Tragedi Syahadah Amirul Mukminin: Wafatnya Ali bin Abi Thalib

Representasi Spiritual Syahadah di Kufa Sebuah desain simbolis yang menggambarkan mihrab dan cahaya suci, melambangkan Masjid Kufa tempat Ali bin Abi Thalib diserang. عدل

Visualisasi simbolis kesyahidan dan kedudukan spiritual Ali bin Abi Thalib di Masjid Kufa. (Alt: Representasi Spiritual Syahadah di Kufa)

Prolog Tragedi Besar Umat

Wafatnya Ali bin Abi Thalib, Khalifah keempat dari Khulafaur Rasyidin, pada bulan Ramadhan, menandai berakhirnya era keemasan pemerintahan yang berbasis pada kesederhanaan dan kedekatan langsung dengan sunnah Nabi. Peristiwa ini bukan sekadar hilangnya seorang pemimpin, melainkan puncak dari gejolak politik, teologis, dan sosial yang telah mendera umat Islam sejak lama. Kematian Ali adalah garis pemisah yang tegas, mengakhiri sistem Khilafah Rasyidah dan membuka jalan bagi munculnya dinasti kerajaan, serta mengkristalkan perpecahan yang hingga kini masih terasa dampaknya.

Ali, yang dijuluki 'Singa Allah' dan merupakan salah satu sahabat terdekat Nabi Muhammad SAW, menghabiskan seluruh hidupnya membela Islam. Namun, ironisnya, ia wafat bukan di medan pertempuran melawan musuh eksternal, melainkan di tangan salah satu kelompok internal yang keluar dari barisannya sendiri, kaum Khawarij. Tragedi ini terjadi di Masjid Agung Kufa, tempat yang seharusnya menjadi pusat kedamaian dan ibadah.

Latar Belakang Kehidupan Amirul Mukminin

Untuk memahami sepenuhnya dampak wafatnya Ali, kita harus menilik kembali kedudukannya yang tak tertandingi dalam sejarah awal Islam. Ali adalah sepupu sekaligus menantu Nabi, lahir di dalam Ka'bah—suatu kehormatan yang tidak dimiliki siapapun. Ia adalah orang kedua, setelah Khadijah, yang menerima Islam, atau yang pertama dari kalangan anak-anak (tergantung pada riwayat yang dijadikan rujukan). Dedikasinya telah teruji sejak usia muda.

Kecintaan dan Kedekatan dengan Rasulullah

Setelah kemarau panjang di Mekah, Ali diasuh oleh Rasulullah, menciptakan ikatan yang lebih erat dari sekadar kekerabatan. Ia tumbuh di bawah bimbingan langsung Nabi, menyerap akhlak, ilmu, dan pemahaman Al-Qur'an secara mendalam. Di malam Hijrah, Ali menunjukkan keberanian luar biasa dengan berbaring di tempat tidur Nabi, mempertaruhkan nyawanya untuk mengelabui kaum Quraisy, sehingga Rasulullah dapat berhijrah dengan aman. Kisah ini adalah bukti pengorbanan dirinya yang mutlak.

Pahlawan di Medan Jihad

Di Madinah, Ali menjadi panji Islam dalam hampir setiap pertempuran penting. Di Perang Badar, Uhud, Khandaq (parit), dan Khaybar, keahlian militernya tidak diragukan. Di Khaybar, ketika sahabat lain kesulitan menaklukkan benteng Yahudi, Nabi bersabda, "Besok akan kuberikan panji ini kepada seorang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya, dan dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya." Orang itu adalah Ali, yang berhasil membuka gerbang benteng dengan kekuatan yang masyhur dalam sejarah.

Karakter dan Intelektualitas

Selain keberanian fisiknya, Ali dikenal sebagai salah satu ulama terbesar di antara sahabat. Rasulullah pernah bersabda, "Aku adalah kota ilmu, dan Ali adalah gerbangnya." Ia adalah rujukan utama dalam bidang fiqih (hukum), tafsir (penafsiran Al-Qur'an), dan balaghah (retorika). Kumpulan pidato, surat, dan aforismenya, yang kemudian dikenal sebagai Nahjul Balaghah, merupakan mahakarya sastra Arab yang dipenuhi hikmah spiritual dan kebijaksanaan politik.

