Sosok Ali bin Abi Thalib, Khalifah keempat dan sepupu Rasulullah ﷺ, tidak hanya dikenal sebagai panglima perang yang ulung dan negarawan yang adil, tetapi juga sebagai sumber mata air kebijaksanaan, retorika, dan literasi Arab. Warisan tulisan, ucapan, dan khotbah beliau telah menjadi landasan estetika dan filosofis dalam peradaban Islam. Dalam konteks sejarah tulisan Arab, Ali menempati posisi sentral, bukan hanya sebagai penganjur ilmu, tetapi juga sebagai tokoh yang secara langsung maupun tidak langsung memengaruhi standardisasi dan keindahan kaligrafi Islam yang kita kenal hari ini.
Penelusuran terhadap 'tulisan Arab Ali bin Abi Thalib' membawa kita melampaui sekadar catatan sejarah; ia adalah studi tentang bagaimana kekuatan kata-kata, yang disampaikan dengan kefasihan tak tertandingi, mampu diabadikan dan diangkat menjadi bentuk seni yang paling suci dalam Islam: kaligrafi. Kata-kata beliau bukan sekadar informasi, melainkan mutiara hikmah yang dirangkai dengan diksi sastra tinggi, menjadikannya materi yang paling dicari dan dihargai oleh para kaligrafer sepanjang masa.
Pena dan Tinta: Fondasi Ilmu dan Sastra
Sebelum kita membahas kaligrafi yang indah, penting untuk memahami peran fundamental Ali dalam melestarikan integritas tulisan Arab. Pada masa awal kekhalifahan Islam, setelah wilayah kekuasaan meluas, terjadi banyak percampuran budaya dan dialek non-Arab. Hal ini menimbulkan ancaman serius terhadap pelafalan dan pemahaman Al-Qur'an dan Hadis. Di sinilah peran visioner Ali menjadi krusial.
Banyak sumber sejarah, terutama tradisi linguistik Arab, menunjuk Ali bin Abi Thalib sebagai arsitek intelektual di balik penciptaan ilmu Nahwu (tata bahasa Arab) formal. Diceritakan bahwa Ali mengamati kesalahan-kesalahan yang mulai muncul dalam pengucapan Bahasa Arab oleh orang-orang non-Arab. Khawatir akan rusaknya teks suci, beliau memerintahkan muridnya, Abu al-Aswad al-Du'ali, untuk menyusun kaidah-kaidah dasar bahasa Arab.
Ali memberikan instruksi awal yang legendaris, yang dikenal sebagai ‘Al-Hudud’ (Batasan-Batasan) atau ‘Bāb al-Fā’il’ (Bab Pelaku). Ali menetapkan tiga kategori utama: Ism (kata benda), Fi’l (kata kerja), dan Harf (kata tugas). Beliau berkata kepada Du’ali: “Letakkan titik-titik dan kaidah, dan mulailah dengan Ism, Fi’l, dan Harf.” Perintah ini bukan hanya tentang tata bahasa; ini adalah standardisasi tulisan dan pengucapan yang menjamin bahwa teks-teks beliau sendiri, serta Al-Qur'an, dapat dipahami secara universal dan abadi.
Tindakan ini sangat relevan bagi kaligrafi. Jika tulisan Arab tidak distandardisasi, kekacauan akan terjadi dalam penandaan vokal (harakat) dan penekanan (tashdid), yang semuanya merupakan bagian integral dari sistem penulisan yang kemudian dihias dalam kaligrafi. Dengan kata lain, Ali meletakkan fondasi struktural yang memungkinkan keindahan kaligrafi untuk berkembang tanpa mengorbankan makna.
Meskipun sistem titik vokal (seperti fatha, kasra, damma) yang kita kenal sekarang baru distandardisasi sepenuhnya oleh ulama di kemudian hari, konsep untuk membedakan antara huruf yang serupa (seperti Ba’, Ta’, Tsa’) dan menandai vokal berasal dari kebutuhan yang diidentifikasi oleh Ali. Dalam manuskrip awal, vokal ditandai dengan titik-titik berwarna yang diletakkan di atas atau di bawah huruf, sebuah sistem yang dikembangkan oleh Du’ali atas instruksi Ali. Ini adalah langkah monumental dari aksara Kufi yang sangat sederhana menuju aksara yang mampu menyampaikan nuansa linguistik yang kompleks.
