubahnya menjadi mahakarya street food mereka sendiri, menjadikannya makanan yang sepenuhnya Vietnam.
Roti Bánh Mì memiliki ciri khas unik: kerak yang sangat renyah tetapi bagian dalamnya sangat ringan dan berongga. Rahasia resep ini, yang dikembangkan selama masa kesulitan ekonomi, adalah penggunaan tepung beras (turunan Bap Nep) yang dicampur dengan tepung gandum. Penambahan tepung beras inilah yang memberikan tekstur super ringan yang membedakannya dari baguette Prancis yang padat.
Sama seperti Phở, isian Bánh Mì menunjukkan perbedaan regional yang signifikan:
Bánh Mì adalah bukti bahwa konsep Bap Nep tidak statis. Ia menunjukkan bagaimana bahan pokok, bahkan yang baru diperkenalkan, diadaptasi melalui teknik lokal (penggunaan tepung beras) untuk menciptakan sesuatu yang otentik Vietnam, yang kemudian diinterpretasikan kembali melalui lensa rasa regional Utara yang minimalis atau Selatan yang maksimalis.
Di balik semua perbedaan regional, kuliner Vietnam disatukan oleh filosofi *Ngũ Vị*—keseimbangan lima elemen atau lima rasa: pedas (api), asam (kayu), manis (tanah), asin (air), dan pahit (logam). Setiap hidangan yang sempurna harus menyentuh kelima rasa ini.
Kecap Ikan (*Nước Mắm*) adalah komponen utama dalam mencapai rasa asin dan umami ini, dan merupakan benang merah yang menghubungkan Bap Nep di seluruh wilayah. Kualitas dan cara penggunaan Nước Mắm sangat berbeda, dan ini adalah pembeda regional yang paling penting.
Di Utara, Nước Mắm sering digunakan dalam bentuk murni atau dengan sedikit campuran, menekankan rasa asin yang dalam dan murni (seperti dalam *Chả Cá Lã Vọng*). Kecap ikan terbaik, seperti yang berasal dari Phú Quốc, dihargai karena konsentrasinya dan kejernihannya.
Di Selatan, Nước Mắm hampir selalu diencerkan dan diubah menjadi *nước chấm* (saus celup) dengan penambahan gula (manis), air (untuk melarutkan), jeruk nipis (asam), bawang putih, dan cabai (pedas). Saus celup ini adalah adaptasi Ngũ Vị yang paling interaktif, memungkinkan pengguna untuk menyesuaikan saus di tempat.
Variasi dalam penggunaan Nước Mắm adalah cerminan langsung dari geografi dan pertanian. Utara (delta Sungai Merah) memiliki akses yang lebih terbatas ke gula tebu dan kelapa, sehingga memprioritaskan rasa asin/fermentasi. Selatan (delta Mekong) memiliki akses tak terbatas ke sumber gula, menghasilkan pergeseran menuju rasa manis yang lebih menonjol untuk mencapai Ngũ Vị.
Pemahaman Bap Nep memerlukan perhatian pada hidangan yang sering terlewatkan namun sangat esensial, yaitu bubur dan vermicelli, yang semuanya adalah turunan langsung dari beras (Bap/Nep).
*Bún*, mi vermicelli beras tipis, adalah bahan pokok penting. Ia digunakan dalam hidangan yang sangat beragam, mulai dari sup berkuah seperti *Bún Riêu* (sup kepiting dengan tomat) hingga hidangan kering seperti *Bún Chả* (daging babi panggang dengan mi dingin) dan *Bún Thịt Nướng* (mi dengan daging panggang dan saus kacang).
Di Utara, *Bún* sering dikaitkan dengan kuah yang kompleks tetapi sederhana, seperti *Bún Thang* (mi ayam Hanoi) yang kuahnya sangat bening dan bahan-bahannya diiris tipis dengan presisi artistik. Fokusnya adalah pada tekstur lembut *Bún* yang kontras dengan komponen lain yang renyah.
Sementara itu, di wilayah Tengah, seperti Huế, *Bún Bò Huế* menunjukkan perpaduan ekstrem dari Bap Nep. Mi yang lebih tebal (kadang-kadang dibuat dari adonan yang dicampur dengan pati jagung/tapioka untuk kekenyalan) disajikan dengan kaldu yang sangat pedas, berminyak, dan kaya akan aroma serai dan pasta udang fermentasi (*mắm ruốc*). Ini adalah jembatan rasa—lebih kaya dari Utara, tetapi lebih asin/pedas daripada manis seperti di Selatan.