Gejolak Periode Khilafah (Tahun Ke-35 H - 40 H)

Setelah terbunuhnya Utsman bin Affan, umat Islam di Madinah, yang tengah kacau balau, mendesak Ali untuk menerima jabatan khilafah. Ali awalnya menolak, sadar akan beban dan badai fitnah yang akan dihadapinya. Ketika ia akhirnya menerima, ia mewarisi kekaisaran yang terfragmentasi, yang telah terbagi menjadi faksi-faksi yang saling curiga dan menuntut balas dendam. Masa khilafahnya yang singkat (kurang dari lima tahun) dipenuhi dengan upaya memulihkan keadilan dan menegakkan supremasi hukum Allah, namun selalu dihantui oleh konflik internal.

Prinsip Pemerintahan Ali

Ali segera memindahkan ibu kota dari Madinah ke Kufa (Irak), yang dianggapnya lebih sentral dan strategis untuk mengendalikan wilayah timur. Salah satu tindakan pertamanya adalah membersihkan birokrasi dari nepotisme yang dituduhkan pada era sebelumnya. Ia bersikeras bahwa kekayaan negara (Baitul Mal) harus dibagi secara merata, tanpa memandang kedudukan atau jasa masa lalu, termasuk antara veteran perang Badar dan mualaf baru. Prinsip egaliter ini, meskipun sesuai dengan semangat Islam awal, justru menciptakan banyak musuh politik yang terbiasa dengan keistimewaan material.

Perang Jamal (Unta)

Perang internal pertama terjadi ketika Thalhah, Zubair, dan Ummul Mukminin Aisyah menuntut Ali untuk segera mengadili pembunuh Utsman. Ali berpendapat bahwa stabilitas harus didahulukan sebelum penegakan hukum pidana, karena memberantas kekacauan membutuhkan kekuatan negara yang utuh. Hal ini memicu Perang Jamal di Basra. Ini adalah tragedi besar karena melibatkan sahabat-sahabat senior. Ali berhasil meredakan konflik, dan meskipun ia menang, kemenangan tersebut meninggalkan luka mendalam di hati umat.

Perang Siffin dan Kontroversi Tahkim (Arbitrase)

Konflik terbesar datang dari Muawiyah bin Abi Sufyan, gubernur Syam (Suriah), yang menolak mengakui Ali sebagai Khalifah sebelum darah Utsman dibalas. Kedua pasukan yang besar ini akhirnya bertemu di Siffin. Pertempuran berkepanjangan ini hampir dimenangkan oleh Ali, tetapi taktik cerdik yang diusulkan Amr bin Ash (penasihat Muawiyah) dengan mengangkat mushaf Al-Qur'an ke ujung tombak, menghentikan pertempuran. Mereka menyerukan ‘Tahkim’ (arbitrase), yang berarti penyelesaian perselisihan melalui dua utusan yang mewakili masing-masing pihak.

Meskipun Ali awalnya menolak taktik ini, ia dipaksa menerima oleh sebagian besar pasukannya yang kelelahan dan naif secara politik. Ali menunjuk Abu Musa al-Asy'ari, sementara Muawiyah menunjuk Amr bin Ash. Keputusan arbitrase yang disepakati oleh Amr bin Ash adalah melengserkan Ali maupun Muawiyah, lalu menyerahkan pemilihan Khalifah kepada umat. Namun, Amr bin Ash mengkhianati perjanjian tersebut. Ia setuju melengserkan Ali, tetapi menyatakan bahwa Muawiyah tetaplah pemimpin Syam yang sah, meninggalkan kekosongan kekuasaan di pusat. Kontroversi Tahkim ini tidak hanya gagal menyatukan umat, tetapi justru melahirkan faksi ketiga yang paling fanatik dan kelak menjadi pembunuh Ali.