Ketika berbicara tentang 'tulisan Ali bin Abi Thalib', fokus utama tentu terletak pada karya agung yang dihimpun oleh Sayyid al-Sharif al-Radhi (w. 406 H/1015 M) yang dikenal sebagai *Nahjul Balaghah* (Puncak Retorika). Karya ini bukan sekadar koleksi ucapan; ini adalah monumen sastra yang merangkum khotbah (khutbah), surat (rasā’il), dan kata-kata mutiara atau hikmah (qishar al-hikam) beliau.
Karya ini menjadi sumber tak terbatas bagi kaligrafer karena dua alasan utama: kedalaman filosofis kontennya dan keindahan ritme serta diksi bahasa Arabnya. Nahjul Balaghah menawarkan materi yang penuh makna, memungkinkan kaligrafer tidak hanya sekadar menyalin, tetapi juga menyampaikan pesan moral dan spiritual yang mendalam melalui desain visual.
Nahjul Balaghah dibagi menjadi tiga kategori besar, masing-masing memiliki daya tarik kaligrafi yang berbeda:
Salah satu hikmah paling ikonik yang sering dikaligrafikan:
“Manusia adalah musuh dari apa yang dia tidak ketahui.” (الناس أعداء ما جهلوا)
Kalimat ini, yang hanya terdiri dari empat kata dalam bahasa Arab, menuntut keterampilan visual yang tinggi untuk menangkap kesederhanaan dan kedalaman maknanya dalam satu komposisi.
Secara historis, ada atribusi kuat dalam tradisi Islam bahwa Ali bin Abi Thalib tidak hanya piawai dalam retorika, tetapi juga seorang kaligrafer ulung, meskipun bukti fisik langsung dari tulisan tangannya sendiri sangat sulit ditemukan—seperti halnya manuskrip dari era sahabat terawal. Namun, peran beliau diakui sebagai salah satu pengembang gaya penulisan Kufi awal.
Kufi adalah gaya kaligrafi tertua yang berkembang setelah standarisasi Al-Qur'an. Nama ini diambil dari kota Kufah di Irak, yang merupakan ibu kota kekhalifahan Ali. Aksara Kufi dicirikan oleh garis lurus, sudut tajam, dan proporsi geometris. Gaya ini sangat ideal untuk penulisan di media keras seperti batu, koin, atau halaman perkamen tebal, memberikan kesan kekokohan dan otoritas.
Tradisi mengatakan bahwa Ali adalah salah satu penulis terkemuka yang menggunakan dan menyempurnakan gaya ini. Bahkan jika beliau bukan penemu formalnya, beliau adalah tokoh sentral di Kufah yang mendorong lingkungan di mana keahlian menulis (khatt) dihargai sebagai sarana melestarikan pengetahuan. Keterkaitan Ali dengan Kufah dan penekanan beliau pada literasi menjadikan gaya Kufi (yang digunakan untuk merekam khotbah dan hukum) secara spiritual terhubung dengan beliau.
Perluasan gaya Kufi, dari Kufi Sederhana (Simple Kufic) hingga Kufi Berdaun (Leafy Kufic) dan Kufi Berbunga (Flourished Kufic), adalah hasil evolusi yang mencoba menyeimbangkan keterbacaan (yang didorong oleh Nahwu Ali) dengan estetika dekoratif. Setiap gaya baru dari Kufi pada dasarnya membawa jejak awal dari penekanan Ali pada kejelasan dan otoritas teks.
Aksara Kufi: Gaya Kuno yang Kokoh
Seiring berjalannya waktu, kaligrafi Islam tidak terbatas pada gaya Kufi yang kaku. Untuk kebutuhan penyalinan Al-Qur'an dan karya sastra seperti Nahjul Balaghah yang membutuhkan kecepatan dan keterbacaan yang lebih baik, muncullah gaya-gaya kursif (melengkung) yang elegan, seperti Naskh (aksara menyalin) dan Thuluth (aksara sepertiga).