Meskipun beras adalah raja, jagung (*bắp*) memegang peran historis yang kritis, terutama di dataran tinggi dan selama masa kekurangan. Jagung tidak hanya dimakan sebagai makanan pokok, tetapi juga digunakan untuk menciptakan pati, memberi kekenyalan pada adonan mi, dan sebagai makanan ternak. Di beberapa daerah pegunungan, *cháo bắp* (bubur jagung) adalah makanan yang hangat dan mengenyangkan. Pengakuan terhadap jagung (Bap) sebagai bagian dari fondasi diet menunjukkan ketahanan dan adaptasi masyarakat Vietnam terhadap lingkungan yang berbeda, menjadikannya mitra penting bagi kemewahan Nếp.
Dalam konteks modern, Bap Nep juga terlihat dalam industri tepung. Tepung beras (Bap) digunakan untuk membuat lembaran tipis seperti *Bánh Tráng* (kertas nasi) dan kulit lumpia. Kualitas dan ketebalan kertas nasi juga bervariasi secara regional. Di Selatan, kertas nasi cenderung lebih tipis dan rapuh, cocok untuk lumpia segar (*gỏi cuốn*), sementara di Utara dan Tengah, kertas nasi mungkin lebih tebal dan cocok untuk digoreng.
Salah satu elemen Ngũ Vị yang sering diabaikan adalah rasa pahit (logam). Dalam kuliner Vietnam, kepahitan sering datang dari sayuran tertentu (seperti pare) atau dari teh hijau yang disajikan setelah makan. Ini bertujuan untuk membersihkan langit-langit mulut dan menyeimbangkan rasa manis dan pedas yang dikonsumsi. Di Utara, kepahitan bisa juga datang dari kaldu yang sengaja dipertahankan sedikit pahit dari rebusan tulang yang sangat lama (walaupun ini sering dihindari dalam Phở modern).
Hubungan antara Bap Nep dan pahit adalah bahwa hidangan berbasis nasi (Bap) yang kaya dan berlemak harus diimbangi dengan minuman atau sayuran pahit untuk mencapai harmoni pencernaan. Ini adalah prinsip holistik yang mengintegrasikan makanan dengan kesehatan.
Saat kuliner Vietnam menyebar ke seluruh dunia, prinsip Bap Nep ikut bermigrasi. Namun, diakui atau tidak, interpretasi global sering kali didominasi oleh selera Selatan, karena imigran Vietnam yang paling banyak setelah Perang Vietnam berasal dari Selatan.
Oleh karena itu, Phở yang ditemukan di Amerika Utara atau Eropa cenderung lebih manis, disajikan dengan tauge, dan dilengkapi dengan saus hoisin dan Sriracha—semua ciri khas Phở Nam. Fenomena ini menunjukkan bagaimana garis pembagi rasa di Vietnam telah diwariskan ke panggung dunia, meskipun sering kali tanpa pengetahuan mendalam tentang asal-usul Nordik yang lebih murni.
Penting bagi generasi baru koki Vietnam untuk tidak hanya merayakan kekayaan rasa Selatan tetapi juga menghormati keindahan yang terkandung dalam kesederhanaan Utara dan intensitas Tengah. Warisan Bap Nep adalah tentang menjaga keseimbangan antara tradisi ketan (Nếp) yang sakral dan adaptasi nasi/jagung (Bap) yang pragmatis. Ini adalah cerita tentang bagaimana dua bahan pokok dapat menciptakan sebuah spektrum rasa yang sedemikian luas, menghubungkan dataran, pegunungan, dan pantai menjadi satu narasi kuliner yang koheren.
Setiap hidangan, dari semangkuk kecil *xôi* manis hingga seporsi besar *Phở*, adalah pelajaran sejarah yang dimakan. Ia menceritakan tentang perjuangan, festival, iklim, dan identitas. Fondasi Bap Nep memastikan bahwa di mana pun seorang Vietnam berada, rasa dari tanah air mereka—baik itu manisnya Selatan yang berlimpah atau asinnya Utara yang halus—tetap menjadi bagian tak terpisahkan dari jiwa mereka.
Dari detail teknis penggilingan tepung beras untuk mi, hingga perdebatan filosofis tentang jumlah gula yang boleh ditambahkan ke dalam kaldu, perjalanan kuliner Vietnam adalah perjalanan yang tiada akhir dalam pencarian keseimbangan rasa yang sempurna. Dan semua itu berawal dari Bap dan Nep.
Untuk benar-benar memahami kontras Bap Nep, kita harus melihat lebih dekat bagaimana iklim memengaruhi hasil bumi, dan pada gilirannya, palet rasa. Vietnam Utara, dengan empat musim yang jelas, memiliki musim dingin yang dingin dan musim panas yang panas. Musim dingin membatasi ketersediaan sayuran segar dan mendorong pengawetan makanan melalui fermentasi dan pengeringan. Ini menjelaskan mengapa masakan Utara mengandalkan bumbu kering (rempah kaldu) dan bumbu fermentasi yang kuat seperti *mắm tôm* (pasta udang), yang sangat berbeda dengan kecap ikan cair.