Munculnya Khawarij (Orang-orang yang Keluar)

Setelah Tahkim, sekelompok besar pengikut Ali yang semula memaksanya menerima arbitrase, kini berbalik melawan Ali. Mereka beralasan, menerima arbitrase manusia adalah dosa besar karena "Hukum hanyalah milik Allah" (La Hukma Illa Lillah). Mereka berpendapat bahwa Ali telah kafir karena berunding dengan Muawiyah, dan mereka yang setuju untuk berarbitrase juga kafir. Kelompok ini memisahkan diri, mendirikan basis mereka sendiri, dan mulai menganggap setiap Muslim yang tidak setuju dengan ideologi mereka sebagai kafir yang halal darahnya.

Ali mencoba berdialog dengan mereka, mengirimkan utusan untuk menjelaskan bahwa keputusan untuk menghentikan perang demi Al-Qur'an bukanlah kekafiran. Sebagian kecil kembali, tetapi mayoritas tetap keras kepala. Mereka mulai melakukan teror dan pembunuhan terhadap Muslim yang mereka anggap murtad. Tragedi puncaknya adalah ketika mereka membunuh sahabat Abdullah bin Khabbab dan istrinya yang sedang hamil.

Melihat ancaman ini, Ali tidak punya pilihan selain menghadapi mereka dalam Perang Nahrawan. Ali berhasil mengalahkan Khawarij secara telak, tetapi sebagian kecil dari mereka melarikan diri, menyebarkan dendam yang mendalam. Kemenangan ini, meski perlu untuk mengamankan Kufa, hanya mengubah musuh yang sebelumnya adalah tentara menjadi sel-sel teroris rahasia yang terorganisir.

Jaring Konspirasi dan Malam Penentuan

Setelah kekalahan di Nahrawan, sisa-sisa Khawarij yang selamat berkumpul di Mekah. Mereka menyimpulkan bahwa kekacauan umat Islam disebabkan oleh tiga pemimpin utama: Ali bin Abi Thalib (yang mereka anggap telah menyimpang dari ajaran murni), Muawiyah bin Abi Sufyan (yang mereka anggap pemberontak tiran), dan Amr bin Ash (aktor utama di balik Tahkim). Mereka bersumpah untuk membunuh ketiga pemimpin ini dalam satu operasi terkoordinasi pada malam yang sama.

Rencana Jahat Tiga Pembunuh

Tiga orang Khawarij yang paling fanatik ditugaskan untuk melaksanakan misi ini:

  1. Abdurrahman bin Muljam, ditugaskan untuk membunuh Ali di Kufa.
  2. Al-Burak bin Abdillah, ditugaskan untuk membunuh Muawiyah di Damaskus.
  3. Amr bin Bakr at-Tamimi, ditugaskan untuk membunuh Amr bin Ash di Mesir.

Mereka mengatur waktu serangan pada dini hari tanggal 17, 19, atau 21 Ramadhan, saat masjid-masjid penuh dengan jamaah yang menjalankan shalat Subuh atau Qiyamul Lail.

Ibn Muljam di Kufa

Abdurrahman bin Muljam tiba di Kufa. Kecintaannya pada ideologi Khawarij semakin diperparah oleh rasa cinta duniawi. Di Kufa, ia bertemu dengan seorang wanita bernama Qatam binti Syajnah, yang ayahnya dan saudara laki-lakinya terbunuh di Nahrawan. Qatam berjanji akan menikah dengan Ibn Muljam jika ia dapat membayar mahar berupa tiga ribu dirham, seorang budak laki-laki, seorang biduan wanita, dan yang paling utama, kepala Ali bin Abi Thalib.

Motivasi Ibn Muljam kini menjadi campuran antara ideologi agama yang sesat dan dorongan nafsu duniawi. Ia bersama dua kaki tangannya, Syabib bin Bajrah dan Wardan bin Majalid, menunggu saat yang tepat untuk melaksanakan rencana keji mereka di Masjid Agung Kufa.

Ramadhan dan Detik-detik Kesyahidan

Di malam yang menentukan, Ali bin Abi Thalib, yang dikenal rajin membangunkan orang-orang untuk shalat Subuh, merasakan firasat buruk. Beberapa riwayat menyebutkan bahwa Ali pada malam-malam terakhirnya sering melihat mimpi yang mengisyaratkan kepergiannya. Ia bangun dari tidurnya, membaca doa, dan bersiap menuju masjid.