Naskh menjadi aksara standar untuk menyalin buku dan manuskrip, termasuk salinan-salinan Nahjul Balaghah yang tak terhitung jumlahnya. Kecepatan dan kejelasan Naskh membuatnya ideal untuk menyebarkan hikmah Ali ke seluruh dunia Islam. Ketika ulama dan penguasa menyalin Nahjul Balaghah untuk perpustakaan mereka, mereka memastikan bahwa tulisan tersebut harus dibaca dengan mudah oleh masyarakat luas, menghormati ajaran Ali tentang pentingnya 'Ilm (ilmu pengetahuan).
Thuluth, dengan lekukannya yang dramatis, proporsinya yang agung, dan kemampuannya untuk berinteraksi antar huruf dengan indah, menjadi media utama untuk menampilkan kutipan-kutipan pilihan dari Ali. Thuluth sering digunakan untuk hiasan judul bab, inskripsi monumental, dan karya seni dinding. Kaligrafer menggunakan Thuluth untuk memaksimalkan dampak emosional dan spiritual dari kata-kata Ali, mengubah kutipan pendek menjadi karya seni yang monumental.
Aksara Thuluth: Keagungan dan Keindahan Retorika
Mengapa tulisan Ali bin Abi Thalib begitu populer dalam seni kaligrafi? Jawabannya terletak pada sinergi antara konten yang penuh kebenaran (*Al-Haqq*) dan bentuk yang sempurna (*Jalal* dan *Jamal*). Para kaligrafer tidak hanya menulis; mereka menerjemahkan bobot spiritual dari kata-kata Ali menjadi komposisi visual. Analisis berikut menyoroti beberapa kutipan kunci dan bagaimana bobotnya memengaruhi bentuk kaligrafi.
Ali sering menekankan keutamaan akal (*aql*) dan ilmu (*ilm*). Kutipan-kutipan seperti: "Ilmu itu lebih baik daripada harta. Ilmu menjagamu, sedangkan engkau menjaga harta."
Ketika kaligrafer menyalin kalimat ini, mereka sering menggunakan komposisi vertikal yang kuat, terutama pada kata 'Ilmu' (*العلم*). Huruf ‘Ain’ dan ‘Lam’ dirancang sedemikian rupa sehingga seolah-olah menjulang tinggi, melambangkan keunggulan dan ketinggian ilmu di atas materi. Garis tebal dan komposisi yang stabil digunakan untuk menunjukkan sifat abadi dan pelindung dari pengetahuan, kontras dengan sifat fana dan rapuh dari 'harta' (*المال*).
Dalam filosofi kaligrafi, setiap huruf memiliki peran. Dalam konteks ilmu, huruf 'Alif' (yang lurus dan vertikal) sering mewakili ketuhanan dan kebenaran mutlak. Dalam tulisan Ali tentang ilmu, Alif yang digunakan harus sempurna, menegaskan bahwa ilmu yang dimaksud adalah ilmu yang bersumber dari ketakwaan.
Surat Ali kepada Malik al-Ashtar, yang merupakan dokumen kunci etika politik Islam, adalah sumber bagi kaligrafi yang menekankan keadilan (*al-adl*) dan tanggung jawab. Kutipan tentang perlunya memperlakukan rakyat dengan kasih sayang sering diukir di ruang-ruang publik atau administrasi.
Misalnya, bagian yang membahas pentingnya keadilan: "Berikan perhatian pada mereka yang teraniaya (Mazlum) dan yang memerlukan."
Dalam karya-karya kaligrafi yang menggambarkan pesan ini, komposisi sering kali menunjukkan keseimbangan yang ketat, mencerminkan konsep 'adl (keadilan). Huruf-huruf diatur dalam simetri sempurna, memastikan bahwa tidak ada satu bagian pun yang mendominasi yang lain, visualisasi dari prinsip bahwa keadilan harus diterapkan secara setara kepada semua pihak, tanpa berat sebelah.
Banyak ucapan Ali yang menekankan kefanaan dunia dan pentingnya zuhud (asketisme) dan persiapan menuju akhirat. Ini menghasilkan karya kaligrafi yang memiliki resonansi melankolis atau introspektif.
Kutipan seperti: "Dunia ini adalah tempat persinggahan, bukan tempat tinggal abadi."
Kaligrafi yang menyalin tema ini sering menggunakan gaya yang lebih lentur dan cepat, seperti Thuluth atau Nasta'liq, dengan sentuhan ke bawah (seperti jatuhnya daun) pada akhir kalimat, melambangkan perjalanan yang cepat dan singkat di dunia fana. Penggunaan warna cenderung lebih tenang, seperti biru tua atau emas yang redup, menekankan transiensi dan kedamaian spiritual.