Kondisi ini memaksa masakan Utara untuk menjadi lebih "tertutup"—rasa yang intens dikemas dalam porsi kecil dan menggunakan bumbu yang teruji waktu. Phở adalah produk dari kebutuhan ini: kaldu panas yang kaya rempah yang menghangatkan, disajikan dengan mi beras (Bap/Nep) yang dapat disimpan lama.
Sebaliknya, Vietnam Selatan menikmati iklim tropis yang stabil, memungkinkan ketersediaan sayuran hijau, buah-buahan, dan herba segar sepanjang tahun. Delta Mekong adalah surga agrikultur, menghasilkan kelapa, tebu, dan berbagai jenis beras yang melimpah. Kelimpahan ini mendorong masakan yang "terbuka"—rasa yang diekspresikan secara eksplosif, menggunakan rasa manis alami dari kelapa, asam dari nanas atau mangga, dan pedas dari cabai segar. Inilah sebabnya mengapa hidangan Selatan seringkali disajikan dengan keranjang herba segar yang melimpah, di mana tekstur renyah dan kesegaran mentah menjadi sama pentingnya dengan kuah itu sendiri.
Perbedaan ini juga tercermin dalam cara hidangan penutup (manisan) disiapkan. Di Utara, manisan sering kali berbasis *xôi* (Nếp) yang dicampur dengan kacang dan gula sederhana, seperti *chè kho* atau *bánh phu thê*. Sementara di Selatan, *chè* (bubur manis) hadir dalam ratusan variasi, menggunakan santan kental, kacang-kacangan tropis, dan buah-buahan seperti durian atau pisang, menciptakan tekstur yang kaya dan rasa yang sangat manis dan legit.
Nước Mắm adalah sumbu yang mengikat hidangan berbasis beras (Bap/Nep). Namun, studi tentang perbedaan regional harus mencakup detail mengenai proses fermentasinya.
Di Utara, kualitas Nước Mắm sering dinilai dari tingkat kemurniannya dan kandungan proteinnya (derajat nitrogen). Proses fermentasi di Utara cenderung lebih cepat dan lebih berfokus pada rasa asin yang tajam dan bersih, cocok untuk menonjolkan rasa daging atau makanan laut tanpa menguasai kaldu Phở yang halus.
Di wilayah Tengah, khususnya sekitar Huế dan pesisir, digunakan *mắm* yang lebih kental dan aromatik, seperti *mắm ruốc* (pasta udang fermentasi). *Mắm ruốc* ini memberikan bau yang sangat khas dan rasa umami yang jauh lebih pekat—suatu keharusan dalam *Bún Bò Huế*. Ini adalah titik tengah antara kemurnian Utara dan kemanisan Selatan.
Di Selatan, meskipun Nước Mắm yang berkualitas digunakan, ia jarang disajikan murni. Transformasi menjadi *nước chấm* menunjukkan pergeseran fokus dari rasa murni asin menjadi keseimbangan Ngũ Vị yang diolah. Penggunaan gula dan jeruk nipis dalam jumlah besar tidak hanya untuk rasa, tetapi juga untuk menghilangkan aroma amis yang kuat, menjadikannya lebih mudah diterima oleh palet yang mencari kompleksitas yang lebih ringan.
Variasi ini menunjukkan bahwa Bap Nep bukan hanya tentang nasi, tetapi juga tentang bagaimana pati tersebut berinteraksi dengan agen umami yang paling penting di Vietnam.
Teknik memasak juga berbeda seiring bergerak dari Utara ke Selatan, menekankan perbedaan Bap Nep.
Studi tentang makanan fermentasi beras (Nếp), seperti *rượu cần* (arak beras), juga mengungkapkan perbedaan sosial. Di wilayah Utara dan Tengah, tradisi minum arak beras di komunitas lebih formal. Sementara di Selatan, konsumsi minuman beralkohol lebih terintegrasi dalam kehidupan sosial sehari-hari, seringkali bersamaan dengan makanan yang lebih berminyak.
*Gỏi cuốn* (spring roll segar) adalah hidangan lain yang menampilkan Bap Nep melalui kertas nasi (Bánh Tráng). Kertas nasi dibuat dari tepung beras yang tipis dan transparan, yang memerlukan teknik pengukusan dan pengeringan yang sangat spesifik.
Pada akhirnya, Bap Nep adalah metafora bagi seluruh peradaban kuliner Vietnam. Ia mewakili adaptasi yang cerdas terhadap alam, dialog antara ketersediaan dan keinginan, dan perayaan perbedaan dalam kesatuan nasional. Dua kata sederhana ini mencakup sejarah pertanian, filosofi rasa Ngũ Vị, dan kompleksitas perbedaan Utara-Selatan yang membuat kuliner Vietnam begitu mempesona dan tak pernah habis untuk dieksplorasi.