Serangan di Mihrab

Pagi itu, sebelum fajar menyingsing, Ali memasuki Masjid Agung Kufa yang masih gelap dan sepi. Ia mulai memimpin jamaah untuk shalat Subuh. Saat Ali menundukkan tubuhnya untuk ruku atau ketika ia baru saja memasuki masjid dan memanggil orang-orang untuk shalat, Ibn Muljam dan Syabib keluar dari tempat persembunyian mereka di sudut masjid.

Ibn Muljam berteriak, "Hukum hanyalah milik Allah, bukan milikmu, wahai Ali!" Ia kemudian mengayunkan pedangnya yang telah dilapisi racun mematikan. Pedang itu menghantam keras kepala Ali, tepat di ubun-ubunnya, di tempat yang sama saat ia pernah terluka parah di Perang Khandaq.

Ali bin Abi Thalib tersungkur. Meskipun terluka parah dan darah mengalir deras, ia tidak kehilangan kesadaran. Kalimat pertamanya yang terkenal adalah: "Demi Tuhan Ka'bah, aku telah berhasil!" (Fuztu wa Rabbil Ka'bah).

Penangkapan dan Konsekuensi Serangan

Kekacauan pecah di masjid. Syabib bin Bajrah mencoba melarikan diri tetapi ditangkap. Wardan bin Majalid berhasil kabur tetapi kemudian dibunuh oleh kerabatnya sendiri karena perbuatannya. Sementara Ibn Muljam juga mencoba melarikan diri, tetapi dikejar dan berhasil ditangkap oleh seorang jamaah bernama Al-Mughirah bin Naufal.

Ali dibawa pulang ke rumahnya. Dokter dipanggil, tetapi luka yang dalam dan pedang yang telah dilumuri racun kuat membuat harapan sembuh sangat tipis. Racun itu dengan cepat menyebar ke seluruh tubuhnya.

Meskipun terbaring di tempat tidur dan menderita kesakitan luar biasa, Khalifah Ali tetap menunjukkan keadilan. Ketika Ibn Muljam dihadapkan kepadanya sebagai tawanan, Ali memerintahkan agar tahanan itu diperlakukan dengan baik. Ali berkata kepada putra-putranya, Hasan dan Husain: "Jika aku hidup, aku akan memutuskan urusan ini sesuai syariat. Jika aku wafat, bunuhlah dia hanya dengan satu pukulan, seperti yang dia lakukan kepadaku, dan janganlah kalian menyiksa atau mencincangnya. Jangan jadikan aku alasan untuk membunuh orang lain yang tidak bersalah."

Wasiat Terakhir dan Kepergian Sang Khalifah

Ali bertahan selama dua hari penuh setelah serangan itu, memanfaatkannya untuk memberikan wasiat spiritual dan politik terakhir kepada keluarganya dan umat Islam. Wasiatnya mencerminkan inti dari ajaran Islam: ketaqwaan, keadilan, dan persatuan.

Pesan Kepada Putra-putranya

Kepada Hasan dan Husain, Ali berpesan untuk selalu bertakwa kepada Allah, tidak mengejar kenikmatan duniawi yang fana, dan berpegang teguh pada kebenaran. Ia menekankan pentingnya persatuan, menasihati mereka untuk memperbaiki hubungan di antara manusia, dan melarang mereka menzalimi siapapun, bahkan Ibn Muljam.

Dalam wasiat yang panjang dan termasyhur, Ali juga berkata: "Takutlah kamu kepada Allah dalam shalat, sebab ia adalah tiang agamamu. Takutlah kamu kepada Allah dalam memberikan zakat, sebab ia adalah penutup murka Tuhanmu. Takutlah kamu kepada Allah dalam urusan jihad dengan hartamu, jiwamu, dan lisanmu. Takutlah kamu kepada Allah dalam urusan umat Nabi Muhammad SAW, karena tidak ada yang boleh disia-siakan."