Warisan tulisan Ali bin Abi Thalib tidak hanya bertahan, tetapi juga berkembang melintasi dinasti dan wilayah, dari masa Umayyah hingga Abbasiyah, dan seterusnya ke era Safawi, Mughal, dan Utsmani. Setiap era dan pusat kebudayaan Islam memperlakukan tulisan Ali dengan penghormatan tinggi, mengabadikannya dalam gaya kaligrafi lokal mereka.
Pada masa Abbasiyah (terutama abad ke-3 dan ke-4 Hijriah), ketika studi Nahwu dan Balaghah (Retorika) mencapai puncaknya, tulisan-tulisan Ali diangkat ke status klasik. Para penyalin dan kaligrafer, dipimpin oleh tokoh seperti Ibn Muqla, yang meresmikan proporsi aksara kursif, secara ekstensif menyalin Nahjul Balaghah. Penggunaan Naskh yang baru dikodifikasi memungkinkan karya ini tersebar dalam ribuan manuskrip, memastikan kelestarian filosofi Ali.
Di Persia, hikmah Ali sangat dihormati. Kaligrafer Persia mengembangkan gaya unik, seperti Nasta'liq, yang dikenal karena keindahannya yang mengalir dan seperti tarian. Kutipan-kutipan Ali menjadi subjek utama dalam gaya ini, seringkali disajikan dalam format puisi atau ghazal, mencerminkan perpaduan antara spiritualitas Syiah (yang sangat menghormati Ali) dan keindahan puitis Persia.
Di Kekaisaran Utsmani, di mana kaligrafi mencapai puncak teknisnya, tulisan Ali sering dikaligrafikan dalam gaya Diwani dan Thuluth Jali (Thuluth monumental) untuk inskripsi di masjid dan makam. Kata-kata beliau dimasukkan ke dalam arsitektur, mengubah ajaran lisan menjadi elemen struktural keindahan visual yang abadi.
Dampak tulisan Ali meluas dari sekadar manuskrip hingga ke media arsitektural. Inskripsi yang memuat kalimat-kalimat hikmah beliau dapat ditemukan di dinding madrasah, pintu gerbang, bahkan pada keramik dan tekstil, menunjukkan universalitas dan penerimaan pesan beliau di berbagai lapisan masyarakat.
Pada periode Seljuk dan kemudian Ilkhanid, teknik keramik dengan kaligrafi yang kompleks menjadi populer. Keramik-keramik ini, seringkali dalam gaya Kufi hias atau Naskh awal, memuat kalimat-kalimat pendek Ali yang berfungsi sebagai pengingat moral bagi pemiliknya. Kalimat tentang "kesabaran" atau "kebenaran" sering diukir pada mangkuk dan piring, menyatukan fungsi praktis dengan pendidikan etis.
Dalam tradisi seni tekstil, terutama di Persia dan India, tulisan-tulisan Ali di bordir pada bendera, spanduk, atau bahkan jubah. Penggunaan emas dan benang perak untuk mengkaligrafikan kata-kata beliau, khususnya dalam format Thuluth yang padat, memberikan tampilan kemewahan sekaligus kekudusan. Ini adalah upaya untuk mengambil berkah (tabarruk) dari kata-kata suci tersebut, membawa kekuatan perlindungan dan kebijaksanaan ke medan perang atau upacara resmi.
Fenomena ini menunjukkan bahwa tulisan Arab Ali bin Abi Thalib tidak hanya dipandang sebagai teks, tetapi sebagai entitas spiritual yang memiliki kekuatan estetika dan magis. Keindahan kaligrafi adalah wadah yang layak bagi kemuliaan kata-kata yang terkandung di dalamnya, sebuah filosofi yang mendasari seluruh seni Islam.
Untuk memahami mengapa tulisan Ali memiliki daya tarik kaligrafi yang begitu besar, kita harus kembali ke konsep *Balaghah* (Retorika) itu sendiri. Balaghah adalah seni menyampaikan makna yang paling mendalam dengan kata-kata yang paling sedikit, disajikan dengan komposisi linguistik yang paling indah dan paling kuat.