Wafatnya Cahaya Keadilan

Pada tanggal 21 Ramadhan, Ali bin Abi Thalib menghembuskan napas terakhirnya, kembali kepada Sang Pencipta. Berita wafatnya membawa duka mendalam. Ia dimakamkan secara rahasia di Kufa, sebuah tindakan yang diambil untuk mencegah musuh-musuhnya (terutama Khawarij dan faksi-faksi politik lainnya) merusak atau menodai kuburannya. Lokasi pasti makamnya baru terungkap ratusan tahun kemudian, yang kini dikenal sebagai Najaf, Irak.

Sementara itu, operasi pembunuhan yang terkoordinasi gagal total di dua tempat lainnya. Muawiyah hanya terluka ringan dan berhasil pulih. Amr bin Ash beruntung karena sakit pada hari itu dan digantikan oleh sekretarisnya, Kharijah bin Hudzafah, yang akhirnya menjadi korban pembunuhan Amr bin Bakr.

Dampak dan Konsekuensi Sejarah Wafatnya Ali

Wafatnya Ali bin Abi Thalib adalah titik balik yang menentukan dalam sejarah Islam, jauh lebih signifikan daripada sekadar pergantian kekuasaan. Ini adalah akhir dari era idealistik dan dimulainya realitas politik yang keras.

Berakhirnya Khilafah Rasyidah

Dengan kepergian Ali, era yang dikenal sebagai Khilafah Rasyidah (Khilafah yang Dibimbing dengan Benar) benar-benar berakhir. Para Khalifah sebelumnya (Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali) dipilih melalui konsultasi atau pengangkatan berdasarkan konsensus. Setelah Ali, sistem ini digantikan oleh sistem monarki dinasti.

Setelah Ali wafat, putranya, Hasan bin Ali, diangkat sebagai Khalifah. Namun, melihat perpecahan yang tak kunjung usai dan demi mencegah pertumpahan darah lebih lanjut, Hasan mengambil keputusan bersejarah. Ia menyerahkan kekuasaan kepada Muawiyah bin Abi Sufyan, dengan syarat kekuasaan dikembalikan kepada sistem syura setelah Muawiyah wafat. Perjanjian ini mengakhiri masa konflik terbuka, tetapi secara efektif menandai dimulainya era Umayyah.

Pemisahan Permanen Umat

Jika sebelum wafatnya Ali, perselisihan masih bersifat politis dan dapat diperbaiki, pasca-syahadah Ali, perbedaan ini mengeras menjadi perpecahan teologis dan mazhab permanen. Tiga faksi utama yang terbentuk adalah:

  1. Syiah (Pengikut Ali): Mereka meyakini bahwa Ali dan keturunannya adalah pemimpin spiritual dan politik yang sah. Wafatnya Ali adalah tragedi besar dan ketidakadilan historis.
  2. Khawarij: Mereka bertahan hidup sebagai gerakan teologis yang menentang semua bentuk kekuasaan yang mereka anggap tidak murni, terus menciptakan pemberontakan kecil di wilayah timur.
  3. Jumhur (Mayoritas, kelak menjadi Sunni): Mereka menerima pemerintahan Umayyah demi persatuan, sambil tetap memuliakan Ali sebagai salah satu dari empat Khalifah yang agung.

Pergeseran Pusat Kekuatan

Kufa, yang menjadi pusat pergerakan Ali, kehilangan statusnya sebagai ibu kota utama. Muawiyah memindahkan pusat pemerintahan ke Damaskus (Syam), menjadikan Suriah sebagai pusat kekuasaan Islam, yang sebelumnya selalu berada di Hijaz (Madinah) atau Irak (Kufa).

Konsolidasi Kekuatan Politik Absolut

Muawiyah berhasil menyatukan kekaisaran yang sebelumnya terpecah, tetapi ia melakukannya dengan menggeser fokus dari kesalehan murni ala Khilafah Rasyidah menuju pragmatisme politik yang efektif. Wafatnya Ali menghilangkan tokoh penyeimbang yang idealis, memungkinkan konsolidasi kekuasaan yang lebih bersifat absolut.

Warisan Intelektual dan Spiritual Ali

Meskipun masa pemerintahannya dipenuhi pergolakan, warisan Ali bin Abi Thalib jauh melampaui konflik politik. Ia meninggalkan warisan intelektual dan spiritual yang abadi, yang terus menjadi sumber inspirasi bagi seluruh mazhab Islam.