Ali bin Abi Thalib terkenal karena penggunaan Ijaz (ringkasan yang padat makna). Banyak dari hikmah beliau yang pendek namun memiliki dimensi makna yang berlapis. Kaligrafer sangat menyukai Ijaz karena memungkinkan mereka untuk membuat komposisi yang padat, di mana ruang kosong (bayad) dan ruang tertulis (sawad) berinteraksi secara dinamis. Karya yang menggunakan Ijaz menantang kaligrafer untuk menyalurkan makna yang besar ke dalam bentuk yang kecil, memaksa mereka untuk menyempurnakan setiap lekukan dan titik.
Tanasub (koherensi) dan Tajnis (rima atau kemiripan kata) adalah ciri khas lain dari Balaghah Ali. Beliau sering menggunakan pasangan kata yang memiliki rima atau struktur yang serupa, menciptakan irama yang menyenangkan saat dibaca. Ketika dikaligrafikan, irama ini diterjemahkan menjadi keseimbangan visual. Misalnya, dua kata yang berima akan ditempatkan pada ketinggian atau sudut yang sama dalam komposisi, menciptakan harmoni visual yang mencerminkan harmoni akustik teks aslinya.
Contoh Tanasub:
“Kebaikan yang diberikan kepada orang yang tidak berhak, adalah kezaliman.”
Komposisi kalimat ini sering menampilkan oposisi simetris, di mana 'kebaikan' dan 'kezaliman' ditempatkan secara berlawanan untuk menyoroti kontras etika dalam teks.
Hingga hari ini, tulisan Arab yang berasal dari hikmah Ali bin Abi Thalib terus menjadi sumber inspirasi. Di tengah revolusi digital, upaya untuk mengabadikan tulisan-tulisan ini dalam kaligrafi modern dan desain grafis tetap kuat. Seniman kontemporer menggunakan perangkat lunak digital untuk menciptakan komposisi yang inovatif, namun esensi dari teks tersebut tetaplah sama: kebijaksanaan yang disampaikan dengan kefasihan puncak.
Di era modern yang didominasi oleh informasi cepat, ringkasan padat makna Ali, Qishar al-Hikam, menjadi semakin relevan. Kaligrafi modern sering kali mengambil kata-kata mutiara ini dan menyajikannya dengan gaya yang minimalis atau abstrak, menarik perhatian generasi baru terhadap kekayaan linguistik dan filosofis warisan Islam awal.
Tulisan Ali bukan hanya sekadar artefak sejarah; ia adalah model dari bagaimana bahasa harus digunakan—sebagai sarana untuk mencapai kebenaran, keadilan, dan pengetahuan. Transmisi tulisan ini melalui medium kaligrafi memastikan bahwa pesannya tetap hidup, dilihat, dan diinternalisasi oleh umat Islam di seluruh dunia, melampaui hambatan bahasa dan zaman.
Ketika seseorang menatap sebuah karya kaligrafi yang memuat kalimat Ali, ia tidak hanya melihat garis tinta yang indah; ia sedang berhadapan langsung dengan intisari dari etika dan spiritualitas yang dikandung oleh salah satu tokoh terbesar dalam sejarah Islam. Inilah kekuatan abadi dari warisan tulisan Arab Ali bin Abi Thalib—kombinasi sempurna antara keindahan visual dan kedalaman filosofis.
Kesempurnaan retorika dan kejelasan visi dalam setiap tulisan yang dinisbahkan kepada Ali menciptakan sebuah siklus harmonis antara literatur dan seni rupa. Setiap huruf, setiap sambungan, dalam kaligrafi yang menyalin kalimat beliau, adalah perwujudan dari upaya suci untuk mempertahankan kemurnian dan otoritas pesan tersebut. Tanpa fondasi linguistik yang diletakkan oleh Ali dan para muridnya, dan tanpa standar retorika yang beliau teladankan dalam Nahjul Balaghah, seni kaligrafi Islam mungkin tidak akan pernah mencapai tingkat kesempurnaan dan signifikansi spiritual seperti saat ini. Warisan tulisan beliau adalah jembatan yang menghubungkan kefasihan lisan masa awal Islam dengan estetika visual peradaban yang berkembang pesat.