Nahjul Balaghah (Jalan Kefasihan)

Kumpulan khutbah (pidato), surat, dan kata-kata mutiara Ali adalah salah satu karya paling penting dalam kesusastraan Arab dan pemikiran Islam. Karya ini mencakup nasihat moral, panduan tentang tata kelola negara yang adil, interpretasi filosofis tentang takdir dan kebebasan, serta wawasan mendalam tentang tauhid (keesaan Allah). Nahjul Balaghah berfungsi sebagai cetak biru bagi pemerintahan yang ideal, menekankan tanggung jawab penguasa terhadap rakyat, perlindungan terhadap orang miskin, dan menjauhi korupsi.

Peran dalam Ilmu Fiqih dan Tasawuf

Ali adalah sumber utama dari banyak ilmu Islam. Dalam bidang fiqih, banyak fatwa dan keputusan hukumnya menjadi dasar bagi mazhab-mazhab yang berkembang kemudian. Lebih penting lagi, Ali memegang peran sentral dalam silsilah spiritual (silsilah thariqah) dalam Tasawuf (Sufisme). Hampir semua aliran Sufi, seperti Qadiriyah, Suhrawardiyah, dan Naqsyabandiyah (melalui jalur Abu Bakar), menelusuri rantai bimbingan spiritual mereka kembali kepada Ali bin Abi Thalib, yang dianggap sebagai pintu gerbang menuju ilmu bathin yang diterima langsung dari Nabi Muhammad SAW. Posisi Ali sebagai "gerbang ilmu" memastikan ia tetap menjadi mercusuar spiritual yang melampaui batas-batas politik dan sekterian.

Pengabdian pada Bahasa Arab

Salah satu kontribusi penting Ali yang sering terlupakan adalah perannya dalam konservasi dan sistematisasi bahasa Arab. Ketika ia menjadi Khalifah, penyebaran Islam telah membawa banyak penutur non-Arab. Khawatir akan kesalahan dalam pembacaan Al-Qur'an, Ali memerintahkan Abu al-Aswad ad-Du'ali untuk menyusun kaidah-kaidah tata bahasa Arab. Ini adalah fondasi dari Ilmu Nahwu (Gramatika Arab) yang memastikan Al-Qur'an dan Sunnah dapat dibaca dan dipahami dengan benar oleh generasi mendatang, sebuah warisan intelektual yang melindungi inti Islam.

Keberanian dan Keadilan Pribadi

Seluruh hidup Ali, dari masa muda hingga saat syahadahnya, adalah simbol keberanian yang tak gentar dan keadilan yang tidak kompromi. Bahkan ketika diancam oleh pemberontakan dan perpecahan, Ali menolak menggunakan kekerasan yang tidak perlu atau melanggar prinsip keadilan. Penanganan dirinya terhadap Ibn Muljam, bahkan saat sekarat, menunjukkan ketinggian moralitasnya. Keadilannya yang keras, meskipun mungkin menjadi penyebab konflik politik, adalah alasan mengapa ia dihormati oleh semua pihak dalam sejarah Islam.

Penutup: Cahaya yang Tak Pernah Padam

Wafatnya Ali bin Abi Thalib, Amirul Mukminin, adalah akhir yang tragis bagi salah satu figur paling mulia dalam sejarah Islam. Kematiannya menandai selesainya fase Khilafah yang idealis dan menjadi peringatan abadi tentang bahaya fanatisme agama dan perpecahan politik. Namun, kisah syahadahnya juga merupakan simbol ketabahan, keberanian, dan pengabdian total terhadap kebenaran, bahkan di tengah musuh internal yang paling kejam.

Meskipun tubuhnya tiada, ajaran, kebijaksanaan, dan semangat keadilan Ali bin Abi Thalib terus hidup. Ia dikenang sebagai singa yang berani di medan perang dan seorang sufi yang saleh dalam ibadah. Kehidupan dan kematiannya tetap menjadi sumber pembelajaran fundamental bagi umat Islam tentang pentingnya persatuan, bahaya ekstremisme, dan panggilan abadi untuk menegakkan keadilan di atas segalanya.

🏠 Homepage