Dari penentuan kaidah tata bahasa dasar, yang menjamin keterbacaan Al-Qur'an dan teks-teks sakral lainnya, hingga pemilihan diksi yang mampu menggerakkan hati dan pikiran, Ali bin Abi Thalib telah meninggalkan jejak yang tak terhapuskan. Warisannya menggarisbawahi prinsip bahwa keindahan tulisan Arab (kaligrafi) adalah cerminan langsung dari keindahan dan kebenaran kandungan maknanya. Maka, setiap kaligrafer yang menyalin hikmah beliau sejatinya adalah pewaris langsung dari semangat keilmuan dan keindahan yang diajarkan oleh Ali, memastikan bahwa tulisan beliau terus bersinar sebagai mercusuar kebijaksanaan di sepanjang sejarah Islam.
Peran Ali dalam membentuk disiplin ilmu Nahwu bukan hanya sekadar akademis, tetapi memiliki implikasi mendasar bagi seni tulisan. Standardisasi tata bahasa memaksa para penulis dan kaligrafer untuk mematuhi aturan tertentu mengenai tata letak huruf dan penandaan vokal, yang pada gilirannya menghasilkan struktur yang koheren dan estetis. Keteraturan ini adalah prasyarat bagi terciptanya komposisi kaligrafi yang seimbang dan indah. Tanpa Nahwu, aksara Arab akan tetap ambivalen dan tidak dapat mendukung kompleksitas visual yang dibutuhkan oleh gaya-gaya kaligrafi yang lebih maju seperti Thuluth atau Muhaqqaq.
Selain Nahjul Balaghah, terdapat juga koleksi-koleksi lain dari ucapan beliau yang turut menjadi sumber kaligrafi, seperti *Ghurar al-Hikam wa Durar al-Kalim* karya al-Amidi. Karya ini mengumpulkan ribuan kata mutiara yang sangat ringkas, yang ideal untuk komposisi mikro-kaligrafi atau hiasan-hiasan kecil. Kemampuan beliau untuk merangkum filosofi moral yang luas ke dalam satu atau dua baris adalah alasan utama mengapa ucapannya mudah diadaptasi ke dalam berbagai format seni rupa, dari koin hingga hiasan dinding masif.
Dalam konteks teologis, tulisan Ali sering dipandang sebagai interpretasi otentik dari ajaran kenabian. Oleh karena itu, menyalin kata-kata beliau dalam bentuk kaligrafi bukan hanya praktik artistik, tetapi juga bentuk penghormatan dan meditasi spiritual. Seni kaligrafi pada dasarnya adalah seni yang lambat, membutuhkan konsentrasi dan kesabaran, yang sejalan dengan substansi nasihat beliau mengenai kesabaran (*sabr*) dan kontemplasi (*tafakkur*).
Proses kreatif seorang kaligrafer ketika menghadapi sebuah kutipan dari Ali melibatkan beberapa tahapan: pertama, pemahaman mendalam tentang makna teks (tafsir); kedua, pemilihan gaya (misalnya Kufi untuk otoritas, Naskh untuk penyebaran, atau Thuluth untuk keagungan); dan ketiga, penyusunan komposisi (tarkib) yang harmonis. Keseluruhan proses ini adalah dialog berkelanjutan antara pewaris kata-kata dan pewaris pena.
Dalam sejarah arsitektur Islam, peran inskripsi kaligrafi sangat dominan. Pesan-pesan moral dan petuah dari Ali sering kali ditempatkan di tempat yang strategis—di atas mihrab, di kubah, atau di gerbang kota. Penempatan ini memastikan bahwa hikmah beliau berfungsi sebagai pengingat konstan bagi para jamaah dan penduduk. Gaya kaligrafi Kufi Persegi (Square Kufic) yang abstrak dan modular sering digunakan untuk tujuan ini, karena sifatnya yang dapat diintegrasikan ke dalam pola geometris, memperkuat hubungan antara kata-kata Ali dan prinsip-prinsip desain universal.
Kajian mendalam terhadap manuskrip-manuskrip awal Nahjul Balaghah menunjukkan bagaimana transisi dari aksara yang tidak bertitik dan tidak bervokal ke aksara yang sepenuhnya ditandai mencerminkan perjuangan panjang untuk melestarikan ucapan beliau. Manuskrip yang lebih tua, yang ditulis dengan aksara Kufi sederhana, seringkali membutuhkan pengetahuan lisan yang kuat untuk dibaca. Namun, seiring dengan pengembangan sistem vokal yang diinisiasi oleh perintah Ali kepada Du'ali, salinan-salinan selanjutnya menjadi lebih mudah diakses, memicu penyebaran ajaran beliau yang lebih luas.
Jika kita melihat karya-karya kaligrafi kontemporer di seluruh dunia, baik di Timur Tengah, Asia Selatan, maupun di diaspora Barat, kita akan menemukan bahwa kutipan Ali bin Abi Thalib terus mendominasi subjek. Frasa-frasa tentang 'kehidupan yang baik', 'kekuatan spiritual', dan 'menghindari kemunafikan' menjadi jembatan spiritual yang relevan bagi umat Muslim modern yang bergulat dengan tantangan global. Kaligrafer modern sering bereksperimen dengan media baru, seperti cahaya neon atau instalasi seni, namun inti dari pesan—yang disampaikan melalui keindahan tulisan Arab—tetap berasal dari sumber Nahjul Balaghah.
Keunikan retorika Ali terletak pada kemampuannya untuk berpidato secara teologis tentang keesaan Tuhan, secara filosofis tentang hakikat manusia, dan secara praktis tentang administrasi negara, semuanya dalam satu nafas kesastraan yang luar biasa. Kombinasi kedalaman materi dan keindahan linguistik inilah yang menobatkan tulisan Arab Ali bin Abi Thalib sebagai materi yang paling berharga bagi seni kaligrafi. Warisan beliau adalah bukti bahwa kata-kata, ketika diucapkan dengan kebenaran dan dihias dengan keindahan, dapat mencapai keabadian. Seni kaligrafi adalah penjaga visual dari keabadian ini.
Keterlibatan Ali dalam standardisasi penulisan juga dapat dilihat sebagai tindakan pencegahan terhadap relativisme linguistik. Dalam pandangan beliau, tulisan yang tidak jelas akan menghasilkan pemahaman agama yang kabur. Oleh karena itu, setiap kaligrafer yang menyalin kata-kata beliau, baik itu ayat Al-Qur'an, Hadis, atau hikmah dari Nahjul Balaghah, secara implisit menghormati prinsip kejelasan dan akurasi yang dianjurkan oleh Ali. Keteraturan dan presisi garis dalam kaligrafi Arab adalah manifestasi visual dari keteraturan dan presisi tata bahasa (Nahwu) yang beliau gagas.
Para master kaligrafi di masa-masa keemasan Islam, seperti Yaqut al-Musta'simi atau Syaikh Hamdullah, tentu menghabiskan waktu berjam-jam menyalin dan mempelajari teks-teks dari Nahjul Balaghah. Praktik ini bukan hanya tentang menyempurnakan bentuk, tetapi juga tentang menyerap etos spiritual yang terkandung dalam setiap kalimat. Dengan demikian, proses menyalin tulisan Ali dianggap sebagai perjalanan menuju penyucian diri, di mana pena (*qalam*) menjadi alat meditasi dan tulisan menjadi cerminan dari hati yang tulus.
Ketika kita mengamati kaligrafi yang dipamerkan di museum-museum besar dunia, atau yang terukir di monumen-monumen bersejarah, keberadaan kalimat-kalimat yang dinisbahkan kepada Ali bin Abi Thalib adalah penanda universal dari nilai-nilai keadilan, ilmu, dan kesalehan. Tulisan Arabnya berfungsi sebagai bahasa universal yang melampaui batas-batas sekte atau geografi, menyatukan umat Islam melalui kekaguman terhadap retorika dan kebijaksanaan yang murni. Setiap huruf yang digoreskan adalah warisan yang tak ternilai harganya, memastikan bahwa suara kebijaksanaan dari Kufah terus bergema hingga hari ini dan seterusnya.
Dapat disimpulkan bahwa warisan tulisan Arab Ali bin Abi Thalib adalah fondasi ganda: pertama, fondasi linguistik dan tata bahasa yang memungkinkan tulisan Arab menjadi aksara yang akurat dan stabil; dan kedua, fondasi retorika dan sastra yang menyediakan konten yang kaya, indah, dan mendalam untuk diangkat ke tingkat seni rupa tertinggi. Kaligrafi adalah kanvas, dan hikmah Ali adalah cat yang abadi.